"Astaga! Apa Devan tidak memiliki kalimat lain yang lebih pas? Kenapa dia berbicara dengan kata-kata ambigu begitu?" gumam Berlin bergidik ngeri."Arti apa maksudnya, Bos? Jangan membuatku merinding," tukas Vernon ikut berpikiran aneh karena pertanyaan Devan yang cukup membuatnya geli.Pria itu melangkah menuju sofa, kemudian mendaratkan tubuhnya di kursi empuk dan melanjutkan pembicaraannya dengan Devan."Aku sudah berpamitan pada Nyonya. Kupikir aku harus berpamitan dengan cara yang benar juga pada Bos," ujar Vernon."Sudah ada Berlin yang akan menemanimu di sini. Aku akan pulang besok," ungkap Vernon."Bisa kau katakan alasan yang sebenarnya?" "Alasan apa?""Tentu saja alasanmu tiba-tiba berhenti seperti ini. Apa kau kesal padaku?" tanya Devan.Vernon menampakkan senyum kecut pada Devan. Tentu pria itu tak dapat mengatakan alasan yang sebenarnya.Luka Vernon yang telah lama ia pendam, tak akan ia umbar pada siapa pun dan akan ia kubur dalam-dalam."Aku hanya lelah dan bosan. Aku i
"Devan, besok kau mempunyai jadwal terapi lagi, kan?" tanya Berlin pada Devan yang tengah duduk termenung di dalam kamar seorang diri sembari menatap kosong ke arah jendela.Devan hanya diam tak menanggapi pertanyaan sang kekasih. Pria itu sibuk dengan pikirannya sendiri, membayangkan bagaimana ia bisa melakukan semua hal seorang diri tanpa bantuan Vernon lagi sekarang."Devan, kau mau jus jeruk?" tanya Berlin mencoba menghibur Devan yang tengah bersedih hati karena Vernon."Hm? Jus jeruk? Boleh aku minta susu saja?" tukas Devan."Susu apa?" tanya Berlin dengan polosnya."Susa apa lagi?" goda Devan sembari mencolek dagu Berlin."Devan, hentikan!" omel Berlin sembari menjitak pelan kepala Devan."Bagaimana kalau kita pulang saja?" ajak Devan tiba-tiba."Pulang?" tanya Berlin dengan dahi berkerut."Pendidikanmu terhambat karena aku, kan? Aku ... akan mengembalikan beasiswamu. Kembalilah ke kampus, Berlin. Aku akan mendukung pendidikanmu," ujar Devan pada sang kekasih."Aku tidak terlalu
"Ibu mau ke mana?" tanya Sheena pada Nyonya Firda yang sudah berpakaian rapi di pagi buta.Ke mana lagi tujuan wanita paruh baya itu jika bukan hendak menuju ke rumah Devan, tempat di mana Berlin tinggal."Kau tahu ke mana Ibu akan pergi, Sheena. Ibu tidak bisa membohongimu," ujar Nyonya Firda."Ibu akan mengajak anak Ibu pulang? Kembali berkumpul dengan keluarga Ibu yang sudah lengkap dan meninggalkanku seorang diri?" tanya Sheena terlalu mendramatisir."Sheena, kau tahu Ibu bukan orang yang seperti itu," tukas Nyonya Firda."Kalian semua anak Ibu. Putri kesayangan Ibu. Tentu Ibu juga merindukan anak kandung Ibu, apalagi Ibu sudah lama tidak bertemu," ungkap Nyonya Firda."Ibu hanya ingin memastikannya saja. Ibu belum mencari tahu banyak hal mengenai Berlin. Ibu hanya tahu kalau Berlinlah pemilik dari foto yang Ibu temukan. Ibu hanya ingin menanyakan kejelasannya," sambung Nyonya Firda."Kejelasan apa lagi? Bukankah sudah jelas kalau gadis itu bernama Berliana Soraya. Iya, kan? Nama
Berlin berjalan menuju pintu untuk kembali masuk ke dalam rumah usai berbincang dengan Nyonya Sella.Tepat di pintu masuk depan, Nyonya Firda sudah berdiri di ambang pintu sembari menatap ke dalam kediaman Devan.Wanita paruh baya itu langsung tersenyum sumringah saat bertemu pandang dengan Berlin yang sudah berdiri di depan matanya."Ada yang bisa aku bantu, Nyonya?" sapa Berlin pada Nyonya Firda."Bisa kita bicara sebentar?" tanya Nyonya Firda.'Ada apa lagi ini? Setelah berhadapan dengan ibu Devan, aku juga harus berurusan dengan mantan calon mertuanya?' gerutu Berlin dalam hati.Tepat sebelum Berlin menjawab permintaan Nyonya Firda, Devan keluar dari kamarnya dengan rambut sarang burung acak-acakan dan reflek memeluk Berlin tanpa menyadari kehadiran Nyonya Firda."Kau sudah bangun sejak tadi?" sapa Devan sembari memeluk erat sang kekasih dan melayangkan kecupan bertubi-tubi ke leher Berlin.Karena terkejut dengan kedatangan Devan, gadis itu pun tanpa sadar mendorong Devan sekuat t
