Share

Bab 33

Penulis: Evie Yuzuma
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Aidan sudah berulang kali menguap. Mbak Tini memburunya ketika baru saja aku tiba di lantai atas.

“Duh, pasti sudah capek sama ngantuk, ya, Den Aidan.” Dia memburu anak lelaki yang masih nemplok di gendonganku. Namun, Aidan malah memelukku erat dan menyandarkan kepalanya di dadaku. Masih dengan kondisi menguap seperti tadi.

“Iya, Mbak. Sudah ngantuk berat kayaknya. Aidan bobok sama Mbak Tini, ya!” Aku mencium pipinya. Mau gimana pun, Mbak Tini ‘kan masih berstatus sebagai pengasuhnya. Namun, tanpa kusangka dia menggeleng.

“Lah, sudah malem loh, Den. Nanti Mbak bacain cerita gajah dan semut lagi.” Mbak Tini berusaha membujuknya.

Aidan bergeming. Akhirnya aku melangkahkan kaki ke kamarnya. Mbak Tini berdecak dan mengikuti kami dari belakang.

Nuansa kamar dengan cat warna abu-abu yang dominan ini, terasa sekali nuansa anak-anak di dalamnya dengan gambar-gambar kartun pada wall papernya.

Rupanya Aidan tak mau kutinggal. Akhirnya aku menidurkannya dulu. Kucium pipi dan keningnya lama
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Harianto Harianto
mahalnya bikin bangjrut
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 34

    “Tak ada yang perlu dipikirkan. Aku tak akan pernah menikah dengan Viola.” Kami menoleh ke arah suara, tampak Mas Laksa menatap dengan pandangan mata yang entah. Ada rasa menghangat mendengar ketegasan jawabannya. “Laksa … dengerin Mama …,” tukas Bu Rosye, tampak masih berusaha bernegosiasi. “Mama, mungkin Mama yang harus dengerin Aku, Ma. Apakah masih kurang jelas penolakanku pada Om Wisnu semalam?” Mas Laksa menatap tajam kali ini. Bu Rosye menghela napas kasar, lantas menoleh padaku dan menepuk lembut pundakku. “Nanti kita ngobrol lagi ya, Ra.” Aku bergeming, tak menjawab sepatah kata pun. Membiarkan Bu Rosye pergi dan meninggalkan kami. Hening, beberapa detik tak ada yang membuka suara, hingga pada akhirnya titah Mas Laksa membuatku tersadar kalau aku sedang tenggelam dalam pikiranku sendiri. “Bawa sarapannya ke kamar, Ra.” Dia bangkit dan lantas berjalan mendahuluiku tanpa menungguku menjawab. Aku pun gegas ke dapur dan membawa dua porsi sarapan ke lantai atas, lengkap de

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 35

    POV LAKSA“Kita shalat sunnah pengantin dulu, ya!” tuturku padanya. Semoga saja tak ada halangan lagi. Dua rakaat kami lewati dengan khidmat. Setelahnya kubacakan doa dan kucium ubun-ubunnya lama. Tiba-tiba perasaan bersalah berdatangan bersama-sama. Kilasan dan penggalan adegan di villa terbayang. “Aku berharap, kamu tak akan pernah tahu siapa lelaki yang sudah membuat pernikahanmu berantakan, Bapakmu meninggal dan seumur hidupmu digunjing dan direndahkan. Berikan aku kesempatan untuk menebusnya dengan semua yang pantas untukmu. Kamu baik, kamu layak bahagia.” Hanya dalam batin saja, mana mungkin kuucapkan dengan keras dan membiarkan Humaira mendengarnya. Usai shalat, dia tampak kikuk. Aku membantu melepas mukenanya. Wajahnya tampak semerah tomat ketika aku mengangkat dagunya. “Sudah siap?” Aku sengaja menyunggingkan senyum dan menatap intens untuk menggodanya. Humairaku tampak malu-malu dan menunduk dalam, tetapi samar kulihat kepalanya mengangguk pelan. Kubantu dia melipat mu

