Devan berlarian mengambil handuk dan mengusap rambut Berlin yang basah dengan lembut. Berlin terus menatap Devan yang tengah fokus mengeringkan rambut panjangnya dengan handuk. “Jika kau terus melihatku seperti itu, jangan salahkan aku jika aku menciummu!” cetus Devan begitu blak-blakan di depan Berlin.
“Aku tidak melihatmu! Aku melihat bulu hidungmu!” kilah Berlin.“Bulu hidung milik siapa?” tanya Devan.“Milikmu,”“Itu artinya kau sedang melihatku, kan? Bulu hidung itu juga bagian dari diriku, kan?” tukas Devan tak ingin kalah berdebat dengan Berlin.“Baiklah, kau menang!” cetus Berlin menyerah.Devan melempar senyum tipis pada Berlin, kemudian mengacak gemas rambut sang kekasih yang agak basah itu. “Aku bisa buatkan mie lagi kalau kau mau,” tawar Devan.Tak ingin lagi memperpanjang perdebatan, Berlin pun akhirnya luluh dan memilih untuk meminta maaf terlebih dahulu atas sikapnya yang cukup mengesalkan pada Devan. “MaaTok, tok! Suara ketukan pintu terdengar cukup nyaring di depan sebuah kamar hotel yang ditempati oleh Vernon. Pria yang tengah sibuk berkemas untuk pulang ke negara asal itu, menghentikan aktivitasnya sejenak untuk menyambut tamu tak diundang yang berkunjung ke kamarnya.Cklek! Begitu pintu terbuka, muncullah wajah Sheena yang sudah berdiri di depan kamar Vernon dan bersiap untuk menginterogasi mantan asisten Devan itu. “Bisa kita bicara sebentar?”Tanpa banyak kata, Vernon langsung menyetujui ajakan Sheena dan memberikan kesempatan bagi wanita itu untuk mengeluarkan semua pertanyaan yang tersimpan di otaknya. Sheena dan Vernon duduk di bangku taman kecil yang ada di dekat hotel sembari memegang satu cup es kopi sebagai teman berbincang.“Apa yang ingin kau katakan?” tanya Vernon langsung ke inti pembicaraan. “Penerbanganku tiga jam lagi. Tolong persingkat saja hal-hal yang ingin kau bicarakan padaku,”“Berikan padaku hasil tes DNA antara ibuku de
"Kau mau ke mana, Sheena?" tanya Nyonya Firda saat melihat putrinya yang sibuk mengemasi pakaian dan hendak pergi meninggalkan hotel. Sheena hanya diam, dengan tangan yang masih sibuk memasukkan barang-barang ke dalam koper. Wanita itu sengaja melayangkan aksi protes pada sang ibu untuk menarik perhatian Nyonya Firda. Sheena juga ingin mulai menyibukkan diri agar dirinya tak terus-terusan teringat oleh sosok Devan."Sheena, kau dengar Ibu? Kau mau ke mana?" tanya Nyonya Firda lagi dengan nada tinggi.Bukannya menjawab pertanyaan sang ibu, Sheena justru makin mempercepat acara berkemasnya dan menyeret koper besar miliknya menuju ke pintu keluar kamar hotel."Kau marah pada Ibu?" Nyonya Firda menarik tangan sang putri untuk menghentikan langkah Sheena yang sengaja mengabaikan wanita paruh baya itu.Sheena berbalik badan, kemudian menatap sang ibu dengan wajah datar. Selama berhari-hari, Sheena menghadapi kesedihannya seorang diri tanpa ditemani oleh sang ibu. Nyonya Firda sendiri sibuk
"Kau benar-benar ingin pulang?" tanya Vernon begitu dirinya berjumpa dengan Sheena yang bersungguh-sungguh ingin pulang bersama dengannya.Sheena menyeret koper besarnya dan memutuskan untuk mengekori Vernon sementara waktu, sampai dirinya membuat rencana untuk menyibukkan diri. "Aku mempunyai banyak tas dan sepatu yang bisa dijual. Untuk makanan, aku bisa mengurusnya sendiri. Tapi untuk tempat tinggal ... bolehkah aku menumpang sebentar saja?" pinta Sheena.Vernon memijat kepalanya yang pening melihat kelakuan gadis manja yang biasa ia layani sebagai kekasihnya mantan bosnya itu. Hidup terlalu lama sebagai nona muda, tentu membuat Sheena merasa seperti nona muda sungguhan, meskipun sebenarnya gadis itu hanya anak angkat yang diadopsi dari panti asuhan."Aku juga pernah hidup di panti asuhan. Meskipun aku tidak terlalu ingat, tapi aku yakin aku bisa hidup sederhana dengan keadaan seadanya. Aku tidak akan banyak menuntut. Aku tidak memiliki banyak teman yang bisa membantu. Aku hanya ..
