Part 2
"Memangnya kamu punya mahar berapa mau nikahin anak saya?" tanya ibu dengan tatapan tajam. "Seratus ribu." "Apa?? Cuma 100 ribu? kau ini sudah gila ya? Mau nikahin anakku tapi nggak punya modal?!" seru ibu dengan wajah kesal. Bapak menepuk lengan ibu agar tenang. "Coba Nak Saga ulangi lagi, berapa mahar yang akan kamu berikan buat putri kami?" Lelaki yang memakai kaos oblong dan dikuncir rambutnya dan terdapat sedikit tato di lengannya segera menoleh ke arahku. Ya, penampilannya memang seperti berandalan, dengan tatapan elang membuatku sedikit bergidik. Namun saat ini, wajahnya dipenuhi luka lebam dan babak belur akibat dihajar warga. Ah entahlah, aku tak bisa melukiskannya, karena perasaan yang bercampur padu antara kalut dan juga tegang. Aku bahkan aku tak mengenal siapa dia sebenarnya, hanya beberapa kali mengingat lelaki itu sepertinya memang pernah datang membeli kue di toko Aksara. Dia berdecak pelan, kesal mungkin gara-gara di sidang oleh pamong desa dan keluarga, serta para warga desa yang menunggui kami di teras depan seolah menantikan pengadilan kami. Lelaki yang kutahu bernama Saga itu mengambil dompetnya di saku celana. Dompet kulit berwarna coklat itu ia buka dan menunjukkannya pada bapak. "Bapak dan ibu, lihat sendiri kan, saat ini aku tidak membawa uang lagi, hanya ini, 1 lembar saja, tidak ada yang lain," jawabnya serius. "Itu kalau kalian mau kalau tidak aku akan pergi. Toh aku tidak melakukan apapun pada putri kalian." Hampir saja lelaki itu bangkit dari duduknya membuat bapak dan juga ibu terhenyak. Dan membuat kondisi riuh kembali. "Bu, yang dikatakannya memang benar kok. Kami---" "Sssttt! Sudah! Kamu diam saja Damay!" pungkas ibu yang langsung menatapku tajam. "Dan kamu! Kamu mau lepas tanggung jawab setelah menodai putri kami?!" seru ibu lagi sambil menunjuk wajah Saga. "Saya tidak me--" "Mas Saga duduklah dulu, Mas. Kami sedang berdiskusi dengan kamu. Kita berada di sini sedang mencari jalan tengahnya," seru Pak Kades. Lelaki itu kembali duduk. Wajahnya tampak serius. "Bagaimana Mbak Damay?" Kini giliran Pak Kades bertanya dengan mimik serius. "Pak, sejujurnya aku tidak ingin menikah. Kalian dan para warga sudah salah paham tentang kami--" "Cukup Damay! Jangan bikin kami tambah malu! Kau sudah melempar kotoran ke wajah kami! Seumur hidup ibu mendidikmu dengan baik. Tapi kau justru bersikap begini! Keterluan kamu, May!" teriak ibu. "Bu. Sudah, Bu. Jangan marah-marah lagi. Nanti masalah jadi makin runyam," timpal bapak. "Aku akan menikahi Damay. Dan ini maharnya. Yang lain akan aku berikan setelah masalah ini selesai. Aku sungguh tidak tega melihat putri kalian dihakimi seperti ini," ungkapnya tegas setelah melirik ke arahku dan mendapati air mataku menetes lagi di pipi. "Ya, ya, baiklah, ini lebih baik dari pada aku harus menyaksikan putriku disiksa. Segera laksanakan saja, Pak. Berkasnya nanti bisa menyusul." Aku sudah tak mampu berpikir apa-apa lagi. Hanya bisa menangis, hingga lelaki itu mungkin merasa kasihan padaku. Mereka semua tidak percaya atas kesalahpahaman ini bahkan bapak dan ibu tak mempercayaiku. Meski aku menjelaskannya sampai mulut berbusa. Pilihannya hanya dua. Nikah atau dicambuk 100 kali lalu diarak keliling desa dengan kondisi tak berbusana, hilang muka, kena mental, sanksi sosial yang lain. Sungguh aku tak bisa membayangkan rasanya. Bukankah lebih baik mati saja? Ya, setelah 1 jam lamanya, dan dengan diskusi yang cukup alot, akhirnya semua setuju dengan pernikahan dadakan yang konyol ini. Tak butuh waktu lama, pak penghulu yang memang tetangga kami udah datang. Mereka semua langsung menyiapkan tempat