Akhirnya Adista bisa beranjak menuju lift untuk menemui putra tercinta. Baru saja, Dokter Pamela telepon, jika telah berada di kamar bersama Rendi untuk menemani Gilbert. Mereka adalah orang yang selalu ada untuk dirinya dan juga Gilbert.Mereka sengaja dikirim Tuhan untuk menemaninya menjalani ujian hidup beberapa tahun terakhir ini. Pada saat Adista baru akan masuk lift, tiba-tiba dari arah lobby datang dua dokter yang menangani pasien barusan dengan ekspresi panik."Ada situasi gawat, Dokter?"tanya Adista kepada salah satu dokter. Pria berjas putih ini pun berhenti seketika."Pasien tadi harus segera menjalankan proses bedah. Janin telah meninggal dalam rahim dan calon ibu bisa terancam keselamatannya,"jelas dokter tersebut."Keluarga pasien sudah datang?"tanya Adista yang ikut panik."Belum. Tapi, pasien sudah setuju untuk menjalani operasi bedah. Saya tinggal dulu, Dokter Alena.""Silakan,"balas Adista dengan perasaan semakin jengkel terhadap Dylan. Wanita muda ini tidak habis pi
Rendi mendapat kode dari Dokter Pamela. Pria dengan potongan badan dan wajah mirip aktor drakor tersebut langsung berdiri. Dia berjalan menuju pintu lalu membukanya. Kini di hadapannya berdiri seorang pria jangkung dengan tubuh atletis. Wajahnya semi bule. Seorang pria dengan penampilan sempurna."Selamat malam,"sapa ramah Dylan lalu melempar senyum. Bola matanya mencuri pandang ke arah dalam. Ada wanita yang dicarinya dan seketika hatinya bahagia bercampur terharu."Selamat malam. Sedang mencari siapa?"tanya Rendi dengan berpura-pura karena sesungguhnya dia telah paham dengan maksud kedatangan Dylan."Saya ingin membesuk Gilbert. Apakah sudah baikan?" Dylan bertanya dengan masih mencuri-curi pandang ke arah Adista yang kebetulan sedang hadap ke pintu. Dylan mencoba melempar senyuman ke arah wanita yang telah lama dirindukannya itu."Silakan masuk, Tuan,"ucap Rendi yang segera bergerak mundur untuk memberi ruang."Terima kasih,"balas Dylan sambil mengangguk. Pria jangkung ini beranjak
"Kita diminta ke ruangan Dokter Hendra sekarang,"jawab Adista dengan sikap kikuk. Dalam hatinya terbersit rasa jengkel. Upaya untuk terhindar dari pria yang dibenci sekaligus dirindukan tersebut tidak membuahkan hasil.Dylan tersenyum dalam hati mendengar jawaban dari wanita yang selalu hadir di setiap mimpi-mimpinya. Kamu itu masih sepolos dulu, Adis, batin Dylan dengan hati bahagia. Dirinya tinggal menghitung mundur puncak kemenangan untuk mendapatkan hati Adista."Ayo, buruan kalo gitu. Ini termasuk sikap profesional dalam bekerja,"ucap Dylan dengan tangan mengepal. "Yes,"ucapnya lirih."Maksudnya, Dok?""Kita harus ke sana." Dylan berharap Adista tidak mendengar kata-kata terakhirnya. Bagaimanapun dirinya harus segera memberi reward untuk Hendra dalam misinya ini.Pasangan yang telah lama terpisah ini berjalan beriringan dengan sesekali Dylan mencuri-curi pandang ke arah Adista. Bahkan dengan pria ini berpura-pura menyenggol lengan Adista. Dia merindukan saat-saat mereka sering be
