"Ya, Mom. Ada apa?" Terdengar suara Adista di ujung telepon."Kamu lagi dalam kamar, kan?"tanya Dokter Pamela sambil menempelkan telinga pada daun pintu."Alena sedang ada di luar. Gilbert nyariin aku?""Ada di luar? Kapan kamu pergi? Gilbert lagi tidur pulas. Tenang!" Dokter Pamela tercengang mendengar ucapan Adista. Wanita berusia senja ini sempat mendengar suara dering ponsel Adista dalam kamar, saat Diana sedang berulah tadi."Aku keluar saat wanita itu ngamuk-ngamuk di halaman tadi.""Kamu ikut dalam mobil Tuan Dylan?"tanya Dokter Pamela semakin tercengang."Iya, Mom. Daripada ketemu wanita itu, jadi tambah pusing dan ribet. Aku pengen istirahat, jadi gak bisa."Dokter Pamela merasa bahagia. Akhirnya, hati putri tercinta luluh juga. Wanita ini dengan tersenyum menutup pembicaraan. "Ya, sudah. Bahagiakan hati kamu, Sayang! Salam buat Tuan Dylan. Hati-hati di jalan.""Oke, Mom."Hubungan telepon antara ibu dan anak ini pun berakhir. Hati Dokter Pamela seketika plong. Wanita ini lal
"Ya, benar. Di samping pembicaraan tentang kongsi dagang, kami berencana mempererat hubungan kekeluargaan. Kamu menikah dengan Paramitha. Cantik, cerdas, dari keluarga baik-baik dan juga pintar berbisnis.""Dylan sudah punya calon istri. Stop memikirkan jodoh aku! Silakan berbisnis Tanpa harus memaksa Dylan menikah demi bisnis. Dylan bukan barang!""Kamu tega sama Ma-Mama." Terdengar barang jatuh."Ma! Mama!" Panggilan Dylan sudah tidak direspon. Dari seberang telepon terdengar suara orang panik dan hubungan komunikasi pun diakhiri sepihak. Dylan jadi cemas karena memikirkan kesehatan mamanya. "Nyonya Kusumasari?"tanya Adista seketika dan Dylan pun langsung mengangguk. Secara tidak langsung, dokter cantik ini telah mengakui tentang jati diri yang ditutupi selama ini."Kita harus segera ke rumah sakit,"ucap Dylan yang langsung menarik tangan Adista ke tempat parkir mobil."Kita ke Singapura?"tanya Adista kaget. Mereka tanpa persiapan apa pun karena memang niat hang out. Ini benar-bena
Pria ini bisa segera mengenali Adista dengan topi pantainya duduk bengong di ruang tunggu. Dylan tersenyum memikirkan sikap konyol mereka. Datang dari pantai Indonesia langsung menuju rumah sakit Singapura tanpa membawa pakaian ganti sepotong pun."Kita beli pakaian ganti,"ucap Dylan pelan dengan memandang mesra kekasihnya. Adista tersenyum manis lalu berucap,"Mungkin hanya kita ke rumah sakit dengan baju pantai."Adista berucap tanpa beban membuat Dylan sedikit ragu-ragu utarakan maksudnya. Namun, hal tersebut harus segera dibicarakan bersama. Pria ini mengajak Adista menuju Far East Plaza yang berjarak sekitar 15 menit dari rumah sakit. Dylan sengaja pakai mobil milik papanya untuk mengajak Adista berkeliling kota sekalian berdiskusi tentang keinginannya. Hingga saat itu tiba ...."Poligami?"tanya Adista dengan kedua mata membulat sempurna. Wanita ini sungguh tidak menyangka, jika Dylan bisa setega itu pada dirinya."Bukan poligami, Sayang. Hanya sampe dia pulih saja. Dia lagi depre
"Bagus itu. Abang tunggu cerita dari kamu,"balas Rendi dengan nada bijak.Akhirnya, sepanjang perjalanan kedua orang ini hanya diam. Hanya Adista yang tampak gelisah dengan sesekali menyeka air mata. Tidak bisa dipungkiri hatinya sangat sakit, hingga membuat rasa sesak dalam dada bagai menusuk-nusuk.Rendi hanya bisa mendiamkan agar wanita di sebelahnya bisa menghabiskan segala gundah. Mereka sampai rumah dalam waktu tiga puluh menit dan Adista telah lebih tenang. Rendi menekan klakson dan dua sekuriti segera membuka pintu gerbang."Selamat sore,"sapa Rendi kepada dua sekuriti."Selamat sore, Pak Rendi, Nona Alena. Tadi ada yang cari Anda, Pak,"balas pria berambut cepak tersebut. Adista tersenyum ke arah sekuriti."Siapa?"tanya Rendi yang penasaran."Yang tadi Bapak antar, kembali ke sini.""Oh, itu. Bilang apa?"tanya Rendi yang segera mengambil ponsel lalu membukanya. Namun, tidak ada notifikasi apa pun di sana. Baik panggilan telepon maupun pesan singkat."Tadi bilang mau ke Singapu
