Konflik antara ketiga wanita semakin memanas. Pesta yang seharusnya sebagai sebuah ajang kegembiraan, justru berubah menjadi sebuah pertarungan ego dan flexing harta masing-masing.“Terserah kalian! Mau percaya apa kaga? Aku harap kalian tidak jadi bertambah gila karena ini," ucap Alena yang mengakhiri pertikaian dengan menjentikkan dua jari di depan mic yang sedang dipegang oleh MC acara.Layar besar di dinding segera menyala. Dalam tampilan layar tersebut muncul panorama keindahan hotel. Objek beralih menuju bagian depan hotel hingga rooftop. Tayangan layaknya film dokumenter. Semua hal tentang hotel diliput secara detail.Akhirnya, beralih ke semua jajaran manajemen hotel termasuk karyawan honorer. Detik-detik akhir film menayangkan pemilik beserta seluruh anggota keluarga. Tampak Tuan Syailendra Wijaksana beserta istri dan anak semata wayang mereka. Rekaman keluarga ini diambil berpuluh tahun yang lalu.Seorang gadis kecil berusia dua tahun dalam tayangan yang merupakan ahli waris
"Bapak kok gak bilang aku, kalo diberi kaki palsu sama Tuan Dylan? Gimana, sih? Bapak dan Ibu perlu tahu, dia itu suami dari Nona Diana. Apa kalian suka, kalo aku dicap pelakor?" Alena tampak sangat kecewa mendengar ucapan bapak angkatnya."Bapak minta maaf, Nak. Sungguh gak kepikiran sampai ke sana. Tuan Dylan sering ke rumah sejak kamu berhenti kerja. Gak tahu, kalo beliau telah menikah dengan Nona Diana. Sebaiknya Bapak balikkan saja kalo gitu.""Ibu setuju, Pak. Lebih baik dikasihkan kembali dan kita ngomong apa adanya, biar Tuan Dylan gak tersinggung. Kalo memang suami Nona Diana, kenapa tadi gak ikut hadir di hotel?"tanya Bu Hidayat dengan nada heran."Bisa jadi Tuan Dylan sedang ada pesanan khusus yang harus ditangani. Beliau itu super chef paling terkenal di kota ini," jelas Alena dengan pandangan fokus ke depan.Ketiga orang dalam mobil tidak tahu bahwa pria yang mereka bicarakan berada beberapa di belakang mereka. Dia sengaja mengikuti mobil Alena. Dylan merutuki dirinya yan
Alena tersipu malu mendengar pujian tersebut. Dylan menutup pintu lalu menuju kursi kemudi. "Pasang ini, biar aman." Dylan meraih seat belt dan memasangkannya.Alena menahan napas saat wajah mereka begitu dekat. Sampai embusan napas hangat Dylan menerpa wajah Alena. Tanpa diduga pria ini mendaratkan kecupan yang begitu dalam ke bibir Alena. Kedua insan benar-benar menikmati rasa rindu yang tersalurkan.Alena membuka bıbırnya. Dylan melumat bıbır wanita ini lembut dan mulai memasukkan lidahnya ke dalam mulut Alexa. Dokter cantik mendesah sexy dan mendorong leher si pria agar memperdalam ciumannya.Pagutan mesra mereka berlangsung lama dan semakin memanas. Dylan menurunkan ciumannya ke leher Alena. Wanita ini memejamkan matanya, merasakan sensasi rasa yang diberikan Dylan. Pria ini mendorong Alena ke sandaran mobil. Dia menciumi wanita itu dengan penuh gairah.Alena semakin larut dalam alur permainan liar lalu menyebutkan nama Dylan dengan lembut. Hal tersebut membuat Dylan menegang te