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 36

    POV HUMAIRA Aku mengerjap ketika satu sentuhan lembut terasa menyentuh pipi. Rupanya Mas Laksa yang tadi pagi pamit kerja, baru pulang.“Eh, maaf, Mas. Aku ketiduran.” “Gak apa, Ra. Maaf pulangnya malem banget, ya? Hmmm … Mas beli martabak gurih ikan tuna.” Dia langsung beranjak ke dekat kapstok dan mencantelkan jas yang tadi dipakainya menggunakan hunger. Aku melirik jam, rupanya sudah jam sepuluh malam. Rasanya tak enak untuk menolak dan mengatakan kenyang. Mas Laksa sepertinya tengah bahagia ketika kulihat dari raut wajahnya. “Wah, mana martabaknya, Mas? Mau aku buatin kopi buat temani makannya?” Aku bangun dan lekas tersenyum padanya.“Tuh!” Mas Laksa menunjuk ke atas nakas dengan sudut netranya. Aku pun bangun dan lekas mengambil kotak itu. “Kopi atau teh, Mas?” Aku memastikan sekali lagi. ”Teh pahit saja, Ra. Bawa ke balkon, ya.” “Oke.” Aku bangun dan hendak keluar pintu. Namun dikagetkan dengan pelukan yang mendadak dari arah samping, lalu satu kecupan pada pipi, “Teri

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 37

    Hari ketiga dirawat, Ibu sudah bersikeras ingin pulang. Kondisinya memang cukup membaik, tetapi masih terlihat begitu lemah. Namun, melihat Ibu yang sudah sangat tak betah berada di ruangan rawat ini. Akhirnya aku pun menuruti saja permintaannya. “Ibu jangan terlalu capek dulu, ya! Istirahat saja.” Aku mendudukkan Ibu pada tikar yang sudah digelar di ruang tengah. “Kamu gak apa-apa, Ra? Sudah tiga hari di sini jagain Ibu?” Sorot matanya menatapku. “Kan Mas Laksa lagi ke luar kota, Bu. Sudah izin. Jadi gak masalah.” Satu cangkir teh manis hangat kubawa ke dekatnya. “Ibu harus segera pulih … setelah Ibu sembuh … Rara mau ajak Ibu buat buka warung makan, biar Ibu gak usah nyetrika lagi di rumah Bu Yayah, Bu.” Aku menyampaikan niat baikku padanya. “Gak usah, Ra. Kamu jangan hambur-hamburkan uangnya Laksa. Jangan sampai kita disangka aji mumpung. Ibu masih sanggup kok nyuci nyetrika. Masih bisa nyambung hidup.” Ibu bersandar dengan mata terpejam. “Rara gak minta sama Mas Laksa, Bu. R

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 38

    BAB 38Mbak Rahma sudah ditangani oleh pihak rumah sakit. Kondisinya masih belum sadarkan diri ketika Mas Laksa mengajakku pulang. Dikarenakan permintaanku untuk mencabut berkas laporan, Mas Laksa mengajakku segera beranjak dari rumah sakit tersebut. Dia ingin menghubungi pengacaranya segera. “Mas, apa bisa kita mampir ke rumah Mas Iwan, ya? Sekalian jalan,” tanyaku ketika mobil sudah memasuki jalanan raya. “Untuk?” Mas Laksa terus mengemudi. Dia bicara tapi tak menoleh ke arahku. “Mencari tahu bayi Mbak Rahma.” Mas Laksa hanya mengangguk. Tak banyak jawaban lagi. Mobil langsung melaju dan berbelok ke arah yang kusebutkan yaitu kediaman Mas Iwan. Rumah minimalis itu tak banyak berubah seperti ketika aku datang bersama Ibu pada saat Mbak Rahma selamatan tujuh bulan. Hanya saja kali ini lebih banyak tumbuhan hijau yang tampak memenuhi pekarangan. “Mas, biar aku saja yang turun. Tunggu di sini, ya!” “Oke.” Mobil terparkir di tepi jalan. Aku berjalan ke dalam pekarangan rumah itu.

