Tok, tok!
Suara ketukan pintu menggema di luar kamar Nyonya Firda.Wanita paruh baya itu membuka pintu dan mendapati putrinya sudah berdiri di depan pintu kamar hotel tempat Nyonya Firda menginap di Berlin."Sheena?""Ibu!" Sheena langsung berhambur masuk ke pelukan sang ibu yang sudah berdiri di ambang pintu."Kau kemari sendiri?" tanya Nyonya Firda."Iya, Bu. Rencananya aku akan mengunjungi Devan. Ibunya Devan juga berada di Berlin, kan?""Masuk dulu, Sheena."Nyonya Firda menyeret koper Sheena untuk masuk, kemudian ibu dan anak angkat itu berbincang bersama di malam yang makin larut."Apa yang Ibu lakukan di Berlin?" tanya Sheena berbasa-basi."Hm? Ayahmu tidak mengatakan sesuatu?" tanya Nyonya Firda."Ada hal penting yang Ibu lakukan di sini?" selidik Sheena.Nyonya Firda menatap cangkir teh hangat yang ada di tangannya tanpa sanggup menatap Sheena."Ada yang Ibu semb"Bibi masih ada di Berlin, kan? Boleh aku berkunjung ke rumah Devan?"Pagi-pagi sekali, Sheena sudah sibuk menghubungi calon ibu mertuanya dan meminta izin untuk menemui Devan.Wanita itu masih bersemangat memperjuangkan Devan, meskipun dirinya tak terlalu dianggap oleh sang calon suami.Sheena masih akan terus menggunakan segala cara untuk masuk ke keluarga Devan, sebelum dirinya dibuang oleh sang ibu angkat yang tengah mencari anak kandungnya.Sheena harus segera mencari cara untuk meresmikan hubungannya dengan Devan secepat mungkin, dan tak akan membiarkan gadis mana pun merebut posisinya."Kau juga berada di Berlin? Kapan kau datang?" sambut Nyonya Sella."Baru semalam, Bibi. Aku ingin memberikan kejutan untuk Devan," terang Sheena sengaja tak menceritakan tentang pertemuan tak sengaja antara dirinya dengan Devan di bandara semalam."Kau ada di mana sekarang? Bibi akan berikan alamat Devan padamu," tukas Nyonya Sella.Usai memberikan alamat pada Sheena, wanita paruh baya itu berge
"Aku sudah memperingatkan pada Ibu untuk jangan mencampuri urusanku!" sentak Devan.Berlin hanya diam, tak menanggapi perkataan dari ibunda kekasihnya. Baginya, hinaan serta pengusiran seperti ini sudah terjadi berulang kali, sehingga Berlin sudah terbiasa dan tak mengambil hati ucapan Nyonya Sella."Baik, Nyonya." Berlin mulai melangkah meninggalkan bangku tempat Devan serta Nyonya Sella duduk."Berlin!" Devan langsung menarik tangan Berlin dan melotot pada gadis berwajah datar itu."Kenapa?""Kenapa apanya? Kau mau ke mana? Kau tidak boleh pergi ke mana pun!" sungut Devan."Devan, ini hanya masalah kecil. Aku akan memperjuangkan hal yang menjadi hakku, tapi aku tidak akan serakah pada sesuatu yang belum menjadi milikku. Aku tidak ada hak di rumah ini. Dari pada memancing pertengkaran, lebih baik aku turuti saja," tukas Berlin.Gadis itu terlalu lelah membuang energi hanya untuk beradu mulut. Terlebih lagi, luka di tubuh Berlin masih membuat suasana hati gadis itu memburuk.Ditambah
Berlin duduk di taman kompleks seorang diri, sembari menunggu Devan datang menjemputnya. Gadis itu menatap ke arah pepohonan rindang dan sesekali menatap ke arah langit cerah yang terpampang di depan matanya.Tiba-tiba seorang pria muncul entah dari mana dan menawarkan sebotol minuman padanya.Berlin menoleh ke arah pria tersebut, dan langsung disuguhi senyum tipis oleh pria yang tak lain ialah Vernon."Kenapa kau bisa ada di sini?" tanya Berlin."Kau sendiri ... apa yang kau lakukan di sini?" tanya Vernon balik."Devan mencarimu. Kenapa kau tidak muncul beberapa hari ini?""Sepertinya hubunganmu masih terlihat baik dengan Devan," komentar Vernon."Kau tidak kesal pada Devan? Padahal Devan sudah menghancurkan hidupmu," imbuh Vernon."Kalau membahas kesal ... tentu saja aku kesal," ungkap Berlin."Tapi kehancuranku di masa lalu sudah digantikan dengan kebahagiaan oleh Devan," sambung Berlin."Jadi, kau memilih untuk tetap bersama Devan?" tanya Vernon."Apa kau sudah tahu semuanya tenta
"Kau ingin hidup susah bersama Berlin? Kau pikir kau bisa hidup tanpa uang? Kau pikir kau bisa bertahan hanya dengan tekad? Untuk biaya terapi psikolog saja kau sudah menghabiskan ratusan juta. Belum lagi untuk obat-obatan dan perawatan lainnya!" omel Nyonya Sella pada Devan saat mendengar perkataan putranya yang dengan entengnya akan mengejar Berlin ke dunia sang gadis."Ibu pikir aku bodoh? Ibu pikir aku tidak bisa mencari uang sendiri? Ibu pikir selama ini aku hanya bisa bergantung pada uang keluarga?" sinis Devan."Kau memang bodoh dan kau hanya bisa bergantung pada uang Ayah dan Ibu! Berhentilah bertingkah dan temui Sheena sekarang!" cetus Nyonya Sella."Kau tidak akan bisa bertahan hidup tanpa Ibu! Kehidupan miskin Berlin tidak akan mampu membiayai terapimu. Apa jadinya jika penyakitmu bertambah parah? Kau hanya akan makin menyusahkan Berlin!" sungut Nyonya Sella.Devan hanya bisa diam dan membenarkan semua perkataan sang ibu dalam hati. Tangan pria itu mengepal kuat, memusatkan