"Tapi, Vira, ada yang lapor ke polisi. Orang ini bawa bukti rekaman CCTV dan juga rekam jejak medis. Gimana, dong?""Coba tanya ke dia langsung! Gue pikir, bukan dia yang bikin laporan. Apa mungkin Dokter Pamela yang lapor polisi?""Vira, gimana kalo kita bertiga diskusikan soal ini. Gue kaga mau kehilangan suami kedua kalinya. Apa pun yang terjadi, gue kaga mau pisah sama Dylan.""Ya, gue paham. Dylan memang cinta sejati lu. Buruan lu siap-siap! Gue jemput lu sekarang." Suara Vira terdengar tenang. Wanita ini memang sudah ahli dalam bermain peran.Diana segera mempersiapkan diri. Setelah itu dia cekatan menelepon Vira. Wanita ini punya rencana lain. Dia meraih ponsel dari atas nakas. Tak butuh waktu lama, panggilan telah dijawab Vira."Lu udah siap?"tanya Vira dari ujung telepon."Gue mau telepon Dylan dulu. Jangan sampai dia cariin gue," balas Diana dengan percaya diri. Dia membayangkan Dylan yang selalu khawatir akan keadaan dirinya. Diana tersenyum."Ya, sudah. Begitu lu udah siap
Ck, pemandangan yang sangat menyebalkan! Mereka seperti sepasang kekasih yang baru pulang kencan. Hati Diana terbakar cemburu menyaksikannya. Ada hawa panas yang bergelora di dalam dada, membuat wajahnya ikut serta merasa hangat."Sudah puas jalan-jalan dengan suami orang?" tanya Diana tanpa basa-basi setelah berdiri di samping Alena.Wanita dengan dress selutut tersebut melirik sekilas pada Diana, lalu kembali melayangkan pandangan pada mobil yang bahkan sudah tidak terlihat lagi wujudnya itu. Diana menatap tubuh Alena dari ujung kaki sampai ujung kepala. Wanita ini tampak cantik dengan riasan wajahnya. Diana semakin terbakar cemburu. Wanita di sebelahnya telah melakukan kencan istimewa dengan suaminya.Alena membalikkan tubuhnya, tanpa menjawab apa-apa dia melangkah lurus tanpa memperdulikan Diana yang masih berdiri dengan menatapnya sengit.Apa-apaan dia? Apakah dia tidak merasa bersalah sedikit pun? Kemarahan Diana semakin menjadi dan tak habis pikir dibuatnya."Shit!" umpat Dian
Wanita berbadan tambun ini menggeliat lalu menguap dengan mulut lebar. Kedua tangan direntangkan ke atas."Hoaam ... Ada apa, sih?"tanya Diana tanpa dosa. Kedua matanya diusap-usap dengan ujung jari. Wanita ini lalu bangkit dan duduk sambil menatap bingung ke arah Vira."Buruan mandi! Kita ditunggu Bang Rendi," ucap Vira sambil geleng-geleng kepala. Mau gimana lagi, dia pun harus paham dengan keadaan mental Diana yang belum stabil."Ya, sebentar." Diana pun beranjak menuju kamar mandi dan Vira pun harus pasrah menunggu dengan menghitung detik jam yang menempel pada dinding.Ponsel Vira bergetar. Sebuah notifikasi dari sebuah aplikasi pesan singkat masuk dengan Rendi tertera pada layar.[Apakah perlu aku jemput?]Vira dibuat semakin geleng-geleng kepala dengan perhatian Rendi terhadap Diana. Wanita ini berpikir, apa yang dilihat dari seorang Diana dalam pandangan Rendi. Secara pria ini adalah seorang analis kesehatan sekaligus kepala laboratorium rumah sakit ternama. Seorang pria mapa
Alena yang ikut rombongan, gegas naik ke kursi penumpang. Tubuh Dylan direbahkan ke kursi. Alena memandangi wajah pria tersebut dengan tersenyum. Mobil pun mulai bergerak meninggalkan area hotel berbintang.Sementara dari arah tempat parkir para pengunjung hotel, Vira dan Diana datang dengan langkah kaki tergopoh-gopoh. Kedua wanita ini merasa cemas sekaligus lega, skenario yang direncanakan telah berhasil dijalankan oleh Rendi. Suara sirine polisi membuat kedua wanita seketika menoleh karena kaget."Kenapa ada polisi?"tanya Diana kepada Vira."Bisa jadi ada masalah dalam hotel. Skenario kita berada di bar," balas Vira berusaha menenangkan hati Diana.Sementara dalam bar, Rendi sedang sibuk menelepon Alena. "Gimana keadaan Dylan? Ide kamu benar-benar gila!""Tenang, Bang! Ini juga demi misi rahasia kamu biar berhasil. Selamat tinggal, Abang. Terima kasih atas kerjasamanya. Aku pantau kabar Abang," ucap Alena dari seberang telepon.Dari arah lobby Diana dan Vira berjalan menuju bar rua