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 39

    Hanya sebatas tanya dalam hati. Aku belum berani kalau harus ngelihat isi chatnya langsung. Aku gegas beringsut bangun dan menghampiri Mas Laksa, menyerahkan ponselnya. Gak berani juga nanya langsung. “Tadi ada telepon.” “Oh iya.” Hanya itu. Dia melihat sekilas pada layar HP, tetapi kemudian abai. Aku kembali ke dalam kamar. Duh kok dia malah cuek-cuek saja, sih. Aku ‘kan pengen lihat ekspresinya pas baca WA dari nomor baru itu. Aku mematung di dekat pintu yang menghubungkan ke balkon. Menunggu agak lama, tetapi Mas Laksa masih tak acuh dengan gawainya. Dia masih fokus pada laptopnya. Aku saja yang berlebihan kayaknya. Bisa jadi itu ‘kan WA penipuan yang minta-minta transferan. Duh, kenapa jadi baperan kayak gini, sih? Sampai Mas Laksa kembali ke dalam kamar. Dia tak membicarakan apa-apa lagi. Bahkan tak ada sedikit pun perubahan sikapnya. “Mas sudah minta pengcara urus pencabutan berkas laporan, Sayang.” Mas Laksa memberitahuku seraya menyimpan laptopnya. “Makasih, Mas.” Aku

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 40

    Pov Laksa [Mas, bisa transfer uangnya ke rekening aku sekarang! Aku lagi di ATM.] Aku segera mengirim pesan balasan. Lupa kalau Nindi minta uang untuk berobat untuk Ayah Mertua. [Sudah ya, Nindi. Maaf, lupa ngabarin.] Pesan itu kubalas setelah pekerjaan sore itu selesai. Setelahnya aku kembali memfollow masalah pencabutan berkas laporan Mbak Rahma. Meskipun jelas-jelas dia bersalah,tetapi melihat dari sisi kemanusiaan dan mendengar permintaan tulus Humaira, aku jadi gak tega juga. Keesokan harinya, aku mengabulkan keinginan Istriku untuk mencari tahu keberadaan bayi kakaknya itu. Setelah pertemuan dengan mantan kakak iparnya gagal mendapatkan info apapun. Akhirnya mau tak mau, kami harus mencari sendiri.Rupanya bayi itu sudah diambil dari rumah sakit oleh Iwan---ayahnya. Aku tak bisa apa-apa. Memang ayahnya adalah orang yang berhak. Hanya saja, kenapa lelaki itu menyembunyikan keberadaannya. Andai dia tak melakukan apapun, harusnya tingga; bilang saja secara terbuka, di mana bayi

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 41

    Beberapa hari ini, Mas Laksa memberiku lebih banyak kebahagiaan lagi. Proses pencabutan berkas di kepolisian sudah selesai. Mbak Rahma sudah bukan lagi sebagai berstatus sebagai narapidana di lapas tersebut lagi. Kini dia sudah bebas. Meskipun memang masih harus menjalani perawatan di rumah sakit.Kondisi kesehatannya sudah membaik. Hanya saja, kondisi psikisnya sepertinya masih terguncang. Dia masih seperti orang linglung dan tak mengenali siapapun. “Ini Ibu, Rahma … Ini Ibu ….” Ibu yang kubawa serta ke rumah sakit setelah mendapat kabar bahagia dari Mas Laksa itu menangis dan mengguncang-guncang tubuh Mbak Rahma yang masih terbaring di ranjang rumah sakit.“I--bu?” Mata polos Mbak Rahma hanya menatap sekilas dengan alis saling bertaut. Lalu kembali memandang kosong ke langit-langit kamar rawat. “Iya, Rahma … Ini Ibu … cepatlah pulih, kita cari bayi kamu sama-sama, ya!” Ibu menggenggam tangan Mbak Rahma. Namun, lagi-lagi Mbak Rahma tak merespon hanya menatap kosong. Aku minta izin

