Share

4. Hanya Dibandingkan

Part 4

"Damaayy!!" Teriakan ibu kembali menghenyakkanku, aku segea keluar membawa teh manis itu. Padahal apa susahnya sih, Mega disuruh ke dapur dan mengambil teh ini. Kenapa harus aku?

Aku menaruh gelas teh itu di meja. Mereka semua terlihat kepedasan. Tak ingin berlama-lama, aku langsung bergegas ke dapur, takut bila gorengan pisangku gosong.

Sedikit takjub saat kembali dan melihat Mas Saga tengah membalik gorengan pisang itu.

"Mas ...?"

Dia menoleh sejenak, lalu mundur membiarkan aku mengmbil alih pekerjaanku kembali.

"Mas, ini teh manis buat kamu. Kamu mau minum dimana? Di sini atau di depan?" tanyaku agak canggung.

"Di sini saja," jawabnya singkat.

Aku mengangguk dan menyerahkan gelas itu padanya. Ia langsung duduk bersila di lantai dan menyesap teh manisnya. Aku tertegun sejenak. Mungkin dia juga merasa tersiksa sama sepertiku.

Selesai, aku mengangkat gorengan yang masih panas dan meniriskannya sejenak. Lalu menghidangkannya di hadapan lelaki itu. Lelaki yang beberapa jam lalu telah menjadi suami. Tapi entah ke depannya seperti apa, itu masih menjadi tanda tanya.

"Mas, ini dimakan pisang gorengnya."

"Hmmm, terima kasih."

Mas Saga langsung mengambil pisang goreng itu dan memakannya. Terlihat lahap, atau dia memang lapar?

"Mas, mau makan nasi? Kalau mau nanti aku buatkan nasi goreng karena kebetulan lauknya sudah habis."

"Tidak perlu, ini saja sudah cukup. Terima kasih. Pisang gorengnya enak," jawabnya masih sambil mengunyah pisang goreng itu.

Mendengar ucapannya, hatiku perlahan menghangat. Mulai hari ini dan detik ini juga, aku harus hidup dengan pria ini, itupun kalau dia tak meninggalkanku begitu saja.

"Kamu tidak makan?" tanyanya tiba-tiba sambil menatapku lekat.

Aku menggeleng pelan. Bahkan nafsu makanku menghilang begitu saja sejak mendengar perkataan ibu. Padahal tadi perut ini rasanya begitu lapar.

"Apapun masalahnya, perut kamu harus tetap diisi biar kamu kuat. Nih makanlah!" ujarnya lagi seraya menyerahkan gorengan pisang itu di depan mulutku.

Ternyata di balik wajah dan penampilan berandalnya yang menyeramkan, dia lelaki yang cukup hangat.

"Enak ya, mesra-mesraan di dapur! Di kamar sana! Dih emang gak tau malu banget! Udah dikasih pelajaran tadi, masih juga gak ngaca!!" celetuk Mega yang tiba-tiba datang dengan mulut cerewetnya.

Mas Saga menaruh kembali pisang goreng itu ke atas piring dan segera bangkit.

"Kamu bukankah lebih muda dari Damay? Harusnya kau menghormatinya sebagai seorang kakak."

"Seorang kakak apaan yang mencontohkan hal buruk. Ueeek. Lagian kami cuma beda setahun doang! Dan kamu juga masih baru di sini bisa-bisanya ngatur aku! Dasar preman!"

Kulihat tangan Mas Saga mengepal, tapi aku yakin dia bisa menempatkan diri.

"Sudah deh, Mega, aku capek berdebat denganmu. Kau bisa kan urus urusanmu sendiri, tidak usah mencampuri urusanku lagi?"

"Ck! Aku protes karena merasa risih sama kalian! Hiih!"

Ia menghentakkan kakinya dan melangkah pergi setelah mengambil air putih.

"Apa dia selalu bersikap seperti itu padamu?" tanya Mas Saga sambil menatapku.

Aku tersenyum masam. "Ya, dia sudah terbiasa seperti itu, tidak perlu kaget! Dari kecil dia sudah terbiasa dimanja jadi--"

Aku tak meneruskan ucapanku dan memilih bangkit. Segera aku cuci piring dan wadah bekas adonan pisang goreng itu, tetiba seseorang meletakkan bekas mangkuk bakso di pinggir westafel.

"Nih sekalian dicuci!" Suara ibu terdengar memerintah.

Aku menghela napas pelan dan segera menyelesaikan semuanya tanpa menoleh.

"Bu, Mas Gun baik banget, dia beliin aku gelang ini, Bu! Katanya dia juga mau beliin aku satu set perhiasan yang lain, Bu!" Suara Mega terdengar sampai di telingaku. Ia berceloteh sesaat setelah pacarnya pergi.

Ibu tertawa. "Hahaha, ibu senang sekali mendengarnya, Sayang. Setelah tadi ibu kesal gara-gara Damay, akhirnya ada hal yang membuat ibu bahagia hari ini. Syukurlah kamu menemukan pria yang cocok. Jadi kapan kalian akan menikah?"

"Hmmm, soal itu kata Mas Gun nunggu kabar orang tuanya dulu. Mereka masih di luar negeri. Kalau Mas Gun udah bilang ke ortunya dan mereka setuju, Mas Gun sama keluarganya akan datang melamar kesini, Bu."

"Benar-benar ya calon besan ibu orang kaya!"

"Ya jelas dong, Bu. Bisnisnya di sini ada di luar negeri juga ada. Mereka orang-orang sibuk."

"Iya, iya, ibu jadi gak sabar juga kecipratan jadi orang kaya. Yang penting kamu jangan kayak si Damay, udah maharnya seratus ribu, nikahnya sama berandalan pula! Nanti kamu minta mahar yang gede! Kalau bisa minta rumah dan isinya, mobil, perhiasan--"

"Haha ibu tenang saja. Aku pasti akan melakukan saran dari ibu. Aku yakin, Mas Gun juga bakalan menuruti apapun permintaanku. Yang jelas, aku gak bakalan seperti Mbak Damay."

Aku berjalan ke depan melewati ruang tengah, ibu dan anak itu tengah mengobrol di sana. Tatapan sinis ibu dan adik tiriku sepertinya sengaja memanas-manasiku.

"Jadi pekerjaanmu apa sekarang, Nak?"

Langkahku terhenti saat mendengar percakapan Bapak dan Mas Saga di teras. Rupanya mereka sedang mengobrol meski malam sudah makin beranjak naik.

"Pekerjaan saya, emhh ... Maaf Pak, saya memang belum punya pekerjaan tetap, tapi saya akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan Damay. Karena dia tanggung jawab saya sekarang."

"Bagus kalau kamu punya pemikiran seperti itu. Apapun pekerjaanmu yang terpenting kamu bisa menafkahi putri bapak dengan baik dan carilah nafkah dari jalan yang baik dan halal, karena semua akan berbalik ke diri kita atau keluarga kita sendiri."

"Saya akan selalu ingat pesan bapak."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status