Part 9"Bos, apa yang terjadi?" tanya salah seorang anak buahnya, saat Saga baru tiba di sebuah lokasi. Gudang kosong yang disulap sebagai markas sekaligus tempat tinggal anak-anak jalanan."Motor Bos mana? Terus kenapa wajah Bos lebam-lebam begitu?" tanyanya lagi.Sagara melepaskan jaketnya, dan duduk di sofa yang sudah usang. Ia menghela napas dalam-dalam seraya menyandarkan tubuhnya sejenak."Suruh Pak Tom ke sini, saya mau bicara dengannya!" "Baik, Bos!""Telpon saja!""Siap, Bos!""Gimana keadaan mereka? Apa ada masalah?""Semuanya aman, Bos. Mereka hanya bertanya kenapa Bos tidak kelihatan."Saga mengangguk, lalu meneguk air mineral yang diberikan oleh anak buahnya itu.Setelah meregangkan otot sejenak, lelaki itu bangkit berdiri lalu berjalan ke belakang, melihat ruangan yang disekat-sekat seadanya menggunakan kalsiboard. Ruangan itu menampung anak-anak yang kurang beruntung, hidup di jalanan dan tak punya sanak saudara. Beberapa anak-anak yang sedang bebersih dan beres-bere
Part 10"Pulanglah, penting!"Tanpa menunggu jawaban Saga, panggilan itu terputus begitu saja. Lelaki muda itu menghela napas dalam. "Kebiasaan buruk, selalu saja begini! " gerutunya kesal. Sifat ayahnya yang keras dan tak bisa dibantah membuat pribadi Saga tak betah berada di rumah. Ia dibesarkan tanpa kasih sayang seorang ibu, membuat sikapnya pun kaku. Bahkan ia lebih banyak membangkang aturan yang dibuat oleh sang ayah. Saat sekolah, ia sering kali membolos, meskipun seperti itu otaknya begitu cemerlang, ia mendapatkan nilai yang bagus. Lalu hidup di jalanan pun pernah ia lakoni. Saat itu, hidupnya benar-benar berantakan, kehilangan penuntun hidup dan rumah ternyamannya. Ya, kehilangan sosok ibu benar-benar bisa menjadi kehancuran seorang anak. Meski ia tak pernah kekurangan dari segi materi, tapi hatinya begitu kosong dan hampa. Hingga kini ia memilih pergi menjauh dari keluarga, itu agar dia bebas dari aturan sang ayah yang saklek. Kerasnya hidup membuat Saga mandiri. Tap
Part 10b"Sudah tidak apa-apa, dia pasti kecapekan," hibur wanita cantik bermulut manis itu.Saga membuka pintu kamarnya yang sudah lama ia tinggalkan. Menghempaskan tubuhnya di springbed mewah miliknya, kemudian bangkit lagi bagaikan orang yang gundah gulana."Kamarku memiliki cukup bingkai dengan foto-fotomu, ibu, tetapi hatiku masih tetap kosong tanpa pelukan darimu. Ibu, aku sangat merindukanmu," ucapnya lirih seraya menatap foto-foto almarhumah ibunya. Ia memperhatikan sekeliling, menatap ruas demi ruas kamar yang cukup besar itu. Tak ada yang berubah, semua masih tampak sama seperti dulu, luas dan nyaman. Ia berjalan ke arah jendela, membuka tirainya dan menatap pemandangan dari atas. Saga menghela napas dalam lalu bergegas membersihkan diri dan bertemu ayahnya, agar urusannya di sini cepat selesai dan kembali menemui gadis yang sudah terlanjur ia nikahi kemarin.***Berbagai makanan lezat terhidang di atas meja, bukan hanya lauk pauk saja ada cemilan juga buah-buahan di sana.
