Hari ketiga dirawat, Ibu sudah bersikeras ingin pulang. Kondisinya memang cukup membaik, tetapi masih terlihat begitu lemah. Namun, melihat Ibu yang sudah sangat tak betah berada di ruangan rawat ini. Akhirnya aku pun menuruti saja permintaannya. “Ibu jangan terlalu capek dulu, ya! Istirahat saja.” Aku mendudukkan Ibu pada tikar yang sudah digelar di ruang tengah. “Kamu gak apa-apa, Ra? Sudah tiga hari di sini jagain Ibu?” Sorot matanya menatapku. “Kan Mas Laksa lagi ke luar kota, Bu. Sudah izin. Jadi gak masalah.” Satu cangkir teh manis hangat kubawa ke dekatnya. “Ibu harus segera pulih … setelah Ibu sembuh … Rara mau ajak Ibu buat buka warung makan, biar Ibu gak usah nyetrika lagi di rumah Bu Yayah, Bu.” Aku menyampaikan niat baikku padanya. “Gak usah, Ra. Kamu jangan hambur-hamburkan uangnya Laksa. Jangan sampai kita disangka aji mumpung. Ibu masih sanggup kok nyuci nyetrika. Masih bisa nyambung hidup.” Ibu bersandar dengan mata terpejam. “Rara gak minta sama Mas Laksa, Bu. R
BAB 38Mbak Rahma sudah ditangani oleh pihak rumah sakit. Kondisinya masih belum sadarkan diri ketika Mas Laksa mengajakku pulang. Dikarenakan permintaanku untuk mencabut berkas laporan, Mas Laksa mengajakku segera beranjak dari rumah sakit tersebut. Dia ingin menghubungi pengacaranya segera. “Mas, apa bisa kita mampir ke rumah Mas Iwan, ya? Sekalian jalan,” tanyaku ketika mobil sudah memasuki jalanan raya. “Untuk?” Mas Laksa terus mengemudi. Dia bicara tapi tak menoleh ke arahku. “Mencari tahu bayi Mbak Rahma.” Mas Laksa hanya mengangguk. Tak banyak jawaban lagi. Mobil langsung melaju dan berbelok ke arah yang kusebutkan yaitu kediaman Mas Iwan. Rumah minimalis itu tak banyak berubah seperti ketika aku datang bersama Ibu pada saat Mbak Rahma selamatan tujuh bulan. Hanya saja kali ini lebih banyak tumbuhan hijau yang tampak memenuhi pekarangan. “Mas, biar aku saja yang turun. Tunggu di sini, ya!” “Oke.” Mobil terparkir di tepi jalan. Aku berjalan ke dalam pekarangan rumah itu.
Hanya sebatas tanya dalam hati. Aku belum berani kalau harus ngelihat isi chatnya langsung. Aku gegas beringsut bangun dan menghampiri Mas Laksa, menyerahkan ponselnya. Gak berani juga nanya langsung. “Tadi ada telepon.” “Oh iya.” Hanya itu. Dia melihat sekilas pada layar HP, tetapi kemudian abai. Aku kembali ke dalam kamar. Duh kok dia malah cuek-cuek saja, sih. Aku ‘kan pengen lihat ekspresinya pas baca WA dari nomor baru itu. Aku mematung di dekat pintu yang menghubungkan ke balkon. Menunggu agak lama, tetapi Mas Laksa masih tak acuh dengan gawainya. Dia masih fokus pada laptopnya. Aku saja yang berlebihan kayaknya. Bisa jadi itu ‘kan WA penipuan yang minta-minta transferan. Duh, kenapa jadi baperan kayak gini, sih? Sampai Mas Laksa kembali ke dalam kamar. Dia tak membicarakan apa-apa lagi. Bahkan tak ada sedikit pun perubahan sikapnya. “Mas sudah minta pengcara urus pencabutan berkas laporan, Sayang.” Mas Laksa memberitahuku seraya menyimpan laptopnya. “Makasih, Mas.” Aku
Pov Laksa [Mas, bisa transfer uangnya ke rekening aku sekarang! Aku lagi di ATM.] Aku segera mengirim pesan balasan. Lupa kalau Nindi minta uang untuk berobat untuk Ayah Mertua. [Sudah ya, Nindi. Maaf, lupa ngabarin.] Pesan itu kubalas setelah pekerjaan sore itu selesai. Setelahnya aku kembali memfollow masalah pencabutan berkas laporan Mbak Rahma. Meskipun jelas-jelas dia bersalah,tetapi melihat dari sisi kemanusiaan dan mendengar permintaan tulus Humaira, aku jadi gak tega juga. Keesokan harinya, aku mengabulkan keinginan Istriku untuk mencari tahu keberadaan bayi kakaknya itu. Setelah pertemuan dengan mantan kakak iparnya gagal mendapatkan info apapun. Akhirnya mau tak mau, kami harus mencari sendiri.Rupanya bayi itu sudah diambil dari rumah sakit oleh Iwan---ayahnya. Aku tak bisa apa-apa. Memang ayahnya adalah orang yang berhak. Hanya saja, kenapa lelaki itu menyembunyikan keberadaannya. Andai dia tak melakukan apapun, harusnya tingga; bilang saja secara terbuka, di mana bayi