"Akhirnya kita pulang juga!" ucap Berlin nampak girang, akhirnya ia kembali menapakkan kaki di negara kelahirannya, setelah berminggu-minggu dirinya menghabiskan waktu di luar negeri bersama dengan Devan."Kau senang bisa kembali?" tanya Devan sembari mengacak gemas rambut Berlin."Tentu saja aku senang, sangat senang!" sahut Berlin.Pasangan kekasih itu pun benar-benar memutuskan untuk pulang dan kembali ke rutinitas biasa mereka di kota tempat tinggal mereka sebelumnya, meninggalkan negara Jerman. Sesuai dengan perkataan Devan sebelumnya, pria itu berjanji akan membawa Berlin ke rumah baru dan tinggal di kediaman impian yang sudah ia siapkan untuk Berlin."Kita akan pulang ke mana sekarang?" tanya Berlin."Kau akan tahu nanti," cetus Devan sembari menggenggam erat tangan Berlin untuk memulai babak baru kisah mereka, usai Devan memutuskan hubungan dengan Sheena.Mobil yang ditumpangi oleh pasangan kekasih itu mulai melaju di jalan raya, menuju kediaman asri di pinggir kota yang akan
"Ini ... rumah yang akan menjadi tempat tinggal kita?" tanya Berlin dengan manik mata membulat lebar begitu ia dan Devan tiba di sebuah istana kecil yang penuh dengan taman di wilayah pinggir kota.Devan hanya diam, tak menanggapi pertanyaan Berlin. Pria itu masih kesal dengan permintaan Berlin yang lebih memilih ingin menempati kamar kecil daripada tinggal bersama dirinya."Rumahnya besar sekali," gumam Berlin tak henti-hentinya berdecak kagum."Kau bisa pilih kamar yang kau suka kalau kau tidak ingin tidur di kamar yang sama denganku," cetus Devan dengan ekspresi dingin.Berlin yang menyadari perubahan sikap Devan, mulai menangkap jika sang kekasih masih kesal mengenai pembicaraan terakhir mereka di dalam mobil. 'Devan pasti masih kesal padaku,' batin Berlin cemas.Gadis itu pun berinisiatif membujuk Devan dengan bermanja-manja pada sang kekasih. "Untuk apa aku harus memilih kamar lain? Tentu aku ingin kamar yang sama denganmu," ujar Berlin sembari memeluk lengan Devan."Tidak perlu
"Selamat malam, Nyonya Sella." Malam hari, Nyonya Firda sengaja mengunjungi kediaman tempat Nyonya Sella tinggal di Kota Berlin. Wanita paruh baya itu berencana meninggalkan Kota Berlin, begitu ia tahu kalau Berlin sudah kembali ke negara asal. Tak ada lagi alasan bagi Nyonya Firda untuk berlama-lama di Kota Berlin, terlebih lagi kedua putrinya sudah meninggalkan negara tersebut."Nyonya Firda? Anda masih ada di Jerman?" sapa Nyonya Sella, kemudian mempersilahkan tamunya untuk masuk.Kedua wanita paruh baya itu duduk saling berhadapan sembari menyeruput teh manis hangat yang tersaji di meja ruang tamu. Nyonya Sella sudah menebak jika kedatangan Nyonya Firda mengunjungi dirinya tak lain ialah untuk membahas mengenai hubungan Devan dan Sheena yang telah kandas."Jadi ....""Nyonya ingin membahas tentang Devan dan Sheena?" tanya Nyonya Sella.Nyonya Firda mengulas senyum tipis, kemudian menyeruput teh yang disuguhkan untukku sebelum ia melanjutkan kembali kalimatnya. "Nyonya sepertinya
"Aku buatkan teh manis untukmu," Berlin menyodorkan secangkir teh panas pada Devan yang tengah sibuk membolak-balikkan berkas yang menumpuk di mejanya. "Hm!" jawab Devan singkat tanpa menoleh sedikit pun pada Berlin yang tengah tersenyum padanya.'Devan masih marah padaku?' batin Anna merasa tak enak hati pada Devan karena dirinya terus saja memancing amarah Devan."Kau sudah minum obatmu? Kapan dokter akan datang kemari? Aku belum mendapatkan jadwal pemeriksaan yang baru setelah kita pindah kemari," cetus Berlin mencoba membuka perbincangan dengan Devan."Maaf, Sayang. Aku sedang ada pekerjaan, kau bisa tidur sekarang jika kau sudah mengantuk," ujar Devan tanpa melirik ke arah Berlin.Berlin menggigit bibir bawahnya sembari menatap sebal ke arah Devan yang nampak sengaja mengacuhkan dirinya. "Aku belum mengantuk. Kau ingin camilan malam? Ingin kubuatkan sesuatu?" tawar Berlin."Tidak perlu membuang waktu untuk hal yang tidak perlu. Istirahat saja," titah Devan."Aku belum mengantuk.
"Pagi-pagi kau sudah rapi sekali," sapa Devan sembari merengkuh tubuh sang kekasih dari belakang.Berlin yang tengah bersolek di depan cermin, sontak menoleh ke belakang dan melihat Devan yang sudah menempel di punggungnya."Aku akan berangkat ke kampus hari ini. Ada beberapa hal yang harus kuurus," ujar Berlin."Hari ini? Kenapa kau tidak bilang padaku dari semalam?" protes Devan."Kau ada pekerjaan penting hari ini, kan? Aku tidak ingin kau membatalkan pertemuan penting hari ini hanya demi menemaniku ke kampus," cetus Berlin. "Sekarang sudah tidak ada lagi Vernon yang membantumu. Kau pasti kerepotan."Memang Devan menjadi lebih sibuk semenjak Vernon memutuskan untuk berhenti bekerja. Tak hanya kehilangan perawat, Devan juga kehilangan asisten untuk pekerjaan kantor yang biasanya membantu mengurus segala kesibukan di perusahaan."Kalau begitu ... bagaimana kalau kau saja yang membantuku? Maganglah di perusahaanku. Semester ini kau harus menemukan tempat magang, kan?" tukas Devan."Me