Part 5
Entah mimpi apa aku semalam, hingga menemui musibah seperti ini. Beberapa jam yang lalu ... Saat aku pulang kerja dari toko kue, aku berjalan melintasi jalan desa yang di kanan dan kirinya areal persawahan ada sebuah sungai yang cukup dalam. Hujan rintik-rintik menemaniku di sepanjang jalan. Apalagi rumahku termasuk yang paling jauh, berada di ujung desa. Kali ini memang aku tak memakai motor karena motor itu sedang dipakai oleh Mega. Jikalau sampai di rumah, pikiranku akan terkuras habis karena ucapan ibu, hingga aku memilih berhenti sejenak mengambil napas dan melihat sungai yang mengalir. Setidaknya menetralisir rasa yang ada. Tiba-tiba saja, serasa ada yang mendorongku hingga aku terperosok dan terjatuh ke bibir sungai. Hujan yang belum reda sedari pagi membuat licin di semua tempat dan juga membuat debit sungai mulai naik. Aku hampir saja terseret arus bila tak berpegangan kuat di dahan kayu. "Tolooooong ....!" teriakku sambil berusaha bangkit. Meski tak bisa. "Tolooooong ....!" Rasanya begitu takut. Tak ada satupun orang yang melintas saat ini. Bahkan aku tak bisa membayangkan bila terbawa arus. Aku masih terus berusaha untuk keluar dari sana, tapi .... Terdengar deru suara motor mendekat. Aku berteriak lagi berharap ia menolongku. Hingga suara motor itupun berhenti. Benar saja dia melihatku. Secepat kilat lelaki itu turun ke bawah ke tempatku berada. "Kau tidak apa-apa?" tanyanya sambil mengulurkan tangan. Aku menyambut uluran tangannya yang terasa basah dan juga dingin. Ia berusaha menundaku berdiri tapi kakiku sudah lemas dan juga kram. Aku meringis kesakitan. "Kakiku kram, sakiiit." ujarku lirih. Mendadak dia berinisiatif untuk menggendongku. "Pegangan saja, aku akan membawamu ke atas." Aku mengangguk, susah payah dia menggendongku naik ke atas, hingga akhirnya kembali sampai di bibir jalan. Ia membaringkanku di gubuk kosong di seberang jalan, tempat biasa para petani berteduh. Tak kusadari aku mendesis pelan, merasakan nyeri di kaki. Ia tampak shock melihat kondisi kakiku yang ternyata terluka. "Kakimu terluka!" ujarnya. Aku hendak bangkit tapi mendadak lelaki itu menahan tubuhku. "Jangan bergerak dulu, biar aku perban." Ia mengambil slayer yang dikenakan di lehernya. Dan saat itulah mendadak sekumpulan warga datang dan menuduh kami melakukan hal yang terlarang. Tiba-tiba, usapan lembut di pundak membuyarkan lamunanku. Aku menoleh melihat lelaki itu tiba-tiba sudah duduk di sampingku sambil menatap penuh tanya. "Mikirin apa?" tanyanya singkat tapi cukup mengagetkanku. Aku menggeleng pelan. Aku tak mungkin mengatakan yang sejujurnya pada lelaki itu. "Apa kakimu masih sakit?" "Aku tidak apa-apa, luka ini masih bisa kutahan." Ia membungkuk dan hendak meraih kakiku tapi segera kutepis gerakannya. "Ja-jangan!" Gerakannya terhenti. "Ya sudah kalau begitu istirahatlah. Hari ini pasti menguras hati dan pikiranmu," ucapnya lembut. Aku terdiam sejenak tak menjawab ucapannya. Bisa ya, lelaki yang terlihat memyeramkan tapi justru bersikap lembut? Bahkan tadi saat berbincang dengan Bapak pun dia masih terlihat sopan. "Aku tidur di luar saja, kamu pasti gak nyaman ada aku di kamarmu. Aku minta maaf atas semua yang terjadi hari ini." Mas Saga bangkit dan meraih handle pintu. "Tu-nggu!" Lelaki itu