BAB 38Mbak Rahma sudah ditangani oleh pihak rumah sakit. Kondisinya masih belum sadarkan diri ketika Mas Laksa mengajakku pulang. Dikarenakan permintaanku untuk mencabut berkas laporan, Mas Laksa mengajakku segera beranjak dari rumah sakit tersebut. Dia ingin menghubungi pengacaranya segera. “Mas, apa bisa kita mampir ke rumah Mas Iwan, ya? Sekalian jalan,” tanyaku ketika mobil sudah memasuki jalanan raya. “Untuk?” Mas Laksa terus mengemudi. Dia bicara tapi tak menoleh ke arahku. “Mencari tahu bayi Mbak Rahma.” Mas Laksa hanya mengangguk. Tak banyak jawaban lagi. Mobil langsung melaju dan berbelok ke arah yang kusebutkan yaitu kediaman Mas Iwan. Rumah minimalis itu tak banyak berubah seperti ketika aku datang bersama Ibu pada saat Mbak Rahma selamatan tujuh bulan. Hanya saja kali ini lebih banyak tumbuhan hijau yang tampak memenuhi pekarangan. “Mas, biar aku saja yang turun. Tunggu di sini, ya!” “Oke.” Mobil terparkir di tepi jalan. Aku berjalan ke dalam pekarangan rumah itu.
Hanya sebatas tanya dalam hati. Aku belum berani kalau harus ngelihat isi chatnya langsung. Aku gegas beringsut bangun dan menghampiri Mas Laksa, menyerahkan ponselnya. Gak berani juga nanya langsung. “Tadi ada telepon.” “Oh iya.” Hanya itu. Dia melihat sekilas pada layar HP, tetapi kemudian abai. Aku kembali ke dalam kamar. Duh kok dia malah cuek-cuek saja, sih. Aku ‘kan pengen lihat ekspresinya pas baca WA dari nomor baru itu. Aku mematung di dekat pintu yang menghubungkan ke balkon. Menunggu agak lama, tetapi Mas Laksa masih tak acuh dengan gawainya. Dia masih fokus pada laptopnya. Aku saja yang berlebihan kayaknya. Bisa jadi itu ‘kan WA penipuan yang minta-minta transferan. Duh, kenapa jadi baperan kayak gini, sih? Sampai Mas Laksa kembali ke dalam kamar. Dia tak membicarakan apa-apa lagi. Bahkan tak ada sedikit pun perubahan sikapnya. “Mas sudah minta pengcara urus pencabutan berkas laporan, Sayang.” Mas Laksa memberitahuku seraya menyimpan laptopnya. “Makasih, Mas.” Aku
Pov Laksa [Mas, bisa transfer uangnya ke rekening aku sekarang! Aku lagi di ATM.] Aku segera mengirim pesan balasan. Lupa kalau Nindi minta uang untuk berobat untuk Ayah Mertua. [Sudah ya, Nindi. Maaf, lupa ngabarin.] Pesan itu kubalas setelah pekerjaan sore itu selesai. Setelahnya aku kembali memfollow masalah pencabutan berkas laporan Mbak Rahma. Meskipun jelas-jelas dia bersalah,tetapi melihat dari sisi kemanusiaan dan mendengar permintaan tulus Humaira, aku jadi gak tega juga. Keesokan harinya, aku mengabulkan keinginan Istriku untuk mencari tahu keberadaan bayi kakaknya itu. Setelah pertemuan dengan mantan kakak iparnya gagal mendapatkan info apapun. Akhirnya mau tak mau, kami harus mencari sendiri.Rupanya bayi itu sudah diambil dari rumah sakit oleh Iwan---ayahnya. Aku tak bisa apa-apa. Memang ayahnya adalah orang yang berhak. Hanya saja, kenapa lelaki itu menyembunyikan keberadaannya. Andai dia tak melakukan apapun, harusnya tingga; bilang saja secara terbuka, di mana bayi
