Berlin berjalan menuju pintu untuk kembali masuk ke dalam rumah usai berbincang dengan Nyonya Sella.Tepat di pintu masuk depan, Nyonya Firda sudah berdiri di ambang pintu sembari menatap ke dalam kediaman Devan.Wanita paruh baya itu langsung tersenyum sumringah saat bertemu pandang dengan Berlin yang sudah berdiri di depan matanya."Ada yang bisa aku bantu, Nyonya?" sapa Berlin pada Nyonya Firda."Bisa kita bicara sebentar?" tanya Nyonya Firda.'Ada apa lagi ini? Setelah berhadapan dengan ibu Devan, aku juga harus berurusan dengan mantan calon mertuanya?' gerutu Berlin dalam hati.Tepat sebelum Berlin menjawab permintaan Nyonya Firda, Devan keluar dari kamarnya dengan rambut sarang burung acak-acakan dan reflek memeluk Berlin tanpa menyadari kehadiran Nyonya Firda."Kau sudah bangun sejak tadi?" sapa Devan sembari memeluk erat sang kekasih dan melayangkan kecupan bertubi-tubi ke leher Berlin.Karena terkejut dengan kedatangan Devan, gadis itu pun tanpa sadar mendorong Devan sekuat t
"Aku tidak tahu!" sahut Berlin tiba-tiba."Aku menemukan foto ini tanpa sengaja. Aku tidak kenal orang di dalam foto ini. Aku menemukannya di panti asuhan secara kebetulan. Hanya itu," terang Berlin.Gadis itu tak ingin pusing memikirkan hal-hal mengenai keluarga kandung. Toh, Berlin sendiri juga tak terlalu berminat untuk menemukan keluarganya yang telah lama terpisah darinya."Panti asuhan mana? Ini bukan fotomu? Namamu juga Berliana Soraya, kan?" tanya Nyonya Firda."Ibu panti yang memberikan nama panggilan itu untukku. Bisa saja saat dititipkan ke panti, ibu asuhku bingung memberikan nama dan tidak sengaja membaca nama di foto itu. Itu hanya nama. Tidak ada yang istimewa. Semua orang bisa memiliki nama yang sama," tukas Berlin panjang lebar."Apa ibu asuhmu tidak pernah mengatakan sesuatu padamu?" "Maaf, Nyonya. Ibu asuhku tidak pernah bercerita mengenai hal ini dan ibu asuhku juga sudah meninggal beberapa bulan lalu," cetus
Berlin melangkah menuju dapur, kemudian mengobrak-abrik isi dapur untuk melampiaskan kekesalannya pada sang kekasih yang telah membuat suasana hatinya memburuk karena perdebatan kecil mereka di pagi hari. Devan pun hanya mengekori Berlin dan memperhatikan gadis yang mengamuk itu dari jauh.Prang! Brak! Klang! Piring, sendok, dan panci mulai bertebaran di meja dapur dan menjadi korban keganasan tangan Berlin. Devan hanya bisa mengelus dada mendengar suara perabot dapur yang dibanting-banting oleh sang kekasih sebagai aksi protes pada dirinya.“Berlin … bagaimana kalau kita makan di luar?” ajak Devan dengan suara lirih yang hampir tak terdengar oleh Berlin.Devan masih berusaha berbicara baik-baik dengan Berlin, tapi sayangnya suara bantingan piring justru terdengar lebih kencang dari suara Devan yang tengah mencoba membujuk sang kekasih. “Kau tidak perlu memasak. Aku pesankan makanan saja, bagaimana?” tawar Devan lagi.Berlin menoleh ke arah Devan dengan wajah masam. Gadis itu tak mena
Devan berlarian mengambil handuk dan mengusap rambut Berlin yang basah dengan lembut. Berlin terus menatap Devan yang tengah fokus mengeringkan rambut panjangnya dengan handuk. “Jika kau terus melihatku seperti itu, jangan salahkan aku jika aku menciummu!” cetus Devan begitu blak-blakan di depan Berlin.“Aku tidak melihatmu! Aku melihat bulu hidungmu!” kilah Berlin.“Bulu hidung milik siapa?” tanya Devan.“Milikmu,”“Itu artinya kau sedang melihatku, kan? Bulu hidung itu juga bagian dari diriku, kan?” tukas Devan tak ingin kalah berdebat dengan Berlin.“Baiklah, kau menang!” cetus Berlin menyerah.Devan melempar senyum tipis pada Berlin, kemudian mengacak gemas rambut sang kekasih yang agak basah itu. “Aku bisa buatkan mie lagi kalau kau mau,” tawar Devan.Tak ingin lagi memperpanjang perdebatan, Berlin pun akhirnya luluh dan memilih untuk meminta maaf terlebih dahulu atas sikapnya yang cukup mengesalkan pada Devan. “Maa
