Part 4
"Damaayy!!" Teriakan ibu kembali menghenyakkanku, aku segea keluar membawa teh manis itu. Padahal apa susahnya sih, Mega disuruh ke dapur dan mengambil teh ini. Kenapa harus aku? Aku menaruh gelas teh itu di meja. Mereka semua terlihat kepedasan. Tak ingin berlama-lama, aku langsung bergegas ke dapur, takut bila gorengan pisangku gosong. Sedikit takjub saat kembali dan melihat Mas Saga tengah membalik gorengan pisang itu. "Mas ...?" Dia menoleh sejenak, lalu mundur membiarkan aku mengmbil alih pekerjaanku kembali. "Mas, ini teh manis buat kamu. Kamu mau minum dimana? Di sini atau di depan?" tanyaku agak canggung. "Di sini saja," jawabnya singkat. Aku mengangguk dan menyerahkan gelas itu padanya. Ia langsung duduk bersila di lantai dan menyesap teh manisnya. Aku tertegun sejenak. Mungkin dia juga merasa tersiksa sama sepertiku. Selesai, aku mengangkat gorengan yang masih panas dan meniriskannya sejenak. Lalu menghidangkannya di hadapan lelaki itu. Lelaki yang beberapa jam lalu telah menjadi suami. Tapi entah ke depannya seperti apa, itu masih menjadi tanda tanya. "Mas, ini dimakan pisang gorengnya." "Hmmm, terima kasih." Mas Saga langsung mengambil pisang goreng itu dan memakannya. Terlihat lahap, atau dia memang lapar? "Mas, mau makan nasi? Kalau mau nanti aku buatkan nasi goreng karena kebetulan lauknya sudah habis." "Tidak perlu, ini saja sudah cukup. Terima kasih. Pisang gorengnya enak," jawabnya masih sambil mengunyah pisang goreng itu. Mendengar ucapannya, hatiku perlahan menghangat. Mulai hari ini dan detik ini juga, aku harus hidup dengan pria ini, itupun kalau dia tak meninggalkanku begitu saja. "Kamu tidak makan?" tanyanya tiba-tiba sambil menatapku lekat. Aku menggeleng pelan. Bahkan nafsu makanku menghilang begitu saja sejak mendengar perkataan ibu. Padahal tadi perut ini rasanya begitu lapar. "Apapun masalahnya, perut kamu harus tetap diisi biar kamu kuat. Nih makanlah!" ujarnya lagi seraya menyerahkan gorengan pisang itu di depan mulutku. Ternyata di balik wajah dan penampilan berandalnya yang menyeramkan, dia lelaki yang cukup hangat. "Enak ya, mesra-mesraan di dapur! Di kamar sana! Dih emang gak tau malu banget! Udah dikasih pelajaran tadi, masih juga gak ngaca!!" celetuk Mega yang tiba-tiba datang dengan mulut cerewetnya. Mas Saga menaruh kembali pisang goreng itu ke atas piring dan segera bangkit. "Kamu bukankah lebih muda dari Damay? Harusnya kau menghormatinya sebagai seorang kakak." "Seorang kakak apaan yang mencontohkan hal buruk. Ueeek. Lagian kami cuma beda setahun doang! Dan kamu juga masih baru di sini bisa-bisanya ngatur aku! Dasar preman!" Kulihat tangan Mas Saga mengepal, tapi aku yakin dia bisa menempatkan diri. "Sudah deh, Mega, aku capek berdebat denganmu. Kau bisa kan urus urusanmu sendiri, tidak usah mencampuri urusanku lagi?" "Ck! Aku protes karena merasa risih sama kalian! Hiih!" Ia menghentakkan kakinya dan melangkah pergi setelah mengambil air putih. "Apa dia selalu bersikap seperti itu padamu?" tanya Mas Saga sambil menatapku. Aku tersenyum masam. "Ya, dia sudah terbiasa seperti itu, tidak perlu kaget! Dari kecil dia sudah terbiasa dimanja jadi--" Aku tak meneruskan ucapanku dan memilih bangkit. Segera aku cuci piring dan wadah bekas adonan pisang goreng itu, tetiba seseorang meletakkan bekas mangkuk bakso di pinggir westafel. "Nih sekalian dicuci!" Suara ibu terdengar memerintah. Aku menghela napas pelan dan segera menyelesaikan semuanya tanpa menoleh. "Bu, Mas Gun baik banget, dia beliin aku gelang ini, Bu! Katanya dia juga mau beliin aku satu set perhiasan yang lain, Bu!" Suara Mega terdengar sampai di telingaku. Ia berceloteh sesaat setelah pacarnya pergi. Ibu tertawa. "Hahaha, ibu senang sekali mendengarnya, Sayang. Setelah tadi ibu kesal gara-gara Damay, akhirnya ada hal yang