menoleh. "Pasti akan ada keributan lagi di rumah ini kalau Mas tidur di luar." Dia mengernyitkan keningnya. "Terus?" Aku beranjak mengambil tikar di pojok kamar dan menggelarnya. Lalu menaruh bantal serta selimutnya. "Tidurlah di bawah, tapi ingat jangan macam-macam!" Lelaki itu menatapku datar kemudian langsung menuruti ucapanku, berbaring dan meringkuk ditutupi selimut. Aku sedikit lega. Semoga dia bisa dipercaya dan takkan berbuat yang tidak-tidak padaku. Sungguh, satu kamar dengan pria asing ini membuatku tak nyaman. Bahkan aku hanya berbaring tak bisa memejamkan mata meski malam sudah semakin larut. Tak lama terdengar dengkuran halus. Lelaki itu mengorok? Aku masih belum bisa tidur, entah kenapa hati dan pikiran tidak sinkron. "Mas, terima kasih--" "Terima kasih untuk apa?" Aku terkejut lalu menengok ke bawah. "Bukankah tadi kamu sudah tidur, Mas?" "Kamu mengajakku bicara jadi aku terbangun." Aku terdiam sejenak. "Kenapa belum tidur? Lalu kau berterima kasih untuk apa?" Aku menghela napas pelan. "Terima kasih yang pertama, kamu sudah menyelamatkanku dari sungai. Dan terima kasih yang kedua, kamu sudah menyelamatkan rasa maluku. Aku gak bisa membayangkan apa jadinya kalau dicambuk atau diarak keliling desa dalam keadaan tak berbusana," ucapku lirih. "Ya, kalau itu terjadi bukankah nasib kita akan sama? Yang berlalu biarlah berlalu. Aku tak lagi mempermasalahkan hal itu. Istirahatlah, dan jangan sakit." *** Brak brak ... terdengar suara riuh di dapur. "Punya menantu udah berandalan ternyata pengangguran juga, tekor tekor!" Ibu mendumel dengan suara cukup kencang. "Ibu, ibu ngomong apa to, Bu?" Terdengar suara bapak menyahut. "Itu lho si Saga, kata orang-orang yang pernah lihat, dia cuma luntang-lantung di jalanan, gak ada kerjaan. Motoran, nongkrong gak jelas. Terus gimana caranya mau menghidupi Damay, kalau dia sendiri gak kerja?! Buat nghidupi diri sendiri aja gak becus! Percuma aja nikah kalau ternyata bakal sengsara!" "Ibu jangan percaya gosip, Bu!" "Gak percaya gimana, Pak, semua orang di desa kita itu tengah membicarakan keluarga kita! Terutama masalah Damay! Ibu malu, Pak! Malu!!" Aku menoleh ke arah Mas Saga yang tengah memakai sepatunya. Lelaki yang dari awal memang irit bicara itu hanya diam. Mendadak ibu keluar dengan wajah masamnya saat menatap kami berdua. "May, kamu juga? Kenapa gak berangkat kerja?! Jangan manja kamu!! Suami kamu itu bukan milyarder yang apapun kamu minta akan dituruti. Sana kerja! Dan ibu minta uang belanja buat hari ini!" "Tapi, Bu--" "Biar saya nanti yang kerja, Bu. Kaki Damay masih sakit, kasihan bila dia suruh kerja." Ibu melengos. "Mau kerja apaan kamu? Mau jadi tukang palak atau tukang parkir?" Mas Saga bangkit tanpa menanggapi ucapan ibu. "Baguslah, sana kerja, jangan jadi benalu!"Part 6"Baguslah, sana kerja, jangan jadi benalu!" ucap ibu sinis."Bu, jangan bicara seperti itu, Bu. Bagaimanapun juga Nak Saga sudah menjadi bagian dari keluarga kita," tukas Bapak menengahi"Heleh!" sahut ibu sinis kemudian berlalu kembali ke dalam. "Saya berangkat dulu, Pak!" pamit Mas Saga. "Kamu pasti kembali lagi 'kan? Kamu tidak berencana kabur untuk meninggalkan putri bapak?" tanya Bapak, entah kenapa Bapak bertanya seperti itu. Biarpun dia pergi, bukankah tidak masalah