"Aku benar-benar bodoh! Kenapa tadi gak biarkan saja dia? Peduli amat dia mau tertinggal," ucap lirih Adista di sela-sela tangisan. Rasa jengkel, kesal dan juga sedikit rindu bergemuruh dalam dada.Saat lift telah berhenti, dia buru-buru mengusap bekas air mata dengan tisu. Adista berjalan keluar dan langsung menuju lobby. Setelah itu, wanita cantik dengan rambut ikal tergerai menuju kantin untuk melepaskan rasa marah dan jengkelnya.Adista perlu beberapa saat untuk menenangkan diri. Dia merasa telah terjebak dengan rasa yang pernah ada dalam hatinya. Tidak bisa dipungkiri, dirinya pernah bermimpi jadi kekasih Dylan. Impian itu terpaksa dikubur dalam-dalam saat Nyonya Kusumasari memperlihatkan sebuah foto seorang dokter cantik yang akan dijodohkan dengan putranya.Meskipun dirinya telah mengandung anak dari Dylan, tetapi tetap saja, dia tidak cukup berani untuk meminta pertanggungjawaban. Dia cukup tahu diri agar tidak dihina karena perbedaan status sosial di antara mereka. Adista tid
Dokter Pamela yang kaget dengan ucapan Adista lalu bertanya,"Kamu bisa tahu kalo dia istri Tuan Dylan itu dari mana?""Dia yang bopong wanita hamil itu ke IGD. Dia panik mencari dokter buat periksa si wanita. Sudah Mana mungkin wanita kontraksi ditemani pria bukan suaminya?""Bisa jadi masih famili?" Dokter Pamela berusaha bersikap netral. Secara dirinya juga tidak mengetahui secara pasti fakta yang terjadi."Enggak ada keluarga yang lain, Mom. Hanya ada Tuan Dylan dan wanita hamil itu. Mana mungkin wanita kontraksi gak telepon suami atau minimal keluarga terdekat? Mereka hanya berdua. Saat proses bedah dimulai, Tuan Dylan gak ada di tempat. Suami kaga tanggung jawab," ulas Adista panjang lebar dengan raut wajah kesal."Sayang, kalo kamu masih memelihara rasa jengkel, selamanya hidup gak akan tenang. Bahagiakan hati kamu!""Baik, Mom. Aku sudah jemu ketemu dia mulu."Dokter Pamela tersenyum penuh arti ke arah putrinya lalu bertanya,"Mommy tanya, apa kamu pernah suka sama dia?""Apaan
Di saat bersamaan, Dylan tengah mandi, untuk bersiap pergi kerja ke hotel. Kebetulan ada perjamuan makan pagi yang harus dia tangani. Semalam dirinya sengaja tidak pulang demi menemani Adista yang sedang sakit. Ternyata, mereka kembali disatukan dalam situasi yang intim karena insiden varises di kaki Adista. Dylan tersenyum bahagia mengingat wanita yang telah enam tahun dirindukan menyebut namanya di sela-sela aktivitas intim mereka semalam. "Kamu tetap Adistaku yang dulu," ucap Dylan lirih lalu tersenyum sambil menatap cermin. Super chef tampan ini segera memakai pakaian semi formal dan bersiap untuk pergi bekerja dengan debar jantung karena bahagia. Dylan yang belum menikah sampai hari ini karena sengaja menunggu kehadiran Adista. Kini, dengan hati mantap untuk secepatnya meresmikan hubungan mereka. Suasana hati Dylan yang sedang berbunga-bunga tentu saja berbanding terbalik dengan Adista yang memendam rasa jengkel. Ceklek! Adista langsung menoleh ke arah pintu yang dibuka. Mu
"Gimana ini? Mana bisa keluar dalam keadaan seperti ini?"tanya Dylan dengan senyum penuh arti.Adista yang berada satu meter di samping Dylan dengan malu-malu melirik ke arah jari telunjuk si pria. Wanita ini pun tertawa lirih melihat Dylan yang akhirnya berdiri dan terpaksa mengeluarkan kemeja untuk menutupi ketegangan di bagian tengah."Kalo sudah begini, siapa yang jahat?"tanya Dylan sambil merapikan bagian bawah kemeja agar bisa menutup dengan sempurna. Namun, sepertinya sia-sia saja. Milik Dylan yang berukuran lebih dari rata-rata orang Indonesia, masih saja tampak menyembul pada permukaan kemeja."Sebentar, Sayang. Biar bisa lemas dulu," ucap Dylan sambil meringis."Tuan Dylan, saya harus segera pulang. Anak saya menunggu,"tegas Adista kembali ke setelan awal.Dylan yang melihat penampilan Adista dengan tubuh dibebat selimut semakin tidak bisa menahan diri. Pria ini hendak memeluknya, tetapi Adista dengan sigap Adista menghindar. Dia gegas berlari ke kamar mandi lalu mengunci pi
