"Gak enak saja, Ma. Habis dipake tidur semalaman, masa dibiarin,"balas Adista sambil menggigit roti bekal dirinya semalam. Setelah itu dia ambil sebotol air mineral dari dalam tas dan Paracetamol. Dokter berkepang ini langsung meminum obat.Mbok Darmi datang dengan membawa baskom berisi air es. Dokter Pamela segera memintanya untuk meletakkan di bawah Adista."Maaf, ya, Mbok,"ucap Adista saat wanita tua ini menaruh baskom."Ya, Non," balas Mbok Darmi."Mbok, tolong ini dibawa ke belakang sekalian dicuci, ya!"pinta Dokter Pamela saat Mbok Darmi akan beranjak pergi."Gak usah, Mbok! Aku mau cuci sendiri. Itu ada pakaian dalam. Cukup taruh di dekat mesin cuci," cegah Adista segera."Kamu masih ngerendem kaki juga. Bisa, kan, pakaian dalam disisihkan sama Mbok Darmi,"sela Dokter Pamela."Enggak, Mom. Selama ini aku udah biasa cuci baju sendiri," sahut Adista yang bersikeras akan kemauannya. Dokter Pamela hanya bisa geleng-geleng kepala menghadapi perilaku putrinya."Baik, Non. Mbok taruh
"Gimana bilang sudah tidur? Tuan Dylan tadi liat kamu sedang di balkon. Ayo, Sayang! Temui sebentar dan tanyakan sejelas-jelasnya ke dia. Biar gak ada salah paham. Tuan Dylan kayaknya bukan pria brengsek. Mommy lihat ketulusan dari wajah dan perilaku dia.""Dia pria beristri, Mom. Adista gak mau didekati oleh pria yang sudah berkeluarga. Apalagi bininya, baru saja melahirkan.""Itu bisa kamu tanyakan langsung ke dia, Sayang. Cobalah berdiskusi dengannya! Selama ini kamu hanya berspekulasi sendiri. Coba dengarkan penjelasan dari dia!"Terdengar suara langkah kaki berjangka panjang dan Adista curiga itu adalah Dylan. Namun, Adista setelah itu mendengar dua langkah kaki beranjak pergi menuruni anak tangga. Wanita ini jadi penasaran lalu berjalan ke arah balkon dan mobil Dylan masih ada di halaman depan. Terus siapa tadi? Tanya Adista dalam hati.Adista yang penasaran buru-buru keluar kamar. Dia menuruni anak tangga dengan hati-hati. Wanita cantik ini langsung menuju ruang tamu dan dari p
"Kalo mereka curiga, memangnya kenapa? Bagus, dong! Tinggal kita kasih undangan pernikahan kita,"jawab Dylan dengan santai."Apa-apaan, sih? Sikap Tuan yang semaunya gini membuat aku gak nyaman. Bikin bete!"Dylan pun langsung kaget begitu mendengar ucapan Adista. Wanita ini sekarang bisa bersikap kasar. Padahal dulu adalah seorang gadis yang lembut dan tidak berani menatap dirinya. "Alena, kamu sekarang bisa berubah gini. Kenapa? Karena perbuatan aku, membuatmu jadi gini? Tolong maafkan aku! Kasih kesempatan padaku untuk menembus semua kesalahan."Adista yang selalu sebal di dekat Dylan dan penasaran pada saat mereka berjauhan, hanya bisa diam mendengar ucapan si pria. Perasaan Adista tidak karu-karuan. Wanita ini sedang bingung mengatur hati yang mampu berubah-ubah. Ada benci sekaligus rindu jika tidak bertemu."Tolong, jauhi saya, Tuan! Saya pengen hidup nyaman dan tenang," ucap Adista lirih sambil meneteskan air mata. Dylan mengambil tisu dan berniat akan mengusap, tetapi ditepis
"Aku tahu, suamiku ada dalam kamar ini." Terdengar suara Diana di depan pintu kamar. Suara ketukan pintu membuat suasana semakin berisik. Suara hentakan sepatu berirama cepat menaiki anak tangga. Langkah kaki mendekat ke arah depan kamar."Rendi, gimana ceritanya? Kenapa dia sampe bisa masuk sini?" Suara Dokter Pamela sedang memarahi anak angkatnya."Saya gak tahu, Nyonya. Saya sudah antar dia pulang depan indekos," balas Rendi terdengar gugup."Nyonya perlu tahu, saya adalah istri dari Tuan Dylan,"tegas Diana yang hendak mengetuk pintu, tetapi dengan cekatan telah dicekal oleh Rendi."Saya gak mau tahu dan gak peduli, siapa pun Anda. Saya harap segera keluar dari rumah ini!"usir Dokter Pamela sambil menunjuk ke arah tangga."Nyonya, saya hanya mau pulang dengan Tuan Dylan."Dokter Pamela yang mendengar omongan melantur Diana segera menoleh ke arah Rendi. Dagu wanita ini terangkat ke anak tangga dengan ekspresi marah. Tanpa disangka-sangka, perintah Dokter Pamela kepada Rendi membuat