Bab terbaru

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 54 - End

    Bab 54 Sembilan bulan kemudian. Sosok ringkih bertubuh kurus itu menatap dengan air mata mengembun. Dia tak berani menghampiri kerumunan yang ada di sebuah rumah yang baru saja selesai di renovasi. Duduk di tepi jalan dengan wajah tertutup sebagian kerudungnya. Dia pun berpura-pura memunguti botol-botol minuman bekas agar tak dicurigai. Segerombolan para Ibu melewatinya sambil membawa tentengan dengan wajah sumringah. Mereka sibuk mengobrol sambil tertawa-tawa. “Gak nyangka, ya? Nasib Si Rara mujur banget. Dulu kita kira paling kalaupun ada yang mau, duda tua yang istrinya udah metong. Eh, malah dapet duda kaya yang tajir melintir dan tampannya gak ketulungan.” “Iya, bener. Bikin iri aja, ya. Ini bingkisannya juga pasti mahal ini harganya … udah kaya, suami ganteng, anak cantik, duit banyak, beuhh … mau dong diperkosa.” “Hush!” Lalu mereka bergelak tertawa. Perempuan yang tengah menyimak obrolan itu menghela napas panjang. Ada senyuman terukir tipis. Lalu dia pun beranjak meni

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 53

    “Iya, Om … semoga Viola segera bisa mendapatkan kebahagiaan.” Laksa menjawab datar. “Hanya saja, kebahagiaan dia itu, kamu, Laksa … tolonglah datang … Om mohon … anggap saja ini permintaan Om yang terakhir. Datanglah ke sini dan kuatkan dia … dia butuh kehadiran kamu, Laksa … dia butuh kamu.” Laksa menghela napas kasar. Ada rasa kemanusiaan yang tersentil, tetapi ada sebuah perasaan yang kini harus aku kedepankan juga yaitu perasaan istrinya, Humaira. “Maaf, Om. Saya tidak bisa. Ada perasaan istri saya yang harus dijaga.” Sambungan telepon diputus sepihak oleh Om Wisnu, tanpa ada kata-kata apapun lagi. Laksa tak ambil pusing. Dia langsung beralih pada setumpuk pekerjaan dan mengabaikan hal-hal yang menurutnya tak penting. Termasuk urusan Viola. *** Di tempat yang berbeda. Ibu menatap Mbak Rahma. Tubuhnya yang kurus kering tampak memprihatinkan. Kondisinya mentalnya perlahan membaik karena bantuan dari Rara yang mengkover biaya berobat pada psikolog. Ha

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 52

    Kukecup keningnya lama. Perempuan yang namanya kini mulai memenuhi relung hati itu kubaringkan di atas tempat tidur. Wajahnya tampak sekali begitu menggemaskan dan bikin kangen.“Jangan banyak gerak, ya, Sayang. Kalau butuh apa-apa bisa minta tolong sama Mas.” Bukannya menjawab, sepasang bola bening itu hanya menatapnya dengan berkedip-kedip saja. Ada senyuman terkulum pada bibir merahnya yang tampak ranum. Kalau sudah begini, rasanya dunia ingin kuperintahkan saja untuk berhenti berputar. Perlahan aku menunduk, memangkas jarak untuk menyentuh bibir ranumnya. Dia tak menolak, sepasang mata itu berubah menjadi teduh. Amarah dan rasa bencinya sepertinya sudah berlari dan kini bahkan tangannya perlahan mengalung pada leherku.Krieeet!Suara daun pintu membuat aktivitasku berhenti begitu saja. Bersamaan dengan itu suara yang sangat kuhapal terdengar.“Laksa … bisa Mama bicara.” “Ahm, iy--Iya, Ma.” Sedikit gugup. Wajah Rara tampak merona, mungkin ada rasa malu ketika ketahuan sedang ber

