"Kau akan pergi ke mana malam-malam begini?" tanya Berlin pada Devan yang tengah bersiap dengan jaket dan pakaian serba panjang lainnya.Sebelumnya, Devan mendapatkan pesan singkat dari Nyonya Firda yang ingin mengajak dirinya bertemu. Tak hanya Nyonya Firda, Tuan Mahesa pun juga akan ikut serta menginterogasi calon menantunya itu. Namun, Devan harus datang seorang diri tanpa mengajak Berlin ikut serta."Aku ada urusan sebentar. Kau tidak apa-apa di rumah sendiri, kan? Aku janji tidak akan lama," ujar Devan meminta izin pada sang kekasih. "Kau masih mual? Ingin kupanggilkan dokter ke rumah?" tawar Devan."Tidak perlu. Aku baik-baik saja. Pergilah kalau memang ada urusan penting di luar. Aku akan tidur saja," tukas Berlin.Devan melingkarkan tangan ke pinggang Berlin, kemudian mengecupi kening sang gadis sebelum pergi. "Hati-hati di rumah, Sayang! Kunci pintunya dan beristirahat saja di dalam!" Devan melambaikan tangan pada Berlin dan segera bergegas menghampiri orang tua Berlin di te
Selagi Devan pergi menemui kedua orang tuanya, Berlin kini tengah duduk seorang diri di dalam kamar sembari menatap alat tes kehamilan yang ada di tangannya. Rasa mual dan badan lemas yang ia rasakan beberapa hari terakhir ini ternyata karena dirinya tengah berbadan dua."Dua garis?" gumam Berlin tersenyum kecut saat menggenggam alat tes kehamilan itu.Tepat saat Berlin masih memandangi benda kecil keramat itu, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan Devan muncul dari balik pintu. Berlin terperanjat kaget dan bergegas menyembunyikan alat kecil di tangannya."De-devan? Kenapa kau sudah pulang? Baru saja pergi sebentar," tanya Berlin terbata-bata.Devan berjalan cepat menghampiri Berlin, kemudian menempelkan tangan ke dahi Berlin untuk memeriksa suhu tubuh sang gadis. "Aku sengaja pulang cepat. Aku tidak ingin meninggalkanmu terlalu lama," cetus Devan."Kau masih merasa mual? Ingin kutemani periksa ke dokter saja?" tawar Devan penuh perhatian."Ti-tidak perlu. Aku baik-baik saja. Tidak per
"Menggugurkan apanya?" sentak Devan pada Berlin. Gadis itu mendongakkan kepala dan beradu pandang dengan sang kekasih yang saat ini menatapnya dengan wajah berseri.Berlin yang mengira Devan tidak menginginkan anak, justru mendapatkan pelukan bahagia dari pria tampan yang sebentar lagi akan menjadi ayah itu. "Selamat Berlin, kau akan menjadi Ibu!" ucap Devan dengan senyum penuh haru.Berlin diam membisu tanpa menanggapi perkataan Devan. Bayangan menjadi ibu mulai memenuhi kepala gadis masih berusia awal dua puluhan tahun itu. "Kau ... ingin aku melahirkannya?" tanya Berlin ragu-ragu."Kau benar-benar ingin menggugurkannya?" tanya Devan balik.Berlin nampak bingung menjawab pertanyaan Devan. Gadis itu tentu tak siap dengan dunia pernikahan dan dunia seorang ibu. Apalagi Berlin juga tidak berencana ingin menikah dengan Devan suatu hari nanti."Kau tidak menginginkan anak ini?" tanya Devan lagi, membuyarkan lamunan Berlin."Sepertinya ... ada banyak hal yang harus kita pertimbangkan terl
