"Aku sudah memperingatkan pada Ibu untuk jangan mencampuri urusanku!" sentak Devan.Berlin hanya diam, tak menanggapi perkataan dari ibunda kekasihnya. Baginya, hinaan serta pengusiran seperti ini sudah terjadi berulang kali, sehingga Berlin sudah terbiasa dan tak mengambil hati ucapan Nyonya Sella."Baik, Nyonya." Berlin mulai melangkah meninggalkan bangku tempat Devan serta Nyonya Sella duduk."Berlin!" Devan langsung menarik tangan Berlin dan melotot pada gadis berwajah datar itu."Kenapa?""Kenapa apanya? Kau mau ke mana? Kau tidak boleh pergi ke mana pun!" sungut Devan."Devan, ini hanya masalah kecil. Aku akan memperjuangkan hal yang menjadi hakku, tapi aku tidak akan serakah pada sesuatu yang belum menjadi milikku. Aku tidak ada hak di rumah ini. Dari pada memancing pertengkaran, lebih baik aku turuti saja," tukas Berlin.Gadis itu terlalu lelah membuang energi hanya untuk beradu mulut. Terlebih lagi, luka di tubuh Berlin masih membuat suasana hati gadis itu memburuk.Ditambah
Berlin duduk di taman kompleks seorang diri, sembari menunggu Devan datang menjemputnya. Gadis itu menatap ke arah pepohonan rindang dan sesekali menatap ke arah langit cerah yang terpampang di depan matanya.Tiba-tiba seorang pria muncul entah dari mana dan menawarkan sebotol minuman padanya.Berlin menoleh ke arah pria tersebut, dan langsung disuguhi senyum tipis oleh pria yang tak lain ialah Vernon."Kenapa kau bisa ada di sini?" tanya Berlin."Kau sendiri ... apa yang kau lakukan di sini?" tanya Vernon balik."Devan mencarimu. Kenapa kau tidak muncul beberapa hari ini?""Sepertinya hubunganmu masih terlihat baik dengan Devan," komentar Vernon."Kau tidak kesal pada Devan? Padahal Devan sudah menghancurkan hidupmu," imbuh Vernon."Kalau membahas kesal ... tentu saja aku kesal," ungkap Berlin."Tapi kehancuranku di masa lalu sudah digantikan dengan kebahagiaan oleh Devan," sambung Berlin."Jadi, kau memilih untuk tetap bersama Devan?" tanya Vernon."Apa kau sudah tahu semuanya tenta
"Kau ingin hidup susah bersama Berlin? Kau pikir kau bisa hidup tanpa uang? Kau pikir kau bisa bertahan hanya dengan tekad? Untuk biaya terapi psikolog saja kau sudah menghabiskan ratusan juta. Belum lagi untuk obat-obatan dan perawatan lainnya!" omel Nyonya Sella pada Devan saat mendengar perkataan putranya yang dengan entengnya akan mengejar Berlin ke dunia sang gadis."Ibu pikir aku bodoh? Ibu pikir aku tidak bisa mencari uang sendiri? Ibu pikir selama ini aku hanya bisa bergantung pada uang keluarga?" sinis Devan."Kau memang bodoh dan kau hanya bisa bergantung pada uang Ayah dan Ibu! Berhentilah bertingkah dan temui Sheena sekarang!" cetus Nyonya Sella."Kau tidak akan bisa bertahan hidup tanpa Ibu! Kehidupan miskin Berlin tidak akan mampu membiayai terapimu. Apa jadinya jika penyakitmu bertambah parah? Kau hanya akan makin menyusahkan Berlin!" sungut Nyonya Sella.Devan hanya bisa diam dan membenarkan semua perkataan sang ibu dalam hati. Tangan pria itu mengepal kuat, memusatkan