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 51

    POV 3“Andai iya, apa betul Mas bisa melakukannya?” Rara bertanya tanpa menatap wajahnya. Mas Laksa menggenggam jemari itu kian erat. Sebelum menjawab, dia tampak memejamkan mata. Namun tak lama, sebuah anggukan menjadi jawaban. “Maaf, Mas. Aku hanya ingin dengar itu. Andai pun kamu masih belum siap. Aku tak apa.” Rara berucap lirih. “Aku sudah memutuskan semuanya, Sayang.” Senyum pada bibirnya tersungging dan kehangatan tatap yang merebak membuat hati Rara yang awalnya takut, kacau dan galau perlahan menghangat. “Mas, Sayang kamu, Ra.” Mas Laksa pun mengucapkan dengan tatap penuh ketulusan. Belum sempat Rara menjawab, pintu ruangan didorong dari luar. Seorang perawat masuk membuat kamu menoleh ke arahnya. “Selamat siang, mohon izin periksa dulu, ya.” Mas Laksa mengangguk, lalu beranjak menjauh dan membiarkan perawat it memeriksa Rara. Setelahnya dia kembali meninggalkan ruangan.Hanya habis satu botol infusan hingga akhirnya Mas Laksa memboyong Rara pulang. Waktu sudah pukul

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 50

    Suara obrolan, bau yang tak asing dan genggaman hangat yang kurasakan pada akhirnya membuat kegelapan ini perlahan sirna. Aku membuka mata perlahan. Kepala masih terasa sangat berat. “Alhamdulilah … akhirnya sadar ….” Suara itu, aku sudah tahu pemiliknya. Hanya saja memang pandanganku masih kabur dan perlahan menyesuaikan hingga senyuman hangat dan tatapan teduh itu berjarak begitu dekat. Dia menatapku dengan lekat. “Nanti Bapak bantukan suapi pasiennya, ya, Pak! Kami tinggal dulu.” Suara seorang perempuan mengalihkan tatapanku. Tampak seorang perempuan dengan pakaian suster berdiri sambil memegang botol minyak kayu putih di tangannya. “Baik, Sus. Terima kasih.” Suster itu pun pergi, meninggalkanku dengan dia hanya berdua di ruangan ini. Dia mengambil gelas berisi air hangat lalu membantuku minum. Setelahnya tangannya beralih pada tray makanan. “Makan dulu ya, Sayang ….” Mas Laksa mengambil tray makanan. Baunya tercium seperti amis ikan dan seketika membuat perutku memberontak.

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 49

    BAB 49 - Pov LaksaJika aku membawa mobil dalam keadaan paling cepat, maka itulah sekarang. Memikirkan Humaira yang tak kunjung ditemukan membuatku seperti kesetenanan. Bahkan sejak tadi tuas gas kuinjak begitu dalam. Beberapa kali hampir mengenai pengemudi yang kadang menyebrang mendadak. Kontrol emosiku benar-benar sudah tidak berada pada takarannya. Dikarenakan berkendara dengan kecepatan tinggi, pada akhirnya aku sudah memasuki lagi, tempat di mana keberadaan Humaira dicurigai. Hanya saja, mobilku kali ini sedikit tersendat oleh kondisi pasar yang mulai ramai. Decitan rem yang nyaring menjadi pilihan ketika hampir saja mobilku menabarak penyebrang jalananan. Aku terkesiap dan mengumpulkan rasa syukur ketika melihat dia tak kenapa-kenapa. Rasa kantuk dan lelah memang mulai terasa setelah semalaman melakukan pencarian yang melelahkan. Aku tengah menetralkan rasa terkejut ketika mata ini tiba-tiba menangkap sosok yang tengah mematung di tepi jalan. Kedua netra beningnya tengah men

