"Akhirnya kita pulang juga!" ucap Berlin nampak girang, akhirnya ia kembali menapakkan kaki di negara kelahirannya, setelah berminggu-minggu dirinya menghabiskan waktu di luar negeri bersama dengan Devan."Kau senang bisa kembali?" tanya Devan sembari mengacak gemas rambut Berlin."Tentu saja aku senang, sangat senang!" sahut Berlin.Pasangan kekasih itu pun benar-benar memutuskan untuk pulang dan kembali ke rutinitas biasa mereka di kota tempat tinggal mereka sebelumnya, meninggalkan negara Jerman. Sesuai dengan perkataan Devan sebelumnya, pria itu berjanji akan membawa Berlin ke rumah baru dan tinggal di kediaman impian yang sudah ia siapkan untuk Berlin."Kita akan pulang ke mana sekarang?" tanya Berlin."Kau akan tahu nanti," cetus Devan sembari menggenggam erat tangan Berlin untuk memulai babak baru kisah mereka, usai Devan memutuskan hubungan dengan Sheena.Mobil yang ditumpangi oleh pasangan kekasih itu mulai melaju di jalan raya, menuju kediaman asri di pinggir kota yang akan
"Ini ... rumah yang akan menjadi tempat tinggal kita?" tanya Berlin dengan manik mata membulat lebar begitu ia dan Devan tiba di sebuah istana kecil yang penuh dengan taman di wilayah pinggir kota.Devan hanya diam, tak menanggapi pertanyaan Berlin. Pria itu masih kesal dengan permintaan Berlin yang lebih memilih ingin menempati kamar kecil daripada tinggal bersama dirinya."Rumahnya besar sekali," gumam Berlin tak henti-hentinya berdecak kagum."Kau bisa pilih kamar yang kau suka kalau kau tidak ingin tidur di kamar yang sama denganku," cetus Devan dengan ekspresi dingin.Berlin yang menyadari perubahan sikap Devan, mulai menangkap jika sang kekasih masih kesal mengenai pembicaraan terakhir mereka di dalam mobil. 'Devan pasti masih kesal padaku,' batin Berlin cemas.Gadis itu pun berinisiatif membujuk Devan dengan bermanja-manja pada sang kekasih. "Untuk apa aku harus memilih kamar lain? Tentu aku ingin kamar yang sama denganmu," ujar Berlin sembari memeluk lengan Devan."Tidak perlu
"Selamat malam, Nyonya Sella." Malam hari, Nyonya Firda sengaja mengunjungi kediaman tempat Nyonya Sella tinggal di Kota Berlin. Wanita paruh baya itu berencana meninggalkan Kota Berlin, begitu ia tahu kalau Berlin sudah kembali ke negara asal. Tak ada lagi alasan bagi Nyonya Firda untuk berlama-lama di Kota Berlin, terlebih lagi kedua putrinya sudah meninggalkan negara tersebut."Nyonya Firda? Anda masih ada di Jerman?" sapa Nyonya Sella, kemudian mempersilahkan tamunya untuk masuk.Kedua wanita paruh baya itu duduk saling berhadapan sembari menyeruput teh manis hangat yang tersaji di meja ruang tamu. Nyonya Sella sudah menebak jika kedatangan Nyonya Firda mengunjungi dirinya tak lain ialah untuk membahas mengenai hubungan Devan dan Sheena yang telah kandas."Jadi ....""Nyonya ingin membahas tentang Devan dan Sheena?" tanya Nyonya Sella.Nyonya Firda mengulas senyum tipis, kemudian menyeruput teh yang disuguhkan untukku sebelum ia melanjutkan kembali kalimatnya. "Nyonya sepertinya
"Aku buatkan teh manis untukmu," Berlin menyodorkan secangkir teh panas pada Devan yang tengah sibuk membolak-balikkan berkas yang menumpuk di mejanya. "Hm!" jawab Devan singkat tanpa menoleh sedikit pun pada Berlin yang tengah tersenyum padanya.'Devan masih marah padaku?' batin Anna merasa tak enak hati pada Devan karena dirinya terus saja memancing amarah Devan."Kau sudah minum obatmu? Kapan dokter akan datang kemari? Aku belum mendapatkan jadwal pemeriksaan yang baru setelah kita pindah kemari," cetus Berlin mencoba membuka perbincangan dengan Devan."Maaf, Sayang. Aku sedang ada pekerjaan, kau bisa tidur sekarang jika kau sudah mengantuk," ujar Devan tanpa melirik ke arah Berlin.Berlin menggigit bibir bawahnya sembari menatap sebal ke arah Devan yang nampak sengaja mengacuhkan dirinya. "Aku belum mengantuk. Kau ingin camilan malam? Ingin kubuatkan sesuatu?" tawar Berlin."Tidak perlu membuang waktu untuk hal yang tidak perlu. Istirahat saja," titah Devan."Aku belum mengantuk.
