“Hati-hati makannya, Ma!” Aku berucap seraya mengulum senyum. Sedikit ada rasa puas di dalam dada mendengar kalimat klarifikasi dari Bi Susi yang mematahkan semua ocehannya. Sedangkan wajah Bu Rosye tampak merah. Entah karena malu atau memang karena tersedak tadi, yang jelas dia hanya melirik sekilas ke arahku dengan tatapan yang terbaca seperti tak percaya. “Iya, hati-hati, Nyonya.” Bi Susi tampak khawatir juga.“Susi, tolong buatin susu yang baru buat saya!” Ibu Mertuaku tak menanggapi ucapan kami. Dia malah mengalihkan pada topik lain dan bicara pada Bi Susi. “Baik, Nyonya!” Dia tak banyak membantah dan langsung beranjak pergi. “Wah, lagi pada ngobrol di sini rupanya?” Mas Laksa yang baru saja tiba di lantai bawah berjalan mendekat ke arah kami. Tak ingin memperkeruh suasana, aku langsung mengajaknya beranjak ke meja makan. “Iya, kami nungguin kamu, Mas.” Aku menarik jemari mungil Aidan agar mengikuti langkahku. Tak ada kata basa-basi lagi pada Ibu mertuaku yang tengah menyibuk
“Mas, bangun! Sudah sore.” Aku mengguncang bahunya pelan. Aidan yang sejak tadi tak mau lepas, kuletakkan di atas tempat tidur dan langsung dia meringkuk di samping Mas Laksa. Ada hati yang perih melihat Aidan yang tampak kesepian. Mungkin semenjak kepergian Mbak Keysa, dia hanya sering diajak bermain oleh Mbak Tini saja. Faktanya, tadi ketika kuajak dia main, Aidan tampak sangat senang. Mas Laksa mengerjap, lantas menoleh pada Aidan dan menciumi pipinya. “Jagoannya Papi, sudah mandi?” seru Mas Laksa sambil menarik tubuh mungil itu ke dalam pangkuannya.“Cudah, cama Mama.” Mas Laksa menoleh padaku, “Dia mandi sama kamu, Ra?” “Iya, Mas.” Aku mengangguk.“Lah, Mbak Tini gak bantuin?” Tampak Mas Laksa tak suka. “Bantuin, kok, Mas. Lagi pula, sekarang ini, akulah Mamanya. Selama aku gak ada kesibukan, Aidan akan aku yang urus segalanya. Apa kamu mau, kalau anakmu lebih dekat pada orang lain dari pada sama orang tuanya sendiri, Mas?” Mas Laksa tertegun, lantas menatapku lekat. “Apa
Aidan sudah berulang kali menguap. Mbak Tini memburunya ketika baru saja aku tiba di lantai atas.“Duh, pasti sudah capek sama ngantuk, ya, Den Aidan.” Dia memburu anak lelaki yang masih nemplok di gendonganku. Namun, Aidan malah memelukku erat dan menyandarkan kepalanya di dadaku. Masih dengan kondisi menguap seperti tadi. “Iya, Mbak. Sudah ngantuk berat kayaknya. Aidan bobok sama Mbak Tini, ya!” Aku mencium pipinya. Mau gimana pun, Mbak Tini ‘kan masih berstatus sebagai pengasuhnya. Namun, tanpa kusangka dia menggeleng. “Lah, sudah malem loh, Den. Nanti Mbak bacain cerita gajah dan semut lagi.” Mbak Tini berusaha membujuknya. Aidan bergeming. Akhirnya aku melangkahkan kaki ke kamarnya. Mbak Tini berdecak dan mengikuti kami dari belakang. Nuansa kamar dengan cat warna abu-abu yang dominan ini, terasa sekali nuansa anak-anak di dalamnya dengan gambar-gambar kartun pada wall papernya. Rupanya Aidan tak mau kutinggal. Akhirnya aku menidurkannya dulu. Kucium pipi dan keningnya lama
“Tak ada yang perlu dipikirkan. Aku tak akan pernah menikah dengan Viola.” Kami menoleh ke arah suara, tampak Mas Laksa menatap dengan pandangan mata yang entah. Ada rasa menghangat mendengar ketegasan jawabannya. “Laksa … dengerin Mama …,” tukas Bu Rosye, tampak masih berusaha bernegosiasi. “Mama, mungkin Mama yang harus dengerin Aku, Ma. Apakah masih kurang jelas penolakanku pada Om Wisnu semalam?” Mas Laksa menatap tajam kali ini. Bu Rosye menghela napas kasar, lantas menoleh padaku dan menepuk lembut pundakku. “Nanti kita ngobrol lagi ya, Ra.” Aku bergeming, tak menjawab sepatah kata pun. Membiarkan Bu Rosye pergi dan meninggalkan kami. Hening, beberapa detik tak ada yang membuka suara, hingga pada akhirnya titah Mas Laksa membuatku tersadar kalau aku sedang tenggelam dalam pikiranku sendiri. “Bawa sarapannya ke kamar, Ra.” Dia bangkit dan lantas berjalan mendahuluiku tanpa menungguku menjawab. Aku pun gegas ke dapur dan membawa dua porsi sarapan ke lantai atas, lengkap de
