"Untuk apa kau menanyakan hal aneh-aneh pada Berlin? Kau tahu sesuatu tentang Berlin?" tanya Devan pada Vernon."Kenapa? Kau penasaran apa yang temukan tentang gadismu?" cibir Vernon."Apa yang kau temukan tentang Berlin?""Cari tahu saja sendiri!" ketus Vernon."Hei, kau berani—""Aku akan profesional menyangkut pekerjaan. Tapi soal Berlin, itu adalah masalah pribadimu! Aku juga punya kehidupan pribadi yang harus kuurus! Aku juga punya rasa lelah! Aku sudah lelah menjadi kacungmu selama belasan tahun ini!" ungkap Vernon.Untuk pertama kalinya, pria yang pernah menjadi kakak angkat dari Devan itu mengutarakan isi hatinya dan rasa lelahnya menjadi babu di keluarga Devan selama bertahun-tahun."Kau sedang protes? Apa Ayah memberimu banyak pekerjaan?" tanya Devan.Setelah mengingat kembali masa lalunya yang menyakitkan bersama keluarga Devan, Vernon mendadak berubah dan ingin mengakhiri sakit hati yang dipendamnya selama ini.Melihat Berlin dan Sheena membuat dirinya teringat kembali pad
Vernon dan Devan terdiam dan diselimuti suasana canggung. Kedua pria itu saling membuang muka dengan perasaan malu bercampur jijik setelah apa yang diucapkan oleh Devan."Kau bisa mengambil liburan. Aku harus pergi!" ujar Devan bergegas melarikan diri dari suasana kikuk itu.Devan segera melajukan kendaraannya menuju menjauh dari Vernon dan menuju ke rumah sakit tempatnya akan menerima terapi."Aku masih normal. Aku masih normal. Aku masih normal! Kenapa aku mengatakan hal menjijikkan seperti itu pada Vernon?" gerutu Devan kesal pada dirinya sendiri.Pria itu memberhentikan kendaraannya sejenak, kemudian menghubungi sang kekasih yang kini tengah menunggunya di rumah."Halo, Sayang? Aku mencintaimu, Berlin. Aku mencintaimu. Aku masih sangat sangat menyukai wanita!" ujar Devan begitu Berlin mengangkat panggilan telepon darinya."Devan? Kau ini kenapa? Kau sekarat?" tanya Berlin."Aku baru saja mengatakan hal yang tidak pernah kubayangkan pada seorang pria. Sepertinya otakku mulai rusak,
Tok, tok!Berlin bergegas membuka pintu kamarnya begitu terdengar suara ketukan menggema ke telinganya.Gadis itu agak terkejut melihat Vernon yang sudah berdiri tepat di hadapannya."Devan tidak ada," ujar Berlin mengira Vernon datang mencari Devan."Aku tidak mencari Devan. Aku datang untuk mencarimu," ungkap Vernon."Bisa kita bicara sebentar?" pinta Vernon."Tentu!" sambut Berlin.Gadis itu mengaduk-aduk dua cangkir teh manis hangat, kemudian menyodorkannya pada Vernon yang sudah duduk manis di meja makan."Kak Vernon tidak mengantar Devan ke rumah sakit?" tanya Berlin berbasa-basi."Tidak!" jawab Vernon singkat."Aku ke sini bukan untuk membahas Devan. Aku ingin mengembalikan barang milikmu," ujar Vernon sembari mengulurkan wadah kecil berisi barang milik Berlin."Barang apa?" tanya Berlin dengan dahi berkerut.Gadis itu melirik ke dalam kantong yang diberikan oleh Vernon dan melihat syal serta tas kecil miliknya yang dibawakan oleh Vernon."Kau meninggalkan barang itu di rumah s
"Dokter yakin terapi ini bisa efektif, kan?" tanya Devan usai rangkaian terapi yang ia lakukan selesai."Semoga saja Tuan Muda bisa cepat pulih. Hal terpenting adalah menjaga kesehatan fisik dan suasana hati Tuan. Selama suasana hati Tuan bagus, pengobatan juga akan berjalan lancar karena didukung oleh aura positif yang terpancar dari mood yang baik," terang dokter.Devan meninggalkan gedung rumah sakit dan bergegas pulang untuk segera menjumpai sang kekasih hati yang menunggunya di rumah.Pria itu menyempatkan diri membelikan buket bunga cantik untuk Berlin, sebelum dirinya kembali pulang."Apa sebaiknya aku membawa Berlin berkencan sekarang?" gumam Devan.Di rumah Devan, Berlin tengah berdiri mematung di ambang pintu, menanti kepulangan sang kekasih.Gadis itu menatap nanar ke arah pintu gerbang kediaman milik Devan yang tak kunjung terbuka, menyambut kepulangan sang tuan rumah.Perkataan Vernon membuat gadis itu benar-benar kacau dan diliputi rasa penasaran."Tidak mungkin Devan te