Wanita ini masih menghentak-hentakkan kaki ke lantai. Para petugas sabar menanti kemarahan Vira reda. Setelah beberapa saat meluapkan emosi, akhirnya Vira bisa bersikap lebih tenang."Aku hanya ingin Diana bisa bahagia dengan Tuan Dylan. Itu saja, Pak,"ucap Vira yang mulai kepayahan dengan air mata berderai."Anda seorang dokter. Sudah seharusnya bisa bersikap lebih manusiawi. Semua masalah bisa dibicarakan baik-baik,"ucapan seorang petugas dengan nada bicara santai. Mereka ditugaskan untuk mengorek semua informasi dari Vira. Akhirnya sesuai skenario yang dibuat oleh Alena dan Rendi, hanya Vira yang ditahan untuk proses lebih lanjut. Rendi dengan kaki ringan keluar dari kantor polisi pada dini hari. Pria berprofesi bonafit sebagai analis kesehatan beranjak menuju rumah sakit jiwa.Dalam hati Rendi hanya ingin mendampingi wanita yang tengah mengandung anaknya. Saat Rendi masuk kamar perawatan, tidak ada ekspresi keterkejutan dari Diana. Wanita yang mentalnya sedang terguncang lagi ter
"Iya. Mama paham. Alena cinta Dylan dan kamu dianggap sebagai Abang.""Buat apa mencintai pria yang sering menyakiti hati? Aku baru kali ini bikin luka hati Alena, itu pun terpaksa kulakukan. Aku ingin Alena hanya untukku dan rasa cinta bisa ditumbuhkan pelan-pelan."Dokter Pamela sudah tidak bisa menanggapi omongan Rendi. Dia akan pasrahkan keputusan akhir kepada Alena. Padahal saat ini kondisi psikis Alena belum stabil. Pemilik klinik kesehatan ini harus pandai-pandai mengatur strategi agar sama-sama nyaman."Kali ini Mama mohon belas kasihan dari kamu. Tunggu keadaan Alena sampai sehat dulu. Tolong jangan ganggu dengan situasi yang bisa memicu kepanikan dia. Bisa, kan?"Permintaan dari Dokter Pamela ini layaknya buah simalakama bagi Rendi. Di satu sisi, ia ingin segera menikah dengan Alena dan di sisi yang lain, dia terpaksa menuruti kemauan wanita yang telah banyak berjasa dalam hidupnya itu. Tiada lagi yang bisa Rendi lakukan, selain ...."Baik, Ma! Aku akan tunggu sampe Alena pu
Setelah itu, Dokter itu menutup pintu lalu buru-buru ke ruang kemudi. Mereka harus segera menemui psikiater langganan Alena. Sejak kasus penculikan dan pelecehan di gudang milik Pak Gunadi, Alena menjadi pelanggan setia psikiater. Hal ini sudah berhasil disembuhkan, akan tetapi kambuh kembali karena guncangan yang dialaminya kembali. Anxiety disorder yang dialami oleh Alena, sudah lama sembuh. Namun gangguan tersebut sekarang mulai terlihat gejalanya kembali. Wanita cantik ini tampak gelisah, sekujur tubuh gemetar dengan keringat membasahi raut wajah dan leher. Dalam waktu 30 menit, mereka pun telah sampai tujuan. Alena yang masih dilanda kecemasan duduk meringkuk dengan tubuh menggigil. Dokter Pamela langsung memeluknya. Wanita ini berkata,"Tenang, Sayang! Mama ada sama kamu." Beberapa saat, Dokter Pamela perlu memberi waktu pada Alena agar bisa stabil emosinya. Setelah Alena sedikit tenang, akhirnya mereka keluar mobil dan langsung menuju ruang pemeriksaan. Psikiater melakuka