POV LAKSA“Kita shalat sunnah pengantin dulu, ya!” tuturku padanya. Semoga saja tak ada halangan lagi. Dua rakaat kami lewati dengan khidmat. Setelahnya kubacakan doa dan kucium ubun-ubunnya lama. Tiba-tiba perasaan bersalah berdatangan bersama-sama. Kilasan dan penggalan adegan di villa terbayang. “Aku berharap, kamu tak akan pernah tahu siapa lelaki yang sudah membuat pernikahanmu berantakan, Bapakmu meninggal dan seumur hidupmu digunjing dan direndahkan. Berikan aku kesempatan untuk menebusnya dengan semua yang pantas untukmu. Kamu baik, kamu layak bahagia.” Hanya dalam batin saja, mana mungkin kuucapkan dengan keras dan membiarkan Humaira mendengarnya. Usai shalat, dia tampak kikuk. Aku membantu melepas mukenanya. Wajahnya tampak semerah tomat ketika aku mengangkat dagunya. “Sudah siap?” Aku sengaja menyunggingkan senyum dan menatap intens untuk menggodanya. Humairaku tampak malu-malu dan menunduk dalam, tetapi samar kulihat kepalanya mengangguk pelan. Kubantu dia melipat mu
POV HUMAIRA Aku mengerjap ketika satu sentuhan lembut terasa menyentuh pipi. Rupanya Mas Laksa yang tadi pagi pamit kerja, baru pulang.“Eh, maaf, Mas. Aku ketiduran.” “Gak apa, Ra. Maaf pulangnya malem banget, ya? Hmmm … Mas beli martabak gurih ikan tuna.” Dia langsung beranjak ke dekat kapstok dan mencantelkan jas yang tadi dipakainya menggunakan hunger. Aku melirik jam, rupanya sudah jam sepuluh malam. Rasanya tak enak untuk menolak dan mengatakan kenyang. Mas Laksa sepertinya tengah bahagia ketika kulihat dari raut wajahnya. “Wah, mana martabaknya, Mas? Mau aku buatin kopi buat temani makannya?” Aku bangun dan lekas tersenyum padanya.“Tuh!” Mas Laksa menunjuk ke atas nakas dengan sudut netranya. Aku pun bangun dan lekas mengambil kotak itu. “Kopi atau teh, Mas?” Aku memastikan sekali lagi. ”Teh pahit saja, Ra. Bawa ke balkon, ya.” “Oke.” Aku bangun dan hendak keluar pintu. Namun dikagetkan dengan pelukan yang mendadak dari arah samping, lalu satu kecupan pada pipi, “Teri
Hari ketiga dirawat, Ibu sudah bersikeras ingin pulang. Kondisinya memang cukup membaik, tetapi masih terlihat begitu lemah. Namun, melihat Ibu yang sudah sangat tak betah berada di ruangan rawat ini. Akhirnya aku pun menuruti saja permintaannya. “Ibu jangan terlalu capek dulu, ya! Istirahat saja.” Aku mendudukkan Ibu pada tikar yang sudah digelar di ruang tengah. “Kamu gak apa-apa, Ra? Sudah tiga hari di sini jagain Ibu?” Sorot matanya menatapku. “Kan Mas Laksa lagi ke luar kota, Bu. Sudah izin. Jadi gak masalah.” Satu cangkir teh manis hangat kubawa ke dekatnya. “Ibu harus segera pulih … setelah Ibu sembuh … Rara mau ajak Ibu buat buka warung makan, biar Ibu gak usah nyetrika lagi di rumah Bu Yayah, Bu.” Aku menyampaikan niat baikku padanya. “Gak usah, Ra. Kamu jangan hambur-hamburkan uangnya Laksa. Jangan sampai kita disangka aji mumpung. Ibu masih sanggup kok nyuci nyetrika. Masih bisa nyambung hidup.” Ibu bersandar dengan mata terpejam. “Rara gak minta sama Mas Laksa, Bu. R
BAB 38Mbak Rahma sudah ditangani oleh pihak rumah sakit. Kondisinya masih belum sadarkan diri ketika Mas Laksa mengajakku pulang. Dikarenakan permintaanku untuk mencabut berkas laporan, Mas Laksa mengajakku segera beranjak dari rumah sakit tersebut. Dia ingin menghubungi pengacaranya segera. “Mas, apa bisa kita mampir ke rumah Mas Iwan, ya? Sekalian jalan,” tanyaku ketika mobil sudah memasuki jalanan raya. “Untuk?” Mas Laksa terus mengemudi. Dia bicara tapi tak menoleh ke arahku. “Mencari tahu bayi Mbak Rahma.” Mas Laksa hanya mengangguk. Tak banyak jawaban lagi. Mobil langsung melaju dan berbelok ke arah yang kusebutkan yaitu kediaman Mas Iwan. Rumah minimalis itu tak banyak berubah seperti ketika aku datang bersama Ibu pada saat Mbak Rahma selamatan tujuh bulan. Hanya saja kali ini lebih banyak tumbuhan hijau yang tampak memenuhi pekarangan. “Mas, biar aku saja yang turun. Tunggu di sini, ya!” “Oke.” Mobil terparkir di tepi jalan. Aku berjalan ke dalam pekarangan rumah itu.