membuat ibu bahagia hari ini. Syukurlah kamu menemukan pria yang cocok. Jadi kapan kalian akan menikah?" "Hmmm, soal itu kata Mas Gun nunggu kabar orang tuanya dulu. Mereka masih di luar negeri. Kalau Mas Gun udah bilang ke ortunya dan mereka setuju, Mas Gun sama keluarganya akan datang melamar kesini, Bu." "Benar-benar ya calon besan ibu orang kaya!" "Ya jelas dong, Bu. Bisnisnya di sini ada di luar negeri juga ada. Mereka orang-orang sibuk." "Iya, iya, ibu jadi gak sabar juga kecipratan jadi orang kaya. Yang penting kamu jangan kayak si Damay, udah maharnya seratus ribu, nikahnya sama berandalan pula! Nanti kamu minta mahar yang gede! Kalau bisa minta rumah dan isinya, mobil, perhiasan--" "Haha ibu tenang saja. Aku pasti akan melakukan saran dari ibu. Aku yakin, Mas Gun juga bakalan menuruti apapun permintaanku. Yang jelas, aku gak bakalan seperti Mbak Damay." Aku berjalan ke depan melewati ruang tengah, ibu dan anak itu tengah mengobrol di sana. Tatapan sinis ibu dan adik tiriku sepertinya sengaja memanas-manasiku. "Jadi pekerjaanmu apa sekarang, Nak?" Langkahku terhenti saat mendengar percakapan Bapak dan Mas Saga di teras. Rupanya mereka sedang mengobrol meski malam sudah makin beranjak naik. "Pekerjaan saya, emhh ... Maaf Pak, saya memang belum punya pekerjaan tetap, tapi saya akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan Damay. Karena dia tanggung jawab saya sekarang." "Bagus kalau kamu punya pemikiran seperti itu. Apapun pekerjaanmu yang terpenting kamu bisa menafkahi putri bapak dengan baik dan carilah nafkah dari jalan yang baik dan halal, karena semua akan berbalik ke diri kita atau keluarga kita sendiri." "Saya akan selalu ingat pesan bapak."Part 5Entah mimpi apa aku semalam, hingga menemui musibah seperti ini. Beberapa jam yang lalu ...Saat aku pulang kerja dari toko kue, aku berjalan melintasi jalan desa yang di kanan dan kirinya areal persawahan ada sebuah sungai yang cukup dalam.Hujan rintik-rintik menemaniku di sepanjang jalan. Apalagi rumahku termasuk yang paling jauh, berada di ujung desa. Kali ini memang aku tak memakai motor karena motor itu sedang dipakai oleh Mega. Jikalau sampai di rumah, pikiranku akan terkuras habis karena ucapan ibu, hingga aku memilih berhenti sejenak mengambil napas dan melihat sungai yang mengalir. Setidaknya menetralisir rasa yang ada.Tiba-tiba saja, serasa ada yang mendorongku hingga aku terperosok dan terjatuh ke bibir sungai. Hujan yang belum reda sedari pagi membuat licin di semua tempat dan juga membuat debit sungai mulai naik. Aku hampir saja terseret arus bila tak berpegangan kuat di dahan kayu."Tolooooong ....!" teriakku sambil berusaha bangkit. Meski tak bisa."Tolooooon
Part 6"Baguslah, sana kerja, jangan jadi benalu!" ucap ibu sinis."Bu, jangan bicara seperti itu, Bu. Bagaimanapun juga Nak Saga sudah menjadi bagian dari keluarga kita," tukas Bapak menengahi"Heleh!" sahut ibu sinis kemudian berlalu kembali ke dalam. "Saya berangkat dulu, Pak!" pamit Mas Saga. "Kamu pasti kembali lagi 'kan? Kamu tidak berencana kabur untuk meninggalkan putri bapak?" tanya Bapak, entah kenapa Bapak bertanya seperti itu. Biarpun dia pergi, bukankah tidak masalah bagiku? Ah ya, aku paham sekarang, bapak dan yang lain tidak percaya padaku. Mungkin bapak khawatir kalau anaknya yang tidak berharga ini ditinggalkan begitu saja.Aku menghela napas dalam. Entah kenapa terasa berat sekali. Tanpa kusadari, lelaki itu memandangku sejenak dan menjawab, "saya akan kembali, Pak."Dia mendekatiku lalu memberi dompet berisi kartu identitasnya. "Pegang ini sebagai jaminan. Aku pasti akan kembali.""Lho?" Aku mengerutkan kening."Kamu tidak usah khawatir, ada atau tidak adanya dom