"Devan!" panggil Sheena pada sang kekasih, begitu Sheena melihat sosok Devan di dalam coffee shop tempat mereka membuat janji temu.Devan menoleh ke arah pintu dan melihat wajah Sheena yang berseri saat bertatapan dengannya.Sheena bak tak peduli sama sekali dengan sikap dingin Devan pada dirinya sebelumnya di bandara. Wanita itu masih dapat tersenyum sumringah dan bertingkah seolah tak ada yang terjadi sebelumnya."Aku benar-benar kagum padamu," ujar Devan saat melihat wajah girang Sheena saat gadis itu duduk di hadapannya."Kenapa?""Aku jelas-jelas meninggalkanmu di bandara dan aku lebih memilih mengejar wanita lain. Kau masih ingin bersikap seperti ini padaku? Menampakkan senyum seolah tak ada yang terjadi di antara kita?" cetus Devan."Pria tidak suka dengan wanita yang bawel dan berisik, bukan? Tentu aku kesal padamu. Tapi sekesal apa pun aku padamu, kau masih tetap tunanganku.""Sayangnya tidak akan lagi, Sheena!" sergah Devan.Sheena menatap Devan dengan sorot mata tajam. "Mak
"Kau masih ingin di sini?" tanya Vernon pada Berlin."Aku ingin ke rumah Devan. Ayo, pergi!" ajak Vernon sembari menarik lengan Berlin."Aku ... masih ingin di sini," cetus Berlin, kemudian menepis tangan Vernon yang melingkar di lengannya."Hm?""Aku akan menunggu Devan menjemputku," ucap Berlin.Vernon menatap Berlin dengan dahi berkerut. "Memangnya Devan ke mana?" tanya Vernon."Devan sedang mengurus tamu,""Tamu apa?" tanya Vernon penasaran."Aku tidak tahu dan aku tidak ingin ikut campur. Aku akan menunggu Devan di sini," tegas Berlin."Baiklah. Kalau begitu aku pergi," Vernon melangkah, meninggalkan Berlin yang masih duduk di taman seorang diri.Di tengah jalan, Vernon tak sengaja berpapasan dengan Nyonya Firda yang baru saja keluar dari kediaman Devan."Vernon?" sapa Nyonya Firda pada Vernon."Nyonya?" Vernon menyapa Nyonya Firda sekenanya. Pria itu sudah berusaha menghindar dari Nyonya Firda, tapi tak disangkanya dirinya justru bertemu dengan Nyonya Firda di sini."Kau akan k
"Siapa gadis itu?" tanya Sheena pada sang ibu selama dalam perjalanan kembali menuju hotel."Bagaimana Ibu bisa mengenalnya? Di mana Ibu mengenalnya? Apa selama ini Ibu tahu kalau gadis itu memiliki hubungan dengan Devan?"Sheena terus mencecar sang ibu dengan banyak pertanyaan dan menginterogasi sang ibu yang memiliki hubungan dengan Berlin."Ibu tidak tahu kalau Berlin memiliki hubungan seperti itu dengan Devan. Ibu hanya tahu kalau Berlin dirawat di rumah sakit yang sama dengan Devan. Ibu tidak tahu kalau Berlin pergi ke Jerman bersama dengan Devan," terang Nyonya Firda."Benarkah?" selidik Sheen sembari memicingkan mata pada sang ibu.'Apa gadis yang dilihat Ibu di CCTV adalah gadis itu? Gadis bernama Berlin? Gadis yang membuat Devan meninggalkanku?' batin Sheena menerka-nerka kemungkinan kalau Berlin adalah orang yang dicari oleh sang ibu.'Siapa sebenarnya gadis itu? Dia sudah membuat Devan berpaling dariku, sekarang dia juga ingin mengambil ibuku?' geram Sheena dalam hati."Jad
Devan mengajak Berlin membeli es krim di minimarket dekat rumah dan sengaja menghabiskan waktu di luar lebih lama."Vernon menunggumu di rumah," ujar Berlin pada Devan agar pria itu segera pulang menemui Vernon."Biar saja! Aku tidak ingin melihat wajahnya yang menyebalkan!" cetus Devan sembari melahap es krimnya dengan brutal."Kalian bertengkar?" tanya Berlin seraya mengusap sudut bibir Devan yang belepotan karena es krim."Vernon dulu yang memulai!" sungut Devan bak remaja yang tengah merajuk pada pacarnya."Kali ini benar-benar. Kekanakan!" "Vernon yang bertingkah aneh lebih dulu! Aku tidak suka caranya berbicara denganmu! Aku juga tidak suka caranya menatapmu! Aku tidak suka saat Vernon mengetahui lebih banyak hal tentangmu dari pada aku," ungkap Devan."Memangnya apa yang Vernon ketahui?" tanya Berlin dengan dahi berkerut."Kau berbicara banyak dengan Vernon di taman tadi, kan?" tegur Devan."Dari mana kau tahu?" tanya Berlin dengan mata membulat lebar."Aku melihatmu tadi," De
