"Gimana bilang sudah tidur? Tuan Dylan tadi liat kamu sedang di balkon. Ayo, Sayang! Temui sebentar dan tanyakan sejelas-jelasnya ke dia. Biar gak ada salah paham. Tuan Dylan kayaknya bukan pria brengsek. Mommy lihat ketulusan dari wajah dan perilaku dia.""Dia pria beristri, Mom. Adista gak mau didekati oleh pria yang sudah berkeluarga. Apalagi bininya, baru saja melahirkan.""Itu bisa kamu tanyakan langsung ke dia, Sayang. Cobalah berdiskusi dengannya! Selama ini kamu hanya berspekulasi sendiri. Coba dengarkan penjelasan dari dia!"Terdengar suara langkah kaki berjangka panjang dan Adista curiga itu adalah Dylan. Namun, Adista setelah itu mendengar dua langkah kaki beranjak pergi menuruni anak tangga. Wanita ini jadi penasaran lalu berjalan ke arah balkon dan mobil Dylan masih ada di halaman depan. Terus siapa tadi? Tanya Adista dalam hati.Adista yang penasaran buru-buru keluar kamar. Dia menuruni anak tangga dengan hati-hati. Wanita cantik ini langsung menuju ruang tamu dan dari p
"Kalo mereka curiga, memangnya kenapa? Bagus, dong! Tinggal kita kasih undangan pernikahan kita,"jawab Dylan dengan santai."Apa-apaan, sih? Sikap Tuan yang semaunya gini membuat aku gak nyaman. Bikin bete!"Dylan pun langsung kaget begitu mendengar ucapan Adista. Wanita ini sekarang bisa bersikap kasar. Padahal dulu adalah seorang gadis yang lembut dan tidak berani menatap dirinya. "Alena, kamu sekarang bisa berubah gini. Kenapa? Karena perbuatan aku, membuatmu jadi gini? Tolong maafkan aku! Kasih kesempatan padaku untuk menembus semua kesalahan."Adista yang selalu sebal di dekat Dylan dan penasaran pada saat mereka berjauhan, hanya bisa diam mendengar ucapan si pria. Perasaan Adista tidak karu-karuan. Wanita ini sedang bingung mengatur hati yang mampu berubah-ubah. Ada benci sekaligus rindu jika tidak bertemu."Tolong, jauhi saya, Tuan! Saya pengen hidup nyaman dan tenang," ucap Adista lirih sambil meneteskan air mata. Dylan mengambil tisu dan berniat akan mengusap, tetapi ditepis
"Aku tahu, suamiku ada dalam kamar ini." Terdengar suara Diana di depan pintu kamar. Suara ketukan pintu membuat suasana semakin berisik. Suara hentakan sepatu berirama cepat menaiki anak tangga. Langkah kaki mendekat ke arah depan kamar."Rendi, gimana ceritanya? Kenapa dia sampe bisa masuk sini?" Suara Dokter Pamela sedang memarahi anak angkatnya."Saya gak tahu, Nyonya. Saya sudah antar dia pulang depan indekos," balas Rendi terdengar gugup."Nyonya perlu tahu, saya adalah istri dari Tuan Dylan,"tegas Diana yang hendak mengetuk pintu, tetapi dengan cekatan telah dicekal oleh Rendi."Saya gak mau tahu dan gak peduli, siapa pun Anda. Saya harap segera keluar dari rumah ini!"usir Dokter Pamela sambil menunjuk ke arah tangga."Nyonya, saya hanya mau pulang dengan Tuan Dylan."Dokter Pamela yang mendengar omongan melantur Diana segera menoleh ke arah Rendi. Dagu wanita ini terangkat ke anak tangga dengan ekspresi marah. Tanpa disangka-sangka, perintah Dokter Pamela kepada Rendi membuat