"Kau masih ingin berada di sini?" tanya Vernon pada Sheena yang saat ini tengah sibuk membersihkan panti tempat dirinya menjadi relawan. Sudah beberapa minggu lamanya Vernon dan Sheena tinggal di panti tersebut tanpa melakukan banyak hal selain mengerjakan pekerjaan relawan.Vernon sudah mulai membuat rencana lain, dan akan kembali ke kota untuk menata hidup baru tanpa dukungan dari keluarga Devan."Kau mau ke mana?" tanya Sheena pada Vernon yang sudah berpakaian rapi."Aku akan berhenti hidup menumpang di sini. Aku sudah membuat rencana baru untuk menata hidup kembali," ujar Vernon dengan penuh percaya diri."Kau akan kembali ke kota? Lalu aku bagaimana?" tanya Sheena dengan wajah memelas.Vernon menatap Sheena dengan dahi berkerut. "Terserah kau ingin bagaimana. Kenapa kau bertanya padaku?" tanya Vernon bingung."Kenapa kau jahat sekali? Aku pergi kemari 'kan karena mengikutimu!" protes Sheena.Vernon memijat kepalanya yang pening, kemudian duduk di samping Sheena yang saat ini berp
"Kau tidak ingin berjalan-jalan keluar? Sudah susah payah aku mengajakmu ke sini," tegur Devan pada Berlin yang asyik bermalas-malasan di ranjang, begitu mereka tiba di vila wilayah pegunungan yang mereka datangi bersama."Aku masih mual. Aku ingin di sini saja," cetus Berlin dengan suara lemas.Devan ikut terduduk lemas di samping Berlin tanpa bersemangat melakukan apa pun. "Kau tidak mendapatkan obat apa pun dari dokter tadi? Ingin pergi ke rumah sakit saja?" tawar Devan dengan wajah cemas. "Tidak perlu sampai ke rumah sakit. Tidak separah itu. Aku hanya ingin istirahat saja," cetus Berlin.Devan ikut berbaring di sebelah Berlin, kemudian memeluk erat sang kekasih sembari mengusap-usap perut Berlin dengan lembut. Pria itu merasakan hal yang aneh saat ia memegang perut Berlin yang berisi calon anaknya bersama Berlin."Rasanya aneh sekali," gumam Devan.Berlin berbalik badan dan menoleh ke arah Devan dengan dahi berkerut. "Kenapa?" tanya Berlin."Aku tidak percaya saja. Sebentar lagi
"Nyonya Firda?" sapa Nyonya Sella pada ibu Berlin saat ia melihat Nyonya Firda yang berdiri di depan pintu. "Nyonya Sella?"Ibu dari Devan itu nampak bingung melihat kedatangan mantan calon besannya itu ke rumah Devan. Seharusnya Nyonya Firda sudah tak memiliki urusan apa pun lagi dengan Devan, mengingat putranya sudah memutuskan hubungan dengan Sheena.Bahkan sekalipun Sheena masih berhubungan dengan Devan, rasanya Nyonya Firda tak pernah sekalipun menghubungi Devan secara pribadi hingga berkunjung ke rumah seperti ini. "Nyonya ... ada keperluan dengan Devan?" tanya Nyonya Sella.Wanita paruh baya itu nampak bingung bagaimana ia harus menjawab di depan Nyonya Sella. Sampai saat ini tidak ada siapa pun yang tahu mengenai Berlin yang ternyata merupakan putri kandungnya. Hanya keluarga inti saja yang tahu, dan Nyonya Firda enggan menyebarkannya sebelum Berlin menerimanya kembali dan mau kembali ke keluarganya.'Haruskah aku ceritakan saja semuanya pada Nyonya Sella? Aku tidak bisa memb
“Aku … harus tinggal di rumah lagi sekarang? Aku tidak bisa datang ke kampus lagi?” rengek Berlin pada Devan di pagi hari, saat pria itu tengah bersiap untuk berangkat ke kantor. Devan langsung mengajak Berlin kembali pulang dari villa, karena gadis itu juga tak dapat menikmati liburan.Dengan kondisi berbadan dua, Berlin pun terpaksa harus mengambil cuti kuliah sampai dirinya melahirkan nanti. Selain itu, Berlin juga harus mulai mengurus berkas pernikahan dengan Devan, sebelum bayi kecil mereka lahir nantinya.“Kalau kau tidak ingin berada di rumah sendiri hari ini, bagaimana kalau kau ikut aku ke kantor?” ajak Devan antusias. Selama mengenal Berlin, Devan belum terlalu memperkenalkan dunianya pada sang kekasih. Selain penyakit yang dideritanya dan masa lalunya di panti, Berlin tak mengetahui banyak hal tentang Devan.“Kau belum pernah melihat kantorku, kan? Aku akan mengajakmu berkeliling!” tawar Devan.Berlin terdiam sejenak. Wanita itu tidak i