bagiku? Ah ya, aku paham sekarang, bapak dan yang lain tidak percaya padaku. Mungkin bapak khawatir kalau anaknya yang tidak berharga ini ditinggalkan begitu saja.Aku menghela napas dalam. Entah kenapa terasa berat sekali. Tanpa kusadari, lelaki itu memandangku sejenak dan menjawab, "saya akan kembali, Pak."Dia mendekatiku lalu memberi dompet berisi kartu identitasnya. "Pegang ini sebagai jaminan. Aku pasti akan kembali.""Lho?" Aku mengerutkan kening."Kamu tidak usah khawatir, ada atau tidak adanya dom
Part 7 "Kami mencari Damay!" ujar salah satu dari mereka dengan tegas. "Damay? Ada apa dengan dia? Dia membuat kesalahan apa lagi?" tanya ibu makin panik. "Maaf Pak, bapak sekalian mencari saya?" tanyaku menghampiri mereka dan tetap berusaha tenang, meski jantung ini berdebar cukup kencang. "Dia siapa?" Mereka memandangku dan saling berbisik "Saya Damay, Pak," jawabku. Entah kenapa keduanya tetiba membungkuk seperti memberi hormat. Ibu menghampiriku. "Damay, kamu kenal sama orang-orang ini? Jangan-jangan kamu punya hutang ya? Atau suami berandalan kamu itu yang punya hutang?" bisik ibu. Aku menggeleng perlahan. "Aku tidak tahu, Bu." "Aduuuhhh, dapet musibah apalagi ini! Apes melulu! Pasti kamu itu anak kutukan! Udah nikah aja bawa sial! Suami gak jelas, ini apa lagi!" omel ibu. Aku menghela napas dalam. "Mohon maaf sebelumnya Bu, kalau kedatangan kami mengagetkan kalian. Kami datang kesini untuk mengantarkan hadiah," jawab seorang pria sementara pria di sebelahnya justru
Part 8Malam hari ...."Buuu! Ibuuuu!! Aku pulaaang! Tolong buka pintunya!" teriak Mega. Ibu langsung tergopoh keluar membukakan pintu. Gadis itu tersenyum dan melenggang masuk membawa tas belanjaan. Ia langsung duduk di kursi. Lelaki bernama Guntur itu pun mengikuti duduk di sebelah Mega. "Jam segini kok baru pulang? Dari mana saja?" tanya ibu."Kan aku sudah bilang, Bu, kami habis jalan-jalan," sahut Mega dengan santuy.Seperti biasa, Ibu langsung menyuruhku untuk membuatkan teh manis. Rupanya Mega terkejut saat melihat ada beberapa paper bag dan makanan enak di ruang tamu. Ia mengambil salah satu cake dan langsung memakannya."Bu, ini punya siapa? Kok banyak banget hadiah, memangnya tadi habis ada acara?""Gak ada acara," sahut ibu."Lho terus ini?""Tadi ada dua orang yang datang dan ngasih hadiah buat kita," jawab ibu."Buat Damay, Bu," timpal bapak kemudian duduk di samping ibu.Mata Mega terbelalak mendengar ucapan bapak. "Hadiah untuk Mbak Damay? Dari siapa? Kok bisa?""Kat
Part 9"Bos, apa yang terjadi?" tanya salah seorang anak buahnya, saat Saga baru tiba di sebuah lokasi. Gudang kosong yang disulap sebagai markas sekaligus tempat tinggal anak-anak jalanan."Motor Bos mana? Terus kenapa wajah Bos lebam-lebam begitu?" tanyanya lagi.Sagara melepaskan jaketnya, dan duduk di sofa yang sudah usang. Ia menghela napas dalam-dalam seraya menyandarkan tubuhnya sejenak."Suruh Pak Tom ke sini, saya mau bicara dengannya!" "Baik, Bos!""Telpon saja!""Siap, Bos!""Gimana keadaan mereka? Apa ada masalah?""Semuanya aman, Bos. Mereka hanya bertanya kenapa Bos tidak kelihatan."Saga mengangguk, lalu meneguk air mineral yang diberikan oleh anak buahnya itu.Setelah meregangkan otot sejenak, lelaki itu bangkit berdiri lalu berjalan ke belakang, melihat ruangan yang disekat-sekat seadanya menggunakan kalsiboard. Ruangan itu menampung anak-anak yang kurang beruntung, hidup di jalanan dan tak punya sanak saudara. Beberapa anak-anak yang sedang bebersih dan beres-bere