Tok, tok! Suara ketukan pintu terdengar cukup nyaring di depan sebuah kamar hotel yang ditempati oleh Vernon. Pria yang tengah sibuk berkemas untuk pulang ke negara asal itu, menghentikan aktivitasnya sejenak untuk menyambut tamu tak diundang yang berkunjung ke kamarnya.Cklek! Begitu pintu terbuka, muncullah wajah Sheena yang sudah berdiri di depan kamar Vernon dan bersiap untuk menginterogasi mantan asisten Devan itu. “Bisa kita bicara sebentar?”Tanpa banyak kata, Vernon langsung menyetujui ajakan Sheena dan memberikan kesempatan bagi wanita itu untuk mengeluarkan semua pertanyaan yang tersimpan di otaknya. Sheena dan Vernon duduk di bangku taman kecil yang ada di dekat hotel sembari memegang satu cup es kopi sebagai teman berbincang.“Apa yang ingin kau katakan?” tanya Vernon langsung ke inti pembicaraan. “Penerbanganku tiga jam lagi. Tolong persingkat saja hal-hal yang ingin kau bicarakan padaku,”“Berikan padaku hasil tes DNA antara ibuku de
"Kau mau ke mana, Sheena?" tanya Nyonya Firda saat melihat putrinya yang sibuk mengemasi pakaian dan hendak pergi meninggalkan hotel. Sheena hanya diam, dengan tangan yang masih sibuk memasukkan barang-barang ke dalam koper. Wanita itu sengaja melayangkan aksi protes pada sang ibu untuk menarik perhatian Nyonya Firda. Sheena juga ingin mulai menyibukkan diri agar dirinya tak terus-terusan teringat oleh sosok Devan."Sheena, kau dengar Ibu? Kau mau ke mana?" tanya Nyonya Firda lagi dengan nada tinggi.Bukannya menjawab pertanyaan sang ibu, Sheena justru makin mempercepat acara berkemasnya dan menyeret koper besar miliknya menuju ke pintu keluar kamar hotel."Kau marah pada Ibu?" Nyonya Firda menarik tangan sang putri untuk menghentikan langkah Sheena yang sengaja mengabaikan wanita paruh baya itu.Sheena berbalik badan, kemudian menatap sang ibu dengan wajah datar. Selama berhari-hari, Sheena menghadapi kesedihannya seorang diri tanpa ditemani oleh sang ibu. Nyonya Firda sendiri sibuk
"Kau benar-benar ingin pulang?" tanya Vernon begitu dirinya berjumpa dengan Sheena yang bersungguh-sungguh ingin pulang bersama dengannya.Sheena menyeret koper besarnya dan memutuskan untuk mengekori Vernon sementara waktu, sampai dirinya membuat rencana untuk menyibukkan diri. "Aku mempunyai banyak tas dan sepatu yang bisa dijual. Untuk makanan, aku bisa mengurusnya sendiri. Tapi untuk tempat tinggal ... bolehkah aku menumpang sebentar saja?" pinta Sheena.Vernon memijat kepalanya yang pening melihat kelakuan gadis manja yang biasa ia layani sebagai kekasihnya mantan bosnya itu. Hidup terlalu lama sebagai nona muda, tentu membuat Sheena merasa seperti nona muda sungguhan, meskipun sebenarnya gadis itu hanya anak angkat yang diadopsi dari panti asuhan."Aku juga pernah hidup di panti asuhan. Meskipun aku tidak terlalu ingat, tapi aku yakin aku bisa hidup sederhana dengan keadaan seadanya. Aku tidak akan banyak menuntut. Aku tidak memiliki banyak teman yang bisa membantu. Aku hanya ..
