"Kau tidak ingin berjalan-jalan keluar? Sudah susah payah aku mengajakmu ke sini," tegur Devan pada Berlin yang asyik bermalas-malasan di ranjang, begitu mereka tiba di vila wilayah pegunungan yang mereka datangi bersama."Aku masih mual. Aku ingin di sini saja," cetus Berlin dengan suara lemas.Devan ikut terduduk lemas di samping Berlin tanpa bersemangat melakukan apa pun. "Kau tidak mendapatkan obat apa pun dari dokter tadi? Ingin pergi ke rumah sakit saja?" tawar Devan dengan wajah cemas. "Tidak perlu sampai ke rumah sakit. Tidak separah itu. Aku hanya ingin istirahat saja," cetus Berlin.Devan ikut berbaring di sebelah Berlin, kemudian memeluk erat sang kekasih sembari mengusap-usap perut Berlin dengan lembut. Pria itu merasakan hal yang aneh saat ia memegang perut Berlin yang berisi calon anaknya bersama Berlin."Rasanya aneh sekali," gumam Devan.Berlin berbalik badan dan menoleh ke arah Devan dengan dahi berkerut. "Kenapa?" tanya Berlin."Aku tidak percaya saja. Sebentar lagi
"Nyonya Firda?" sapa Nyonya Sella pada ibu Berlin saat ia melihat Nyonya Firda yang berdiri di depan pintu. "Nyonya Sella?"Ibu dari Devan itu nampak bingung melihat kedatangan mantan calon besannya itu ke rumah Devan. Seharusnya Nyonya Firda sudah tak memiliki urusan apa pun lagi dengan Devan, mengingat putranya sudah memutuskan hubungan dengan Sheena.Bahkan sekalipun Sheena masih berhubungan dengan Devan, rasanya Nyonya Firda tak pernah sekalipun menghubungi Devan secara pribadi hingga berkunjung ke rumah seperti ini. "Nyonya ... ada keperluan dengan Devan?" tanya Nyonya Sella.Wanita paruh baya itu nampak bingung bagaimana ia harus menjawab di depan Nyonya Sella. Sampai saat ini tidak ada siapa pun yang tahu mengenai Berlin yang ternyata merupakan putri kandungnya. Hanya keluarga inti saja yang tahu, dan Nyonya Firda enggan menyebarkannya sebelum Berlin menerimanya kembali dan mau kembali ke keluarganya.'Haruskah aku ceritakan saja semuanya pada Nyonya Sella? Aku tidak bisa memb
“Aku … harus tinggal di rumah lagi sekarang? Aku tidak bisa datang ke kampus lagi?” rengek Berlin pada Devan di pagi hari, saat pria itu tengah bersiap untuk berangkat ke kantor. Devan langsung mengajak Berlin kembali pulang dari villa, karena gadis itu juga tak dapat menikmati liburan.Dengan kondisi berbadan dua, Berlin pun terpaksa harus mengambil cuti kuliah sampai dirinya melahirkan nanti. Selain itu, Berlin juga harus mulai mengurus berkas pernikahan dengan Devan, sebelum bayi kecil mereka lahir nantinya.“Kalau kau tidak ingin berada di rumah sendiri hari ini, bagaimana kalau kau ikut aku ke kantor?” ajak Devan antusias. Selama mengenal Berlin, Devan belum terlalu memperkenalkan dunianya pada sang kekasih. Selain penyakit yang dideritanya dan masa lalunya di panti, Berlin tak mengetahui banyak hal tentang Devan.“Kau belum pernah melihat kantorku, kan? Aku akan mengajakmu berkeliling!” tawar Devan.Berlin terdiam sejenak. Wanita itu tidak i
Berlin terdiam sejenak begitu ia mendengar perkataan Nyonya Sella yang ngotot mengira dirinya tengah berbadan dua. Gadis itu nampak bingung bagaimana ia bisa melarikan diri dari pertanyaan Nyonya Sella yang membuatnya gugup dan berkeringat dingin.“Aku … ingin mengambil teh hangat dulu. Aku juga akan membuatkan satu cangkir untuk Nyonya,” cetus Berlin mencoba mengalihkan pembicaraan.“Jangan kabur, Berlin! Jawab dulu pertanyaanku! Kau hamil, kan? Anak siapa itu? Anak Devan tau bukan?” tuduh Nyonya Sella begitu tega mengira bayi di perut Berlin bukan milik Devan.“Ini bayi Devan, Nyonya! Selama beberapa bulan terakhir hingga hari ini, hanya Devanlah satu-satunya pria yang menyentuhku!” ujar Berlin keceplosan membeberkan tentang kehamilannya, karena pertanyaan menyebalkan dari Nyonya Sella. ‘Astaga, Mulut Comberan! Apa yang sudah kau katakan pada ibunya Devan?’ jerit Berlin dalam hati.“Jadi … kau benar-benar hamil? Hamil anak Devan?” tanya Nyonya S