Part 7 "Kami mencari Damay!" ujar salah satu dari mereka dengan tegas. "Damay? Ada apa dengan dia? Dia membuat kesalahan apa lagi?" tanya ibu makin panik. "Maaf Pak, bapak sekalian mencari saya?" tanyaku menghampiri mereka dan tetap berusaha tenang, meski jantung ini berdebar cukup kencang. "Dia siapa?" Mereka memandangku dan saling berbisik "Saya Damay, Pak," jawabku. Entah kenapa keduanya tetiba membungkuk seperti memberi hormat. Ibu menghampiriku. "Damay, kamu kenal sama orang-orang ini? Jangan-jangan kamu punya hutang ya? Atau suami berandalan kamu itu yang punya hutang?" bisik ibu. Aku menggeleng perlahan. "Aku tidak tahu, Bu." "Aduuuhhh, dapet musibah apalagi ini! Apes melulu! Pasti kamu itu anak kutukan! Udah nikah aja bawa sial! Suami gak jelas, ini apa lagi!" omel ibu. Aku menghela napas dalam. "Mohon maaf sebelumnya Bu, kalau kedatangan kami mengagetkan kalian. Kami datang kesini untuk mengantarkan hadiah," jawab seorang pria sementara pria di sebelahnya justru
Part 8Malam hari ...."Buuu! Ibuuuu!! Aku pulaaang! Tolong buka pintunya!" teriak Mega. Ibu langsung tergopoh keluar membukakan pintu. Gadis itu tersenyum dan melenggang masuk membawa tas belanjaan. Ia langsung duduk di kursi. Lelaki bernama Guntur itu pun mengikuti duduk di sebelah Mega. "Jam segini kok baru pulang? Dari mana saja?" tanya ibu."Kan aku sudah bilang, Bu, kami habis jalan-jalan," sahut Mega dengan santuy.Seperti biasa, Ibu langsung menyuruhku untuk membuatkan teh manis. Rupanya Mega terkejut saat melihat ada beberapa paper bag dan makanan enak di ruang tamu. Ia mengambil salah satu cake dan langsung memakannya."Bu, ini punya siapa? Kok banyak banget hadiah, memangnya tadi habis ada acara?""Gak ada acara," sahut ibu."Lho terus ini?""Tadi ada dua orang yang datang dan ngasih hadiah buat kita," jawab ibu."Buat Damay, Bu," timpal bapak kemudian duduk di samping ibu.Mata Mega terbelalak mendengar ucapan bapak. "Hadiah untuk Mbak Damay? Dari siapa? Kok bisa?""Kat
Part 9"Bos, apa yang terjadi?" tanya salah seorang anak buahnya, saat Saga baru tiba di sebuah lokasi. Gudang kosong yang disulap sebagai markas sekaligus tempat tinggal anak-anak jalanan."Motor Bos mana? Terus kenapa wajah Bos lebam-lebam begitu?" tanyanya lagi.Sagara melepaskan jaketnya, dan duduk di sofa yang sudah usang. Ia menghela napas dalam-dalam seraya menyandarkan tubuhnya sejenak."Suruh Pak Tom ke sini, saya mau bicara dengannya!" "Baik, Bos!""Telpon saja!""Siap, Bos!""Gimana keadaan mereka? Apa ada masalah?""Semuanya aman, Bos. Mereka hanya bertanya kenapa Bos tidak kelihatan."Saga mengangguk, lalu meneguk air mineral yang diberikan oleh anak buahnya itu.Setelah meregangkan otot sejenak, lelaki itu bangkit berdiri lalu berjalan ke belakang, melihat ruangan yang disekat-sekat seadanya menggunakan kalsiboard. Ruangan itu menampung anak-anak yang kurang beruntung, hidup di jalanan dan tak punya sanak saudara. Beberapa anak-anak yang sedang bebersih dan beres-bere
Part 10"Pulanglah, penting!"Tanpa menunggu jawaban Saga, panggilan itu terputus begitu saja. Lelaki muda itu menghela napas dalam. "Kebiasaan buruk, selalu saja begini! " gerutunya kesal. Sifat ayahnya yang keras dan tak bisa dibantah membuat pribadi Saga tak betah berada di rumah. Ia dibesarkan tanpa kasih sayang seorang ibu, membuat sikapnya pun kaku. Bahkan ia lebih banyak membangkang aturan yang dibuat oleh sang ayah. Saat sekolah, ia sering kali membolos, meskipun seperti itu otaknya begitu cemerlang, ia mendapatkan nilai yang bagus. Lalu hidup di jalanan pun pernah ia lakoni. Saat itu, hidupnya benar-benar berantakan, kehilangan penuntun hidup dan rumah ternyamannya. Ya, kehilangan sosok ibu benar-benar bisa menjadi kehancuran seorang anak. Meski ia tak pernah kekurangan dari segi materi, tapi hatinya begitu kosong dan hampa. Hingga kini ia memilih pergi menjauh dari keluarga, itu agar dia bebas dari aturan sang ayah yang saklek. Kerasnya hidup membuat Saga mandiri. Tap