"Akhirnya kita pulang juga!" ucap Berlin nampak girang, akhirnya ia kembali menapakkan kaki di negara kelahirannya, setelah berminggu-minggu dirinya menghabiskan waktu di luar negeri bersama dengan Devan."Kau senang bisa kembali?" tanya Devan sembari mengacak gemas rambut Berlin."Tentu saja aku senang, sangat senang!" sahut Berlin.Pasangan kekasih itu pun benar-benar memutuskan untuk pulang dan kembali ke rutinitas biasa mereka di kota tempat tinggal mereka sebelumnya, meninggalkan negara Jerman. Sesuai dengan perkataan Devan sebelumnya, pria itu berjanji akan membawa Berlin ke rumah baru dan tinggal di kediaman impian yang sudah ia siapkan untuk Berlin."Kita akan pulang ke mana sekarang?" tanya Berlin."Kau akan tahu nanti," cetus Devan sembari menggenggam erat tangan Berlin untuk memulai babak baru kisah mereka, usai Devan memutuskan hubungan dengan Sheena.Mobil yang ditumpangi oleh pasangan kekasih itu mulai melaju di jalan raya, menuju kediaman asri di pinggir kota yang akan
"Kenapa kau terus saja melamun selama beberapa hari ini? Kau sedang tidak enak badan?" tegur Devan pada Berlin.Berlin yang tengah menatap jendela dengan tatapan kosong, segera menyadarkan diri dari lamunan dan melirik Devan yang sudah duduk di sampingnya. "Tidak. Aku tidak melamun," cetus Berlin."Kau gugup?" tanya Devan lagi.Tentu saja Berlin sangat gugup menyambut hari bahagianya yang akan datang esok hari. Ya, besok dirinya akan menikah dengan Devan. Berlin akan menjadi pengantin.Devan sudah menyiapkan sebuah pesta kecil untuk Berlin, sebelum keluarga besar mereka membuatkan pesta untuk mereka. Devan sengaja ingin membuat acara sendiri yang sesuai dengan keinginannya. Meskipun pada akhirnya nanti, Devan harus menuruti keinginan kedua orang tuanya, tapi setidaknya ia juga ingin memiliki kesempatan untuk merancang acaranya sendiri. "Aku hanya menyiapkan pesta kecil yang akan dihadiri oleh keluarga inti saja. Tidak apa-apa, kan? Setelah itu, masih akan ada acara yang dibuat oleh
“Ayah, ayo cepat!” Nyonya Sella menarik tangan sang suami dan hendak mengajak Tuan Wildan untuk mengunjungi keluarga Berlin, yaitu Nyonya Firda dan Tuan Mahesa. Apalagi alasan Nyonya Sella mengunjungi Nyonya Firda dan keluarga jika bukan untuk membahas tentang pernikahan Berlin serta Devan.“Kita tidak akan mengajak Devan? Ada baiknya, kita lamar dulu Berlin untuk Devan sebelum membahas tentang pernikahan seperti ini,” tukas Tuan Wildan ingin membantu sang putra melewati tahapan yang benar sebelum meresmikan hubungan dengan Berlin.Nyonya Sella tentu tidak akan melibatkan Devan. Wanita paruh baya itu tahu jika Devan hanya akan mengomel padanya jika Nyonya Sella ikut campur. Daripada mendengar penolakan Devan dan omelan putranya, lebih Nyonya Sella bertindak seorang diri dan langsung menembak orang tua Berlin.“Abaikan saja Devan! Ibu tidak ingin mendengar suara cerewet Devan,” cetus Nyonya Sella.Tuan Wildan sendiri juga hanya akan memancing keributan, jika dirinya berbicara dengan pu