Beberapa hari ini, Mas Laksa memberiku lebih banyak kebahagiaan lagi. Proses pencabutan berkas di kepolisian sudah selesai. Mbak Rahma sudah bukan lagi sebagai berstatus sebagai narapidana di lapas tersebut lagi. Kini dia sudah bebas. Meskipun memang masih harus menjalani perawatan di rumah sakit.Kondisi kesehatannya sudah membaik. Hanya saja, kondisi psikisnya sepertinya masih terguncang. Dia masih seperti orang linglung dan tak mengenali siapapun. “Ini Ibu, Rahma … Ini Ibu ….” Ibu yang kubawa serta ke rumah sakit setelah mendapat kabar bahagia dari Mas Laksa itu menangis dan mengguncang-guncang tubuh Mbak Rahma yang masih terbaring di ranjang rumah sakit.“I--bu?” Mata polos Mbak Rahma hanya menatap sekilas dengan alis saling bertaut. Lalu kembali memandang kosong ke langit-langit kamar rawat. “Iya, Rahma … Ini Ibu … cepatlah pulih, kita cari bayi kamu sama-sama, ya!” Ibu menggenggam tangan Mbak Rahma. Namun, lagi-lagi Mbak Rahma tak merespon hanya menatap kosong. Aku minta izin
Aku menatap pusara itu. Benar yang Mas Laksa katakan. Sepertinya ini memang makam bayi naas itu. Namun, aku tak sampai hati minta Mas Laksa mengusut kasus ini. Tak enak sendiri sudah menghadirkan banyak masalah ke dalam kehidupannya. Akhirnya setelah memastikan itu, kami segera pulang. Pikiranku masih saling bertali dan bertanya. Rasa penasaranku terus-terusan memenuhi kepala. Nanti saja, aku coba hubungi nomor Mas Iwan. Aku masih menyimpannya. Aku hanya ingin bertanya, apakah bayi itu benar-benar meninggal? *** Tiga hari dari kunjunganku ke pusara yang diduga bayi Mbak Rahma. Kakakku itu sudah diperbolehkan pulang. Aku yang menjemputnya menggunakan mobil online. Tubuhnya kini tampak hanya tulang belulang yang terbungkus kulit. Ceruk matanya dalam, tatapannya kosong dan dia lebih sering menangis dan memanggil-manggil bayinya dan juga Mas Iwan. Sepertinya sebuah sayatan luka yang cukup dalam, benar-benar sudah merenggut kewarasannya. Dia tak membalas apapun pertanyaan maupun sapaan.
“Mas, aku mau bicara,” tukasku dengan wajah kecut. Entah kenapa akhir-akhir ini emosiku gampang sekali meletup-letup. “Ya, Sayang?” Mas Laksa, seperti biasa. Dia menanggapi dengan santai. “Kenapa Nindi bilang sampai ketemu besok? Kalian mau ke mana?” tanyaku pada akhirnya. “Oh itu, gak ke mana-mana, kok.” Mas Laksa masih fokus menyetir. “Kok kalau gak ke mana-mana, terus maksudnya sampai ketemu itu apa?” selidikku semakin bingung. “Ya kan sekarang Nindi kerja di kantor, Mas. Jadi tiap hari pasti ketemu dong,” tukasnya ringan dan santai.Deg!Pantes saja dia sok akrab banget sama Mas Laksa. Ternyata dia kerja di kantor Mas Laksa. Jadi, tiap hari mereka ketemu? Ah, mendengar kabar itu semakin membuatku murka. Entah sudah seperti apa rasanya kekesalan yang menumpuk. Namun, bingung juga mau bicara seperti apa. Selama ini aku tak pernah ikut campur urusan kerjaan Mas Laksa.Akhirnya aku tak bicara lagi. Mas Laksa juga diem saja seolah hal itu bukan tindakan yang mengganggu kenyamanan
Bu Rosye mengantarku ke kamar, lalu memijat punggungku pelan. “Kamu itu gak usah dengerin omonga Papa Seno, Ra. Dia itu cuma godain kamu saja biar gak usah masak. Mama gak bakal sakit kok makan masakan kamu … ya, walau gak enak-enak banget.” Aku hanya mengulum senyum mendengarkan ocehannya. Tetap saja gengsinya selangit. Namun dari perhatian yang diberikannya aku merasakan kalau dia mulai menerimaku.“Iya, Ma. Rara hanya takut nanti Mama beneran sakit kalau Rara maksain masak.” Aku menjawab lembut.“Ngawur lah itu Papa Seno. Dia Cuma seneng godain kamu saja. Nanti kalau kamu mau masak apa, masak saja. Suruh si Mbak Tini belanja.” Dia terus-terusan bicara dan memijat punggungku. “Iya, Ma.” Akhirnya aku lebih memilih memangkas obrolan. Perutku yang mual kembali bergejolak dan aku kembali berlari ke kamar mandi meninggalkan Bu Rosye. “Ya Allah, aku kenapa, sih?” Aku berjalan lunglai, lemas sekali dan pada akhirnya memilih untuk rebahan saja setelah mengeluarkan isi perutku untuk yang