Part 10b"Sudah tidak apa-apa, dia pasti kecapekan," hibur wanita cantik bermulut manis itu.Saga membuka pintu kamarnya yang sudah lama ia tinggalkan. Menghempaskan tubuhnya di springbed mewah miliknya, kemudian bangkit lagi bagaikan orang yang gundah gulana."Kamarku memiliki cukup bingkai dengan foto-fotomu, ibu, tetapi hatiku masih tetap kosong tanpa pelukan darimu. Ibu, aku sangat merindukanmu," ucapnya lirih seraya menatap foto-foto almarhumah ibunya. Ia memperhatikan sekeliling, menatap ruas demi ruas kamar yang cukup besar itu. Tak ada yang berubah, semua masih tampak sama seperti dulu, luas dan nyaman. Ia berjalan ke arah jendela, membuka tirainya dan menatap pemandangan dari atas. Saga menghela napas dalam lalu bergegas membersihkan diri dan bertemu ayahnya, agar urusannya di sini cepat selesai dan kembali menemui gadis yang sudah terlanjur ia nikahi kemarin.***Berbagai makanan lezat terhidang di atas meja, bukan hanya lauk pauk saja ada cemilan juga buah-buahan di sana.
Part 11a"Siapa dia? Siapa wanita yang membuatmu menolak keputusanku?"Tak menanggapi pertanyaan sang ayah, Saga justru bangkit, melangkah keluar dari ruang kerja ayahnya dengan langkah tegap. Wajahnya memancarkan keputusan yang sudah bulat meski hatinya masih berdebar-debar. Rasanya percuma berdebat dengan sang Ayah karena dia takkan mengerti. Saga tidak akan menyerahkan hidupnya kepada keputusan sang Ayah. Lelaki itu menarik nafas dalam-dalam mencoba menenangkan diri."Mau pergi kemana kamu, Saga? Ayah belum selesai bicara!" tanya suara parau di belakangnya.Saga menoleh dan melihat ayahnya, Pak Biru Hartono, berdiri di ambang pintu. Wajahnya serius, namun terdapat kilatan kekecewaan di matanya."Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Ayah! Aku sudah membuat keputusan, aku menolak perjodohan itu, karena aku sudah punya istri. Dan cepat atau lambat aku akan mengenalkan istriku pada kalian," ucap Saga mantap."Ayah tidak mengerti kenapa kamu menikah tanpa sepengetahuan Ayah. Apakah k
"Jangan coba-coba kabur!" katanya, dengan nada yang lebih kasar.Begitu pintu pesawat terbuka, para penumpang mulai berdiri dan mengambil barang bawaan mereka.Suasana di dalam kabin terasa tegang, Di luar, tim keamanan bandara bersama anggota TNI sudah bersiap. Mereka berdiri dalam posisi strategis, beberapa petugas berpakaian sipil menyamar sebagai staf bandara, sementara yang lainnya terlihat berjaga di pintu keluar dengan sikap siaga penuh.Seorang petugas keamanan memasuki pesawat dengan langkah mantap."Mohon maaf, kami akan melakukan pemeriksaan. Harap semua penumpang tetap tenang," ucapnya dengan suara tegas.Mata pria kekar itu langsung berkilat waspada. Damay merasakan cengkeraman di lengannya menguat, seakan pria itu ingin memastikan dirinya tetap di tempat.Petugas mulai memeriksa satu per satu penumpang, meminta mereka menunjukkan identitas. Beberapa orang terlihat bingung, tetapi tetap menurut.Saat gi
Saga memasuki helikopter dengan cepat, dibantu oleh beberapa anggota TNI yang sudah siap sedia. Suara mesin helikopter yang bergemuruh membuat suasana semakin tegang, seakan memaksa adrenalin Saga untuk bekerja lebih cepat. Angin yang kencang menyapu wajahnya, tetapi hatinya tetap fokus pada satu tujuan: menangkap mereka sebelum Damay hilang terlalu jauh."Semuanya sudah siap, Pak," ujar salah satu anggota TNI yang bertugas mengawasi peralatan di helikopter.Saga hanya mengangguk, matanya menatap horizon yang semakin jauh meninggalkan Soekarno-Hatta. Di balik kecemasan yang menggelayutinta, ada tekad yang semakin menguat. "Helikopter ini akan membawa kita langsung ke Juanda dalam waktu kurang dari satu jam, Pak. Kami akan mengatur jalur agar lebih cepat," lanjut anggota TNI lainnya.Saga menghela napas panjang. Pikirannya terus melayang pada Damay dan Aidan, mengetahui betapa besar ancaman yang ada di depan mata.“Setelah kita mendarat,