Berlin melepas pelukan Devan darinya dengan kasar. Gadis itu masih menampakkan wajah masam pada Devan yang tak juga memberikan penjelasan padanya."Kau belum menjawab pertanyaanku!" cetus Berlin dengan wajah dingin.Devan menghela nafas sejenak, mencoba merangkai kata yang pas untuk dikatakan pada Berlin."Apa yang akan kau lakukan jika itu benar?" tanya Devan dengan penuh hati-hati.Berlin menepis tangan Devan yang bertengger di pinggangnya, kemudian berbalik badan untuk menuju kamar Devan dengan niat ingin mengemas barangnya."Kau sudah tahu jawabannya! Mana mungkin aku mau hidup bersama orang yang telah menghancurkan hidupku!" tukas Berlin sembari berjalan cepat menuju kamar, tanpa menoleh sedikitpun ke arah Devan."Berlin, dengarkan penjelasanku dulu!" "Penjelasan apa? Cepat katakan! Penjelasan apa yang ingin kau katakan padaku?" sentak Berlin seraya melempar tatapan tajam pada Devan."Itu hanya masa lalu, kan? Aku ... minta maaf," ucap Devan lirih.Berlin menatap sinis ke arah D
"Duniaku sudah runtuh, Devan!" ungkap Berlin menatap Devan dengan sorot mata penuh amarah."Kaulah yang meruntuhkannya!" sambung Berlin sarkas.Gadis itu memilih untuk menutup mata agar wajah Devan tak terus-terusan nampak di depan penglihatannya. Tubuh Berlin yang sudah lemas karena serangan dari Devan, membuat gadis itu tak bisa banyak bergerak dan terpaksa harus tetap berada di rumah Devan sampai rasa lelahnya menghilang."Kalau kau pergi dariku ... duniaku yang akan runtuh, Berlin. Aku minta maaf," ucap Devan penuh sesal."Aku menyesal ... tapi aku juga bersyukur. Rasa benci dan kesalku padamu di masa lalu telah mempertemukan kita kembali," ujar Devan."Aku tidak ingin mendengarnya!""Mungkin kau tidak ingat, tapi ini bukan pertama kalinya aku jatuh hati padamu, Berlin. Dulu kau bilang aku hanyalah laki-laki gendut yang hanya bisa membuat ranjangmu menjadi sempit," ungkap Devan."Aku sangat kesal dan bertekad untuk menguruskan tubuh, kemudian mencarimu kembali," terang Devan mulai
Devan terus menatap Berlin yang tengah bersiap untuk pergi ke bandara. Pria itu dapat memaklumi jika Berlin merasa marah dan kesal padanya.Namun, tetap saja Devan tak rela jika Berlin ingin benar-benar pergi darinya. Baru saja pria itu membulatkan tekad untuk sembuh demi Berlin dan menjalani pengobatan di Jerman dengan sungguh-sungguh, tapi niatnya kembali terganjal karena keributan yang terjadi di antara mereka."Aku tidak boleh mencarimu?" tanya Devan lirih."Lebih baik kita tidak berhubungan lagi untuk sementara waktu. Mungkin jika kita saling merindukan, aku bisa lebih mudah memaafkanmu," tukas Berlin."Bagaimana kalau setelah ini ... kita tidak lagi memiliki kesempatan untuk berjumpa kembali?" Berlin menoleh ke arah Devan dan menatap wajah kusut sang kekasih yang memandangnya dengan sorot mata penuh kepiluan."Kau ingin membujukku dengan wajah memelasmu?" cibir Berlin."Aku telah berusaha menghormati keputusanmu.
"Jangan tinggalkan aku, Berlin! Bagaimana aku bisa hidup tanpamu? Bagaimana aku bisa berjalan sendirian di tempat gelap seperti ini? Bagaimana aku bisa ... melanjutkan hidupku yang payah ini?" racau Devan dengan mata yang sudah basah.Berlin mengusap punggung Devan dengan lembut dan menghadirkan rasa nyaman pada pria yang mempunyai masalah kesehatan mental itu.Tak lama kemudian, Devan benar-benar tersadar dari amukannya dan mulai menyadari jika kamar yang ditempati olehnya sudah berantakan.Pria itu juga mulai mengenali wajah kekasihnya yang sudah berurai air mata dengan lengan berlumuran darah."B-berlin? Bagaimana kau bisa masuk?" tanya Devan begitu terkejut saat melihat Berlin yang sudah berada dalam pelukannya dengan kondisi yang memprihatinkan."Kau sudah sadar?" Berlin memeluk sang kekasih dengan erat dan kembali banjir air mata."Kau baik-baik saja 'kan, Devan? Kau membuatku takut," cetus Berlin dengan suara parau.