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 48

    Pov RaraAku memilih menghabiskan hari pertamaku di dalam kamar. Tak keluar sama sekali. Hanya membeli makan dari pedagang yang lewat di depan kosan. Menjauh dari Mas Laksa kukira bisa membuat hatiku yang berkecamuk jadi tenang, tetapi malah justru semakin semrawut dan berantakan. Terlebih, kini ponselku hilang. Aku tak bisa berkomunikasi dengan siapapun. Pikiranku semakin ruwet karena takut Mas Laksa mencariku ke tempat Ibu dan nantinya Ibu malah jadi gak tenang. Gimana coba kalau Ibu nanti sakit karena kepikiran? Belum lagi beban memikirkan Mbak Rahma yang sudah hampir setengah gila.Aku menangis sesenggukkan di dalam kamar. Menjauh yang kukira bisa membuat pikiran dan hatiku tenang, ternyata tidak. Justru semua malah semakin terasa kacau. Sejak pagi, makanan yang kubeli pun tak tersentuh. Rasanya tak ada selera untuk makan. Entah kenapa, walaupun pikiran sepenuhnya membenci semua ini dan Mas Laksa. Namun hati kecilku merindukannya.“Mas … kenapa harus seperti ini?” Aku memukul-mu

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 47

    Pov 3“Makasih, Bu!” Rara menyodorkan beberapa lembar uang sewa pada seorang perempuan paruh baya. Akhirnya dia menemukan juga tempat berteduh setelah sejak tadi beberapa kali berhenti dan mencari. “Sama-sama, Mbak.” Perempuan paruh baya pemilik kos-kosan itu tak banyak tanya. Meskipun melihat gelagat dari tamunya yang sekarang sudah seperti orang minggat. Namun, dia tak peduli hal itu. Baginya yang terpenting adalah uang. Rara gegas masuk dan berselonjor, mengistirahatkan kakinya setelah berjalan cukup jauh. Uang yang dibawanya tak terlalu banyak, karena itu sejak tadi shalat di masjid, dia berjalan mencari penginapan di sekitar. Akhirnya sebuah kos-kosan berukuran tiga kali empat meter dengan kasur tipis itu menjadi tempat berlabuhnya malam ini. Diletakkannya ransel berisi pakaian tersebut dan lekas Rara mencar-cari benda pipih dari dalam resleting kecilnya. “Astaghfirulloh … ponselku?” Seketika Rara merasa lemas ketika ternyata benda yang dia carinya gak ada. “Rasanya tadi wak

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 46

    Pov : LaksaAku menuruni anak tangga dengan tergesa. Pikiranku kacau. Tak pernah Humaira berbuat seperti ini sebelum-sebelumnya. Misalkan dia mau pergi ke rumah Ibunya pun. Biasanya selalu menghubungiku lebih dulu untuk memberi kabar. Namun kenapa tidak dengan hari ini? Ada apa sebenarnya?Apa yang terjadi sebetulnya? Melihat kondisi kamar yang berantakan membuatku sangat yakin, jika Rara-ku sedang tak baik-baik saja. Tak pernah aku menemukan dia semarah ini sebelumnya.“Laksa mau ke mana?” Suara Mama membuatku menoleh. Rupanya dia masih duduk di ruang tengah sambil nonton tivi.“Mau jemput Rara, Ma. Mama belum tidur?” “Nunggu Papa. Papa kamu tadi lagi di perjalanan, sebentar lagi sampai.” “Hmm … pergi dulu, Ma!” “Iya, hati-hati.” Segera aku menutup pintu. Tak hendak bercerita pada Mama dulu. Aku juga belum tahu apakah Rara pergi dari rumah atas masalah apa. Jangan-jangan bertengkar juga dengan Mama? Hanya saja, rasanya bukan. Mama tampaknya sudah mulai menerima kehadirannya akhir

DMCA.com Protection Status