Berlin terdiam sejenak begitu ia mendengar perkataan Nyonya Sella yang ngotot mengira dirinya tengah berbadan dua. Gadis itu nampak bingung bagaimana ia bisa melarikan diri dari pertanyaan Nyonya Sella yang membuatnya gugup dan berkeringat dingin.“Aku … ingin mengambil teh hangat dulu. Aku juga akan membuatkan satu cangkir untuk Nyonya,” cetus Berlin mencoba mengalihkan pembicaraan.“Jangan kabur, Berlin! Jawab dulu pertanyaanku! Kau hamil, kan? Anak siapa itu? Anak Devan tau bukan?” tuduh Nyonya Sella begitu tega mengira bayi di perut Berlin bukan milik Devan.“Ini bayi Devan, Nyonya! Selama beberapa bulan terakhir hingga hari ini, hanya Devanlah satu-satunya pria yang menyentuhku!” ujar Berlin keceplosan membeberkan tentang kehamilannya, karena pertanyaan menyebalkan dari Nyonya Sella. ‘Astaga, Mulut Comberan! Apa yang sudah kau katakan pada ibunya Devan?’ jerit Berlin dalam hati.“Jadi … kau benar-benar hamil? Hamil anak Devan?” tanya Nyonya S
"Kenapa kau terus saja melamun selama beberapa hari ini? Kau sedang tidak enak badan?" tegur Devan pada Berlin.Berlin yang tengah menatap jendela dengan tatapan kosong, segera menyadarkan diri dari lamunan dan melirik Devan yang sudah duduk di sampingnya. "Tidak. Aku tidak melamun," cetus Berlin."Kau gugup?" tanya Devan lagi.Tentu saja Berlin sangat gugup menyambut hari bahagianya yang akan datang esok hari. Ya, besok dirinya akan menikah dengan Devan. Berlin akan menjadi pengantin.Devan sudah menyiapkan sebuah pesta kecil untuk Berlin, sebelum keluarga besar mereka membuatkan pesta untuk mereka. Devan sengaja ingin membuat acara sendiri yang sesuai dengan keinginannya. Meskipun pada akhirnya nanti, Devan harus menuruti keinginan kedua orang tuanya, tapi setidaknya ia juga ingin memiliki kesempatan untuk merancang acaranya sendiri. "Aku hanya menyiapkan pesta kecil yang akan dihadiri oleh keluarga inti saja. Tidak apa-apa, kan? Setelah itu, masih akan ada acara yang dibuat oleh
“Ayah, ayo cepat!” Nyonya Sella menarik tangan sang suami dan hendak mengajak Tuan Wildan untuk mengunjungi keluarga Berlin, yaitu Nyonya Firda dan Tuan Mahesa. Apalagi alasan Nyonya Sella mengunjungi Nyonya Firda dan keluarga jika bukan untuk membahas tentang pernikahan Berlin serta Devan.“Kita tidak akan mengajak Devan? Ada baiknya, kita lamar dulu Berlin untuk Devan sebelum membahas tentang pernikahan seperti ini,” tukas Tuan Wildan ingin membantu sang putra melewati tahapan yang benar sebelum meresmikan hubungan dengan Berlin.Nyonya Sella tentu tidak akan melibatkan Devan. Wanita paruh baya itu tahu jika Devan hanya akan mengomel padanya jika Nyonya Sella ikut campur. Daripada mendengar penolakan Devan dan omelan putranya, lebih Nyonya Sella bertindak seorang diri dan langsung menembak orang tua Berlin.“Abaikan saja Devan! Ibu tidak ingin mendengar suara cerewet Devan,” cetus Nyonya Sella.Tuan Wildan sendiri juga hanya akan memancing keributan, jika dirinya berbicara dengan pu