"Gak enak saja, Ma. Habis dipake tidur semalaman, masa dibiarin,"balas Adista sambil menggigit roti bekal dirinya semalam. Setelah itu dia ambil sebotol air mineral dari dalam tas dan Paracetamol. Dokter berkepang ini langsung meminum obat.Mbok Darmi datang dengan membawa baskom berisi air es. Dokter Pamela segera memintanya untuk meletakkan di bawah Adista."Maaf, ya, Mbok,"ucap Adista saat wanita tua ini menaruh baskom."Ya, Non," balas Mbok Darmi."Mbok, tolong ini dibawa ke belakang sekalian dicuci, ya!"pinta Dokter Pamela saat Mbok Darmi akan beranjak pergi."Gak usah, Mbok! Aku mau cuci sendiri. Itu ada pakaian dalam. Cukup taruh di dekat mesin cuci," cegah Adista segera."Kamu masih ngerendem kaki juga. Bisa, kan, pakaian dalam disisihkan sama Mbok Darmi,"sela Dokter Pamela."Enggak, Mom. Selama ini aku udah biasa cuci baju sendiri," sahut Adista yang bersikeras akan kemauannya. Dokter Pamela hanya bisa geleng-geleng kepala menghadapi perilaku putrinya."Baik, Non. Mbok taruh
"Rendi, kamu ditangkap!" seru Bara. Rendi mencoba melawan, tetapi Dylan cepat mengatasi situasi tersebut. Rendi dibawa ke kantor polisi untuk diinterogasi. Bara dan Dylan lega karena berhasil menangkap pelaku. Dokter Pamela dan Alena telah mendengar kabar penangkapan Rendi. Namun, mereka masih cemas tentang motif Rendi dan dampaknya pada keluarga serta reputasi klinik. Beberapa hari kemudian Pengadilan dimulai. Pengacara Umaya berhasil membuktikan bahwa tindakan Umaya kepada Anton adalah murni kecelakaan. Ada rekaman CCTV soal hal itu. Hakim memutuskan bahwa Umaya dibebaskan dari segala tuduhan. Namun ada kewajiban wajib rapor dan tidak boleh keluar kota sementara waktu sampai kasus Anton dan Gopar selesai diusut. Hati Umaya, Alena dan Dokter Pamela belum bisa lega 100% karena harus menunggu keputusan negosiasi interpol dengan pihak kepolisian Singapura soal kasus Alan. Mereka masih harus menunggu kepastian. Pada suatu hari Dokter Pamela menerima panggilan misterius dari seseor
"Dia sedang ambil cuti dua hari untuk riset. Ada apa?"tanya balik Dokter Pamela dengan raut wajah heran. "Sedari pagi hapenya gak aktif. Padahal bilang akan bawain obat buat aku." "Obat apa lagi? Bukankah kamu sudah gak perlu obat lagi?" "Bukan, Mom. Ini obat herbal sekaligus buat terapi." Tak berapa lama terdengar langkah kaki mendekat ke arah mereka. Kedua wanita tersebut menoleh ke belakang. Tampak Dylan dan Bara tersenyum ke arah mereka. "Selamat siang,"sapa kedua pria bersamaan. "Selamat siang,"balas dua wanita. Mereka berdiri berhadapan lalu saling menjabat tangan. Dokter Pamela mengajak kedua pria untuk duduk di ruang keluarga. Setelah mereka duduk di tempat masing-masing, barulah Alena bertanya,"Ada apa, nih, kalian barengan kemari?" Dylan segera menjawab,"Yang punya kepentingan si Bara, tuh." Pria yang dimaksud pun tersenyum ke arah kedua wanita. Ia berkata,"Maaf, gak kasih kabar dahulu. Saya dapat kabar mendadak dari kantor." Dokter Pamela dan Alena segera mengara
