Berlin melepas pelukan Devan darinya dengan kasar. Gadis itu masih menampakkan wajah masam pada Devan yang tak juga memberikan penjelasan padanya."Kau belum menjawab pertanyaanku!" cetus Berlin dengan wajah dingin.Devan menghela nafas sejenak, mencoba merangkai kata yang pas untuk dikatakan pada Berlin."Apa yang akan kau lakukan jika itu benar?" tanya Devan dengan penuh hati-hati.Berlin menepis tangan Devan yang bertengger di pinggangnya, kemudian berbalik badan untuk menuju kamar Devan dengan niat ingin mengemas barangnya."Kau sudah tahu jawabannya! Mana mungkin aku mau hidup bersama orang yang telah menghancurkan hidupku!" tukas Berlin sembari berjalan cepat menuju kamar, tanpa menoleh sedikitpun ke arah Devan."Berlin, dengarkan penjelasanku dulu!" "Penjelasan apa? Cepat katakan! Penjelasan apa yang ingin kau katakan padaku?" sentak Berlin seraya melempar tatapan tajam pada Devan."Itu hanya masa lalu, kan? Aku ... minta maaf," ucap Devan lirih.Berlin menatap sinis ke arah D
"Duniaku sudah runtuh, Devan!" ungkap Berlin menatap Devan dengan sorot mata penuh amarah."Kaulah yang meruntuhkannya!" sambung Berlin sarkas.Gadis itu memilih untuk menutup mata agar wajah Devan tak terus-terusan nampak di depan penglihatannya. Tubuh Berlin yang sudah lemas karena serangan dari Devan, membuat gadis itu tak bisa banyak bergerak dan terpaksa harus tetap berada di rumah Devan sampai rasa lelahnya menghilang."Kalau kau pergi dariku ... duniaku yang akan runtuh, Berlin. Aku minta maaf," ucap Devan penuh sesal."Aku menyesal ... tapi aku juga bersyukur. Rasa benci dan kesalku padamu di masa lalu telah mempertemukan kita kembali," ujar Devan."Aku tidak ingin mendengarnya!""Mungkin kau tidak ingat, tapi ini bukan pertama kalinya aku jatuh hati padamu, Berlin. Dulu kau bilang aku hanyalah laki-laki gendut yang hanya bisa membuat ranjangmu menjadi sempit," ungkap Devan."Aku sangat kesal dan bertekad untuk menguruskan tubuh, kemudian mencarimu kembali," terang Devan mulai
Devan terus menatap Berlin yang tengah bersiap untuk pergi ke bandara. Pria itu dapat memaklumi jika Berlin merasa marah dan kesal padanya.Namun, tetap saja Devan tak rela jika Berlin ingin benar-benar pergi darinya. Baru saja pria itu membulatkan tekad untuk sembuh demi Berlin dan menjalani pengobatan di Jerman dengan sungguh-sungguh, tapi niatnya kembali terganjal karena keributan yang terjadi di antara mereka."Aku tidak boleh mencarimu?" tanya Devan lirih."Lebih baik kita tidak berhubungan lagi untuk sementara waktu. Mungkin jika kita saling merindukan, aku bisa lebih mudah memaafkanmu," tukas Berlin."Bagaimana kalau setelah ini ... kita tidak lagi memiliki kesempatan untuk berjumpa kembali?" Berlin menoleh ke arah Devan dan menatap wajah kusut sang kekasih yang memandangnya dengan sorot mata penuh kepiluan."Kau ingin membujukku dengan wajah memelasmu?" cibir Berlin."Aku telah berusaha menghormati keputusanmu.
"Jangan tinggalkan aku, Berlin! Bagaimana aku bisa hidup tanpamu? Bagaimana aku bisa berjalan sendirian di tempat gelap seperti ini? Bagaimana aku bisa ... melanjutkan hidupku yang payah ini?" racau Devan dengan mata yang sudah basah.Berlin mengusap punggung Devan dengan lembut dan menghadirkan rasa nyaman pada pria yang mempunyai masalah kesehatan mental itu.Tak lama kemudian, Devan benar-benar tersadar dari amukannya dan mulai menyadari jika kamar yang ditempati olehnya sudah berantakan.Pria itu juga mulai mengenali wajah kekasihnya yang sudah berurai air mata dengan lengan berlumuran darah."B-berlin? Bagaimana kau bisa masuk?" tanya Devan begitu terkejut saat melihat Berlin yang sudah berada dalam pelukannya dengan kondisi yang memprihatinkan."Kau sudah sadar?" Berlin memeluk sang kekasih dengan erat dan kembali banjir air mata."Kau baik-baik saja 'kan, Devan? Kau membuatku takut," cetus Berlin dengan suara parau.