Devan dan Vernon mengamati Sheena dan Berlin dari kejauhan tanpa berani mendekat. Kedua pria itu terus melirik ke arah Berlin yang mencoba mengajak Sheena berbicara baik-baik.Kedua wanita itu duduk di meja yang terdapat di pojokan cafe, sementara Devan dan Vernon duduk di bangku yang cukup jauh dari meja Berlin. "Menurutmu apa yang akan dibahas oleh Berlin dengan Sheena?" tanya Devan pada Vernon meminta pendapat."Hm? Entahlah! Mereka anak kandung dan anak angkat dari Nyonya Firda, kan? Kedua wanita itu juga memperebutkan pria yang sama, bukan? Pasti ada banyak hal yang bisa dibahas oleh Berlin dan juga Sheena," tukas Vernon."Meskipun tidak mengenal secara langsung, tapi mungkin kalau hanya sekedar nama saja, kau pasti tahu, kan? Aku Berlin. Kau Sheena, kan?" Berlin mulai membuka perbincangan ringan dengan anak angkat dari orang tua kandungnya itu.Sheena hanya diam dan menatap sinis ke arah Berlin. Pertama kali Sheena melihat Berlin adalah saat Sheena dirawat di rumah sakit, bersam
"Sheena!" Lamunan Sheena pun buyar begitu suara Vernon menggema di telinganya. "Hm?" Sheena langsung mengalihkan pandangannya dari Berlin dan Devan yang berdiri tak jauh di seberang sana.Vernon melirik ke arah tempat yang dilihat oleh Sheena, dan melihat dengan jelas sosok Devan dan Berlin. "Kau ingin menyapa mantan kekasihmu dan juga saudaramu?" cibir Vernon menggoda Sheena."Cih, saudara apanya? Aku tidak kenal!" sergah Sheena tak memiliki niat sedikit pun mengenal akrab Berlin, apalagi setelah wanita itu mendapat omelan dari sang ibu.Saat ini Vernon dan Sheena tengah berkeliling di pusat perbelanjaan untuk membeli barang-barang baru bagi Sheena. Sheena kembali meninggalkan rumah dan tak jadi mengambil barangnya di rumah sang ibu, usai ia terlibat pertengkaran kecil dengan Nyonya Firda.Dengan menggunakan uang simpanan Vernon, Vernon pun berbaik hati membelikan barang kebutuhan Sheena dan akan mengajak Sheena untuk tinggal bersama dengannya."Kita pergi saja! Melihat orang-orang
Berlin, Arkan, dan Sarah pun memasuki sebuah cafe yang ada di pusat perbelanjaan. Dosen dari dua mahasiswi cantik itu menikmati es krim bersama dengan dua gadis yang bersedia menemaninya melahap makanan manis.Berlin terlihat tidak nyaman saat Arkan terus mencuri pandang ke arahnya. Gadis itu terus mengalihkan pandangan dan berharap acara makan es krim mereka segera usai. "Berlin, kudengar kau mengajukan cuti? Bukankah kau akan kembali? Kenapa kau tiba-tiba mengajukan cuti?" tanya Arkan membuka perbincangan.Berlin berhenti mengaduk mangkok es krimnya dan melirik Sarah yang terlihat tak peduli dengan suara Arkan. "Em, ada hal mendesak yang harus aku lakukan dan tidak bisa ditinggal. Jadi, aku memutuskan untuk cuti daripada kuliahku nanti terganggu," terang Berlin."Hal mendesak? Hal mendesak apa?" tanya Arkan begitu senang mencampuri urusan Berlin dan membuat Berlin risih."Em, itu ... aku ada urusan pribadi," jawab Berlin singkat tanpa memberikan penjelasan apa pun.Arkan mulia mene
"Berlin, kenapa kau tiba-tiba mengambil cuti lagi? Apa terjadi sesuatu padamu?" Sarah nampak cemas saat menghubungi sang teman yang baru saja hendak kembali ke kampus, tapi mendadak Berlin justru mengajukan cuti dan menunda melanjutkan pendidikannya sampai waktu yang tidak ditentukan."Aku ... ada kepentingan mendadak. Jadi, aku ingin mengambil cuti saja," jawab Berlin tak ingin membahas tentang kehamilannya yang hampir menginjak dua bulan.Saat ini kekasih Devan itu tengah duduk di dalam kamarnya dengan bosan sembari mengangkat telepon dari sang teman. Devan sudah berangkat ke kantor, dan Berlin berada di rumah bersama dengan pelayan yang menjaganya."Benar kau baik-baik saja? Kau tidak mengalami kecelakaan atau semacamnya, kan?" tanya Sarah membuat Berlin berkeringat dingin seketika.Memang kecelakaan yang dimaksud oleh Sarah, berbeda dengan "kecelakaan" yang dialami oleh Berlin. Namun, tetap saja wanita itu memang mengalami "kecelakaan" yang membuatnya harus menunda keinginan untuk