"Syok! Bangun dari tidur tanpa pakaian ditutup selimut.""Oke. Kita lapor polisi. Bisa-bisanya, tadi di kafe, dia gak bilang apa-apa ke Mommy."Baru juga mulut Dokter Pamela berhenti berucap, terdengar nada dering ponsel. Wanita ini mengambilnya dari dalam tas. Ia menatap layar ponsel lalu menoleh ke arah Alena."Rendi,"ucapnya hampir seperti orang berbisik."Apa pun ucapan dia, Mommy gak boleh pergi!"pinta Alena segera.Dokter Pamela pun mengangguk lalu menerima panggilan masuk."Iya, Ren. Ada apa?"tanyanya kepada anak angkatnya itu."Mama ada di mana? Aku mau bicara empat mata,"balas Rendi dari ujung telepon."Mama lagi home care, nih,"jawab Dokter Pamela yang langsung diacungi jempol oleh Alena."Kapan selesai, Ma?""Bisa sejam atau lebih. Setelah perawatan biasanya ada sesi diskusi. Ada apa, sih? Macam emergency saja,"sahut Dokter Pamela berniat memancing omongan lawan bicaranya."Bisa dibilang gitu. Hari ini aku harus bisa bicara dengan Mama.""Ngomong saja sekarang. Sama saja,
Ia memesan segelas jus jeruk lalu dengan pandangan tajam menatap ke arah jalan. Mobil Dokter Pamela sudah memasuki tempat parkir. Mata Alena terbelalak, di belakangnya muncul mobil Rendi."Bulshit! Ngapain ngikut?"keluh Alena dengan suara lirih. Rasa kesalnya membuat gigi-giginya gemerutuk. Ia ambil daftar menu buat menutup wajahnya. Kemudian dari baliknya ia mengintip ke arah pintu masuk.Kini tampak Rendi sudah berjalan menghampiri Dokter Pamela. Alena semakin ambil sikap. Beruntung, di saat pikiran wanita ini sedang buntu, ada seorang waiters melintas. Alena segera memanggilnya lirih."Maaf, boleh sAya minta tolong?"tanya Alena dengan sedikit membungkuk."Silakan, Nyonya,"balas si waiters ramah."Boleh saya minta secarik kertas?"tanya Alena lagi.Waiters tersebut segera menyobek selembar kertas dari book note yang dibawanya. "Silakan, Nyonya!"Waiters itu mengulurkan kertas beserta bolpoin. Alena menerima dengan tersenyum."Saya tulis pesan dulu,"ucap Alena. Dokter muda ini buru-bu
"Bang, kamu panggil aku apa?" "Sepertinya tadi aku harus lebih keras lagi saat memanggilmu, Sayang." Rendi semakin terkekeh. "Mulai sekarang, itu panggilan untuk kamu, Alena. Sejak semalam, kamu sudah menjadi milikku. Itu artinya, kamu tidak boleh pergi. Apalagi, tadi malam Abang tidak menggunakan pengaman dan mengeluarkannya di dalam. Abang berharap kamu hamil." Betapa kaget Alena mendengar penjelasan dari Rendi. Dengan kedua mata melotot, ia pun bertanya,"Apa maksud Abang? Sengaja bikin aku hancur? Suka liat Mommy terpuruk?" Rendi segera merangkul tubuh Alena. Pria dengan menitikkan air mata berucap,"Abang ingin jagain kamu. Abang cinta kamu sejak awal kita pertemu. Abang gak rela disakiti Dylan lagi." "Bukan begini caranya, Bang!"teriak Alena lalu membalut rapat tubuhnya dengan selimut. Ia bangkit lalu mengambil pakaian di atas kasur. Ia berlari menuju kamar mandi. Rendi mengejar langkah kaki Alena. Pria ini berdiri di depan pintu kamar mandi. Ia tidak akan menyesali apa pun ya
Sedang asyik menikmati pemandangan alam tiba- tiba sepasang tangan melingkar di pinggangnya dan deru nafas hangat mendekati daun telinga Alena."Kamu suka?"tanya Rendi berbisik.Seperti terkena hipnotis, Alena mengangguk dan mengukirkan lengkung senyuman di kedua pipi. Namun, tak lama ia berjengit kaget setelah menyadari sesuatu.Saat itulah, Alena kembali tersadar akan kenyataan. Ia buru-buru melepaskan diri dari Rendi. Ia mendorong pria tersebut agar menjauh."Kenapa Abang bawa aku ke sini?"tanya Alena terdengar geram. Gigi-giginya terdengar gemerutuk. Ia begitu benci dengan situasi seperti saat ini. Ia semakin ngeri berhadapan dengan Rendi."Aku ingin menyelamatkan kamu dari Dylan. Dia tak pantas untukmu. Pria plin-plan seperti dia, akan selalu membuatmu sakit hati. Apalagi dengan keadaan kamu yang sekarang. Abang khawatir itu jadi alasan dia untuk mendua atau bahkan meninggalkan kamu,"ungkap Rendi dengan tatapan sendu ke arah Alena."Bang, ingat! Aku sudah tunangan dengan Tuan Dy