Devan kini tengah menemani Berlin duduk di dalam kamar, usai Nyonya Firda berpamitan untuk pulang. Devan mengambilkan minuman hangat untuk Berlin dan mencoba menghibur wanita yang baru saja bertengkar dengan ibunya itu.Berita kehamilan Berlin ternyata semakin memperburuk keadaan dan memperumit hubungan antara Berlin dan Nyonya Firda. Devan nampak bingung bagaimana ia harus menghibur sang kekasih hati, sementara dirinya sendiri juga tak cukup akur dengan sang ibu.“Minum dulu, Berlin! Kau terlalu banyak berteriak,” ujar Devan menenangkan Berlin dengan cara yang basi.Berlin meraih cangkir minuman yang ada di tangan Devan dan menyeruput minuman hangat yang kekurangan gula itu. “Kau ini membenciku, ya? Kenapa minumannya tidak terasa manis?” protes Berlin pada Devan.“Benarkah?” Devan merebut cangkir yang ada di tangan berlin, kemudian mencicipi minuman dalam gelas tersebut. “Rasanya enak. Cukup manis,” sergah Devan.“Manis apanya? Rasanya seperti teh tawar. Hambar tidak berasa,” omel Be
Tok, tok! Pagi-pagi sekali, kediaman Tuan Mahesa sudah kedatangan tamu tak terduga yang berkunjung. Nyonya Firda terkejut bukan main saat ia melihat sesosok gadis yang muncul di depan pintu rumahnya. “SHEENA!” pekik Nyonya Firda kegirangan begitu ia melihat sosok sang putri yang mendadak kembali ke rumah mereka.Nyonya Firda memeluk Sheena dengan erat dan tanpa sadar, manik mata wanita paruh baya itu mulai berkaca-kaca. “Kenapa kau tidak menghubungi Ibu sama sekali? Ayah dan Ibu mencarimu ke mana-mana,” omel Nyonya Firda pada sang putri angkat.Sheena hanya diam tanpa banyak bicara. Vernon yang mengantarkan Sheena, melihat dari kejauhan saat gadis itu dipeluk erat oleh sang ibu. “Dugaan Sheena salah. Orang tua Berlin benar-benar menyayangi Sheena,” gumam Vernon. “Sheena sangat beruntung.”Nyonya Firda langsung menarik tangan Sheena untuk masuk ke dalam rumah dan memasak banyak makanan untuk sang putri. Sheena celingukan di dalam rumah, mencari sosok putri asli dari keluarga Mahesa. ‘K
"Ayah, Ibu ingin berbicara sebentar!" Nyonya Sella menghampiri sang suami yang saat ini tengah sibuk membaca surat kabar sembari menyeruput kopi manis yang masih panas di tangannya.Tuan Wildan masih fokus pada surat kabarnya saat sang istri mendekat dan mengajak dirinya berbincang. "Apa? Katakan saja!" tukas Tuan Wildan.Nyonya Sella nampak tak sabar memberikan berita gembira pada sang suami mengenai kehamilan Berlin dan status mereka yang akan berubah menjadi kakek dan nenek. "Devan tidak lama lagi akan menjadi ayah!" ungkap Nyonya Sella dengan senyum sumringah.Tuan Wildan langsung menyemburkan kopinya begitu ia mendengar berita mengejutkan dari sang istri mengenai putra mereka. "Apa? Ibu tidak salah bicara, kan? Menjadi ayah apanya?" tanya Tuan Wildan dengan alis terangkat tinggi."Ayah tidak salah dengar! Memang benar kalau sebentar lagi Devan akan menjadi ayah. Pacarnya sedang hamil," jelas Nyonya Sella.Tuan Wildan memang tak mengetahui apa pun mengenai kegiatan sang putra, apa
"Berlin, kenapa kau tiba-tiba mengambil cuti lagi? Apa terjadi sesuatu padamu?" Sarah nampak cemas saat menghubungi sang teman yang baru saja hendak kembali ke kampus, tapi mendadak Berlin justru mengajukan cuti dan menunda melanjutkan pendidikannya sampai waktu yang tidak ditentukan."Aku ... ada kepentingan mendadak. Jadi, aku ingin mengambil cuti saja," jawab Berlin tak ingin membahas tentang kehamilannya yang hampir menginjak dua bulan.Saat ini kekasih Devan itu tengah duduk di dalam kamarnya dengan bosan sembari mengangkat telepon dari sang teman. Devan sudah berangkat ke kantor, dan Berlin berada di rumah bersama dengan pelayan yang menjaganya."Benar kau baik-baik saja? Kau tidak mengalami kecelakaan atau semacamnya, kan?" tanya Sarah membuat Berlin berkeringat dingin seketika.Memang kecelakaan yang dimaksud oleh Sarah, berbeda dengan "kecelakaan" yang dialami oleh Berlin. Namun, tetap saja wanita itu memang mengalami "kecelakaan" yang membuatnya harus menunda keinginan untuk