Pak Tom mengangguk cepat. Begitu teleponnya dimatikan, Saga segera mengarahkan tim yang ada di bandara untuk membantu situasi darurat di lokasi kebakaran. "Kita butuh tim penyelamat sekarang. Segera kirim tim ke lokasi kebakaran Pak Jerry. Mereka harus cepat, pastikan mereka berhasil menyelamatkan Pak Jerry," perintah Saga."Beberapa dari kalian ada yang ikut aku ke Juanda, dan yang lain ikut dengan Pak Tom," ujar Saga dengan tegas, memberi perintah pada timnya.Meskipun ia harus fokus pada penculikan Damay, situasi ini membuatnya semakin terbebani. "Semoga semuanya berjalan lancar," gumamnya dalam hati.Setelah Saga memberi instruksi kepada timnya di bandara, ia melangkah ke luar menuju tempat yang telah disiapkan oleh pihak TNI. Di sana, ia bertemu dengan beberapa anggota TNI yang sudah menunggu. Salah satu dari mereka, seorang perwira dengan pangkat letnan kolonel, segera mendekatinya."Pak Saga, kami sudah siap membantu. Apa yang bis
Saga tiba di bandara, wajahnya tegang dan matanya penuh tekad. Ia memerintahkan timnya untuk menyebar dan mencari setiap petunjuk yang ada. "Aku ingin kalian mengecek setiap pesawat dan setiap terminal. Mereka tidak boleh lolos begitu saja." Pak Tom mengangguk. "Kita harus menemukan mereka, Mas. Kalau tidak, semuanya akan semakin sulit." Mereka mulai bergerak cepat, menyisir setiap sudut bandara, mencari jejak yang bisa mengarah pada penculik Damay. Saga tidak bisa berpaling, hatinya masih tertinggal di rumah sakit, memikirkan Baby Rain yang tengah dirawat. "Kami sudah mengecek beberapa pesawat yang lepas landas hari ini. Dan ada satu pesawat yang kami curigai yaitu pesawat tujuan Korea." "Korea?" tanya Saga memicingkan matanya. "Benar, Mas Bos." Tangan Saga mengepal erat. "Tidak salah lagi, ini ada hubungannya dengan Aidan." Suara langkah kaki terdengar dari belakang. Seorang pr
Mereka segera menyebar, memeriksa setiap sudut bangunan terbengkalai itu. Saga memeriksa setiap pintu dan jendela, mencoba menemukan petunjuk lebih lanjut, sementara pikirannya terus berputar. Ia bisa merasakan gelisah di dalam dirinya. Damay dan Baby Rain harus segera ditemukan, sebelum semuanya terlambat.Di luar, udara mulai terasa dingin, angin berhembus kencang, membawa kabut yang mempersulit pandangan.Pak Tom, yang khawatir dengan keadaan Damay dan Baby Rain, menyarankan, “Mas, kita harus hati-hati. Kalau mereka sudah meninggalkan tempat ini, kita bisa saja kehabisan waktu.”Saga mengangguk, tatapannya tajam. “Tidak ada waktu untuk ragu. Mereka bersembunyi di luar sana, dan aku akan menemukannya.”***Baby Rain tergeletak lemas di lokasi yang sunyi, tak sadarkan diri karena dehidrasi dan kelelahan. Wajahnya pucat, tubuh kecilnya terbaring di dekat tumpukkan peti kayu.Tim Saga akhirnya sampai di lokasi, bergerak cepat deng
Saga melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, menembus jalanan yang semakin gelap karena mendung. Matanya yang tajam terus memindai jalanan di depannya, berusaha mencari tanda-tanda yang bisa membawanya ke tempat Damay dan Baby Rain. "Pak, kami menemukan Pak Sammy! Dia tergeletak di pinggir jalan, dekat dengan hutan kota. Kritis, tapi masih hidup," ujar Pak Tom memecah ketegangan. Ia masih menatap tabletnya. Saga menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya, meskipun gelombang kecemasan terus menghantam dadanya. Tanpa berkata apa-apa lagi, Saga menekan gas lebih dalam. Hutan kota semakin dekat, dan jantungnya berdegup semakin cepat. Tak lama, Saga sampai di lokasi yang dimaksud. Ia melihat sebuah mobil yang tampak terbengkalai di pinggir jalan. Itu adalah mobil miliknya. Ia segera menghentikan mobil dan berlari menuju ke tubuh Pak Sammy yang tergeletak di samping kendaraan.