"Ya, Mom. Ada apa?" Terdengar suara Adista di ujung telepon."Kamu lagi dalam kamar, kan?"tanya Dokter Pamela sambil menempelkan telinga pada daun pintu."Alena sedang ada di luar. Gilbert nyariin aku?""Ada di luar? Kapan kamu pergi? Gilbert lagi tidur pulas. Tenang!" Dokter Pamela tercengang mendengar ucapan Adista. Wanita berusia senja ini sempat mendengar suara dering ponsel Adista dalam kamar, saat Diana sedang berulah tadi."Aku keluar saat wanita itu ngamuk-ngamuk di halaman tadi.""Kamu ikut dalam mobil Tuan Dylan?"tanya Dokter Pamela semakin tercengang."Iya, Mom. Daripada ketemu wanita itu, jadi tambah pusing dan ribet. Aku pengen istirahat, jadi gak bisa."Dokter Pamela merasa bahagia. Akhirnya, hati putri tercinta luluh juga. Wanita ini dengan tersenyum menutup pembicaraan. "Ya, sudah. Bahagiakan hati kamu, Sayang! Salam buat Tuan Dylan. Hati-hati di jalan.""Oke, Mom."Hubungan telepon antara ibu dan anak ini pun berakhir. Hati Dokter Pamela seketika plong. Wanita ini lal
"Ya, benar. Di samping pembicaraan tentang kongsi dagang, kami berencana mempererat hubungan kekeluargaan. Kamu menikah dengan Paramitha. Cantik, cerdas, dari keluarga baik-baik dan juga pintar berbisnis.""Dylan sudah punya calon istri. Stop memikirkan jodoh aku! Silakan berbisnis Tanpa harus memaksa Dylan menikah demi bisnis. Dylan bukan barang!""Kamu tega sama Ma-Mama." Terdengar barang jatuh."Ma! Mama!" Panggilan Dylan sudah tidak direspon. Dari seberang telepon terdengar suara orang panik dan hubungan komunikasi pun diakhiri sepihak. Dylan jadi cemas karena memikirkan kesehatan mamanya. "Nyonya Kusumasari?"tanya Adista seketika dan Dylan pun langsung mengangguk. Secara tidak langsung, dokter cantik ini telah mengakui tentang jati diri yang ditutupi selama ini."Kita harus segera ke rumah sakit,"ucap Dylan yang langsung menarik tangan Adista ke tempat parkir mobil."Kita ke Singapura?"tanya Adista kaget. Mereka tanpa persiapan apa pun karena memang niat hang out. Ini benar-bena
Pria ini bisa segera mengenali Adista dengan topi pantainya duduk bengong di ruang tunggu. Dylan tersenyum memikirkan sikap konyol mereka. Datang dari pantai Indonesia langsung menuju rumah sakit Singapura tanpa membawa pakaian ganti sepotong pun."Kita beli pakaian ganti,"ucap Dylan pelan dengan memandang mesra kekasihnya. Adista tersenyum manis lalu berucap,"Mungkin hanya kita ke rumah sakit dengan baju pantai."Adista berucap tanpa beban membuat Dylan sedikit ragu-ragu utarakan maksudnya. Namun, hal tersebut harus segera dibicarakan bersama. Pria ini mengajak Adista menuju Far East Plaza yang berjarak sekitar 15 menit dari rumah sakit. Dylan sengaja pakai mobil milik papanya untuk mengajak Adista berkeliling kota sekalian berdiskusi tentang keinginannya. Hingga saat itu tiba ...."Poligami?"tanya Adista dengan kedua mata membulat sempurna. Wanita ini sungguh tidak menyangka, jika Dylan bisa setega itu pada dirinya."Bukan poligami, Sayang. Hanya sampe dia pulih saja. Dia lagi depre
"Bagus itu. Abang tunggu cerita dari kamu,"balas Rendi dengan nada bijak.Akhirnya, sepanjang perjalanan kedua orang ini hanya diam. Hanya Adista yang tampak gelisah dengan sesekali menyeka air mata. Tidak bisa dipungkiri hatinya sangat sakit, hingga membuat rasa sesak dalam dada bagai menusuk-nusuk.Rendi hanya bisa mendiamkan agar wanita di sebelahnya bisa menghabiskan segala gundah. Mereka sampai rumah dalam waktu tiga puluh menit dan Adista telah lebih tenang. Rendi menekan klakson dan dua sekuriti segera membuka pintu gerbang."Selamat sore,"sapa Rendi kepada dua sekuriti."Selamat sore, Pak Rendi, Nona Alena. Tadi ada yang cari Anda, Pak,"balas pria berambut cepak tersebut. Adista tersenyum ke arah sekuriti."Siapa?"tanya Rendi yang penasaran."Yang tadi Bapak antar, kembali ke sini.""Oh, itu. Bilang apa?"tanya Rendi yang segera mengambil ponsel lalu membukanya. Namun, tidak ada notifikasi apa pun di sana. Baik panggilan telepon maupun pesan singkat."Tadi bilang mau ke Singapu