Part 11a"Siapa dia? Siapa wanita yang membuatmu menolak keputusanku?"Tak menanggapi pertanyaan sang ayah, Saga justru bangkit, melangkah keluar dari ruang kerja ayahnya dengan langkah tegap. Wajahnya memancarkan keputusan yang sudah bulat meski hatinya masih berdebar-debar. Rasanya percuma berdebat dengan sang Ayah karena dia takkan mengerti. Saga tidak akan menyerahkan hidupnya kepada keputusan sang Ayah. Lelaki itu menarik nafas dalam-dalam mencoba menenangkan diri."Mau pergi kemana kamu, Saga? Ayah belum selesai bicara!" tanya suara parau di belakangnya.Saga menoleh dan melihat ayahnya, Pak Biru Hartono, berdiri di ambang pintu. Wajahnya serius, namun terdapat kilatan kekecewaan di matanya."Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Ayah! Aku sudah membuat keputusan, aku menolak perjodohan itu, karena aku sudah punya istri. Dan cepat atau lambat aku akan mengenalkan istriku pada kalian," ucap Saga mantap."Ayah tidak mengerti kenapa kamu menikah tanpa sepengetahuan Ayah. Apakah k
Part 11b"Bu, berhentilah menyudutkanku seperti itu!" protes Damay."Kenapa? Kau mulai berani membantahku? Yang ibu katakan itu memang fakta.""Aku tidak membantahmu, ibu. Aku hanya capek. Aku capek. Semua kekesalan ibu limpahkan padaku. Aku tahu, aku penuh dengan dosa, tapi semua manusia di dunia ini juga tidak ada yang sempurna, Bu, pasti pernah melakukan kesalahan. Lalu, tentang nasib seseorang, tidak ada yang tahu, Bu, roda kehidupan itu berputar, kadang di atas, kadang pula di bawah. Kita tidak tahu, ke depannya nanti akan seperti apa. Dan masalah Mas Saga tidak pulang, mungkin saja dia masih ada urusan di luar. Tapi aku yakin, dia akan kembali.""Heleh, sok bijak sekali kamu, Mbak! Beraninya cuma sama ibu!" celetuk Mega yang tiba-tiba ikut nimbrung.Dua wanita itu tampak mengintimidasi Damay dengan tatapannya yang tajam."Kalau garis takdirmu menjadi upik abu, jangan bermimpi menjadi ratu. Meskipun ganti suami hidupmu akan gitu-gitu aja, Mbak!" ucap Mega lagi sambil tersenyum m
Part 12a"Ayo, kita pulang sama-sama! Ada yang ingin kubicarakan juga denganmu."Jantung Damay berdebar kencang, segala pikiran buruk makin berkecamuk. Akankah lelaki itu akan menalaknya hari ini juga? Terlebih melihat raut serius di wajah lelaki itu.Damay berjalan pelan mengikuti Saga menuju sebuah motor yang bertengger manis di tempat parkir. Lelaki itu memberikan helm yang lain untuk sang istri."Kenapa melamun?" tegur Sagara. Damay menggeleng pelan. "Mas, ini motor siapa?" tanya Damay kaku. Ia tak tahu harus bertanya tentang apalagi."Aku punya banyak teman, jadi tidak perlu pusing perihal pakai kendaraan siapa," jawab Saga."Oh ya, sebelum pulang, aku ingin membawamu berkeliling dulu, kamu tidak keberatan bukan?" ajak Saga.Damay mengangguk. Ia pun naik ke boncengan motor itu. Mendadak Saga menarik tangan Damay agar memeluk pinggangnya. "Pegangan yang erat, aku mau ngebut!" tukas Saga
Part 12bTanpa terasa, embun tebal menggenang di pelupuk mata Damay. Sudut hatinya terasa menghangat. Sudah sangat lama kehangatan ini tidak ia dapatkan bahkan dari keluarganya sendiri. "Aku juga akan belajar mencintaimu. Mari kita lewati suka duka kehidupan ini bersama-sama."Akhirnya Damay pun mengangguk. Di saat yang bersamaan, butiran bening itu menitik. Ia tak punya pilihan lain. Sementara hatinya meyakini, lelaki di sampingnya ini adalah takdir terbaiknya saat ini. Saga tersenyum melihat respon istrinya. Tangannya terulur, menghapus jejak air mata di pipi sang istri. Spontanitas, Saga meraih tangan mungil sang istri lalu mengecup tangannya itu dengan lembut. Aksi dadakannya itu justru membuat keduanya berdebar-debar. Damay semakin canggung dibuatnya."Kamu cantik kalau lagi tersenyum. Jadi jangan sampai masalahmu itu mengubah senyuman di wajahmu."Damay mengangguk malu-malu. "Terima kasih, Mas, sudah menghiburku."
Part 13aMata ibu membulat. "Kau?"Saga tersenyum kemudian merangkul pundak Damay. "Iya, ini saya, Bu.""Ck, dasar berandalan! Punya muka juga kau datang lagi kesini! Kupikir kau pergi selamanya ke habitatmu dan takkan kembali lagi!""Tentu saja saya punya muka, Bu. Kalau gak punya muka berarti saya makhluk dunia lain.""Pantas, kamu memang seperti setan!"Damay menoleh ke arah sang suami yang juga spontanitas menatapnya. Ia menggeleng pelan agar suaminya berhenti meladeni ucapan sang ibunda."Sudah, sudah. Bu, itu sotonya buat makan malam, nanti keburu dingin," ujar Damay menengahi. "Kalau masalah bayar air dan listrik, ini belum waktunya aku gajian, Bu. Kalau aku dah gajian, pasti aku akan bayar. Kami permisi masuk ke kamar dulu," pungkas Damay lagi seraya menarik tangan sang suami."Damay, ibu belum selesai bicara! Dasar anak itu!" Ibu mendumal kesal, tapi ia pun segera berlalu menuju dapur.