"Aku buatkan teh manis untukmu," Berlin menyodorkan secangkir teh panas pada Devan yang tengah sibuk membolak-balikkan berkas yang menumpuk di mejanya. "Hm!" jawab Devan singkat tanpa menoleh sedikit pun pada Berlin yang tengah tersenyum padanya.'Devan masih marah padaku?' batin Anna merasa tak enak hati pada Devan karena dirinya terus saja memancing amarah Devan."Kau sudah minum obatmu? Kapan dokter akan datang kemari? Aku belum mendapatkan jadwal pemeriksaan yang baru setelah kita pindah kemari," cetus Berlin mencoba membuka perbincangan dengan Devan."Maaf, Sayang. Aku sedang ada pekerjaan, kau bisa tidur sekarang jika kau sudah mengantuk," ujar Devan tanpa melirik ke arah Berlin.Berlin menggigit bibir bawahnya sembari menatap sebal ke arah Devan yang nampak sengaja mengacuhkan dirinya. "Aku belum mengantuk. Kau ingin camilan malam? Ingin kubuatkan sesuatu?" tawar Berlin."Tidak perlu membuang waktu untuk hal yang tidak perlu. Istirahat saja," titah Devan."Aku belum mengantuk.
"Pagi-pagi kau sudah rapi sekali," sapa Devan sembari merengkuh tubuh sang kekasih dari belakang.Berlin yang tengah bersolek di depan cermin, sontak menoleh ke belakang dan melihat Devan yang sudah menempel di punggungnya."Aku akan berangkat ke kampus hari ini. Ada beberapa hal yang harus kuurus," ujar Berlin."Hari ini? Kenapa kau tidak bilang padaku dari semalam?" protes Devan."Kau ada pekerjaan penting hari ini, kan? Aku tidak ingin kau membatalkan pertemuan penting hari ini hanya demi menemaniku ke kampus," cetus Berlin. "Sekarang sudah tidak ada lagi Vernon yang membantumu. Kau pasti kerepotan."Memang Devan menjadi lebih sibuk semenjak Vernon memutuskan untuk berhenti bekerja. Tak hanya kehilangan perawat, Devan juga kehilangan asisten untuk pekerjaan kantor yang biasanya membantu mengurus segala kesibukan di perusahaan."Kalau begitu ... bagaimana kalau kau saja yang membantuku? Maganglah di perusahaanku. Semester ini kau harus menemukan tempat magang, kan?" tukas Devan."Me
"Apa yang terjadi padamu? Kau menghilang selama berminggu-minggu dan aku tidak bisa menghubungimu. Kau juga masih bersama dengan sugar daddy barumu itu?" tanya Sarah mulai membuka perbincangan bersama dengan Berlin di area taman kampus."Hm? Sugar ... daddy?" tanya Berlin.Sarah langsung memukul mulutnya begitu ia kembali membahas perihal "sugar" di depan Berlin, padahal sudah beredar peringatan mengenai hal ini jika Berlin kembali ke kampus. Tentu saja hal ini adalah permintaan khusus dari Devan, agar Berlin bisa kembali beraktivitas di kampus dengan nyaman tanpa lagi terganggu dengan rumor sugar baby yang pernah menimpanya."Kau melihatku datang dengan Devan?" tanya Berlin dengan kepala menunduk."Kurasa ... semua orang melihatnya. Mobil Devan terlalu mencolok," cetus Sarah dengan polosnya."Mobil mahal langka?" tukas Berlin dengan senyum kecut.Sarah berusaha mengubah topik pembahasan begitu ia melihat wajah Berlin yang terlihat murung. "Jadi ... apa yang kau lakukan selama beberap
"A-aku tidak berbicara dengan siapa pun. Aku tidak meladeni orang-orang yang tidak jelas," terang Berlin mencoba menjelaskan."Kau yakin? Kau berbicara dengan pria, kan? Baru saja? Kalian terlihat akrab," sindir Devan. "Aku juga ingat, pria itu datang ke pemakaman Wanda dan dia juga datang ke rumah sakit untuk menjengukmu. Kau masih ingin mengelak?" 'Maksudnya Arkan? Dia benar-benar mengawasiku?' batin Berlin."Kau ... sengaja mengawasiku. Iya, kan?" cetus Berlin.Devan meraih pergelangan tangan Berlin dan menggenggam erat tangan mungil kekasihnya itu. "Aku tidak suka melihatmu dekat-dekat dengannya. Sekalipun dia seorang dosen. Seharusnya kau tahu batasan antara murid dan pengajar," tukas Devan."Aku tanya padamu, apa kau mengawasiku?" pekik Berlin dengan mata memerah penuh amarah.Devan terdiam sejenak dan mengatupkan bibir rapat-rapat. Pria itu membalas tatapan tajam dari Berlin dan menjawab pertanyaan Berlin dengan tampang tanpa dosa."Memangnya kenapa kalau aku mengawasimu? Tida