"Ayo, masuk!"ajak wanita tersebut sambil membuka pintu. Sesampai di dalam, Dokter Pamela segera menghidupkan AC. "Biar otak gak ngebul."Rendi yang duduk berbatas meja kerja dengan Dokter Pamela hanya bisa tersenyum, meski terkesan dipaksakan. Wanita ini duduk menghadap Rendi dengan tersenyum tipis. "Apa itu?""Sebentar, Nyonya,"balas Rendi lalu mengeluarkan ponsel dari dalam tas selempang. Beberapa saat pria ini membuka menu dalam ponsel lalu menyodorkan layar ke arah Dokter Pamela. "Ini Dokter.""Ini kan Tuan Dylan. Maksudnya apa?"tanya Dokter Pamela sambil memandang wajah pada layar datar. "Ini foto dari mana?""Dari Diana." Jawaban Rendi seketika membuat Dokter Pamela kaget."Dia dapat dari mana?"tanya Dokter Pamela semakin heran. Rendi tersenyum tipis lalu pria ini menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskan kembali lewat mulut."Diana bilang suaminya telah datang dan ini suami dia,"jawab Rendi."Saya liat Diana ini ada gangguan jiwa. Bisa jadi dia sedang berhalusinasi,"sahut Dok
Apakah dia akan jadi pelakor dalam rumah tangga Dylan dengan Diana?Apakah mereka beneran jadi pasangan suami istri?Ia tidak pernah mau angkat telepon dari Dylan, setelah diberitahu oleh Rendi dan Dokter Pamela tentang pernikahan pria itu. Alena masih teringat dengan pesan terakhir Dylan.[Ini adalah pernikahan siri dan aku akan ceraikan Diana setelah jiwanya stabil. Aku lakukan demi nyawa Mama. Kita akan selalu menikah setelah itu.]Alena hanya membalas singkat. [Aku ingin sendiri.]Setelah itu beberapa kali telepon maupun pesan dari Dylan tidak dihiraukan lagi. Cukup baginya rasa sakit yang tertoreh. Tok! Tok! Tok!"Dokter Adista, keluarlah!"Lamunan Alena seketika buyar demi mendengar seseorang memanggil nama tersebut. Hanya orang-orang tertentu yang tahu nama pemberian orang tua angkatnya itu.Tok! Tok! Tok!Dokter Adista, buka pintu!" Terdengar lagi teriakan seorang wanita.Alena bangkit lalu berjalan menuju pintu. Begitu ia membuka pintu, wanita itu menatapnya tajam. "Dasar p
"Nak, Bapak mendengar langsung seorang dokter bicara ke orang yang mengaku istri Tuan Dylan. Padahal bekas majikan kamu itu pernah ke rumah untuk meminta restu. Dia berniat meminang kamu. Bagaimana mungkin?"tanya Pak Hidayat dengan ekspresi sedih."Bapak sedang berobat?""Iya, Nak. Bapak diantar Ibu sedang kontrol. Kebetulan dilayani oleh Dokter Vira. Kebetulan ada wanita mencari keberadaan Tuan Dylan ke Dokter Vira,"urai Bu Hidayat. Tentu saja ucapan kedua orang tua angkat ini membuat Elena berpikir keras.Ada hubungan apa antara Dokter Vira--dulu sesama perawat--dengan Diana. Elena bisa pastikan itu sebuah persekongkolan. Elena jadi semakin penasaran dengan kabar yang dibawa oleh kedua orang kesayangan tersebut."Bapak dan Ibu dengar Dokter Vira ngomong apa?"tanya Elena."Bapak kamu yang dengar. Ibu menunggu di luar," jelas Bu Hidayat sambil duduk. Elena menyimak omongan ibunya dengan saksama sambil berpikir tentang segala kemungkinan."Nama wanita itu Diana?"tanya Elena kemudian."
"Tempat ini sungguh tidak pantas bagimu, Adista. Sudah seharusnya kamu sadar diri dengan status keluarga kamu. Sok banget ingin bikin Diana menderita di rumah sakit jiwa. Lihatlah sekarang! Hidup Diana gak akan bisa kamu atur sesuka hati bertameng demi kesehatan."Ucapan Vira bernada sangat tajam, menyiratkan penghinan atas kehadiran Alena dengan orang tua asuhnya. Dia khawatir kehadiran Alena akan merusak citra pesta yang begitu terhormat.Diana bahkan menambahkan dengan tudingan yang pedas. "Aku paham akan keadaan ekonomi kamu. Gak sepantasnya kau cari kesempatan mencuri perhiasan keluarga Albert Binar. Setelah mencuri dengan enaknya kabur."Kedua mata Diana menyelidiki dengan tajam perhiasan yang dipakai Alena. Wanita dengan pandangan masih belum bisa fokus ini mau melanjutkan kata-kata kembali. Namun, sebelum Diana melanjutkan ucapan, Alena secara mengejutkan telah mengempaskan kasar tangan Diana yang hendak meraih kalung Alena. "Jangan pernah menyentuhku!"seru Alena dengan panda