"Apakah kamu masih mau bersahabat dengan seorang pembunuh?" Alena terkejut dan mundur selangkah. "Apaan, sih, kamu! Apa yang terjadi padamu, Uma?"tanya Alena dengan kedua mata berkaca-kaca. Kini hatinya semakin tidak enak. Ada peristiwa dahsyat yang baru dialami oleh sahabatnya itu. Namun, kata pembunuh yang diucapkan oleh Umaya membuat pikiran Alena sempat oleng. Ia lalu bertanya dengan tubuh gemetar. "Apa maksudmu? Siapa yang kamu bunuh?" Umaya menunduk, air matanya jatuh. "Aku... aku membunuh Bang Anton." Alena terkejut. "Bang Anton? Bagaimana bisa? Kau selalu sangat perhatian padanya." Umaya mengisahkan peristiwa tragis tersebut. "Aku marah karena Bang Anton telah menjebak Alan. Adikku itu sekarang terancam hukuman mati di Singapura. Ia tertangkap tangan sedang membawa paket sabu-sabu seberat 500 gram. Bang Anton sengaja menyelipkan paket sabu-sabu pada makanan kemasan kaleng." "Alan ke Singapura dalam rangka apa?"tanya Alena penasaran. "Ia disuruh Bang Anton untuk mengirim
Di tempat lain, Umaya menatap foto Alena dengan perasaan menyesal. "Alena, maafkan aku. Besok aku jelaskan semua." "Semoga Alena gak kaget melihat keadaan kamu,"sahut Bara yang langsung ditanggapi linangan air mata oleh Umaya. "Saya gak pernah menyangka nasib persahabatan kami harus terpisah,"balas Umaya seraya menyeka sisa air mata. Bara tersenyum lalu berdiri dan menepuk pundak Umaya. Perwira polisi ini berkata,"Kamu telah berjasa terhadap kepolisian. Pasti ada keringanan hukuman. Nanti saya akan sewakan pengacara terbaik." "Terima kasih, Tuan Bara,"balas Umaya yang langsung dikawal seorang polwan masuk ke bagian belakang. *** Pukul 7 pagi Alena telah tiba di kantor polisi dengan diantar oleh Dylan. Dari semalam dokter muda ini tidak nyenyak tidur karena memikirkan kondisi yang terjadi dengan Umaya. "Tuan Bara sama sekali gak kasih bocoran?"tanya Alena kepada Dylan sambil mereka berjalan menuju ruang pemeriksaan. "Bara enggak mau kasih tahu. Katanya biar Umaya ngomong langs
"Kita tinggal ambil rekaman CCTV saat kejadian. Begitu tertangkap langsung bikin laporan,"ucap Rendi yang langsung diacungi jempol oleh Dylan. "Kita akan tahu, modus Pak Gopar merusak kepercayaan Dokter Pamela,"balas Dylan. Dorr! Terdengar tembakan dari arah pintu gerbang. Rendi segera memberi peringatan kepada kedua wanita. "Ma, Alena, tutup semua pintu dan jendela! Kalian bisa jadi incaran penjahat!" Kedua pria membantu menutup jendela dan pintu bagian depan lalu berlari ke halaman. "Ada apa ini?"tanya Dokter Pamela yang muncul dari ruang tengah. Alena berlari menyusul mommynya. Alena juga bingung dengan situasi yang menegangkan tersebut. "Mom, penjahat apa?" "Kita tutup semua jendela dan pintu. Kamu bagian belakang, Mommy cek depan,"ucap Dokter Pamela kepada Alena. Kedua wanita bergerak cepat. Mereka menutup semua pintu dan jendela. Benar yang diucapkan oleh Rendi, begitu terdengar langkah kejar-kejaran lalu suara pintu didobrak dari luar. Brakk! Pyaarr! Beruntung jendela
"Tentu saja benar. Aku sengaja bikin menu favorit Mommy,"balas Alena. "Wah, kebetulan. Hari ini Tuan Dylan akan datang untuk memberikan resep menu khusus untuk kamu. Bisa jadi sambil praktek cara bikinnya." Pernyataan Dokter Pamela barusan, membuat hati Rendi memanas. Bagaimanapun hatinya berharap bisa segera menikah dengan Alena. Sementara waktu, ia diminta Dokter Pamela untuk mengabaikan keinginan itu sampai emosi Alena stabil. Rendi gegas pergi ke luar rumah untuk menghindari hatinya bertambah panas. Hal itu bisa merusak rencana mama angkatnya untuk memberi rasa tenang kepada Alena. Sekitar sepuluh menit kemudian, datang sebuah mobil yang dikemudikan oleh Dylan. "Apa kabar, Bang?"sapa Dylan begitu keluar dari mobil. Tampak pria ini menenteng sebuah kantong plastik besar. "Baik. Kelihatannya bisnis lo semakin maju,"sahut Rendi sambil menghampiri Dylan. "Masih merintis kedai menu khusus,"balas Dylan sambil menjabat tangan Rendi. "Ini juga mau praktek buat menu khusus Alena. Aban
