"Kau ingin hidup susah bersama Berlin? Kau pikir kau bisa hidup tanpa uang? Kau pikir kau bisa bertahan hanya dengan tekad? Untuk biaya terapi psikolog saja kau sudah menghabiskan ratusan juta. Belum lagi untuk obat-obatan dan perawatan lainnya!" omel Nyonya Sella pada Devan saat mendengar perkataan putranya yang dengan entengnya akan mengejar Berlin ke dunia sang gadis."Ibu pikir aku bodoh? Ibu pikir aku tidak bisa mencari uang sendiri? Ibu pikir selama ini aku hanya bisa bergantung pada uang keluarga?" sinis Devan."Kau memang bodoh dan kau hanya bisa bergantung pada uang Ayah dan Ibu! Berhentilah bertingkah dan temui Sheena sekarang!" cetus Nyonya Sella."Kau tidak akan bisa bertahan hidup tanpa Ibu! Kehidupan miskin Berlin tidak akan mampu membiayai terapimu. Apa jadinya jika penyakitmu bertambah parah? Kau hanya akan makin menyusahkan Berlin!" sungut Nyonya Sella.Devan hanya bisa diam dan membenarkan semua perkataan sang ibu dalam hati. Tangan pria itu mengepal kuat, memusatkan
"Devan!" panggil Sheena pada sang kekasih, begitu Sheena melihat sosok Devan di dalam coffee shop tempat mereka membuat janji temu.Devan menoleh ke arah pintu dan melihat wajah Sheena yang berseri saat bertatapan dengannya.Sheena bak tak peduli sama sekali dengan sikap dingin Devan pada dirinya sebelumnya di bandara. Wanita itu masih dapat tersenyum sumringah dan bertingkah seolah tak ada yang terjadi sebelumnya."Aku benar-benar kagum padamu," ujar Devan saat melihat wajah girang Sheena saat gadis itu duduk di hadapannya."Kenapa?""Aku jelas-jelas meninggalkanmu di bandara dan aku lebih memilih mengejar wanita lain. Kau masih ingin bersikap seperti ini padaku? Menampakkan senyum seolah tak ada yang terjadi di antara kita?" cetus Devan."Pria tidak suka dengan wanita yang bawel dan berisik, bukan? Tentu aku kesal padamu. Tapi sekesal apa pun aku padamu, kau masih tetap tunanganku.""Sayangnya tidak akan lagi, Sheena!" sergah Devan.Sheena menatap Devan dengan sorot mata tajam. "Mak
"Kau masih ingin di sini?" tanya Vernon pada Berlin."Aku ingin ke rumah Devan. Ayo, pergi!" ajak Vernon sembari menarik lengan Berlin."Aku ... masih ingin di sini," cetus Berlin, kemudian menepis tangan Vernon yang melingkar di lengannya."Hm?""Aku akan menunggu Devan menjemputku," ucap Berlin.Vernon menatap Berlin dengan dahi berkerut. "Memangnya Devan ke mana?" tanya Vernon."Devan sedang mengurus tamu,""Tamu apa?" tanya Vernon penasaran."Aku tidak tahu dan aku tidak ingin ikut campur. Aku akan menunggu Devan di sini," tegas Berlin."Baiklah. Kalau begitu aku pergi," Vernon melangkah, meninggalkan Berlin yang masih duduk di taman seorang diri.Di tengah jalan, Vernon tak sengaja berpapasan dengan Nyonya Firda yang baru saja keluar dari kediaman Devan."Vernon?" sapa Nyonya Firda pada Vernon."Nyonya?" Vernon menyapa Nyonya Firda sekenanya. Pria itu sudah berusaha menghindar dari Nyonya Firda, tapi tak disangkanya dirinya justru bertemu dengan Nyonya Firda di sini."Kau akan k
"Siapa gadis itu?" tanya Sheena pada sang ibu selama dalam perjalanan kembali menuju hotel."Bagaimana Ibu bisa mengenalnya? Di mana Ibu mengenalnya? Apa selama ini Ibu tahu kalau gadis itu memiliki hubungan dengan Devan?"Sheena terus mencecar sang ibu dengan banyak pertanyaan dan menginterogasi sang ibu yang memiliki hubungan dengan Berlin."Ibu tidak tahu kalau Berlin memiliki hubungan seperti itu dengan Devan. Ibu hanya tahu kalau Berlin dirawat di rumah sakit yang sama dengan Devan. Ibu tidak tahu kalau Berlin pergi ke Jerman bersama dengan Devan," terang Nyonya Firda."Benarkah?" selidik Sheen sembari memicingkan mata pada sang ibu.'Apa gadis yang dilihat Ibu di CCTV adalah gadis itu? Gadis bernama Berlin? Gadis yang membuat Devan meninggalkanku?' batin Sheena menerka-nerka kemungkinan kalau Berlin adalah orang yang dicari oleh sang ibu.'Siapa sebenarnya gadis itu? Dia sudah membuat Devan berpaling dariku, sekarang dia juga ingin mengambil ibuku?' geram Sheena dalam hati."Jad
