Part 10"Pulanglah, penting!"Tanpa menunggu jawaban Saga, panggilan itu terputus begitu saja. Lelaki muda itu menghela napas dalam. "Kebiasaan buruk, selalu saja begini! " gerutunya kesal. Sifat ayahnya yang keras dan tak bisa dibantah membuat pribadi Saga tak betah berada di rumah. Ia dibesarkan tanpa kasih sayang seorang ibu, membuat sikapnya pun kaku. Bahkan ia lebih banyak membangkang aturan yang dibuat oleh sang ayah. Saat sekolah, ia sering kali membolos, meskipun seperti itu otaknya begitu cemerlang, ia mendapatkan nilai yang bagus. Lalu hidup di jalanan pun pernah ia lakoni. Saat itu, hidupnya benar-benar berantakan, kehilangan penuntun hidup dan rumah ternyamannya. Ya, kehilangan sosok ibu benar-benar bisa menjadi kehancuran seorang anak. Meski ia tak pernah kekurangan dari segi materi, tapi hatinya begitu kosong dan hampa. Hingga kini ia memilih pergi menjauh dari keluarga, itu agar dia bebas dari aturan sang ayah yang saklek. Kerasnya hidup membuat Saga mandiri. Tap
Part 10b"Sudah tidak apa-apa, dia pasti kecapekan," hibur wanita cantik bermulut manis itu.Saga membuka pintu kamarnya yang sudah lama ia tinggalkan. Menghempaskan tubuhnya di springbed mewah miliknya, kemudian bangkit lagi bagaikan orang yang gundah gulana."Kamarku memiliki cukup bingkai dengan foto-fotomu, ibu, tetapi hatiku masih tetap kosong tanpa pelukan darimu. Ibu, aku sangat merindukanmu," ucapnya lirih seraya menatap foto-foto almarhumah ibunya. Ia memperhatikan sekeliling, menatap ruas demi ruas kamar yang cukup besar itu. Tak ada yang berubah, semua masih tampak sama seperti dulu, luas dan nyaman. Ia berjalan ke arah jendela, membuka tirainya dan menatap pemandangan dari atas. Saga menghela napas dalam lalu bergegas membersihkan diri dan bertemu ayahnya, agar urusannya di sini cepat selesai dan kembali menemui gadis yang sudah terlanjur ia nikahi kemarin.***Berbagai makanan lezat terhidang di atas meja, bukan hanya lauk pauk saja ada cemilan juga buah-buahan di sana.
Part 11a"Siapa dia? Siapa wanita yang membuatmu menolak keputusanku?"Tak menanggapi pertanyaan sang ayah, Saga justru bangkit, melangkah keluar dari ruang kerja ayahnya dengan langkah tegap. Wajahnya memancarkan keputusan yang sudah bulat meski hatinya masih berdebar-debar. Rasanya percuma berdebat dengan sang Ayah karena dia takkan mengerti. Saga tidak akan menyerahkan hidupnya kepada keputusan sang Ayah. Lelaki itu menarik nafas dalam-dalam mencoba menenangkan diri."Mau pergi kemana kamu, Saga? Ayah belum selesai bicara!" tanya suara parau di belakangnya.Saga menoleh dan melihat ayahnya, Pak Biru Hartono, berdiri di ambang pintu. Wajahnya serius, namun terdapat kilatan kekecewaan di matanya."Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Ayah! Aku sudah membuat keputusan, aku menolak perjodohan itu, karena aku sudah punya istri. Dan cepat atau lambat aku akan mengenalkan istriku pada kalian," ucap Saga mantap."Ayah tidak mengerti kenapa kamu menikah tanpa sepengetahuan Ayah. Apakah k