Devan menyeret koper Berlin menuju bandara dan mengantarkan sang kekasih yang hendak pulang ke negara tercinta.Pria itu terus menampakkan wajah murung selama dalam perjalanan menuju bandara. Devan tentu sangat kecewa dengan keputusan Berlin yang memilih untuk meninggalkannya. Namun, pria itu juga bersyukur dirinya tak akan lagi membuat Berlin menderita dengan menghadapi amukan darinya saat ia tengah dilanda kemarahan yang tak terkendali."Kau sudah memesan tiket baru?" tanya Devan memecah keheningan."Sudah. Beruntung ada penumpang yang membatalkan keberangkatan, jadi aku berhasil mendapatkan tiket untuk pulang malam ini juga," jawab Berlin."Lenganmu masih sakit?" tanya Devan lagi."Sudah tidak terlalu,""Apa rencanamu setelah kembali nanti? Kau sudah memiliki rencana?" tanya Devan tak henti-hentinya menghujani Berlin dengan berbagai pertanyaan."Belum,""Kau ... tidak akan menjadi sugar baby lagi, kan? Jangan layani nafsu pria di ranjang lagi! Aku sudah mengalihkan seluruh uang ya
"Devan!" Bukannya mendengar suara panggilan dari gadis pujaannya, pria itu justru disambut oleh gadis lain yang tak diharapkannya.Secara kebetulan Sheena bertemu dengan Devan di bandara saat gadis itu terbang ke Jerman untuk menyusul tunangannya."Kenapa kau bisa ada di sini? Kau tahu aku akan datang hari ini?" tanya Sheena dengan senyum sumringah."Kenapa kau ada di sini?" tanya Devan ketus. Ia benar-benar tak menyangka bisa melihat wajah menyebalkan Sheena secara kebetulan."Kenapa kau bilang? Untuk apa lagi jika bukan untuk menyusulmu!" tukas Sheena, kemudian melompat ke pelukan Devan.Tepat saat Sheena memeluk Devan, tampak tak jauh dari Devan, berdirilah seorang gadis yang berlarian di bandara demi mengejar Devan.Setelah gadis itu berhasil menemukan Devan, tak disangkanya pria yang hendak disusulnya itu ternyata kini tengah berpelukan dengan wanita lain.Siapa lagi gadis itu kalau bukan Berlin. Kekasih Devan itu mengurungkan niatnya untuk kembali ke negara asal, dan memilih un
Devan dan Berlin saling diam di dalam mobil Devan. Pria itu sengaja mengurung Berlin di dalam mobil untuk memberikan penjelasan mengenai Sheena.Namun, Berlin tampaknya tak mau menggubris dan bahkan membuang muka pada Devan."Berlin, tidak bisakah kau melihat wajahku sebentar saja?" pinta Devan."Aku dan Sheena ... memang sempat merencanakan pernikahan. Keluargaku dan keluarga Sheena yang mengaturnya. Aku tidak pernah peduli pada keinginan ayahku. Aku juga tidak terlalu peduli dengan rencana pernikahan. Hanya Sheena saja yang terlalu antusias. Selebihnya, tidak ada hubungan khusus antara aku dengan Sheena," terang Devan."..." Berlin masih diam seribu bahasa.Gadis itu nampak bingung bagaimana ia harus bereaksi di depan Devan. Semua yang Sheena katakan memang benar. Berlin memang hanyalah mainan sejak awal. Dan mungkin akan tetap menjadi mainan, karena nyatanya pria itu telah memiliki tunangan."Sampai kapan kau akan menggunakank
Tok, tok!Suara ketukan pintu menggema di luar kamar Nyonya Firda.Wanita paruh baya itu membuka pintu dan mendapati putrinya sudah berdiri di depan pintu kamar hotel tempat Nyonya Firda menginap di Berlin."Sheena?""Ibu!" Sheena langsung berhambur masuk ke pelukan sang ibu yang sudah berdiri di ambang pintu."Kau kemari sendiri?" tanya Nyonya Firda."Iya, Bu. Rencananya aku akan mengunjungi Devan. Ibunya Devan juga berada di Berlin, kan?" "Masuk dulu, Sheena."Nyonya Firda menyeret koper Sheena untuk masuk, kemudian ibu dan anak angkat itu berbincang bersama di malam yang makin larut."Apa yang Ibu lakukan di Berlin?" tanya Sheena berbasa-basi."Hm? Ayahmu tidak mengatakan sesuatu?" tanya Nyonya Firda."Ada hal penting yang Ibu lakukan di sini?" selidik Sheena.Nyonya Firda menatap cangkir teh hangat yang ada di tangannya tanpa sanggup menatap Sheena."Ada yang Ibu semb