"Ayah, Ibu ingin berbicara sebentar!" Nyonya Sella menghampiri sang suami yang saat ini tengah sibuk membaca surat kabar sembari menyeruput kopi manis yang masih panas di tangannya.Tuan Wildan masih fokus pada surat kabarnya saat sang istri mendekat dan mengajak dirinya berbincang. "Apa? Katakan saja!" tukas Tuan Wildan.Nyonya Sella nampak tak sabar memberikan berita gembira pada sang suami mengenai kehamilan Berlin dan status mereka yang akan berubah menjadi kakek dan nenek. "Devan tidak lama lagi akan menjadi ayah!" ungkap Nyonya Sella dengan senyum sumringah.Tuan Wildan langsung menyemburkan kopinya begitu ia mendengar berita mengejutkan dari sang istri mengenai putra mereka. "Apa? Ibu tidak salah bicara, kan? Menjadi ayah apanya?" tanya Tuan Wildan dengan alis terangkat tinggi."Ayah tidak salah dengar! Memang benar kalau sebentar lagi Devan akan menjadi ayah. Pacarnya sedang hamil," jelas Nyonya Sella.Tuan Wildan memang tak mengetahui apa pun mengenai kegiatan sang putra, apa
Tok, tok! Pagi-pagi sekali, kediaman Tuan Mahesa sudah kedatangan tamu tak terduga yang berkunjung. Nyonya Firda terkejut bukan main saat ia melihat sesosok gadis yang muncul di depan pintu rumahnya. “SHEENA!” pekik Nyonya Firda kegirangan begitu ia melihat sosok sang putri yang mendadak kembali ke rumah mereka.Nyonya Firda memeluk Sheena dengan erat dan tanpa sadar, manik mata wanita paruh baya itu mulai berkaca-kaca. “Kenapa kau tidak menghubungi Ibu sama sekali? Ayah dan Ibu mencarimu ke mana-mana,” omel Nyonya Firda pada sang putri angkat.Sheena hanya diam tanpa banyak bicara. Vernon yang mengantarkan Sheena, melihat dari kejauhan saat gadis itu dipeluk erat oleh sang ibu. “Dugaan Sheena salah. Orang tua Berlin benar-benar menyayangi Sheena,” gumam Vernon. “Sheena sangat beruntung.”Nyonya Firda langsung menarik tangan Sheena untuk masuk ke dalam rumah dan memasak banyak makanan untuk sang putri. Sheena celingukan di dalam rumah, mencari sosok putri asli dari keluarga Mahesa. ‘K
Devan kini tengah menemani Berlin duduk di dalam kamar, usai Nyonya Firda berpamitan untuk pulang. Devan mengambilkan minuman hangat untuk Berlin dan mencoba menghibur wanita yang baru saja bertengkar dengan ibunya itu.Berita kehamilan Berlin ternyata semakin memperburuk keadaan dan memperumit hubungan antara Berlin dan Nyonya Firda. Devan nampak bingung bagaimana ia harus menghibur sang kekasih hati, sementara dirinya sendiri juga tak cukup akur dengan sang ibu.“Minum dulu, Berlin! Kau terlalu banyak berteriak,” ujar Devan menenangkan Berlin dengan cara yang basi.Berlin meraih cangkir minuman yang ada di tangan Devan dan menyeruput minuman hangat yang kekurangan gula itu. “Kau ini membenciku, ya? Kenapa minumannya tidak terasa manis?” protes Berlin pada Devan.“Benarkah?” Devan merebut cangkir yang ada di tangan berlin, kemudian mencicipi minuman dalam gelas tersebut. “Rasanya enak. Cukup manis,” sergah Devan.“Manis apanya? Rasanya seperti teh tawar. Hambar tidak berasa,” omel Be