Part 11b"Bu, berhentilah menyudutkanku seperti itu!" protes Damay."Kenapa? Kau mulai berani membantahku? Yang ibu katakan itu memang fakta.""Aku tidak membantahmu, ibu. Aku hanya capek. Aku capek. Semua kekesalan ibu limpahkan padaku. Aku tahu, aku penuh dengan dosa, tapi semua manusia di dunia ini juga tidak ada yang sempurna, Bu, pasti pernah melakukan kesalahan. Lalu, tentang nasib seseorang, tidak ada yang tahu, Bu, roda kehidupan itu berputar, kadang di atas, kadang pula di bawah. Kita tidak tahu, ke depannya nanti akan seperti apa. Dan masalah Mas Saga tidak pulang, mungkin saja dia masih ada urusan di luar. Tapi aku yakin, dia akan kembali.""Heleh, sok bijak sekali kamu, Mbak! Beraninya cuma sama ibu!" celetuk Mega yang tiba-tiba ikut nimbrung.Dua wanita itu tampak mengintimidasi Damay dengan tatapannya yang tajam."Kalau garis takdirmu menjadi upik abu, jangan bermimpi menjadi ratu. Meskipun ganti suami hidupmu akan gitu-gitu aja, Mbak!" ucap Mega lagi sambil tersenyum m
Part 12a"Ayo, kita pulang sama-sama! Ada yang ingin kubicarakan juga denganmu."Jantung Damay berdebar kencang, segala pikiran buruk makin berkecamuk. Akankah lelaki itu akan menalaknya hari ini juga? Terlebih melihat raut serius di wajah lelaki itu.Damay berjalan pelan mengikuti Saga menuju sebuah motor yang bertengger manis di tempat parkir. Lelaki itu memberikan helm yang lain untuk sang istri."Kenapa melamun?" tegur Sagara. Damay menggeleng pelan. "Mas, ini motor siapa?" tanya Damay kaku. Ia tak tahu harus bertanya tentang apalagi."Aku punya banyak teman, jadi tidak perlu pusing perihal pakai kendaraan siapa," jawab Saga."Oh ya, sebelum pulang, aku ingin membawamu berkeliling dulu, kamu tidak keberatan bukan?" ajak Saga.Damay mengangguk. Ia pun naik ke boncengan motor itu. Mendadak Saga menarik tangan Damay agar memeluk pinggangnya. "Pegangan yang erat, aku mau ngebut!" tukas Saga
Part 12bTanpa terasa, embun tebal menggenang di pelupuk mata Damay. Sudut hatinya terasa menghangat. Sudah sangat lama kehangatan ini tidak ia dapatkan bahkan dari keluarganya sendiri. "Aku juga akan belajar mencintaimu. Mari kita lewati suka duka kehidupan ini bersama-sama."Akhirnya Damay pun mengangguk. Di saat yang bersamaan, butiran bening itu menitik. Ia tak punya pilihan lain. Sementara hatinya meyakini, lelaki di sampingnya ini adalah takdir terbaiknya saat ini. Saga tersenyum melihat respon istrinya. Tangannya terulur, menghapus jejak air mata di pipi sang istri. Spontanitas, Saga meraih tangan mungil sang istri lalu mengecup tangannya itu dengan lembut. Aksi dadakannya itu justru membuat keduanya berdebar-debar. Damay semakin canggung dibuatnya."Kamu cantik kalau lagi tersenyum. Jadi jangan sampai masalahmu itu mengubah senyuman di wajahmu."Damay mengangguk malu-malu. "Terima kasih, Mas, sudah menghiburku."
Part 13aMata ibu membulat. "Kau?"Saga tersenyum kemudian merangkul pundak Damay. "Iya, ini saya, Bu.""Ck, dasar berandalan! Punya muka juga kau datang lagi kesini! Kupikir kau pergi selamanya ke habitatmu dan takkan kembali lagi!""Tentu saja saya punya muka, Bu. Kalau gak punya muka berarti saya makhluk dunia lain.""Pantas, kamu memang seperti setan!"Damay menoleh ke arah sang suami yang juga spontanitas menatapnya. Ia menggeleng pelan agar suaminya berhenti meladeni ucapan sang ibunda."Sudah, sudah. Bu, itu sotonya buat makan malam, nanti keburu dingin," ujar Damay menengahi. "Kalau masalah bayar air dan listrik, ini belum waktunya aku gajian, Bu. Kalau aku dah gajian, pasti aku akan bayar. Kami permisi masuk ke kamar dulu," pungkas Damay lagi seraya menarik tangan sang suami."Damay, ibu belum selesai bicara! Dasar anak itu!" Ibu mendumal kesal, tapi ia pun segera berlalu menuju dapur.