"Astaga! Apa Devan tidak memiliki kalimat lain yang lebih pas? Kenapa dia berbicara dengan kata-kata ambigu begitu?" gumam Berlin bergidik ngeri."Arti apa maksudnya, Bos? Jangan membuatku merinding," tukas Vernon ikut berpikiran aneh karena pertanyaan Devan yang cukup membuatnya geli.Pria itu melangkah menuju sofa, kemudian mendaratkan tubuhnya di kursi empuk dan melanjutkan pembicaraannya dengan Devan."Aku sudah berpamitan pada Nyonya. Kupikir aku harus berpamitan dengan cara yang benar juga pada Bos," ujar Vernon."Sudah ada Berlin yang akan menemanimu di sini. Aku akan pulang besok," ungkap Vernon."Bisa kau katakan alasan yang sebenarnya?" "Alasan apa?""Tentu saja alasanmu tiba-tiba berhenti seperti ini. Apa kau kesal padaku?" tanya Devan.Vernon menampakkan senyum kecut pada Devan. Tentu pria itu tak dapat mengatakan alasan yang sebenarnya.Luka Vernon yang telah lama ia pendam, tak akan ia umbar pada siapa pun dan akan ia kubur dalam-dalam."Aku hanya lelah dan bosan. Aku i
"Kenapa kau terus saja melamun selama beberapa hari ini? Kau sedang tidak enak badan?" tegur Devan pada Berlin.Berlin yang tengah menatap jendela dengan tatapan kosong, segera menyadarkan diri dari lamunan dan melirik Devan yang sudah duduk di sampingnya. "Tidak. Aku tidak melamun," cetus Berlin."Kau gugup?" tanya Devan lagi.Tentu saja Berlin sangat gugup menyambut hari bahagianya yang akan datang esok hari. Ya, besok dirinya akan menikah dengan Devan. Berlin akan menjadi pengantin.Devan sudah menyiapkan sebuah pesta kecil untuk Berlin, sebelum keluarga besar mereka membuatkan pesta untuk mereka. Devan sengaja ingin membuat acara sendiri yang sesuai dengan keinginannya. Meskipun pada akhirnya nanti, Devan harus menuruti keinginan kedua orang tuanya, tapi setidaknya ia juga ingin memiliki kesempatan untuk merancang acaranya sendiri. "Aku hanya menyiapkan pesta kecil yang akan dihadiri oleh keluarga inti saja. Tidak apa-apa, kan? Setelah itu, masih akan ada acara yang dibuat oleh
“Ayah, ayo cepat!” Nyonya Sella menarik tangan sang suami dan hendak mengajak Tuan Wildan untuk mengunjungi keluarga Berlin, yaitu Nyonya Firda dan Tuan Mahesa. Apalagi alasan Nyonya Sella mengunjungi Nyonya Firda dan keluarga jika bukan untuk membahas tentang pernikahan Berlin serta Devan.“Kita tidak akan mengajak Devan? Ada baiknya, kita lamar dulu Berlin untuk Devan sebelum membahas tentang pernikahan seperti ini,” tukas Tuan Wildan ingin membantu sang putra melewati tahapan yang benar sebelum meresmikan hubungan dengan Berlin.Nyonya Sella tentu tidak akan melibatkan Devan. Wanita paruh baya itu tahu jika Devan hanya akan mengomel padanya jika Nyonya Sella ikut campur. Daripada mendengar penolakan Devan dan omelan putranya, lebih Nyonya Sella bertindak seorang diri dan langsung menembak orang tua Berlin.“Abaikan saja Devan! Ibu tidak ingin mendengar suara cerewet Devan,” cetus Nyonya Sella.Tuan Wildan sendiri juga hanya akan memancing keributan, jika dirinya berbicara dengan pu