"Iya. Mama paham. Alena cinta Dylan dan kamu dianggap sebagai Abang." "Buat apa mencintai pria yang sering menyakiti hati? Aku baru kali ini bikin luka hati Alena, itu pun terpaksa kulakukan. Aku ingin Alena hanya untukku dan rasa cinta bisa ditumbuhkan pelan-pelan." Dokter Pamela sudah tidak bisa menanggapi omongan Rendi. Dia akan pasrahkan keputusan akhir kepada Alena. Padahal saat ini kondisi psikis Alena belum stabil. Pemilik klinik kesehatan ini harus pandai-pandai mengatur strategi agar sama-sama nyaman. "Kali ini Mama mohon belas kasihan dari kamu. Tunggu keadaan Alena sampai sehat dulu. Tolong jangan ganggu dengan situasi yang bisa memicu kepanikan dia. Bisa, kan?" Permintaan dari Dokter Pamela ini layaknya buah simalakama bagi Rendi. Di satu sisi, ia ingin segera menikah dengan Alena dan di sisi yang lain, dia terpaksa menuruti kemauan wanita yang telah banyak berjasa dalam hidupnya itu. Tiada lagi yang bisa Rendi lakukan, selain .... "Baik, Ma! Aku akan tunggu sampe Alen
Setelah itu, Dokter itu menutup pintu lalu buru-buru ke ruang kemudi. Mereka harus segera menemui psikiater langganan Alena. Sejak kasus penculikan dan pelecehan di gudang milik Pak Gunadi, Alena menjadi pelanggan setia psikiater. Hal ini sudah berhasil disembuhkan, akan tetapi kambuh kembali karena guncangan yang dialaminya kembali. Anxiety disorder yang dialami oleh Alena, sudah lama sembuh. Namun gangguan tersebut sekarang mulai terlihat gejalanya kembali. Wanita cantik ini tampak gelisah, sekujur tubuh gemetar dengan keringat membasahi raut wajah dan leher. Dalam waktu 30 menit, mereka pun telah sampai tujuan. Alena yang masih dilanda kecemasan duduk meringkuk dengan tubuh menggigil. Dokter Pamela langsung memeluknya. Wanita ini berkata,"Tenang, Sayang! Mama ada sama kamu." Beberapa saat, Dokter Pamela perlu memberi waktu pada Alena agar bisa stabil emosinya. Setelah Alena sedikit tenang, akhirnya mereka keluar mobil dan langsung menuju ruang pemeriksaan. Psikiater melakukan pe
"Syok! Bangun dari tidur tanpa pakaian ditutup selimut." "Oke. Kita lapor polisi. Bisa-bisanya, tadi di kafe, dia gak bilang apa-apa ke Mommy." Baru juga mulut Dokter Pamela berhenti berucap, terdengar nada dering ponsel. Wanita ini mengambilnya dari dalam tas. Ia menatap layar ponsel lalu menoleh ke arah Alena. "Rendi,"ucapnya hampir seperti orang berbisik. "Apa pun ucapan dia, Mommy gak boleh pergi!"pinta Alena segera. Dokter Pamela pun mengangguk lalu menerima panggilan masuk. $Iya, Ren. Ada apa?"tanyanya kepada anak angkatnya itu. "Mama ada di mana? Aku mau bicara empat mata,"balas Rendi dari ujung telepon. "Mama lagi home care, nih,"jawab Dokter Pamela yang langsung diacungi jempol oleh Alena. "Kapan selesai, Ma?" "Bisa sejam atau lebih. Setelah perawatan biasanya ada sesi diskusi. Ada apa, sih? Macam emergency saja,"sahut Dokter Pamela berniat memancing omongan lawan bicaranya. "Bisa dibilang gitu. Hari ini aku harus bisa bicara dengan Mama." "Ngomong saja sekarang. S