Part 13b"Emmhh tidak apa-apa, tapi bukankah itu membutuhkan uang yang cukup banyak?"Saga tersenyum melihat kepolosan sang istri. "Kamu tidak perlu khawatirkan masalah biayanya. Aku yang tanggung semuanya."Damay mengangguk ragu."Kenapa kamu masih ragu-ragu?"Saga tertawa kecil. "Aku memang terlihat seperti berandalan, tapi jangan khawatir tentang apapun, May, apalagi masalah biaya. Aku akan menghandle semuanya. Aku hanya sedang meminta persetujuanmu saja.""Baiklah. Aku menurut saja, Mas. Kapan rencananya?""Besok apa kau akan kerja lagi?""Iya, Mas.""Ya sudah, pulang kerja aku jemput ya. Besok aku akan ajak kamu ke tempat tinggalku dan mengenalkan kamu pada mereka. Lalu, kita bisa bilang ke keluargamu mengenai acara syukuran. Minta pendapat mereka, kapan sebaiknya acara dilakukan."Damay mengangguk lagi. "Sebenarnya kemarin bapak juga bilang masalah acara syukuran ini, Mas, tapi ibu gak se
Mereka segera menyebar, memeriksa setiap sudut bangunan terbengkalai itu. Saga memeriksa setiap pintu dan jendela, mencoba menemukan petunjuk lebih lanjut, sementara pikirannya terus berputar. Ia bisa merasakan gelisah di dalam dirinya. Damay dan Baby Rain harus segera ditemukan, sebelum semuanya terlambat.Di luar, udara mulai terasa dingin, angin berhembus kencang, membawa kabut yang mempersulit pandangan.Pak Tom, yang khawatir dengan keadaan Damay dan Baby Rain, menyarankan, “Mas, kita harus hati-hati. Kalau mereka sudah meninggalkan tempat ini, kita bisa saja kehabisan waktu.”Saga mengangguk, tatapannya tajam. “Tidak ada waktu untuk ragu. Mereka bersembunyi di luar sana, dan aku akan menemukannya.”***Baby Rain tergeletak lemas di lokasi yang sunyi, tak sadarkan diri karena dehidrasi dan kelelahan. Wajahnya pucat, tubuh kecilnya terbaring di dekat tumpukkan peti kayu.Tim Saga akhirnya sampai di lokasi, bergerak cepat deng
Saga melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, menembus jalanan yang semakin gelap karena mendung. Matanya yang tajam terus memindai jalanan di depannya, berusaha mencari tanda-tanda yang bisa membawanya ke tempat Damay dan Baby Rain. "Pak, kami menemukan Pak Sammy! Dia tergeletak di pinggir jalan, dekat dengan hutan kota. Kritis, tapi masih hidup," ujar Pak Tom memecah ketegangan. Ia masih menatap tabletnya. Saga menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya, meskipun gelombang kecemasan terus menghantam dadanya. Tanpa berkata apa-apa lagi, Saga menekan gas lebih dalam. Hutan kota semakin dekat, dan jantungnya berdegup semakin cepat. Tak lama, Saga sampai di lokasi yang dimaksud. Ia melihat sebuah mobil yang tampak terbengkalai di pinggir jalan. Itu adalah mobil miliknya. Ia segera menghentikan mobil dan berlari menuju ke tubuh Pak Sammy yang tergeletak di samping kendaraan.