Devan mengajak Berlin membeli es krim di minimarket dekat rumah dan sengaja menghabiskan waktu di luar lebih lama."Vernon menunggumu di rumah," ujar Berlin pada Devan agar pria itu segera pulang menemui Vernon."Biar saja! Aku tidak ingin melihat wajahnya yang menyebalkan!" cetus Devan sembari melahap es krimnya dengan brutal."Kalian bertengkar?" tanya Berlin seraya mengusap sudut bibir Devan yang belepotan karena es krim."Vernon dulu yang memulai!" sungut Devan bak remaja yang tengah merajuk pada pacarnya."Kali ini benar-benar. Kekanakan!" "Vernon yang bertingkah aneh lebih dulu! Aku tidak suka caranya berbicara denganmu! Aku juga tidak suka caranya menatapmu! Aku tidak suka saat Vernon mengetahui lebih banyak hal tentangmu dari pada aku," ungkap Devan."Memangnya apa yang Vernon ketahui?" tanya Berlin dengan dahi berkerut."Kau berbicara banyak dengan Vernon di taman tadi, kan?" tegur Devan."Dari mana kau tahu?" tanya Berlin dengan mata membulat lebar."Aku melihatmu tadi," De
"Astaga! Apa Devan tidak memiliki kalimat lain yang lebih pas? Kenapa dia berbicara dengan kata-kata ambigu begitu?" gumam Berlin bergidik ngeri."Arti apa maksudnya, Bos? Jangan membuatku merinding," tukas Vernon ikut berpikiran aneh karena pertanyaan Devan yang cukup membuatnya geli.Pria itu melangkah menuju sofa, kemudian mendaratkan tubuhnya di kursi empuk dan melanjutkan pembicaraannya dengan Devan."Aku sudah berpamitan pada Nyonya. Kupikir aku harus berpamitan dengan cara yang benar juga pada Bos," ujar Vernon."Sudah ada Berlin yang akan menemanimu di sini. Aku akan pulang besok," ungkap Vernon."Bisa kau katakan alasan yang sebenarnya?" "Alasan apa?""Tentu saja alasanmu tiba-tiba berhenti seperti ini. Apa kau kesal padaku?" tanya Devan.Vernon menampakkan senyum kecut pada Devan. Tentu pria itu tak dapat mengatakan alasan yang sebenarnya.Luka Vernon yang telah lama ia pendam, tak akan ia umbar pada siapa pun dan akan ia kubur dalam-dalam."Aku hanya lelah dan bosan. Aku i
"Devan, besok kau mempunyai jadwal terapi lagi, kan?" tanya Berlin pada Devan yang tengah duduk termenung di dalam kamar seorang diri sembari menatap kosong ke arah jendela.Devan hanya diam tak menanggapi pertanyaan sang kekasih. Pria itu sibuk dengan pikirannya sendiri, membayangkan bagaimana ia bisa melakukan semua hal seorang diri tanpa bantuan Vernon lagi sekarang."Devan, kau mau jus jeruk?" tanya Berlin mencoba menghibur Devan yang tengah bersedih hati karena Vernon."Hm? Jus jeruk? Boleh aku minta susu saja?" tukas Devan."Susu apa?" tanya Berlin dengan polosnya."Susa apa lagi?" goda Devan sembari mencolek dagu Berlin."Devan, hentikan!" omel Berlin sembari menjitak pelan kepala Devan."Bagaimana kalau kita pulang saja?" ajak Devan tiba-tiba."Pulang?" tanya Berlin dengan dahi berkerut."Pendidikanmu terhambat karena aku, kan? Aku ... akan mengembalikan beasiswamu. Kembalilah ke kampus, Berlin. Aku akan mendukung pendidikanmu," ujar Devan pada sang kekasih."Aku tidak terlalu
"Ibu mau ke mana?" tanya Sheena pada Nyonya Firda yang sudah berpakaian rapi di pagi buta.Ke mana lagi tujuan wanita paruh baya itu jika bukan hendak menuju ke rumah Devan, tempat di mana Berlin tinggal."Kau tahu ke mana Ibu akan pergi, Sheena. Ibu tidak bisa membohongimu," ujar Nyonya Firda."Ibu akan mengajak anak Ibu pulang? Kembali berkumpul dengan keluarga Ibu yang sudah lengkap dan meninggalkanku seorang diri?" tanya Sheena terlalu mendramatisir."Sheena, kau tahu Ibu bukan orang yang seperti itu," tukas Nyonya Firda."Kalian semua anak Ibu. Putri kesayangan Ibu. Tentu Ibu juga merindukan anak kandung Ibu, apalagi Ibu sudah lama tidak bertemu," ungkap Nyonya Firda."Ibu hanya ingin memastikannya saja. Ibu belum mencari tahu banyak hal mengenai Berlin. Ibu hanya tahu kalau Berlinlah pemilik dari foto yang Ibu temukan. Ibu hanya ingin menanyakan kejelasannya," sambung Nyonya Firda."Kejelasan apa lagi? Bukankah sudah jelas kalau gadis itu bernama Berliana Soraya. Iya, kan? Nama