alakadarnya. Tak ada saksi dan pihak keluarganya. Sungguh, mungkin ini pernikahan paling miris untuk gadis desa sepertiku. "Baik sekarang kita mulai saja ya. Mas Sagara dan Pak Taryo silakan nanti jabat tangan dan ikuti perkataan saya." Dua lelaki itu mengangguk. Aku segera menyeka kembali butiran bening yang selalu jatuh tanpa kompromi. "Bismillah. Saudara Sagara Banyubiru bin Biru Hartono, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan putri saya, Damay Lestari dengan mas kawin uang sebesar seratus ribu rupiah dibayar tunai." "Saya terima nikah dan kawinnya Damay Lestari binti Taryo Hamdi dengan maskawin tersebut di atas tuunaaai!" "Alhamdulillah, saksi Saah?" "Saah!" Terdengar desah lega saat akhirnya kami sah sebagai suami istri. Pernikahan ini sungguh tidak logis, tak ada moment bahagia atau kesan yang menyenangkan, yang ada hanyalah kenangan buruk. Tak ada acara sesi foto maupun acara sakral lainnya. Dan akupun baru tahu namanya hari ini. Sagara Banyubiru, nama yang terdengar asing. Semua warga akhirnya pamit dan membubarkan diri. Sudah pastilah saat ini dan hari-hari ke depan, mereka akan bergosip dan mengghibah tentangku. Mereka memandangku sebelah mata. Sementara motornya yang rusak disita pihak desa. Begitu pula dengan keluargaku, kami pulang bersama termasuk Mas Saga. Sepanjang jalan ibu mendumel tak jelas. Sudah pasti, kehidupan di rumah akan jadi lebih tidak tenang lagi. *** Aku duduk di bibir ranjang sambil membereskan kamar. Rasanya sudah sangat lelah dan ingin tidur saja. Dan berharap kalau ini hanyalah mimpi buruk yang akan segera berlalu. "Nak ...." Aku menoleh mendapati bapak sedang berdiri di ambang pintu kamar. "Suamimu diajak masuk, kasihan dia di teras depan sendirian." Aku mengangguk dan berjalan ke depan, melihat Mas Saga tengah meringis kesakitan sambil mendesis pelan. Ia memegangi luka-lukanya dengan jari tangan. Bahkan dahinya masih terdapat sisa darah yang mengering. "Emmh, Mas ..." Lelaki itu menoleh. Pandangan kami bersirobok sejenak. Ia langsung membenarkan posisi duduknya. "Masuklah, mau sampai kapan di luar terus. Bersihkan dirimu, Mas," ucapku takut-takut. Entah lelaki seperti apa yang kini menjadi suamiku. Aku agak takut dengan penampilannya yang seperti preman. Lelaki itu mengangguk dan bangkit mengikutiku menuju ke arah kamar. Ada perasaan canggung di antara kami. Kuserahkan handuk dan baju ganti untuknya. "Kamar mandinya ada di belakang." Tanpa sepatah kata, lelaki itu mengangguk lagi melangkah mengikuti arah tunjukku. Kruyuuuk ... suara di perutku terdengar nyaring. Tentu saja rasanya begitu lapar, mungkin Mas Saga juga merasakan hal yang sama. Aku bergegas ke dapur, masih ada bahan-bahan. Jadi akan kumanfaatkan membuat cemilan malam hari ini. "Makanya Mbak May jadi perempuan itu jangan murahan! Mau-maunya berhubungan sama preman jalanan seperti itu! Di tempat yang gak seharusnya pula!Dasar gak punya malu! Hiiiy jijay!!" Deg!!Part 3"Makanya Mbak May jadi perempuan itu jangan murahan! Mau-maunya berhubungan sama preman jalanan seperti itu! Di tempat yang gak seharusnya pula!Dasar gak punya malu! Hiiiy jijay!!"Degg!!Tiba-tiba saja gadis itu pulang dan langsung menghardikku. Suara adik tiriku terdengar menghina membuatku menggenggam sendok dengan kuat-kuat. Saat ini aku tengah membuat adonan tepung untuk pisang goreng. Tapi kenapa harus mendengar mulut julidnya?Debar jantung masih tak menentu akibat kejadian hari ini yang mengharuskanku menikah dengan pria yang sama sekali tak kukenali."Ya terima sajalah, maharnya cuma 100 ribu. Muraaaaahh! Semurah harga dirimu, Mbak!""Kalau tidak tahu ceritanya jangan memfitnahku sembarangan, Meg!" Aku bangkit dan menatap adik tiri itu dengan tajam.Tapi dengan santainya dia justru memperlihatkan wajah yang meremehkan. "Kenapa? Aku benar kan? Mbak itu murah, mu----raaahh-an! Hahaha," ujarnya seraya menertawakanku. "Aku yakin, orang-orang di sini juga setuju kalau M