"Ya, Mom. Ada apa?" Terdengar suara Adista di ujung telepon."Kamu lagi dalam kamar, kan?"tanya Dokter Pamela sambil menempelkan telinga pada daun pintu."Alena sedang ada di luar. Gilbert nyariin aku?""Ada di luar? Kapan kamu pergi? Gilbert lagi tidur pulas. Tenang!" Dokter Pamela tercengang mendengar ucapan Adista. Wanita berusia senja ini sempat mendengar suara dering ponsel Adista dalam kamar, saat Diana sedang berulah tadi."Aku keluar saat wanita itu ngamuk-ngamuk di halaman tadi.""Kamu ikut dalam mobil Tuan Dylan?"tanya Dokter Pamela semakin tercengang."Iya, Mom. Daripada ketemu wanita itu, jadi tambah pusing dan ribet. Aku pengen istirahat, jadi gak bisa."Dokter Pamela merasa bahagia. Akhirnya, hati putri tercinta luluh juga. Wanita ini dengan tersenyum menutup pembicaraan. "Ya, sudah. Bahagiakan hati kamu, Sayang! Salam buat Tuan Dylan. Hati-hati di jalan.""Oke, Mom."Hubungan telepon antara ibu dan anak ini pun berakhir. Hati Dokter Pamela seketika plong. Wanita ini lal
"Ya, benar. Di samping pembicaraan tentang kongsi dagang, kami berencana mempererat hubungan kekeluargaan. Kamu menikah dengan Paramitha. Cantik, cerdas, dari keluarga baik-baik dan juga pintar berbisnis.""Dylan sudah punya calon istri. Stop memikirkan jodoh aku! Silakan berbisnis Tanpa harus memaksa Dylan menikah demi bisnis. Dylan bukan barang!""Kamu tega sama Ma-Mama." Terdengar barang jatuh."Ma! Mama!" Panggilan Dylan sudah tidak direspon. Dari seberang telepon terdengar suara orang panik dan hubungan komunikasi pun diakhiri sepihak. Dylan jadi cemas karena memikirkan kesehatan mamanya. "Nyonya Kusumasari?"tanya Adista seketika dan Dylan pun langsung mengangguk. Secara tidak langsung, dokter cantik ini telah mengakui tentang jati diri yang ditutupi selama ini."Kita harus segera ke rumah sakit,"ucap Dylan yang langsung menarik tangan Adista ke tempat parkir mobil."Kita ke Singapura?"tanya Adista kaget. Mereka tanpa persiapan apa pun karena memang niat hang out. Ini benar-bena
Pria ini bisa segera mengenali Adista dengan topi pantainya duduk bengong di ruang tunggu. Dylan tersenyum memikirkan sikap konyol mereka. Datang dari pantai Indonesia langsung menuju rumah sakit Singapura tanpa membawa pakaian ganti sepotong pun."Kita beli pakaian ganti,"ucap Dylan pelan dengan memandang mesra kekasihnya. Adista tersenyum manis lalu berucap,"Mungkin hanya kita ke rumah sakit dengan baju pantai."Adista berucap tanpa beban membuat Dylan sedikit ragu-ragu utarakan maksudnya. Namun, hal tersebut harus segera dibicarakan bersama. Pria ini mengajak Adista menuju Far East Plaza yang berjarak sekitar 15 menit dari rumah sakit. Dylan sengaja pakai mobil milik papanya untuk mengajak Adista berkeliling kota sekalian berdiskusi tentang keinginannya. Hingga saat itu tiba ...."Poligami?"tanya Adista dengan kedua mata membulat sempurna. Wanita ini sungguh tidak menyangka, jika Dylan bisa setega itu pada dirinya."Bukan poligami, Sayang. Hanya sampe dia pulih saja. Dia lagi depre
"Bagus itu. Abang tunggu cerita dari kamu,"balas Rendi dengan nada bijak.Akhirnya, sepanjang perjalanan kedua orang ini hanya diam. Hanya Adista yang tampak gelisah dengan sesekali menyeka air mata. Tidak bisa dipungkiri hatinya sangat sakit, hingga membuat rasa sesak dalam dada bagai menusuk-nusuk.Rendi hanya bisa mendiamkan agar wanita di sebelahnya bisa menghabiskan segala gundah. Mereka sampai rumah dalam waktu tiga puluh menit dan Adista telah lebih tenang. Rendi menekan klakson dan dua sekuriti segera membuka pintu gerbang."Selamat sore,"sapa Rendi kepada dua sekuriti."Selamat sore, Pak Rendi, Nona Alena. Tadi ada yang cari Anda, Pak,"balas pria berambut cepak tersebut. Adista tersenyum ke arah sekuriti."Siapa?"tanya Rendi yang penasaran."Yang tadi Bapak antar, kembali ke sini.""Oh, itu. Bilang apa?"tanya Rendi yang segera mengambil ponsel lalu membukanya. Namun, tidak ada notifikasi apa pun di sana. Baik panggilan telepon maupun pesan singkat."Tadi bilang mau ke Singapu