Aidan menghela napas panjang, matanya terfokus pada pemandangan kota yang redup di bawahnya. Keadaan semakin pelik, dan setiap langkah harus diambil dengan sangat hati-hati. Jika tidak, semuanya bisa berantakan dalam sekejap. "Jangan biarkan mereka tahu tentang keberadaan kita," perintahnya sekali lagi, suara keras dan tegas, menegaskan bahwa tidak ada ruang untuk kesalahan. "Akan segera diselesaikan, Pak Aidan," jawabnya dengan suara penuh ketakutan. Aidan mengakhiri percakapan itu dengan sebuah ketukan cepat pada layar ponselnya. Ia berbalik dan menatap ruangannya, lalu menyeringai pelan. ***Damay tersentak dari lamunannya ketika mobil van berhenti mendadak. Salah satu pria membuka pintu dan menarik Damay keluar. "Ayo turun! Jangan bikin ribut, atau anakmu jadi korban!" Damay memeluk Baby Rain erat, tubuhnya menegang. Ia digiring ke sebuah bangunan tua yang terlihat seperti gudang terbengkal
Mobil van hitam itu melaju dengan kecepatan tinggi, meninggalkan jejak debu di jalanan sepi. Damay terjepit di sudut kursi, napasnya memburu, tubuhnya gemetar. Di pelukannya, Baby Rain menangis tersedu-sedu, tangannya kecilnya mencengkeram kuat baju ibunya seolah tak mau terpisah. Damay mencoba mengatur napas, berusaha berpikir jernih. Tapi bagaimana bisa? Tangannya masih terasa sakit akibat genggaman kasar pria tadi. Lututnya lemas, tapi insting keibuannya membuatnya tetap bertahan. "DIAAMM!" suara berat pria di sampingnya menghardik. Bau rokok dari tubuhnya menusuk hidung, sementara wajahnya yang dipenuhi luka lama terlihat dingin dan tak berperasaan. Baby Rain menangis lebih keras. Damay hanya bisa memeluk Baby Rain yang terus menangis di pelukannya. Air mata membasahi wajahnya. Di tengah ketakutannya, ia terus berharap. 'Mas Saga, tolong kami,
Saga merasa gelisah mendengar informasi itu. “Luar kota?” Ia berusaha menahan emosinya. “Apakah beliau dalam keadaan baik-baik saja? Ayah tidak dirawat di Rumah Sakit?" “Tidak, Mas. Tuan meninggalkan rumah dalam keadaan sehat, tidak ada masalah. Beliau sudah memberi tahu beberapa hari lalu kalau akan berangkat ke luar kota,” jawab pelayan itu, nada suaranya tetap tenang, tetapi Saga merasakan ada yang janggal.“Kenapa istri saya mengatakan Ayah sakit? Apa ada yang menghubunginya ke rumah tadi pagi?” tanya Saga, matanya berkerut, berpikir ada yang tidak beres.“Maaf, Mas Saga, saya tidak tahu tentang itu. Tidak ada informasi lebih lanjut,” jawab pelayan itu, suaranya agak gugup.Setelah beberapa detik, Saga menutup telepon dengan keras. Ia menatap jalanan yang sibuk di depannya, perasaan semakin cemas dan marah bercampur aduk.Siapa yang berani menipu istrinya? Siapa yang ingin memanfaatkan situasi ini untuk menjebak mereka?Pak
“Dan, Pak... ini yang lebih mencurigakan. Salah satu nama yang terdaftar sebagai pengelola server itu adalah ...”Kening Saga berkerut. "Siapa?""Aidan Pradipta."Deg! Nama itu membuat Saga terdiam. Pikirannya langsung melayang pada pertemuannya dengan Aidan beberapa waktu lalu. Senyuman santai Aidan, cara dia berbicara seolah tidak ada beban, untuk apa Aidan melakukan ini semua?“Apa kita punya bukti lebih kuat?” Saga akhirnya bertanya, mencoba menahan emosi yang mulai membuncah.“Belum banyak, Pak. Kami masih mencari hubungan langsung antara aktivitas server dengan sabotase di sistem kita. Tapi indikasinya jelas, ada keterlibatan pihak luar yang sangat terorganisir.”Saga meletakkan tablet itu di meja dengan keras. “Kalau begitu, tingkatkan pengawasan. Pastikan semua akses sistem diawasi 24 jam. Aku tidak mau ada kebocoran lagi.”“Baik, Pak.” Riko mengangguk dan meninggalkan ruangan, membiarkan Saga merenung dalam kehe
