Share

3. Hinaan

Part 3

"Makanya Mbak May jadi perempuan itu jangan murahan! Mau-maunya berhubungan sama preman jalanan seperti itu! Di tempat yang gak seharusnya pula!Dasar gak punya malu! Hiiiy jijay!!"

Degg!!

Tiba-tiba saja gadis itu pulang dan langsung menghardikku. Suara adik tiriku terdengar menghina membuatku menggenggam sendok dengan kuat-kuat.

Saat ini aku tengah membuat adonan tepung untuk pisang goreng. Tapi kenapa harus mendengar mulut julidnya?

Debar jantung masih tak menentu akibat kejadian hari ini yang mengharuskanku menikah dengan pria yang sama sekali tak kukenali.

"Ya terima sajalah, maharnya cuma 100 ribu. Muraaaaahh! Semurah harga dirimu, Mbak!"

"Kalau tidak tahu ceritanya jangan memfitnahku sembarangan, Meg!" Aku bangkit dan menatap adik tiri itu dengan tajam.

Tapi dengan santainya dia justru memperlihatkan wajah yang meremehkan.

"Kenapa? Aku benar kan? Mbak itu murah, mu----raaahh-an! Hahaha," ujarnya seraya menertawakanku.

"Aku yakin, orang-orang di sini juga setuju kalau Mbak itu, murahan!" ocehnya lagi.

"Kau!!"

Tangan ini sudah bergetar, ingin rasanya kutampar wajah cantiknya itu.

Tetiba seseorang menahan pundakku. Aku menoleh melihat bapak dengan wajah sendu sembari menggeleng pelan.

"Tidak usah diladeni, percuma! Kau hanya buang-buang energi saja, Nak. Kamu kayak tidak tahu saja sikapnya Mega seperti apa," ujar bapak menenangkan.

Aku menghela napas dalam-dalam. Aku tahu bapak masih kecewa padaku, terlihat jelas dari sorot matanya.

"Harusnya kamu gak perlu marah, kan memang itu kenyataannya!" Tiba-tiba ibu datang dari depan membawa bungkusan dengan wajah semringah.

Ia mengeluarkan empat bungkus bakso dari kantong plastik dan juga satu parcel buah-buahan.

"Nih lihat, dari calon suami Mega. Kalau datang, dia selalu bawain makanan kesukaan kami. Dia juga kaya dan lebih berkelas dari pada suami kamu yang macam berandalan itu! Nggak jelas, tapi bisa-bisanya kamu--- hiihh!" sungutnya sembari menyiapkan mangkuk.

"Bu, gak boleh bicara seperti itu--"

"Sssttt! Sudah deh, Pak, diam saja! Jangan selalu bela anakmu itu! Lama-lama ngelunjak dia! Seperti hari ini! Ngelempar kotoran ke muka kita! Bukan sekali dua kali dia juga membangkang, disuruh kerja ke luar negeri malah milih kerja di toko kue yang bayarannya gak seberapa! Terus disuruh terima lamaran juragan Agus malah nikah sama berandalan. Ckck! Emang bener-bener anak pembawa sial!

"Bu, kalau juragan Agus, bapak juga gak setuju, dia pantasnya jadi kakeknya Damay bukan suaminya."

"Tapi kan hartanya gak bakal habis 7 turunan, bisa memperbaiki keuangan keluarga kita. Lagian nih Pak, ibu juga tahu mana yang terbaik. Sudah jelas-jelas ada di depan mata! Sudahlah capek berdebat sama bapak. Belain terus anak perempuanmu yang kurang ajar ini!"

Bapak menghela napas pnjang.

"Sudah sana bapak ke depan saja, ngobrol sama calon mantu! Calon mantu yang baik hati, gak pelit dan terlebih dia juga kaya!" pungkas ibu lagi

Kulihat bapak hanya menggeleng pelan, kemudian melangkah pergi meninggalkan kami.

"Menyesal ibu sudah membesarkanmu seperti anak sendiri. Balasan yang kau buat sungguh mencoreng nama baik keluarga! Lihatlah bapakmu tertekan atas sikap gi-la mu ini! Kakinya belum sembuh, sekarang ditambah masalahmu ini!"

Aku menoleh ke arah ibu, begitu juga dengan ibu yang menoleh melihatku.

"Kenapa? Kau tak suka ibu bicara seperti ini? Mau ngelak dari kenyataan?"

Aku menggeleng dan kembali menunduk, bila tak mengalah, ibu akan makin keras padaku. Lebih tepatnya ibu tak mau kalah dan selalu benar. Ya, lihatlah saja wajahnya saat ini. Ibu memandangku dengan tatapan sinis, seolah benci itu makin menguat.

Wanita itu memang bukan ibu kandungku, melainkan ibu tiri. Bapak menikahinya saat aku berumur 10 tahun. Ibu pun membawa anak bawaannya dari pernikahan terdahulu, dialah Mega, yang saat itu masih berumur 9 tahun.

Awalnya ibu memang baik. Tapi seiring berjalannya waktu, aku mulai melihat sikap aslinya. Aku sering diabaikan tapi dituntut untuk ini dan itu. Agaknya, bapak terlalu bucin dengan ibu jadi tak mendengar keluhanku. Karena ibu selalu bilang kalau ini untuk kebaikanku. Jangan terlalu dimanja dan lain sebagainya.

Apalagi setelah insiden hari ini dan aku hanya bersuamikan lelaki yang tak jelas asal-usulnya. Padahal sebelumnya, ibu sudah ancang-ancang ingin menikahkanku dengan juragan beras di desa ini.

Dia ikut arisan dan kumpulan sana-sini biar lebih dekat dengan calon yang notabene kaya. Tapi kenyataannya sangat mengecewakan baginya. Lucu memang.

Ibu mengambil nampan dan menaruh mangkuk bakso itu di atasnya.

"Damay, kamu buatin teh manis ya empat, bawa ke depan."

"Oh ya, mulai sekarang kalau mau makan, masak sendiri jangan nimbrung sama kami. Kamu kan sudah punya suami! Sudah tanggung jawabnya dia."

Setelah mengatakan hal itu, ibu melenggang pergi.

Aku mengusap dada yang terasa begitu sesak. Padahal selama ini, uang gaji bekerja toko kue itu selalu kubelikan beras atau kebutuhan sehari-hari lainnya meski memang tak seberapa, bahkan token listrik dan tagihan air, hingga habis bahkan tak bersisa, hanya menyisakan uang untuk beli bensin motor saja. Jelas berbeda dengan gaji Mega yang kerja di kantoran di pusat kota dan diantar jemput anak bosnya yang katanya naksir sama gadis itu.

Tak mau dianggap membangkang, aku membuatkan 5 gelas teh manis hangat. Yang satu untuk suamiku. Kulihat dari tadi dia hanya diam saja tak minum ataupun makan apa-apa.

Meski embun tebal ini masih menggenang di pelupuk mata, aku harus tegar menghadapi hari ini dan juga hari-hari selanjutnya.

Aku pun segera menggoreng pisang yang sudah kupotong-potong.

"Damay, tehnya buruaaan!!" Suara ibu terdengar sampai belakang.

Aku langsung berbalik dan hendak membawa empat gelas teh itu ke depan. Sungguh terkejut saat melihat lelaki itu tengah bersandar di dinding sambil menatapku tanpa berkedip. Rambutnya yang sedikit gondrong tampak basah lagi. Entah sejak kapan dia berdiri di situ. Tatapannya membuatku bertaya-tanya.

"Damaayy!!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status