Part 4"Damaayy!!" Teriakan ibu kembali menghenyakkanku, aku segea keluar membawa teh manis itu. Padahal apa susahnya sih, Mega disuruh ke dapur dan mengambil teh ini. Kenapa harus aku?Aku menaruh gelas teh itu di meja. Mereka semua terlihat kepedasan. Tak ingin berlama-lama, aku langsung bergegas ke dapur, takut bila gorengan pisangku gosong. Sedikit takjub saat kembali dan melihat Mas Saga tengah membalik gorengan pisang itu. "Mas ...?"Dia menoleh sejenak, lalu mundur membiarkan aku mengmbil alih pekerjaanku kembali. "Mas, ini teh manis buat kamu. Kamu mau minum dimana? Di sini atau di depan?" tanyaku agak canggung."Di sini saja," jawabnya singkat.Aku mengangguk dan menyerahkan gelas itu padanya. Ia langsung duduk bersila di lantai dan menyesap teh manisnya. Aku tertegun sejenak. Mungkin dia juga merasa tersiksa sama sepertiku. Selesai, aku mengangkat gorengan yang masih panas dan meniriskannya sejenak. Lalu menghidangkannya di hadapan lelaki itu. Lelaki yang beberapa jam la
Part 5Entah mimpi apa aku semalam, hingga menemui musibah seperti ini. Beberapa jam yang lalu ...Saat aku pulang kerja dari toko kue, aku berjalan melintasi jalan desa yang di kanan dan kirinya areal persawahan ada sebuah sungai yang cukup dalam.Hujan rintik-rintik menemaniku di sepanjang jalan. Apalagi rumahku termasuk yang paling jauh, berada di ujung desa. Kali ini memang aku tak memakai motor karena motor itu sedang dipakai oleh Mega. Jikalau sampai di rumah, pikiranku akan terkuras habis karena ucapan ibu, hingga aku memilih berhenti sejenak mengambil napas dan melihat sungai yang mengalir. Setidaknya menetralisir rasa yang ada.Tiba-tiba saja, serasa ada yang mendorongku hingga aku terperosok dan terjatuh ke bibir sungai. Hujan yang belum reda sedari pagi membuat licin di semua tempat dan juga membuat debit sungai mulai naik. Aku hampir saja terseret arus bila tak berpegangan kuat di dahan kayu."Tolooooong ....!" teriakku sambil berusaha bangkit. Meski tak bisa."Tolooooon
Part 6"Baguslah, sana kerja, jangan jadi benalu!" ucap ibu sinis."Bu, jangan bicara seperti itu, Bu. Bagaimanapun juga Nak Saga sudah menjadi bagian dari keluarga kita," tukas Bapak menengahi"Heleh!" sahut ibu sinis kemudian berlalu kembali ke dalam. "Saya berangkat dulu, Pak!" pamit Mas Saga. "Kamu pasti kembali lagi 'kan? Kamu tidak berencana kabur untuk meninggalkan putri bapak?" tanya Bapak, entah kenapa Bapak bertanya seperti itu. Biarpun dia pergi, bukankah tidak masalah bagiku? Ah ya, aku paham sekarang, bapak dan yang lain tidak percaya padaku. Mungkin bapak khawatir kalau anaknya yang tidak berharga ini ditinggalkan begitu saja.Aku menghela napas dalam. Entah kenapa terasa berat sekali. Tanpa kusadari, lelaki itu memandangku sejenak dan menjawab, "saya akan kembali, Pak."Dia mendekatiku lalu memberi dompet berisi kartu identitasnya. "Pegang ini sebagai jaminan. Aku pasti akan kembali.""Lho?" Aku mengerutkan kening."Kamu tidak usah khawatir, ada atau tidak adanya dom