"Ayo, masuk!"ajak wanita tersebut sambil membuka pintu. Sesampai di dalam, Dokter Pamela segera menghidupkan AC. "Biar otak gak ngebul."Rendi yang duduk berbatas meja kerja dengan Dokter Pamela hanya bisa tersenyum, meski terkesan dipaksakan. Wanita ini duduk menghadap Rendi dengan tersenyum tipis. "Apa itu?""Sebentar, Nyonya,"balas Rendi lalu mengeluarkan ponsel dari dalam tas selempang. Beberapa saat pria ini membuka menu dalam ponsel lalu menyodorkan layar ke arah Dokter Pamela. "Ini Dokter.""Ini kan Tuan Dylan. Maksudnya apa?"tanya Dokter Pamela sambil memandang wajah pada layar datar. "Ini foto dari mana?""Dari Diana." Jawaban Rendi seketika membuat Dokter Pamela kaget."Dia dapat dari mana?"tanya Dokter Pamela semakin heran. Rendi tersenyum tipis lalu pria ini menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskan kembali lewat mulut."Diana bilang suaminya telah datang dan ini suami dia,"jawab Rendi."Saya liat Diana ini ada gangguan jiwa. Bisa jadi dia sedang berhalusinasi,"sahut Dok
Setelah itu, Dokter itu menutup pintu lalu buru-buru ke ruang kemudi. Mereka harus segera menemui psikiater langganan Alena. Sejak kasus penculikan dan pelecehan di gudang milik Pak Gunadi, Alena menjadi pelanggan setia psikiater. Hal ini sudah berhasil menemukan Edisembuhkan, akan tetapi kambuh kembali karena guncangan yang dialaminya kembali.Anxiety disorder yang dialami oleh Alena, sudah lama sembuh. Namun gangguan tersebut sekarang mulai terlihat gejalanya kembali. Wanita cantik ini tampak gelisah, sekujur tubuh gemetar dengan keringat membasahi raut wajah dan leher.Dalam waktu 30 menit, mereka pun telah sampai tujuan. Alena yang masih dilanda kecemasan duduk meringkuk dengan tubuh menggigil. Dokter Pamela langsung memeluknya. Wanita ini berkata,"Tenang, Sayang! Mama ada sama kamu."Beberapa saat, Dokter Pamela perlu memberi waktu pada Alena agar bisa stabil emosinya. Setelah Alena sedikit tenang, akhirnya mereka keluar mobil dan langsung menuju ruang pemeriksaan.Psikiater mel
"Syok! Bangun dari tidur tanpa pakaian ditutup selimut.""Oke. Kita lapor polisi. Bisa-bisanya, tadi di kafe, dia gak bilang apa-apa ke Mommy."Baru juga mulut Dokter Pamela berhenti berucap, terdengar nada dering ponsel. Wanita ini mengambilnya dari dalam tas. Ia menatap layar ponsel lalu menoleh ke arah Alena."Rendi,"ucapnya hampir seperti orang berbisik."Apa pun ucapan dia, Mommy gak boleh pergi!"pinta Alena segera.Dokter Pamela pun mengangguk lalu menerima panggilan masuk."Iya, Ren. Ada apa?"tanyanya kepada anak angkatnya itu."Mama ada di mana? Aku mau bicara empat mata,"balas Rendi dari ujung telepon."Mama lagi home care, nih,"jawab Dokter Pamela yang langsung diacungi jempol oleh Alena."Kapan selesai, Ma?""Bisa sejam atau lebih. Setelah perawatan biasanya ada sesi diskusi. Ada apa, sih? Macam emergency saja,"sahut Dokter Pamela berniat memancing omongan lawan bicaranya."Bisa dibilang gitu. Hari ini aku harus bisa bicara dengan Mama.""Ngomong saja sekarang. Sama saja,