Devan dan Vernon mengamati Sheena dan Berlin dari kejauhan tanpa berani mendekat. Kedua pria itu terus melirik ke arah Berlin yang mencoba mengajak Sheena berbicara baik-baik.Kedua wanita itu duduk di meja yang terdapat di pojokan cafe, sementara Devan dan Vernon duduk di bangku yang cukup jauh dari meja Berlin. "Menurutmu apa yang akan dibahas oleh Berlin dengan Sheena?" tanya Devan pada Vernon meminta pendapat."Hm? Entahlah! Mereka anak kandung dan anak angkat dari Nyonya Firda, kan? Kedua wanita itu juga memperebutkan pria yang sama, bukan? Pasti ada banyak hal yang bisa dibahas oleh Berlin dan juga Sheena," tukas Vernon."Meskipun tidak mengenal secara langsung, tapi mungkin kalau hanya sekedar nama saja, kau pasti tahu, kan? Aku Berlin. Kau Sheena, kan?" Berlin mulai membuka perbincangan ringan dengan anak angkat dari orang tua kandungnya itu.Sheena hanya diam dan menatap sinis ke arah Berlin. Pertama kali Sheena melihat Berlin adalah saat Sheena dirawat di rumah sakit, bersam
"Sheena!" Lamunan Sheena pun buyar begitu suara Vernon menggema di telinganya. "Hm?" Sheena langsung mengalihkan pandangannya dari Berlin dan Devan yang berdiri tak jauh di seberang sana.Vernon melirik ke arah tempat yang dilihat oleh Sheena, dan melihat dengan jelas sosok Devan dan Berlin. "Kau ingin menyapa mantan kekasihmu dan juga saudaramu?" cibir Vernon menggoda Sheena."Cih, saudara apanya? Aku tidak kenal!" sergah Sheena tak memiliki niat sedikit pun mengenal akrab Berlin, apalagi setelah wanita itu mendapat omelan dari sang ibu.Saat ini Vernon dan Sheena tengah berkeliling di pusat perbelanjaan untuk membeli barang-barang baru bagi Sheena. Sheena kembali meninggalkan rumah dan tak jadi mengambil barangnya di rumah sang ibu, usai ia terlibat pertengkaran kecil dengan Nyonya Firda.Dengan menggunakan uang simpanan Vernon, Vernon pun berbaik hati membelikan barang kebutuhan Sheena dan akan mengajak Sheena untuk tinggal bersama dengannya."Kita pergi saja! Melihat orang-orang
Berlin, Arkan, dan Sarah pun memasuki sebuah cafe yang ada di pusat perbelanjaan. Dosen dari dua mahasiswi cantik itu menikmati es krim bersama dengan dua gadis yang bersedia menemaninya melahap makanan manis.Berlin terlihat tidak nyaman saat Arkan terus mencuri pandang ke arahnya. Gadis itu terus mengalihkan pandangan dan berharap acara makan es krim mereka segera usai. "Berlin, kudengar kau mengajukan cuti? Bukankah kau akan kembali? Kenapa kau tiba-tiba mengajukan cuti?" tanya Arkan membuka perbincangan.Berlin berhenti mengaduk mangkok es krimnya dan melirik Sarah yang terlihat tak peduli dengan suara Arkan. "Em, ada hal mendesak yang harus aku lakukan dan tidak bisa ditinggal. Jadi, aku memutuskan untuk cuti daripada kuliahku nanti terganggu," terang Berlin."Hal mendesak? Hal mendesak apa?" tanya Arkan begitu senang mencampuri urusan Berlin dan membuat Berlin risih."Em, itu ... aku ada urusan pribadi," jawab Berlin singkat tanpa memberikan penjelasan apa pun.Arkan mulia mene
"Berlin, kenapa kau tiba-tiba mengambil cuti lagi? Apa terjadi sesuatu padamu?" Sarah nampak cemas saat menghubungi sang teman yang baru saja hendak kembali ke kampus, tapi mendadak Berlin justru mengajukan cuti dan menunda melanjutkan pendidikannya sampai waktu yang tidak ditentukan."Aku ... ada kepentingan mendadak. Jadi, aku ingin mengambil cuti saja," jawab Berlin tak ingin membahas tentang kehamilannya yang hampir menginjak dua bulan.Saat ini kekasih Devan itu tengah duduk di dalam kamarnya dengan bosan sembari mengangkat telepon dari sang teman. Devan sudah berangkat ke kantor, dan Berlin berada di rumah bersama dengan pelayan yang menjaganya."Benar kau baik-baik saja? Kau tidak mengalami kecelakaan atau semacamnya, kan?" tanya Sarah membuat Berlin berkeringat dingin seketika.Memang kecelakaan yang dimaksud oleh Sarah, berbeda dengan "kecelakaan" yang dialami oleh Berlin. Namun, tetap saja wanita itu memang mengalami "kecelakaan" yang membuatnya harus menunda keinginan untuk