Devan dan Vernon mengamati Sheena dan Berlin dari kejauhan tanpa berani mendekat. Kedua pria itu terus melirik ke arah Berlin yang mencoba mengajak Sheena berbicara baik-baik.Kedua wanita itu duduk di meja yang terdapat di pojokan cafe, sementara Devan dan Vernon duduk di bangku yang cukup jauh dari meja Berlin. "Menurutmu apa yang akan dibahas oleh Berlin dengan Sheena?" tanya Devan pada Vernon meminta pendapat."Hm? Entahlah! Mereka anak kandung dan anak angkat dari Nyonya Firda, kan? Kedua wanita itu juga memperebutkan pria yang sama, bukan? Pasti ada banyak hal yang bisa dibahas oleh Berlin dan juga Sheena," tukas Vernon."Meskipun tidak mengenal secara langsung, tapi mungkin kalau hanya sekedar nama saja, kau pasti tahu, kan? Aku Berlin. Kau Sheena, kan?" Berlin mulai membuka perbincangan ringan dengan anak angkat dari orang tua kandungnya itu.Sheena hanya diam dan menatap sinis ke arah Berlin. Pertama kali Sheena melihat Berlin adalah saat Sheena dirawat di rumah sakit, bersam
"Sheena!" Lamunan Sheena pun buyar begitu suara Vernon menggema di telinganya. "Hm?" Sheena langsung mengalihkan pandangannya dari Berlin dan Devan yang berdiri tak jauh di seberang sana.Vernon melirik ke arah tempat yang dilihat oleh Sheena, dan melihat dengan jelas sosok Devan dan Berlin. "Kau ingin menyapa mantan kekasihmu dan juga saudaramu?" cibir Vernon menggoda Sheena."Cih, saudara apanya? Aku tidak kenal!" sergah Sheena tak memiliki niat sedikit pun mengenal akrab Berlin, apalagi setelah wanita itu mendapat omelan dari sang ibu.Saat ini Vernon dan Sheena tengah berkeliling di pusat perbelanjaan untuk membeli barang-barang baru bagi Sheena. Sheena kembali meninggalkan rumah dan tak jadi mengambil barangnya di rumah sang ibu, usai ia terlibat pertengkaran kecil dengan Nyonya Firda.Dengan menggunakan uang simpanan Vernon, Vernon pun berbaik hati membelikan barang kebutuhan Sheena dan akan mengajak Sheena untuk tinggal bersama dengannya."Kita pergi saja! Melihat orang-orang
Berlin, Arkan, dan Sarah pun memasuki sebuah cafe yang ada di pusat perbelanjaan. Dosen dari dua mahasiswi cantik itu menikmati es krim bersama dengan dua gadis yang bersedia menemaninya melahap makanan manis.Berlin terlihat tidak nyaman saat Arkan terus mencuri pandang ke arahnya. Gadis itu terus mengalihkan pandangan dan berharap acara makan es krim mereka segera usai. "Berlin, kudengar kau mengajukan cuti? Bukankah kau akan kembali? Kenapa kau tiba-tiba mengajukan cuti?" tanya Arkan membuka perbincangan.Berlin berhenti mengaduk mangkok es krimnya dan melirik Sarah yang terlihat tak peduli dengan suara Arkan. "Em, ada hal mendesak yang harus aku lakukan dan tidak bisa ditinggal. Jadi, aku memutuskan untuk cuti daripada kuliahku nanti terganggu," terang Berlin."Hal mendesak? Hal mendesak apa?" tanya Arkan begitu senang mencampuri urusan Berlin dan membuat Berlin risih."Em, itu ... aku ada urusan pribadi," jawab Berlin singkat tanpa memberikan penjelasan apa pun.Arkan mulia mene
"Berlin, kenapa kau tiba-tiba mengambil cuti lagi? Apa terjadi sesuatu padamu?" Sarah nampak cemas saat menghubungi sang teman yang baru saja hendak kembali ke kampus, tapi mendadak Berlin justru mengajukan cuti dan menunda melanjutkan pendidikannya sampai waktu yang tidak ditentukan."Aku ... ada kepentingan mendadak. Jadi, aku ingin mengambil cuti saja," jawab Berlin tak ingin membahas tentang kehamilannya yang hampir menginjak dua bulan.Saat ini kekasih Devan itu tengah duduk di dalam kamarnya dengan bosan sembari mengangkat telepon dari sang teman. Devan sudah berangkat ke kantor, dan Berlin berada di rumah bersama dengan pelayan yang menjaganya."Benar kau baik-baik saja? Kau tidak mengalami kecelakaan atau semacamnya, kan?" tanya Sarah membuat Berlin berkeringat dingin seketika.Memang kecelakaan yang dimaksud oleh Sarah, berbeda dengan "kecelakaan" yang dialami oleh Berlin. Namun, tetap saja wanita itu memang mengalami "kecelakaan" yang membuatnya harus menunda keinginan untuk