Ia memesan segelas jus jeruk lalu dengan pandangan tajam menatap ke arah jalan. Mobil Dokter Pamela sudah memasuki tempat parkir. Mata Alena terbelalak, di belakangnya muncul mobil Rendi."Bulshit! Ngapain ngikut?"keluh Alena dengan suara lirih. Rasa kesalnya membuat gigi-giginya gemerutuk. Ia ambil daftar menu buat menutup wajahnya. Kemudian dari baliknya ia mengintip ke arah pintu masuk.Kini tampak Rendi sudah berjalan menghampiri Dokter Pamela. Alena semakin ambil sikap. Beruntung, di saat pikiran wanita ini sedang buntu, ada seorang waiters melintas. Alena segera memanggilnya lirih."Maaf, boleh sAya minta tolong?"tanya Alena dengan sedikit membungkuk."Silakan, Nyonya,"balas si waiters ramah."Boleh saya minta secarik kertas?"tanya Alena lagi.Waiters tersebut segera menyobek selembar kertas dari book note yang dibawanya. "Silakan, Nyonya!"Waiters itu mengulurkan kertas beserta bolpoin. Alena menerima dengan tersenyum."Saya tulis pesan dulu,"ucap Alena. Dokter muda ini buru-bu
"Bang, kamu panggil aku apa?" "Sepertinya tadi aku harus lebih keras lagi saat memanggilmu, Sayang." Rendi semakin terkekeh. "Mulai sekarang, itu panggilan untuk kamu, Alena. Sejak semalam, kamu sudah menjadi milikku. Itu artinya, kamu tidak boleh pergi. Apalagi, tadi malam Abang tidak menggunakan pengaman dan mengeluarkannya di dalam. Abang berharap kamu hamil." Betapa kaget Alena mendengar penjelasan dari Rendi. Dengan kedua mata melotot, ia pun bertanya,"Apa maksud Abang? Sengaja bikin aku hancur? Suka liat Mommy terpuruk?" Rendi segera merangkul tubuh Alena. Pria dengan menitikkan air mata berucap,"Abang ingin jagain kamu. Abang cinta kamu sejak awal kita pertemu. Abang gak rela disakiti Dylan lagi." "Bukan begini caranya, Bang!"teriak Alena lalu membalut rapat tubuhnya dengan selimut. Ia bangkit lalu mengambil pakaian di atas kasur. Ia berlari menuju kamar mandi. Rendi mengejar langkah kaki Alena. Pria ini berdiri di depan pintu kamar mandi. Ia tidak akan menyesali apa pun ya
Sedang asyik menikmati pemandangan alam tiba- tiba sepasang tangan melingkar di pinggangnya dan deru nafas hangat mendekati daun telinga Alena."Kamu suka?"tanya Rendi berbisik.Seperti terkena hipnotis, Alena mengangguk dan mengukirkan lengkung senyuman di kedua pipi. Namun, tak lama ia berjengit kaget setelah menyadari sesuatu.Saat itulah, Alena kembali tersadar akan kenyataan. Ia buru-buru melepaskan diri dari Rendi. Ia mendorong pria tersebut agar menjauh."Kenapa Abang bawa aku ke sini?"tanya Alena terdengar geram. Gigi-giginya terdengar gemerutuk. Ia begitu benci dengan situasi seperti saat ini. Ia semakin ngeri berhadapan dengan Rendi."Aku ingin menyelamatkan kamu dari Dylan. Dia tak pantas untukmu. Pria plin-plan seperti dia, akan selalu membuatmu sakit hati. Apalagi dengan keadaan kamu yang sekarang. Abang khawatir itu jadi alasan dia untuk mendua atau bahkan meninggalkan kamu,"ungkap Rendi dengan tatapan sendu ke arah Alena."Bang, ingat! Aku sudah tunangan dengan Tuan Dy
"Mbok Darmi?" Terdengar suara Alena yang terbata-bata dari dalam kamar. "Tolong buka pintu, Non!" Akhirnya terdengar suara langkah kaki menuju pintu. Pada saat pintu terbuka, tampak wajah sembab Alena yang sehabis menangis. Jejak basah masih menggenang pada pelupuk mata dan pipi. Alena menyeka jejak itu dengan ujung lengan baju. "Non, apa yang terjadi?"tanya Mbok Darmi dengan wajah cemas. "Gak ada apa, Mbok. Tolong bikinkan aku jus jeruk,"ucap Alena terdengar terbata-bata. Hatinya terlampau sakit dan itu membuat suaranya serak. "Mbok akan bikinkan. Tapi, kalo ada sesuatu gak mengenakkan, Non bisa cerita ke Mbok. Jangan dipendam sendiri!" "Iya, Mbok. Makasih, ya,"balas Alena yang beranjak menuju jendela. Ia membuka kacanya lalu menikmati pemandangan di hadapannya. Ia ingin menggalau ingatan tentang kejadian barusan. "Mbok, tinggal ke dapur dulu." Ucapan Mbok Darmi tanpa balasan dari Alena. Wanita tua ini beranjak keluar kamar lalu menutup pintu. Alena menatap hamparan la