Damay meraih tangan Baby Rain dan melambaikan tangan. Saga melangkah menuju mobil dan menghilang dari pandangan.***Damay yang sedang asyik menjaga Rain, tiba-tiba terhenyak oleh dering telepon rumah. Ia menoleh sejenak ke arah anaknya yang tengah bermain mobil.“Sayang, Bunda angkat telepon dulu ya, Rain main sama mobil Choky ya!” kata Damay seraya beranjak dari tempat duduknya.“Hallo, Assalamu’alaikum.”“Hallo, ini Non Damay?”“Iya, ini siapa?” tanya Damay, bingung.“Ah Non, saya Bi Narti, pelayan Tuan Biru. Mas Saganya ada, Non? Kebetulan ada sesuatu yang harus saya sampaikan.”“Mas Saga baru saja berangkat ke kantor, Bi. Ada apa, Bi? Nanti saya sampaikan ke Mas Saga.”“Anu, Non. Tuan Biru barusan dibawa ke rumah sakit, tadi kejang-kejang, Non.”“Innalillahi...” jantung Damay berdegup dengan kencanh. “Rumah Sakit mana, Bi?”“Rumah Sakit Medika Utama, Non. Kami sangat khawatir, waj
Hari-hari berlalu, Saga makin sibuk dari biasanya. Suatu pagi, ketika ia mampir sejenak ke markas api, ia menanyakan kabar Pak Jerry, yang kini harus diasingkan untuk sementara waktu. Meskipun ruangannya dilengkapi CCTV untuk memantau keadaan, Saga merasa sangat rindu pada asistennya itu. Ia tidak tahu berapa lama keadaan ini akan berlangsung.“Bagaimana kabar Pak Jerry?” tanya Saga pada Pak Tom dan juga Lanang. Ia mampir sejenak ke markas api dengan perasaan gelisah. Sungguh bila diungkapkan, ia pun sangat rindu pada asistennya itu. Pak Jerry terpaksa diasingkan lebih dulu. Dan Lanang bertugas menjenguknya sehari sekali.“Pak Jerry terlihat tertekan di sana, tapi Pak Jerry titip salam buat Mas Bos, dia akan baik-baik ssja kalau Mas Bos dan keluarga baik-baik saja.”Saga menarik napas panjang seraya meraup wajahnya dengan kasar. “Untuk sekian kali aku mengalami kasus seperti ini lagi, tapi kali ini lebih berat dan rumit. Rasanya, aku ta
“Terima kasih juga sudah mengundang kami, lain kali kamu harus mampir ke rumah lagi. Tapi beri tahu dulu, jangan mendadak seperti tadi pagi,” lanjutnya sambil terkekeh.Aidan tertawa kecil. “Siap, Bro. Janji nggak akan mengagetkan lagi."Damay hanya tersenyum tipis, mengangguk tanpa berkata apa-apa. Ketika mereka sudah di dalam mobil, Saga melirik ke arah Damay. “Kamu baik-baik saja?”Damay mengangguk cepat. “Iya, Mas, aku baik-baik saja.""Aidan tanya apa saja?""Tanya tentang kita, Mas.""Terus?""Ya aku jawab aja, saya hanya yakin kalau Mas Saga adalah jodoh yang Allah kirimkan untuk saya."Saga tersenyum mendengar ucapan Damay. Ia langsung m3ngecup puncak kepalanya. "Makasih, Sayang. Love you.""Love you too, Mas Saga."Mobil melaju pelan di jalan tol, Damay memandangi Saga yang sedang fokus mengemudi. Cahaya lampu jalan memantul lembut di wajah suaminya. Wajah yang selama ini ter