Beberapa hari ini, Mas Laksa memberiku lebih banyak kebahagiaan lagi. Proses pencabutan berkas di kepolisian sudah selesai. Mbak Rahma sudah bukan lagi sebagai berstatus sebagai narapidana di lapas tersebut lagi. Kini dia sudah bebas. Meskipun memang masih harus menjalani perawatan di rumah sakit.Kondisi kesehatannya sudah membaik. Hanya saja, kondisi psikisnya sepertinya masih terguncang. Dia masih seperti orang linglung dan tak mengenali siapapun. “Ini Ibu, Rahma … Ini Ibu ….” Ibu yang kubawa serta ke rumah sakit setelah mendapat kabar bahagia dari Mas Laksa itu menangis dan mengguncang-guncang tubuh Mbak Rahma yang masih terbaring di ranjang rumah sakit.“I--bu?” Mata polos Mbak Rahma hanya menatap sekilas dengan alis saling bertaut. Lalu kembali memandang kosong ke langit-langit kamar rawat. “Iya, Rahma … Ini Ibu … cepatlah pulih, kita cari bayi kamu sama-sama, ya!” Ibu menggenggam tangan Mbak Rahma. Namun, lagi-lagi Mbak Rahma tak merespon hanya menatap kosong. Aku minta izin
Aku menatap pusara itu. Benar yang Mas Laksa katakan. Sepertinya ini memang makam bayi naas itu. Namun, aku tak sampai hati minta Mas Laksa mengusut kasus ini. Tak enak sendiri sudah menghadirkan banyak masalah ke dalam kehidupannya. Akhirnya setelah memastikan itu, kami segera pulang. Pikiranku masih saling bertali dan bertanya. Rasa penasaranku terus-terusan memenuhi kepala. Nanti saja, aku coba hubungi nomor Mas Iwan. Aku masih menyimpannya. Aku hanya ingin bertanya, apakah bayi itu benar-benar meninggal? *** Tiga hari dari kunjunganku ke pusara yang diduga bayi Mbak Rahma. Kakakku itu sudah diperbolehkan pulang. Aku yang menjemputnya menggunakan mobil online. Tubuhnya kini tampak hanya tulang belulang yang terbungkus kulit. Ceruk matanya dalam, tatapannya kosong dan dia lebih sering menangis dan memanggil-manggil bayinya dan juga Mas Iwan. Sepertinya sebuah sayatan luka yang cukup dalam, benar-benar sudah merenggut kewarasannya. Dia tak membalas apapun pertanyaan maupun sapaan.
“Mas, aku mau bicara,” tukasku dengan wajah kecut. Entah kenapa akhir-akhir ini emosiku gampang sekali meletup-letup. “Ya, Sayang?” Mas Laksa, seperti biasa. Dia menanggapi dengan santai. “Kenapa Nindi bilang sampai ketemu besok? Kalian mau ke mana?” tanyaku pada akhirnya. “Oh itu, gak ke mana-mana, kok.” Mas Laksa masih fokus menyetir. “Kok kalau gak ke mana-mana, terus maksudnya sampai ketemu itu apa?” selidikku semakin bingung. “Ya kan sekarang Nindi kerja di kantor, Mas. Jadi tiap hari pasti ketemu dong,” tukasnya ringan dan santai.Deg!Pantes saja dia sok akrab banget sama Mas Laksa. Ternyata dia kerja di kantor Mas Laksa. Jadi, tiap hari mereka ketemu? Ah, mendengar kabar itu semakin membuatku murka. Entah sudah seperti apa rasanya kekesalan yang menumpuk. Namun, bingung juga mau bicara seperti apa. Selama ini aku tak pernah ikut campur urusan kerjaan Mas Laksa.Akhirnya aku tak bicara lagi. Mas Laksa juga diem saja seolah hal itu bukan tindakan yang mengganggu kenyamanan