"Ayah, Ibu ingin berbicara sebentar!" Nyonya Sella menghampiri sang suami yang saat ini tengah sibuk membaca surat kabar sembari menyeruput kopi manis yang masih panas di tangannya.Tuan Wildan masih fokus pada surat kabarnya saat sang istri mendekat dan mengajak dirinya berbincang. "Apa? Katakan saja!" tukas Tuan Wildan.Nyonya Sella nampak tak sabar memberikan berita gembira pada sang suami mengenai kehamilan Berlin dan status mereka yang akan berubah menjadi kakek dan nenek. "Devan tidak lama lagi akan menjadi ayah!" ungkap Nyonya Sella dengan senyum sumringah.Tuan Wildan langsung menyemburkan kopinya begitu ia mendengar berita mengejutkan dari sang istri mengenai putra mereka. "Apa? Ibu tidak salah bicara, kan? Menjadi ayah apanya?" tanya Tuan Wildan dengan alis terangkat tinggi."Ayah tidak salah dengar! Memang benar kalau sebentar lagi Devan akan menjadi ayah. Pacarnya sedang hamil," jelas Nyonya Sella.Tuan Wildan memang tak mengetahui apa pun mengenai kegiatan sang putra, apa
Tok, tok! Pagi-pagi sekali, kediaman Tuan Mahesa sudah kedatangan tamu tak terduga yang berkunjung. Nyonya Firda terkejut bukan main saat ia melihat sesosok gadis yang muncul di depan pintu rumahnya. “SHEENA!” pekik Nyonya Firda kegirangan begitu ia melihat sosok sang putri yang mendadak kembali ke rumah mereka.Nyonya Firda memeluk Sheena dengan erat dan tanpa sadar, manik mata wanita paruh baya itu mulai berkaca-kaca. “Kenapa kau tidak menghubungi Ibu sama sekali? Ayah dan Ibu mencarimu ke mana-mana,” omel Nyonya Firda pada sang putri angkat.Sheena hanya diam tanpa banyak bicara. Vernon yang mengantarkan Sheena, melihat dari kejauhan saat gadis itu dipeluk erat oleh sang ibu. “Dugaan Sheena salah. Orang tua Berlin benar-benar menyayangi Sheena,” gumam Vernon. “Sheena sangat beruntung.”Nyonya Firda langsung menarik tangan Sheena untuk masuk ke dalam rumah dan memasak banyak makanan untuk sang putri. Sheena celingukan di dalam rumah, mencari sosok putri asli dari keluarga Mahesa. ‘K
Devan kini tengah menemani Berlin duduk di dalam kamar, usai Nyonya Firda berpamitan untuk pulang. Devan mengambilkan minuman hangat untuk Berlin dan mencoba menghibur wanita yang baru saja bertengkar dengan ibunya itu.Berita kehamilan Berlin ternyata semakin memperburuk keadaan dan memperumit hubungan antara Berlin dan Nyonya Firda. Devan nampak bingung bagaimana ia harus menghibur sang kekasih hati, sementara dirinya sendiri juga tak cukup akur dengan sang ibu.“Minum dulu, Berlin! Kau terlalu banyak berteriak,” ujar Devan menenangkan Berlin dengan cara yang basi.Berlin meraih cangkir minuman yang ada di tangan Devan dan menyeruput minuman hangat yang kekurangan gula itu. “Kau ini membenciku, ya? Kenapa minumannya tidak terasa manis?” protes Berlin pada Devan.“Benarkah?” Devan merebut cangkir yang ada di tangan berlin, kemudian mencicipi minuman dalam gelas tersebut. “Rasanya enak. Cukup manis,” sergah Devan.“Manis apanya? Rasanya seperti teh tawar. Hambar tidak berasa,” omel Be