Part 7 "Kami mencari Damay!" ujar salah satu dari mereka dengan tegas. "Damay? Ada apa dengan dia? Dia membuat kesalahan apa lagi?" tanya ibu makin panik. "Maaf Pak, bapak sekalian mencari saya?" tanyaku menghampiri mereka dan tetap berusaha tenang, meski jantung ini berdebar cukup kencang. "Dia siapa?" Mereka memandangku dan saling berbisik "Saya Damay, Pak," jawabku. Entah kenapa keduanya tetiba membungkuk seperti memberi hormat. Ibu menghampiriku. "Damay, kamu kenal sama orang-orang ini? Jangan-jangan kamu punya hutang ya? Atau suami berandalan kamu itu yang punya hutang?" bisik ibu. Aku menggeleng perlahan. "Aku tidak tahu, Bu." "Aduuuhhh, dapet musibah apalagi ini! Apes melulu! Pasti kamu itu anak kutukan! Udah nikah aja bawa sial! Suami gak jelas, ini apa lagi!" omel ibu. Aku menghela napas dalam. "Mohon maaf sebelumnya Bu, kalau kedatangan kami mengagetkan kalian. Kami datang kesini untuk mengantarkan hadiah," jawab seorang pria sementara pria di sebelahnya justru
Part 8Malam hari ...."Buuu! Ibuuuu!! Aku pulaaang! Tolong buka pintunya!" teriak Mega. Ibu langsung tergopoh keluar membukakan pintu. Gadis itu tersenyum dan melenggang masuk membawa tas belanjaan. Ia langsung duduk di kursi. Lelaki bernama Guntur itu pun mengikuti duduk di sebelah Mega. "Jam segini kok baru pulang? Dari mana saja?" tanya ibu."Kan aku sudah bilang, Bu, kami habis jalan-jalan," sahut Mega dengan santuy.Seperti biasa, Ibu langsung menyuruhku untuk membuatkan teh manis. Rupanya Mega terkejut saat melihat ada beberapa paper bag dan makanan enak di ruang tamu. Ia mengambil salah satu cake dan langsung memakannya."Bu, ini punya siapa? Kok banyak banget hadiah, memangnya tadi habis ada acara?""Gak ada acara," sahut ibu."Lho terus ini?""Tadi ada dua orang yang datang dan ngasih hadiah buat kita," jawab ibu."Buat Damay, Bu," timpal bapak kemudian duduk di samping ibu.Mata Mega terbelalak mendengar ucapan bapak. "Hadiah untuk Mbak Damay? Dari siapa? Kok bisa?""Kat
Part 9"Bos, apa yang terjadi?" tanya salah seorang anak buahnya, saat Saga baru tiba di sebuah lokasi. Gudang kosong yang disulap sebagai markas sekaligus tempat tinggal anak-anak jalanan."Motor Bos mana? Terus kenapa wajah Bos lebam-lebam begitu?" tanyanya lagi.Sagara melepaskan jaketnya, dan duduk di sofa yang sudah usang. Ia menghela napas dalam-dalam seraya menyandarkan tubuhnya sejenak."Suruh Pak Tom ke sini, saya mau bicara dengannya!" "Baik, Bos!""Telpon saja!""Siap, Bos!""Gimana keadaan mereka? Apa ada masalah?""Semuanya aman, Bos. Mereka hanya bertanya kenapa Bos tidak kelihatan."Saga mengangguk, lalu meneguk air mineral yang diberikan oleh anak buahnya itu.Setelah meregangkan otot sejenak, lelaki itu bangkit berdiri lalu berjalan ke belakang, melihat ruangan yang disekat-sekat seadanya menggunakan kalsiboard. Ruangan itu menampung anak-anak yang kurang beruntung, hidup di jalanan dan tak punya sanak saudara. Beberapa anak-anak yang sedang bebersih dan beres-bere
Part 10"Pulanglah, penting!"Tanpa menunggu jawaban Saga, panggilan itu terputus begitu saja. Lelaki muda itu menghela napas dalam. "Kebiasaan buruk, selalu saja begini! " gerutunya kesal. Sifat ayahnya yang keras dan tak bisa dibantah membuat pribadi Saga tak betah berada di rumah. Ia dibesarkan tanpa kasih sayang seorang ibu, membuat sikapnya pun kaku. Bahkan ia lebih banyak membangkang aturan yang dibuat oleh sang ayah. Saat sekolah, ia sering kali membolos, meskipun seperti itu otaknya begitu cemerlang, ia mendapatkan nilai yang bagus. Lalu hidup di jalanan pun pernah ia lakoni. Saat itu, hidupnya benar-benar berantakan, kehilangan penuntun hidup dan rumah ternyamannya. Ya, kehilangan sosok ibu benar-benar bisa menjadi kehancuran seorang anak. Meski ia tak pernah kekurangan dari segi materi, tapi hatinya begitu kosong dan hampa. Hingga kini ia memilih pergi menjauh dari keluarga, itu agar dia bebas dari aturan sang ayah yang saklek. Kerasnya hidup membuat Saga mandiri. Tap