Bu Rosye mengantarku ke kamar, lalu memijat punggungku pelan. “Kamu itu gak usah dengerin omonga Papa Seno, Ra. Dia itu cuma godain kamu saja biar gak usah masak. Mama gak bakal sakit kok makan masakan kamu … ya, walau gak enak-enak banget.” Aku hanya mengulum senyum mendengarkan ocehannya. Tetap saja gengsinya selangit. Namun dari perhatian yang diberikannya aku merasakan kalau dia mulai menerimaku.“Iya, Ma. Rara hanya takut nanti Mama beneran sakit kalau Rara maksain masak.” Aku menjawab lembut.“Ngawur lah itu Papa Seno. Dia Cuma seneng godain kamu saja. Nanti kalau kamu mau masak apa, masak saja. Suruh si Mbak Tini belanja.” Dia terus-terusan bicara dan memijat punggungku. “Iya, Ma.” Akhirnya aku lebih memilih memangkas obrolan. Perutku yang mual kembali bergejolak dan aku kembali berlari ke kamar mandi meninggalkan Bu Rosye. “Ya Allah, aku kenapa, sih?” Aku berjalan lunglai, lemas sekali dan pada akhirnya memilih untuk rebahan saja setelah mengeluarkan isi perutku untuk yang
Pov Laksa Akhir-akhir ini Humairaku terasa semakin banyak berubah. Aku melihat semakin banyak pendar cinta dari sepasang matanya. Namun, anehnya, seringkali tiba-tiba dia mendiamkanku tanpa sebab. Semua itu mengingatkanku pada almarhumah Keysa ketika sedang berbadan dua. Mood Keysa pun naik turun seperti Humairaku sekarang. Hanya saja, aku tak berani untuk mengatakan kecurigaanku itu. Takutnya dia malah tersinggung dan merasa diburu-buru untuk mendapat momongan. “Mas, laporan bulananya sudah aku compile, ya!” Nindi mengangsurkan berkas yang tadi kuminta. “Oke makasih, Nindi.” “Sama-sama, Mas!” “Hmmm, tadi ada siapa? Kayaknya kamu pergi ke luar, ya?” tanyaku. Ingat sekali ketika Topan mencari-cari Nindi tadi. “Oh, tadi … ketemu Mbak Vio, Mas.” “Oh, ok.” Nindi pun berlalu dari ruanganku, menyisakkan aku dan Topan yang tengah berkutat dengan pekerjaan. Sesekali kudengar Topan yang terbatuk.Dering gawai yang ada di atas mejaku terdengar. Kutautkan alis. Tumben sekali Humairaku me
Bab 54 Sembilan bulan kemudian. Sosok ringkih bertubuh kurus itu menatap dengan air mata mengembun. Dia tak berani menghampiri kerumunan yang ada di sebuah rumah yang baru saja selesai di renovasi. Duduk di tepi jalan dengan wajah tertutup sebagian kerudungnya. Dia pun berpura-pura memunguti botol-botol minuman bekas agar tak dicurigai. Segerombolan para Ibu melewatinya sambil membawa tentengan dengan wajah sumringah. Mereka sibuk mengobrol sambil tertawa-tawa. “Gak nyangka, ya? Nasib Si Rara mujur banget. Dulu kita kira paling kalaupun ada yang mau, duda tua yang istrinya udah metong. Eh, malah dapet duda kaya yang tajir melintir dan tampannya gak ketulungan.” “Iya, bener. Bikin iri aja, ya. Ini bingkisannya juga pasti mahal ini harganya … udah kaya, suami ganteng, anak cantik, duit banyak, beuhh … mau dong diperkosa.” “Hush!” Lalu mereka bergelak tertawa. Perempuan yang tengah menyimak obrolan itu menghela napas panjang. Ada senyuman terukir tipis. Lalu dia pun beranjak meni
“Iya, Om … semoga Viola segera bisa mendapatkan kebahagiaan.” Laksa menjawab datar. “Hanya saja, kebahagiaan dia itu, kamu, Laksa … tolonglah datang … Om mohon … anggap saja ini permintaan Om yang terakhir. Datanglah ke sini dan kuatkan dia … dia butuh kehadiran kamu, Laksa … dia butuh kamu.” Laksa menghela napas kasar. Ada rasa kemanusiaan yang tersentil, tetapi ada sebuah perasaan yang kini harus aku kedepankan juga yaitu perasaan istrinya, Humaira. “Maaf, Om. Saya tidak bisa. Ada perasaan istri saya yang harus dijaga.” Sambungan telepon diputus sepihak oleh Om Wisnu, tanpa ada kata-kata apapun lagi. Laksa tak ambil pusing. Dia langsung beralih pada setumpuk pekerjaan dan mengabaikan hal-hal yang menurutnya tak penting. Termasuk urusan Viola. *** Di tempat yang berbeda. Ibu menatap Mbak Rahma. Tubuhnya yang kurus kering tampak memprihatinkan. Kondisinya mentalnya perlahan membaik karena bantuan dari Rara yang mengkover biaya berobat pada psikolog. Ha