"Pagi-pagi kau sudah rapi sekali," sapa Devan sembari merengkuh tubuh sang kekasih dari belakang.Berlin yang tengah bersolek di depan cermin, sontak menoleh ke belakang dan melihat Devan yang sudah menempel di punggungnya."Aku akan berangkat ke kampus hari ini. Ada beberapa hal yang harus kuurus," ujar Berlin."Hari ini? Kenapa kau tidak bilang padaku dari semalam?" protes Devan."Kau ada pekerjaan penting hari ini, kan? Aku tidak ingin kau membatalkan pertemuan penting hari ini hanya demi menemaniku ke kampus," cetus Berlin. "Sekarang sudah tidak ada lagi Vernon yang membantumu. Kau pasti kerepotan."Memang Devan menjadi lebih sibuk semenjak Vernon memutuskan untuk berhenti bekerja. Tak hanya kehilangan perawat, Devan juga kehilangan asisten untuk pekerjaan kantor yang biasanya membantu mengurus segala kesibukan di perusahaan."Kalau begitu ... bagaimana kalau kau saja yang membantuku? Maganglah di perusahaanku. Semester ini kau harus menemukan tempat magang, kan?" tukas Devan."Me
"Apa yang terjadi padamu? Kau menghilang selama berminggu-minggu dan aku tidak bisa menghubungimu. Kau juga masih bersama dengan sugar daddy barumu itu?" tanya Sarah mulai membuka perbincangan bersama dengan Berlin di area taman kampus."Hm? Sugar ... daddy?" tanya Berlin.Sarah langsung memukul mulutnya begitu ia kembali membahas perihal "sugar" di depan Berlin, padahal sudah beredar peringatan mengenai hal ini jika Berlin kembali ke kampus. Tentu saja hal ini adalah permintaan khusus dari Devan, agar Berlin bisa kembali beraktivitas di kampus dengan nyaman tanpa lagi terganggu dengan rumor sugar baby yang pernah menimpanya."Kau melihatku datang dengan Devan?" tanya Berlin dengan kepala menunduk."Kurasa ... semua orang melihatnya. Mobil Devan terlalu mencolok," cetus Sarah dengan polosnya."Mobil mahal langka?" tukas Berlin dengan senyum kecut.Sarah berusaha mengubah topik pembahasan begitu ia melihat wajah Berlin yang terlihat murung. "Jadi ... apa yang kau lakukan selama beberap
"A-aku tidak berbicara dengan siapa pun. Aku tidak meladeni orang-orang yang tidak jelas," terang Berlin mencoba menjelaskan."Kau yakin? Kau berbicara dengan pria, kan? Baru saja? Kalian terlihat akrab," sindir Devan. "Aku juga ingat, pria itu datang ke pemakaman Wanda dan dia juga datang ke rumah sakit untuk menjengukmu. Kau masih ingin mengelak?" 'Maksudnya Arkan? Dia benar-benar mengawasiku?' batin Berlin."Kau ... sengaja mengawasiku. Iya, kan?" cetus Berlin.Devan meraih pergelangan tangan Berlin dan menggenggam erat tangan mungil kekasihnya itu. "Aku tidak suka melihatmu dekat-dekat dengannya. Sekalipun dia seorang dosen. Seharusnya kau tahu batasan antara murid dan pengajar," tukas Devan."Aku tanya padamu, apa kau mengawasiku?" pekik Berlin dengan mata memerah penuh amarah.Devan terdiam sejenak dan mengatupkan bibir rapat-rapat. Pria itu membalas tatapan tajam dari Berlin dan menjawab pertanyaan Berlin dengan tampang tanpa dosa."Memangnya kenapa kalau aku mengawasimu? Tida
"Ibu sudah sampai." Nyonya Firda menghubungi sang suami begitu wanita paruh baya itu mendarat dari pesawat. Karena Berlin juga telah kembali pulang ke negara asal, tak ada alasan lagi bagi Nyonya Firda untuk berlama-lama berada di Jerman. Wanita paruh baya itu pun memutuskan untuk kembali dan mencari Berlin yang kini masih tinggal bersama Devan."Ayah sedang ada pertemuan mendadak. Ayah sudah mengirimkan supir. Coba Ibu hubungi! Sampai bertemu di rumah nanti," cetus Tuan Mahesa.Nyonya Firda menyeret kopernya keluar dari bandara begitu wanita itu berjumpa dengan sang supir yang ditugaskan untuk menjemputnya. Supir itu langsung merebut koper dari tangan Nyonya Firda, dan melayani sang nyonya yang hendak kembali ke rumah tercinta."Berlin ... kau juga ada di kota ini, kan?" gumam Nyonya Firda.Nyonya Firda sendiri sudah memastikan jika Berlin adalah putrinya yang hilang belasan tahun lalu. Ibu kandung Berlin itu masih akan berusaha membujuk Berlin untuk kembali padanya, dengan membawa T