"Aku tidak tahu!" sahut Berlin tiba-tiba."Aku menemukan foto ini tanpa sengaja. Aku tidak kenal orang di dalam foto ini. Aku menemukannya di panti asuhan secara kebetulan. Hanya itu," terang Berlin.Gadis itu tak ingin pusing memikirkan hal-hal mengenai keluarga kandung. Toh, Berlin sendiri juga tak terlalu berminat untuk menemukan keluarganya yang telah lama terpisah darinya."Panti asuhan mana? Ini bukan fotomu? Namamu juga Berliana Soraya, kan?" tanya Nyonya Firda."Ibu panti yang memberikan nama panggilan itu untukku. Bisa saja saat dititipkan ke panti, ibu asuhku bingung memberikan nama dan tidak sengaja membaca nama di foto itu. Itu hanya nama. Tidak ada yang istimewa. Semua orang bisa memiliki nama yang sama," tukas Berlin panjang lebar."Apa ibu asuhmu tidak pernah mengatakan sesuatu padamu?" "Maaf, Nyonya. Ibu asuhku tidak pernah bercerita mengenai hal ini dan ibu asuhku juga sudah meninggal beberapa bulan lalu," cetus
Berlin melangkah menuju dapur, kemudian mengobrak-abrik isi dapur untuk melampiaskan kekesalannya pada sang kekasih yang telah membuat suasana hatinya memburuk karena perdebatan kecil mereka di pagi hari. Devan pun hanya mengekori Berlin dan memperhatikan gadis yang mengamuk itu dari jauh.Prang! Brak! Klang! Piring, sendok, dan panci mulai bertebaran di meja dapur dan menjadi korban keganasan tangan Berlin. Devan hanya bisa mengelus dada mendengar suara perabot dapur yang dibanting-banting oleh sang kekasih sebagai aksi protes pada dirinya.“Berlin … bagaimana kalau kita makan di luar?” ajak Devan dengan suara lirih yang hampir tak terdengar oleh Berlin.Devan masih berusaha berbicara baik-baik dengan Berlin, tapi sayangnya suara bantingan piring justru terdengar lebih kencang dari suara Devan yang tengah mencoba membujuk sang kekasih. “Kau tidak perlu memasak. Aku pesankan makanan saja, bagaimana?” tawar Devan lagi.Berlin menoleh ke arah Devan dengan wajah masam. Gadis itu tak mena
Devan berlarian mengambil handuk dan mengusap rambut Berlin yang basah dengan lembut. Berlin terus menatap Devan yang tengah fokus mengeringkan rambut panjangnya dengan handuk. “Jika kau terus melihatku seperti itu, jangan salahkan aku jika aku menciummu!” cetus Devan begitu blak-blakan di depan Berlin.“Aku tidak melihatmu! Aku melihat bulu hidungmu!” kilah Berlin.“Bulu hidung milik siapa?” tanya Devan.“Milikmu,”“Itu artinya kau sedang melihatku, kan? Bulu hidung itu juga bagian dari diriku, kan?” tukas Devan tak ingin kalah berdebat dengan Berlin.“Baiklah, kau menang!” cetus Berlin menyerah.Devan melempar senyum tipis pada Berlin, kemudian mengacak gemas rambut sang kekasih yang agak basah itu. “Aku bisa buatkan mie lagi kalau kau mau,” tawar Devan.Tak ingin lagi memperpanjang perdebatan, Berlin pun akhirnya luluh dan memilih untuk meminta maaf terlebih dahulu atas sikapnya yang cukup mengesalkan pada Devan. “Maa
Tok, tok! Suara ketukan pintu terdengar cukup nyaring di depan sebuah kamar hotel yang ditempati oleh Vernon. Pria yang tengah sibuk berkemas untuk pulang ke negara asal itu, menghentikan aktivitasnya sejenak untuk menyambut tamu tak diundang yang berkunjung ke kamarnya.Cklek! Begitu pintu terbuka, muncullah wajah Sheena yang sudah berdiri di depan kamar Vernon dan bersiap untuk menginterogasi mantan asisten Devan itu. “Bisa kita bicara sebentar?”Tanpa banyak kata, Vernon langsung menyetujui ajakan Sheena dan memberikan kesempatan bagi wanita itu untuk mengeluarkan semua pertanyaan yang tersimpan di otaknya. Sheena dan Vernon duduk di bangku taman kecil yang ada di dekat hotel sembari memegang satu cup es kopi sebagai teman berbincang.“Apa yang ingin kau katakan?” tanya Vernon langsung ke inti pembicaraan. “Penerbanganku tiga jam lagi. Tolong persingkat saja hal-hal yang ingin kau bicarakan padaku,”“Berikan padaku hasil tes DNA antara ibuku de