Kukecup keningnya lama. Perempuan yang namanya kini mulai memenuhi relung hati itu kubaringkan di atas tempat tidur. Wajahnya tampak sekali begitu menggemaskan dan bikin kangen.“Jangan banyak gerak, ya, Sayang. Kalau butuh apa-apa bisa minta tolong sama Mas.” Bukannya menjawab, sepasang bola bening itu hanya menatapnya dengan berkedip-kedip saja. Ada senyuman terkulum pada bibir merahnya yang tampak ranum. Kalau sudah begini, rasanya dunia ingin kuperintahkan saja untuk berhenti berputar. Perlahan aku menunduk, memangkas jarak untuk menyentuh bibir ranumnya. Dia tak menolak, sepasang mata itu berubah menjadi teduh. Amarah dan rasa bencinya sepertinya sudah berlari dan kini bahkan tangannya perlahan mengalung pada leherku.Krieeet!Suara daun pintu membuat aktivitasku berhenti begitu saja. Bersamaan dengan itu suara yang sangat kuhapal terdengar.“Laksa … bisa Mama bicara.” “Ahm, iy--Iya, Ma.” Sedikit gugup. Wajah Rara tampak merona, mungkin ada rasa malu ketika ketahuan sedang ber
POV 3“Andai iya, apa betul Mas bisa melakukannya?” Rara bertanya tanpa menatap wajahnya. Mas Laksa menggenggam jemari itu kian erat. Sebelum menjawab, dia tampak memejamkan mata. Namun tak lama, sebuah anggukan menjadi jawaban. “Maaf, Mas. Aku hanya ingin dengar itu. Andai pun kamu masih belum siap. Aku tak apa.” Rara berucap lirih. “Aku sudah memutuskan semuanya, Sayang.” Senyum pada bibirnya tersungging dan kehangatan tatap yang merebak membuat hati Rara yang awalnya takut, kacau dan galau perlahan menghangat. “Mas, Sayang kamu, Ra.” Mas Laksa pun mengucapkan dengan tatap penuh ketulusan. Belum sempat Rara menjawab, pintu ruangan didorong dari luar. Seorang perawat masuk membuat kamu menoleh ke arahnya. “Selamat siang, mohon izin periksa dulu, ya.” Mas Laksa mengangguk, lalu beranjak menjauh dan membiarkan perawat it memeriksa Rara. Setelahnya dia kembali meninggalkan ruangan.Hanya habis satu botol infusan hingga akhirnya Mas Laksa memboyong Rara pulang. Waktu sudah pukul
Suara obrolan, bau yang tak asing dan genggaman hangat yang kurasakan pada akhirnya membuat kegelapan ini perlahan sirna. Aku membuka mata perlahan. Kepala masih terasa sangat berat. “Alhamdulilah … akhirnya sadar ….” Suara itu, aku sudah tahu pemiliknya. Hanya saja memang pandanganku masih kabur dan perlahan menyesuaikan hingga senyuman hangat dan tatapan teduh itu berjarak begitu dekat. Dia menatapku dengan lekat. “Nanti Bapak bantukan suapi pasiennya, ya, Pak! Kami tinggal dulu.” Suara seorang perempuan mengalihkan tatapanku. Tampak seorang perempuan dengan pakaian suster berdiri sambil memegang botol minyak kayu putih di tangannya. “Baik, Sus. Terima kasih.” Suster itu pun pergi, meninggalkanku dengan dia hanya berdua di ruangan ini. Dia mengambil gelas berisi air hangat lalu membantuku minum. Setelahnya tangannya beralih pada tray makanan. “Makan dulu ya, Sayang ….” Mas Laksa mengambil tray makanan. Baunya tercium seperti amis ikan dan seketika membuat perutku memberontak.