Aidan menghela napas panjang, matanya terfokus pada pemandangan kota yang redup di bawahnya. Keadaan semakin pelik, dan setiap langkah harus diambil dengan sangat hati-hati. Jika tidak, semuanya bisa berantakan dalam sekejap. "Jangan biarkan mereka tahu tentang keberadaan kita," perintahnya sekali lagi, suara keras dan tegas, menegaskan bahwa tidak ada ruang untuk kesalahan. "Akan segera diselesaikan, Pak Aidan," jawabnya dengan suara penuh ketakutan. Aidan mengakhiri percakapan itu dengan sebuah ketukan cepat pada layar ponselnya. Ia berbalik dan menatap ruangannya, lalu menyeringai pelan. ***Damay tersentak dari lamunannya ketika mobil van berhenti mendadak. Salah satu pria membuka pintu dan menarik Damay keluar. "Ayo turun! Jangan bikin ribut, atau anakmu jadi korban!" Damay memeluk Baby Rain erat, tubuhnya menegang. Ia digiring ke sebuah bangunan tua yang terlihat seperti gudang terbengkal
Mobil van hitam itu melaju dengan kecepatan tinggi, meninggalkan jejak debu di jalanan sepi. Damay terjepit di sudut kursi, napasnya memburu, tubuhnya gemetar. Di pelukannya, Baby Rain menangis tersedu-sedu, tangannya kecilnya mencengkeram kuat baju ibunya seolah tak mau terpisah. Damay mencoba mengatur napas, berusaha berpikir jernih. Tapi bagaimana bisa? Tangannya masih terasa sakit akibat genggaman kasar pria tadi. Lututnya lemas, tapi insting keibuannya membuatnya tetap bertahan. "DIAAMM!" suara berat pria di sampingnya menghardik. Bau rokok dari tubuhnya menusuk hidung, sementara wajahnya yang dipenuhi luka lama terlihat dingin dan tak berperasaan. Baby Rain menangis lebih keras. Damay hanya bisa memeluk Baby Rain yang terus menangis di pelukannya. Air mata membasahi wajahnya. Di tengah ketakutannya, ia terus berharap. 'Mas Saga, tolong kami,
Saga merasa gelisah mendengar informasi itu. “Luar kota?” Ia berusaha menahan emosinya. “Apakah beliau dalam keadaan baik-baik saja? Ayah tidak dirawat di Rumah Sakit?" “Tidak, Mas. Tuan meninggalkan rumah dalam keadaan sehat, tidak ada masalah. Beliau sudah memberi tahu beberapa hari lalu kalau akan berangkat ke luar kota,” jawab pelayan itu, nada suaranya tetap tenang, tetapi Saga merasakan ada yang janggal.“Kenapa istri saya mengatakan Ayah sakit? Apa ada yang menghubunginya ke rumah tadi pagi?” tanya Saga, matanya berkerut, berpikir ada yang tidak beres.“Maaf, Mas Saga, saya tidak tahu tentang itu. Tidak ada informasi lebih lanjut,” jawab pelayan itu, suaranya agak gugup.Setelah beberapa detik, Saga menutup telepon dengan keras. Ia menatap jalanan yang sibuk di depannya, perasaan semakin cemas dan marah bercampur aduk.Siapa yang berani menipu istrinya? Siapa yang ingin memanfaatkan situasi ini untuk menjebak mereka?Pak