"Ayah, Ibu ingin berbicara sebentar!" Nyonya Sella menghampiri sang suami yang saat ini tengah sibuk membaca surat kabar sembari menyeruput kopi manis yang masih panas di tangannya.Tuan Wildan masih fokus pada surat kabarnya saat sang istri mendekat dan mengajak dirinya berbincang. "Apa? Katakan saja!" tukas Tuan Wildan.Nyonya Sella nampak tak sabar memberikan berita gembira pada sang suami mengenai kehamilan Berlin dan status mereka yang akan berubah menjadi kakek dan nenek. "Devan tidak lama lagi akan menjadi ayah!" ungkap Nyonya Sella dengan senyum sumringah.Tuan Wildan langsung menyemburkan kopinya begitu ia mendengar berita mengejutkan dari sang istri mengenai putra mereka. "Apa? Ibu tidak salah bicara, kan? Menjadi ayah apanya?" tanya Tuan Wildan dengan alis terangkat tinggi."Ayah tidak salah dengar! Memang benar kalau sebentar lagi Devan akan menjadi ayah. Pacarnya sedang hamil," jelas Nyonya Sella.Tuan Wildan memang tak mengetahui apa pun mengenai kegiatan sang putra, apa
Tok, tok! Pagi-pagi sekali, kediaman Tuan Mahesa sudah kedatangan tamu tak terduga yang berkunjung. Nyonya Firda terkejut bukan main saat ia melihat sesosok gadis yang muncul di depan pintu rumahnya. “SHEENA!” pekik Nyonya Firda kegirangan begitu ia melihat sosok sang putri yang mendadak kembali ke rumah mereka.Nyonya Firda memeluk Sheena dengan erat dan tanpa sadar, manik mata wanita paruh baya itu mulai berkaca-kaca. “Kenapa kau tidak menghubungi Ibu sama sekali? Ayah dan Ibu mencarimu ke mana-mana,” omel Nyonya Firda pada sang putri angkat.Sheena hanya diam tanpa banyak bicara. Vernon yang mengantarkan Sheena, melihat dari kejauhan saat gadis itu dipeluk erat oleh sang ibu. “Dugaan Sheena salah. Orang tua Berlin benar-benar menyayangi Sheena,” gumam Vernon. “Sheena sangat beruntung.”Nyonya Firda langsung menarik tangan Sheena untuk masuk ke dalam rumah dan memasak banyak makanan untuk sang putri. Sheena celingukan di dalam rumah, mencari sosok putri asli dari keluarga Mahesa. ‘K
Devan kini tengah menemani Berlin duduk di dalam kamar, usai Nyonya Firda berpamitan untuk pulang. Devan mengambilkan minuman hangat untuk Berlin dan mencoba menghibur wanita yang baru saja bertengkar dengan ibunya itu.Berita kehamilan Berlin ternyata semakin memperburuk keadaan dan memperumit hubungan antara Berlin dan Nyonya Firda. Devan nampak bingung bagaimana ia harus menghibur sang kekasih hati, sementara dirinya sendiri juga tak cukup akur dengan sang ibu.“Minum dulu, Berlin! Kau terlalu banyak berteriak,” ujar Devan menenangkan Berlin dengan cara yang basi.Berlin meraih cangkir minuman yang ada di tangan Devan dan menyeruput minuman hangat yang kekurangan gula itu. “Kau ini membenciku, ya? Kenapa minumannya tidak terasa manis?” protes Berlin pada Devan.“Benarkah?” Devan merebut cangkir yang ada di tangan berlin, kemudian mencicipi minuman dalam gelas tersebut. “Rasanya enak. Cukup manis,” sergah Devan.“Manis apanya? Rasanya seperti teh tawar. Hambar tidak berasa,” omel Be