BAB 49 - Pov LaksaJika aku membawa mobil dalam keadaan paling cepat, maka itulah sekarang. Memikirkan Humaira yang tak kunjung ditemukan membuatku seperti kesetenanan. Bahkan sejak tadi tuas gas kuinjak begitu dalam. Beberapa kali hampir mengenai pengemudi yang kadang menyebrang mendadak. Kontrol emosiku benar-benar sudah tidak berada pada takarannya. Dikarenakan berkendara dengan kecepatan tinggi, pada akhirnya aku sudah memasuki lagi, tempat di mana keberadaan Humaira dicurigai. Hanya saja, mobilku kali ini sedikit tersendat oleh kondisi pasar yang mulai ramai. Decitan rem yang nyaring menjadi pilihan ketika hampir saja mobilku menabarak penyebrang jalananan. Aku terkesiap dan mengumpulkan rasa syukur ketika melihat dia tak kenapa-kenapa. Rasa kantuk dan lelah memang mulai terasa setelah semalaman melakukan pencarian yang melelahkan. Aku tengah menetralkan rasa terkejut ketika mata ini tiba-tiba menangkap sosok yang tengah mematung di tepi jalan. Kedua netra beningnya tengah men
Pov RaraAku memilih menghabiskan hari pertamaku di dalam kamar. Tak keluar sama sekali. Hanya membeli makan dari pedagang yang lewat di depan kosan. Menjauh dari Mas Laksa kukira bisa membuat hatiku yang berkecamuk jadi tenang, tetapi malah justru semakin semrawut dan berantakan. Terlebih, kini ponselku hilang. Aku tak bisa berkomunikasi dengan siapapun. Pikiranku semakin ruwet karena takut Mas Laksa mencariku ke tempat Ibu dan nantinya Ibu malah jadi gak tenang. Gimana coba kalau Ibu nanti sakit karena kepikiran? Belum lagi beban memikirkan Mbak Rahma yang sudah hampir setengah gila.Aku menangis sesenggukkan di dalam kamar. Menjauh yang kukira bisa membuat pikiran dan hatiku tenang, ternyata tidak. Justru semua malah semakin terasa kacau. Sejak pagi, makanan yang kubeli pun tak tersentuh. Rasanya tak ada selera untuk makan. Entah kenapa, walaupun pikiran sepenuhnya membenci semua ini dan Mas Laksa. Namun hati kecilku merindukannya.“Mas … kenapa harus seperti ini?” Aku memukul-mu
Pov 3“Makasih, Bu!” Rara menyodorkan beberapa lembar uang sewa pada seorang perempuan paruh baya. Akhirnya dia menemukan juga tempat berteduh setelah sejak tadi beberapa kali berhenti dan mencari. “Sama-sama, Mbak.” Perempuan paruh baya pemilik kos-kosan itu tak banyak tanya. Meskipun melihat gelagat dari tamunya yang sekarang sudah seperti orang minggat. Namun, dia tak peduli hal itu. Baginya yang terpenting adalah uang. Rara gegas masuk dan berselonjor, mengistirahatkan kakinya setelah berjalan cukup jauh. Uang yang dibawanya tak terlalu banyak, karena itu sejak tadi shalat di masjid, dia berjalan mencari penginapan di sekitar. Akhirnya sebuah kos-kosan berukuran tiga kali empat meter dengan kasur tipis itu menjadi tempat berlabuhnya malam ini. Diletakkannya ransel berisi pakaian tersebut dan lekas Rara mencar-cari benda pipih dari dalam resleting kecilnya. “Astaghfirulloh … ponselku?” Seketika Rara merasa lemas ketika ternyata benda yang dia carinya gak ada. “Rasanya tadi wak
Pov : LaksaAku menuruni anak tangga dengan tergesa. Pikiranku kacau. Tak pernah Humaira berbuat seperti ini sebelum-sebelumnya. Misalkan dia mau pergi ke rumah Ibunya pun. Biasanya selalu menghubungiku lebih dulu untuk memberi kabar. Namun kenapa tidak dengan hari ini? Ada apa sebenarnya?Apa yang terjadi sebetulnya? Melihat kondisi kamar yang berantakan membuatku sangat yakin, jika Rara-ku sedang tak baik-baik saja. Tak pernah aku menemukan dia semarah ini sebelumnya.“Laksa mau ke mana?” Suara Mama membuatku menoleh. Rupanya dia masih duduk di ruang tengah sambil nonton tivi.“Mau jemput Rara, Ma. Mama belum tidur?” “Nunggu Papa. Papa kamu tadi lagi di perjalanan, sebentar lagi sampai.” “Hmm … pergi dulu, Ma!” “Iya, hati-hati.” Segera aku menutup pintu. Tak hendak bercerita pada Mama dulu. Aku juga belum tahu apakah Rara pergi dari rumah atas masalah apa. Jangan-jangan bertengkar juga dengan Mama? Hanya saja, rasanya bukan. Mama tampaknya sudah mulai menerima kehadirannya akhir