"Ibu sudah sampai." Nyonya Firda menghubungi sang suami begitu wanita paruh baya itu mendarat dari pesawat. Karena Berlin juga telah kembali pulang ke negara asal, tak ada alasan lagi bagi Nyonya Firda untuk berlama-lama berada di Jerman. Wanita paruh baya itu pun memutuskan untuk kembali dan mencari Berlin yang kini masih tinggal bersama Devan."Ayah sedang ada pertemuan mendadak. Ayah sudah mengirimkan supir. Coba Ibu hubungi! Sampai bertemu di rumah nanti," cetus Tuan Mahesa.Nyonya Firda menyeret kopernya keluar dari bandara begitu wanita itu berjumpa dengan sang supir yang ditugaskan untuk menjemputnya. Supir itu langsung merebut koper dari tangan Nyonya Firda, dan melayani sang nyonya yang hendak kembali ke rumah tercinta."Berlin ... kau juga ada di kota ini, kan?" gumam Nyonya Firda.Nyonya Firda sendiri sudah memastikan jika Berlin adalah putrinya yang hilang belasan tahun lalu. Ibu kandung Berlin itu masih akan berusaha membujuk Berlin untuk kembali padanya, dengan membawa T
"Kau ingin makan apa malam ini? Aku akan memasakkan menu saran dari dokter tadi," ujar Berlin begitu Devan memarkirkan mobil di kediaman baru yang ia tinggali bersama dengan Berlin.Pasangan kekasih itu baru saja kembali dari rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan rutin yang harus dilakukan oleh Devan. Meskipun Devan belum menunjukkan kemajuan pesat setelah pengobatan, tapi setidaknya pria itu bisa mengendalikan diri untuk tidak mengamuk di depan Berlin."Terserah kau saja," tukas Devan.Devan menggandeng gadisnya masuk ke dalam rumah tanpa menyadari jika telah ada tamu yang menunggu di dalam rumah. Tamu yang tidak pernah diduga oleh Berlin sebelumnya, yaitu Nyonya Firda bersama dengan Tuan Mahesa."Ada mobil terparkir di halaman rumah. Sepertinya ada tamu," ujar Berlin sebelum ia dan Devan sampai di pintu masuk.Kedua orang itu mempercepat langkah mereka masuk ke dalam rumah untuk melihat siapa tamu yang datang berkunjung tanpa pemberitahuan. Berlin cukup dikejutkan saat dirinya mel
Berlin duduk termenung di depan pintu rumah begitu Tuan Mahesa dan Nyonya Firda pergi. Gadis itu terus menghela nafas, mempertimbangkan permintaan dari sang ibu yang menginginkan dirinya kembali.Devan yang melihat Berlin nampak gundah, bergegas menghampiri sang kekasih dan memeluk erat tubuh mungil gadis itu dari belakang. "Apa yang kau pikirkan, Sayang?" tanya Devan lirih.Berlin sontak berbalik badan, kemudian menenggelamkan diri ke dalam dekapan Devan. Gadis itu memejamkan mata dalam pelukan Devan, merasakan kehangatan dari rengkuhan satu-satunya keluarga yang ia punya."Ibumu sepertinya sudah tahu tentang kehidupanmu sebelumnya. Kupikir dia tidak keberatan sama sekali," cetus Devan."Aku yang keberatan. Aku tidak ingin membuat orang lain terseret dalam masa laluku. Nyonya Firda berasal dari keluarga terpandang, kan? Paman dan Bibi itu hanya akan menjadi gunjingan jika mereka memiliki putri yang pernah menjual diri," tukas Berlin. "Itu hanya gunjingan, Berlin!""Hanya gunjingan?"
"Kau akan pergi ke mana malam-malam begini?" tanya Berlin pada Devan yang tengah bersiap dengan jaket dan pakaian serba panjang lainnya.Sebelumnya, Devan mendapatkan pesan singkat dari Nyonya Firda yang ingin mengajak dirinya bertemu. Tak hanya Nyonya Firda, Tuan Mahesa pun juga akan ikut serta menginterogasi calon menantunya itu. Namun, Devan harus datang seorang diri tanpa mengajak Berlin ikut serta."Aku ada urusan sebentar. Kau tidak apa-apa di rumah sendiri, kan? Aku janji tidak akan lama," ujar Devan meminta izin pada sang kekasih. "Kau masih mual? Ingin kupanggilkan dokter ke rumah?" tawar Devan."Tidak perlu. Aku baik-baik saja. Pergilah kalau memang ada urusan penting di luar. Aku akan tidur saja," tukas Berlin.Devan melingkarkan tangan ke pinggang Berlin, kemudian mengecupi kening sang gadis sebelum pergi. "Hati-hati di rumah, Sayang! Kunci pintunya dan beristirahat saja di dalam!" Devan melambaikan tangan pada Berlin dan segera bergegas menghampiri orang tua Berlin di te