"Devan!" panggil Sheena pada sang kekasih, begitu Sheena melihat sosok Devan di dalam coffee shop tempat mereka membuat janji temu.Devan menoleh ke arah pintu dan melihat wajah Sheena yang berseri saat bertatapan dengannya.Sheena bak tak peduli sama sekali dengan sikap dingin Devan pada dirinya sebelumnya di bandara. Wanita itu masih dapat tersenyum sumringah dan bertingkah seolah tak ada yang terjadi sebelumnya."Aku benar-benar kagum padamu," ujar Devan saat melihat wajah girang Sheena saat gadis itu duduk di hadapannya."Kenapa?""Aku jelas-jelas meninggalkanmu di bandara dan aku lebih memilih mengejar wanita lain. Kau masih ingin bersikap seperti ini padaku? Menampakkan senyum seolah tak ada yang terjadi di antara kita?" cetus Devan."Pria tidak suka dengan wanita yang bawel dan berisik, bukan? Tentu aku kesal padamu. Tapi sekesal apa pun aku padamu, kau masih tetap tunanganku.""Sayangnya tidak akan lagi, Sheena!" sergah Devan.Sheena menatap Devan dengan sorot mata tajam. "Mak
"Kau masih ingin di sini?" tanya Vernon pada Berlin."Aku ingin ke rumah Devan. Ayo, pergi!" ajak Vernon sembari menarik lengan Berlin."Aku ... masih ingin di sini," cetus Berlin, kemudian menepis tangan Vernon yang melingkar di lengannya."Hm?""Aku akan menunggu Devan menjemputku," ucap Berlin.Vernon menatap Berlin dengan dahi berkerut. "Memangnya Devan ke mana?" tanya Vernon."Devan sedang mengurus tamu,""Tamu apa?" tanya Vernon penasaran."Aku tidak tahu dan aku tidak ingin ikut campur. Aku akan menunggu Devan di sini," tegas Berlin."Baiklah. Kalau begitu aku pergi," Vernon melangkah, meninggalkan Berlin yang masih duduk di taman seorang diri.Di tengah jalan, Vernon tak sengaja berpapasan dengan Nyonya Firda yang baru saja keluar dari kediaman Devan."Vernon?" sapa Nyonya Firda pada Vernon."Nyonya?" Vernon menyapa Nyonya Firda sekenanya. Pria itu sudah berusaha menghindar dari Nyonya Firda, tapi tak disangkanya dirinya justru bertemu dengan Nyonya Firda di sini."Kau akan k
"Siapa gadis itu?" tanya Sheena pada sang ibu selama dalam perjalanan kembali menuju hotel."Bagaimana Ibu bisa mengenalnya? Di mana Ibu mengenalnya? Apa selama ini Ibu tahu kalau gadis itu memiliki hubungan dengan Devan?"Sheena terus mencecar sang ibu dengan banyak pertanyaan dan menginterogasi sang ibu yang memiliki hubungan dengan Berlin."Ibu tidak tahu kalau Berlin memiliki hubungan seperti itu dengan Devan. Ibu hanya tahu kalau Berlin dirawat di rumah sakit yang sama dengan Devan. Ibu tidak tahu kalau Berlin pergi ke Jerman bersama dengan Devan," terang Nyonya Firda."Benarkah?" selidik Sheen sembari memicingkan mata pada sang ibu.'Apa gadis yang dilihat Ibu di CCTV adalah gadis itu? Gadis bernama Berlin? Gadis yang membuat Devan meninggalkanku?' batin Sheena menerka-nerka kemungkinan kalau Berlin adalah orang yang dicari oleh sang ibu.'Siapa sebenarnya gadis itu? Dia sudah membuat Devan berpaling dariku, sekarang dia juga ingin mengambil ibuku?' geram Sheena dalam hati."Jad
Devan mengajak Berlin membeli es krim di minimarket dekat rumah dan sengaja menghabiskan waktu di luar lebih lama."Vernon menunggumu di rumah," ujar Berlin pada Devan agar pria itu segera pulang menemui Vernon."Biar saja! Aku tidak ingin melihat wajahnya yang menyebalkan!" cetus Devan sembari melahap es krimnya dengan brutal."Kalian bertengkar?" tanya Berlin seraya mengusap sudut bibir Devan yang belepotan karena es krim."Vernon dulu yang memulai!" sungut Devan bak remaja yang tengah merajuk pada pacarnya."Kali ini benar-benar. Kekanakan!" "Vernon yang bertingkah aneh lebih dulu! Aku tidak suka caranya berbicara denganmu! Aku juga tidak suka caranya menatapmu! Aku tidak suka saat Vernon mengetahui lebih banyak hal tentangmu dari pada aku," ungkap Devan."Memangnya apa yang Vernon ketahui?" tanya Berlin dengan dahi berkerut."Kau berbicara banyak dengan Vernon di taman tadi, kan?" tegur Devan."Dari mana kau tahu?" tanya Berlin dengan mata membulat lebar."Aku melihatmu tadi," De