POV HUMAIRAMbak Rahma menyambutnya begitu hangat. Mungkin karena Nindi ini adik dari sahabatnya. Dia menggiring Nindi untuk duduk pada kursi yang ada di dekatku dengan Mas Laksa. Mbak Rahma lantas keluar dan tak lama kembali dengan sepasang lelaki paruh baya. Pak Suseno---ayah mertuaku tampak begitu akrab dengan ayah dari Nindi---Pak Setiadi. Mbak Rahma dengan sigap mengambil makanan dari dapur dan menyuguhkannya. Dia menyapa dengan sangat manis dan senyumnya tak luput tersinggung pada bibirnya. “Silakan, Pak!” Mbak Rahma mempersilakan mereka. “Makasih, Rahma.” Pak Setiadi tersenyum dan memgangguk pada Mbak Rahma. Mereka mengobrol sebentar dan tampak akrab sekali dengan Mbak Rahma.“Sama-sama, Pak Adi. Mari, Pak.” Mbak Rahma pun kemudian undur diri. Aku duduk dengan rasa tak nyaman. Apalagi berada dalam jarak yang tak jauh dengan mantan Bapaknya Mbak Keysa. Rasanya aku menjadi sumber perhatiannya, apalagi ketika mereka mengobrolkan kenangan tentang Mbak Keysa. “Ra, kita ke depan
Bab 26Meskipun rasa lelah dan kantuk menghinggapi. Namun aku berusaha untuk terjaga dan melepaskan pernak-pernik yang menempel. Mahkota kecil, kerudung yang melilit kepalaku, gelang, bross, cincin dan gelang. Setelah semua aksesoris terlepas, meski susah payah aku akhirnya bisa melepas resleting gaun dan lekas berganti dengan piyama tidur yang kubawa. Beruntung Mas Laksa masih belum keluar dari kamar mandi. Kalau sudah, bisa-bisa aku gugup setengah mati dibuatnya. Ah, rasanya nyaman. Aku sudah tak kuat ingin merebahkan badan. Kulirik tempat tidur dengan ukuran king size yang dipenuhi dengan rangkaian ronce melati di atasnya yang terbentuk sepert lampu kristal. Wanginya membuatku tenang, tetapi tak berani aku beranjak ke sana. Rasanya takut mengotori seprai putih yang bertabur bunga mawar merah dan putih itu. Aku lebih memilih berbaring pada sofa dan perlahan memejamkan mata. Menunggu Mas Laksa keluar dari kamar mandi, lalu setelahnya aku akan gantian membersihkan diri. Waktu sudah m
(28) Selamat membaca! Menjadi orang paling beruntung, itulah yang aku rasakan sekarang. Kehidupan yang semula suram tanpa tujuan, tiba-tiba dipenuhi kerlip lampu harapan. “Bu, Rara pamit pulang dulu, ya.” Usai mencuci piring, aku meraih jemari Ibu dan menciumnya dengan khidmat. Tak enak dengan Mas Laksa jika berlama-lama. Mungkin dia ingin istirahat juga. Andai kamarku tak sempit dan jelek, aku bisa saja mempersilakan dia tidur siang dulu di kamarku. “Gak nunggu Mbak kamu pulang dulu, Ra? Mungkin dia pun akan kangen, secara … selama di sini, Ibu lihat dia sangat bergantung sama kamu. Apa-apa cerita semua ke kamu.” Ibu menatapku yang baru saja melepaskan tangannya. Aku melirik wajah Ibu, ingin rasanya aku mengatakan semuanya tentang Mbak Rahma. Hanya saja belum sampai hati untuk bercerita.Sepertinya lebih baik langsung kuserahkan saja pada Mas Laksa biar dia yang nengurusnya. Aku bukan tak sayang pada saudara sendiri, tetapi hanya ingin memberinya pelajaran jika menghalalkan seg
“Aku habis bersuci kan keramas. Eh, malah digoda habis-habisan sama dia.” Aku bangkit hendak menyimpan kerudung ke hunger. Namun tiba-tiba tangan Mas Laksa mencekal tanganku.“Jadi, kamu sudah bersih?” Pertanyaannya membuat aku tercekat. Kok gugup, ya. Meskipun begitu sebuah anggukan pada akhirnya membuatku menjawab pertanyaannya. “Kalau gitu, nanti malem ikut Mas, ya! Kebetulan ada pengajian akbar di masjid jami. Dulu Keysa selalu rutin ikutin kajian. Mas harap, kamu juga bisa seperti itu.” Duh, malu rasanya. Kok bisa-bisanya pikiranku malah mengarah ke sana-sana, sih. Ternyata cuma mau ngajak menghadiri pengajian di masjid. Kalau malaikat bisa terlihat, mungkin kini dia tengah menertawakan salah sangkaku. “Iya, Mas.” Aku tersenyum biar gak kentara kalau tadi sudah salah sangka. “Oke,” tukasnya seraya mencubit ujung hidungku sekilas. Mas Laksa pun lekas mengambil laptop dan meminta maaf karena harus menyelesaikan pekerjaan pentingnya yang tertunda, katanya. Aku meneruskan bersel