"Mbok Darmi?" Terdengar suara Alena yang terbata-bata dari dalam kamar. "Tolong buka pintu, Non!" Akhirnya terdengar suara langkah kaki menuju pintu. Pada saat pintu terbuka, tampak wajah sembab Alena yang sehabis menangis. Jejak basah masih menggenang pada pelupuk mata dan pipi. Alena menyeka jejak itu dengan ujung lengan baju. "Non, apa yang terjadi?"tanya Mbok Darmi dengan wajah cemas. "Gak ada apa, Mbok. Tolong bikinkan aku jus jeruk,"ucap Alena terdengar terbata-bata. Hatinya terlampau sakit dan itu membuat suaranya serak. "Mbok akan bikinkan. Tapi, kalo ada sesuatu gak mengenakkan, Non bisa cerita ke Mbok. Jangan dipendam sendiri!" "Iya, Mbok. Makasih, ya,"balas Alena yang beranjak menuju jendela. Ia membuka kacanya lalu menikmati pemandangan di hadapannya. Ia ingin menggalau ingatan tentang kejadian barusan. "Mbok, tinggal ke dapur dulu." Ucapan Mbok Darmi tanpa balasan dari Alena. Wanita tua ini beranjak keluar kamar lalu menutup pintu. Alena menatap hamparan la
"Oke. Aku tunggu di sana." Terdengar suara langkah kaki menjauh. Alena menutup program dalam layar laptopnya lalu berjalan menuju toilet. Ia membasuh muka beberapa saat. Setelah itu menyeka wajah sambil menarik napas dalam-dalam. Ia embuskan napas kembali dengan perasaan sedikit lega.Kini langkah kaki wanita berambut lebat tersebut mengarah menghampiri Dylan. Ia harus bisa berbicara secara mendetail dengan calon suaminya. Saat dirinya sampai, tampak Dylan sedang mengobrol dengan Rendi. Begitu wanita ini mendekat, kedua pria buru-buru mengakhiri pembicaraan."Aku harus pergi menemui Mama. Kalian jaga rumah baik-baik,"ucap Rendi seraya berdiri. Ia menepuk bahu Dylan lalu berjalan menghampiri Alena. Ia pun berbicara lirih kepada adik angkatnya itu. "Ada apa-apa, buruan kasih kabar!""Baik, Bang,"balas Alena pelan sambil mengangguk. Rendi berlalu menuju anak tangga dan Alena melihat kepergiannya sampai menghilang dari pandangan. Dylan yang tidak sabaran lalu bangkit dan berjalan mendek
Analis ini menautkan kedua alis setelah membaca isi kertas tersebut. la menatap Dylan, seolah-olah bertanya maksud dari kertas ini."Gue nggak tau siapa yang kirim kertas itu, tapi gue rasa ada yang janggal,"jelas Dylan berhati-hati."Janggal gimana? Emang yang dia maksud anaknya siapa?"tanya Rendi seraya menatap tajam ke arah Dylan."Alena ... maybe.""Dia sedang berjalan kemari,"ucap Rendi memperingatkan Dylan. Saat menoleh ke arah dalam, ia melihat kehadiran wanita itu. "Pergi saja ke laboratorium! Aku sempat minta tes kesuburan terhadap Abimana.""Oke. Lebih baik aku ke sana dulu sebelum menemui Abimana,"balas Dylan. Ucapan Dylan berakhir tepat pada saat langkah kaki Alena sampai di dekat mereka. Ia membawa cemilan untuk menemaninya menonton drama Korea. Sebungkus besar kacang telur dan sebotol jus mangga berada dalam genggamannya. "Ada yang mau temani aku nonton tivi?"tanya Alena dengan wajah memelas.Rendi seketika menyenggol perut Dylan. "Biar Abang saja yang temani kamu. Dyl