"Oke. Aku tunggu di sana." Terdengar suara langkah kaki menjauh. Alena menutup program dalam layar laptopnya lalu berjalan menuju toilet. Ia membasuh muka beberapa saat. Setelah itu menyeka wajah sambil menarik napas dalam-dalam. Ia embuskan napas kembali dengan perasaan sedikit lega.Kini langkah kaki wanita berambut lebat tersebut mengarah menghampiri Dylan. Ia harus bisa berbicara secara mendetail dengan calon suaminya. Saat dirinya sampai, tampak Dylan sedang mengobrol dengan Rendi. Begitu wanita ini mendekat, kedua pria buru-buru mengakhiri pembicaraan."Aku harus pergi menemui Mama. Kalian jaga rumah baik-baik,"ucap Rendi seraya berdiri. Ia menepuk bahu Dylan lalu berjalan menghampiri Alena. Ia pun berbicara lirih kepada adik angkatnya itu. "Ada apa-apa, buruan kasih kabar!""Baik, Bang,"balas Alena pelan sambil mengangguk. Rendi berlalu menuju anak tangga dan Alena melihat kepergiannya sampai menghilang dari pandangan. Dylan yang tidak sabaran lalu bangkit dan berjalan mendek
Analis ini menautkan kedua alis setelah membaca isi kertas tersebut. la menatap Dylan, seolah-olah bertanya maksud dari kertas ini."Gue nggak tau siapa yang kirim kertas itu, tapi gue rasa ada yang janggal,"jelas Dylan berhati-hati."Janggal gimana? Emang yang dia maksud anaknya siapa?"tanya Rendi seraya menatap tajam ke arah Dylan."Alena ... maybe.""Dia sedang berjalan kemari,"ucap Rendi memperingatkan Dylan. Saat menoleh ke arah dalam, ia melihat kehadiran wanita itu. "Pergi saja ke laboratorium! Aku sempat minta tes kesuburan terhadap Abimana.""Oke. Lebih baik aku ke sana dulu sebelum menemui Abimana,"balas Dylan. Ucapan Dylan berakhir tepat pada saat langkah kaki Alena sampai di dekat mereka. Ia membawa cemilan untuk menemaninya menonton drama Korea. Sebungkus besar kacang telur dan sebotol jus mangga berada dalam genggamannya. "Ada yang mau temani aku nonton tivi?"tanya Alena dengan wajah memelas.Rendi seketika menyenggol perut Dylan. "Biar Abang saja yang temani kamu. Dyl
"Nah, itu! Bisa jadi merekalah yang jadi pelaku. Bang Anton tahu kamu merekam mereka dan ingin barang bukti lenyap,"jelas Dylan.Hal itu langsung diberi anggukan kepala oleh Rendi. Analisis ini berkata,"Dugaan kita sama.""Pada saat merekam itu, aku mikirnya aneh dan menarik. Secara selama ini, mereka gak saling kenal. Aku tiap hari ada di rumah sakit dan tidak pernah liat interaksi di antara mereka. Padahal Bang Anton ada beberapa kali datang untuk antar Umaya temui aku.""Bisa jadi mereka berinteraksi setelah dapat job khusus dari Abimana,"sahut Dylan sambil memandang ke arah Rendi."It's exactly!"seru Rendi dengan wajah puas karena ada yang menyamai dugaannya."Aku sudah kasih tahu ahlinya. Bentar lagi dia datang,"ujar Dylan sambil menatap layar ponsel. Pria ini berharap ada yang segera menghubunginya.Ada suara ketukan lalu pintu pun terbuka. Seraut wajah yang ditunggu-tunggu muncul. Ia pun bertanya,"Di mana kita akan meet and great?""Hi, ayo.masuk!"pinta Dylan kepada Bara. Perw