Sampai esok menjelang, kudapati tempat tidur di sampingku kosong. Mas Laksa tak pulang. Aku menggeliat dan meraih ponselku yang tergeletak di atas tempat tidur. Kebiasaanku memang, kalau tidur ditemani ponsel. Harusnya ‘kan, jangan. Hanya saja sudah kebiasaan. Kuperiksa dan ternyata ada satu pesan dari Mas Laksa semalam. [Tidur duluan ya, Ra. Mas gak bisa pulang.] Sudah jam satu malam ketika dilihat dari waktu pesan yang dia kirim. Jangankan buka ponsel, jam segitu buka mata saja sudah berat. [Mas pulang jam berapa? Mau aku masakin apa?] Aku mengetik sambil sesekali masih menguap. Bingung mau masak apa. Aku belum paham apa yang dia suka soalnya.[Sebentar lagi pulang. Buatin saja nasi goreng sosis. Aidan sangat suka. Bahan-bahannya kamu tanya saja Mbak Susi, ya!] [Oke, Mas.]Aku bangkit dengan bersemangat. Ingin mulai belajar mendekati Aidan dan mengambil hati, anak dua stengah tahun itu. Rasanya aku berhutang terlalu banyak pada Mas Laksa, sudah selayaknya aku menebusnya dengan
“Hati-hati makannya, Ma!” Aku berucap seraya mengulum senyum. Sedikit ada rasa puas di dalam dada mendengar kalimat klarifikasi dari Bi Susi yang mematahkan semua ocehannya. Sedangkan wajah Bu Rosye tampak merah. Entah karena malu atau memang karena tersedak tadi, yang jelas dia hanya melirik sekilas ke arahku dengan tatapan yang terbaca seperti tak percaya. “Iya, hati-hati, Nyonya.” Bi Susi tampak khawatir juga.“Susi, tolong buatin susu yang baru buat saya!” Ibu Mertuaku tak menanggapi ucapan kami. Dia malah mengalihkan pada topik lain dan bicara pada Bi Susi. “Baik, Nyonya!” Dia tak banyak membantah dan langsung beranjak pergi. “Wah, lagi pada ngobrol di sini rupanya?” Mas Laksa yang baru saja tiba di lantai bawah berjalan mendekat ke arah kami. Tak ingin memperkeruh suasana, aku langsung mengajaknya beranjak ke meja makan. “Iya, kami nungguin kamu, Mas.” Aku menarik jemari mungil Aidan agar mengikuti langkahku. Tak ada kata basa-basi lagi pada Ibu mertuaku yang tengah menyibuk
“Mas, bangun! Sudah sore.” Aku mengguncang bahunya pelan. Aidan yang sejak tadi tak mau lepas, kuletakkan di atas tempat tidur dan langsung dia meringkuk di samping Mas Laksa. Ada hati yang perih melihat Aidan yang tampak kesepian. Mungkin semenjak kepergian Mbak Keysa, dia hanya sering diajak bermain oleh Mbak Tini saja. Faktanya, tadi ketika kuajak dia main, Aidan tampak sangat senang. Mas Laksa mengerjap, lantas menoleh pada Aidan dan menciumi pipinya. “Jagoannya Papi, sudah mandi?” seru Mas Laksa sambil menarik tubuh mungil itu ke dalam pangkuannya.“Cudah, cama Mama.” Mas Laksa menoleh padaku, “Dia mandi sama kamu, Ra?” “Iya, Mas.” Aku mengangguk.“Lah, Mbak Tini gak bantuin?” Tampak Mas Laksa tak suka. “Bantuin, kok, Mas. Lagi pula, sekarang ini, akulah Mamanya. Selama aku gak ada kesibukan, Aidan akan aku yang urus segalanya. Apa kamu mau, kalau anakmu lebih dekat pada orang lain dari pada sama orang tuanya sendiri, Mas?” Mas Laksa tertegun, lantas menatapku lekat. “Apa
Aidan sudah berulang kali menguap. Mbak Tini memburunya ketika baru saja aku tiba di lantai atas.“Duh, pasti sudah capek sama ngantuk, ya, Den Aidan.” Dia memburu anak lelaki yang masih nemplok di gendonganku. Namun, Aidan malah memelukku erat dan menyandarkan kepalanya di dadaku. Masih dengan kondisi menguap seperti tadi. “Iya, Mbak. Sudah ngantuk berat kayaknya. Aidan bobok sama Mbak Tini, ya!” Aku mencium pipinya. Mau gimana pun, Mbak Tini ‘kan masih berstatus sebagai pengasuhnya. Namun, tanpa kusangka dia menggeleng. “Lah, sudah malem loh, Den. Nanti Mbak bacain cerita gajah dan semut lagi.” Mbak Tini berusaha membujuknya. Aidan bergeming. Akhirnya aku melangkahkan kaki ke kamarnya. Mbak Tini berdecak dan mengikuti kami dari belakang. Nuansa kamar dengan cat warna abu-abu yang dominan ini, terasa sekali nuansa anak-anak di dalamnya dengan gambar-gambar kartun pada wall papernya. Rupanya Aidan tak mau kutinggal. Akhirnya aku menidurkannya dulu. Kucium pipi dan keningnya lama