Part 10"Pulanglah, penting!"Tanpa menunggu jawaban Saga, panggilan itu terputus begitu saja. Lelaki muda itu menghela napas dalam. "Kebiasaan buruk, selalu saja begini! " gerutunya kesal. Sifat ayahnya yang keras dan tak bisa dibantah membuat pribadi Saga tak betah berada di rumah. Ia dibesarkan tanpa kasih sayang seorang ibu, membuat sikapnya pun kaku. Bahkan ia lebih banyak membangkang aturan yang dibuat oleh sang ayah. Saat sekolah, ia sering kali membolos, meskipun seperti itu otaknya begitu cemerlang, ia mendapatkan nilai yang bagus. Lalu hidup di jalanan pun pernah ia lakoni. Saat itu, hidupnya benar-benar berantakan, kehilangan penuntun hidup dan rumah ternyamannya. Ya, kehilangan sosok ibu benar-benar bisa menjadi kehancuran seorang anak. Meski ia tak pernah kekurangan dari segi materi, tapi hatinya begitu kosong dan hampa. Hingga kini ia memilih pergi menjauh dari keluarga, itu agar dia bebas dari aturan sang ayah yang saklek. Kerasnya hidup membuat Saga mandiri. Tap
Part 10b"Sudah tidak apa-apa, dia pasti kecapekan," hibur wanita cantik bermulut manis itu.Saga membuka pintu kamarnya yang sudah lama ia tinggalkan. Menghempaskan tubuhnya di springbed mewah miliknya, kemudian bangkit lagi bagaikan orang yang gundah gulana."Kamarku memiliki cukup bingkai dengan foto-fotomu, ibu, tetapi hatiku masih tetap kosong tanpa pelukan darimu. Ibu, aku sangat merindukanmu," ucapnya lirih seraya menatap foto-foto almarhumah ibunya. Ia memperhatikan sekeliling, menatap ruas demi ruas kamar yang cukup besar itu. Tak ada yang berubah, semua masih tampak sama seperti dulu, luas dan nyaman. Ia berjalan ke arah jendela, membuka tirainya dan menatap pemandangan dari atas. Saga menghela napas dalam lalu bergegas membersihkan diri dan bertemu ayahnya, agar urusannya di sini cepat selesai dan kembali menemui gadis yang sudah terlanjur ia nikahi kemarin.***Berbagai makanan lezat terhidang di atas meja, bukan hanya lauk pauk saja ada cemilan juga buah-buahan di sana.
Part 11a"Siapa dia? Siapa wanita yang membuatmu menolak keputusanku?"Tak menanggapi pertanyaan sang ayah, Saga justru bangkit, melangkah keluar dari ruang kerja ayahnya dengan langkah tegap. Wajahnya memancarkan keputusan yang sudah bulat meski hatinya masih berdebar-debar. Rasanya percuma berdebat dengan sang Ayah karena dia takkan mengerti. Saga tidak akan menyerahkan hidupnya kepada keputusan sang Ayah. Lelaki itu menarik nafas dalam-dalam mencoba menenangkan diri."Mau pergi kemana kamu, Saga? Ayah belum selesai bicara!" tanya suara parau di belakangnya.Saga menoleh dan melihat ayahnya, Pak Biru Hartono, berdiri di ambang pintu. Wajahnya serius, namun terdapat kilatan kekecewaan di matanya."Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Ayah! Aku sudah membuat keputusan, aku menolak perjodohan itu, karena aku sudah punya istri. Dan cepat atau lambat aku akan mengenalkan istriku pada kalian," ucap Saga mantap."Ayah tidak mengerti kenapa kamu menikah tanpa sepengetahuan Ayah. Apakah k
Part 11b"Bu, berhentilah menyudutkanku seperti itu!" protes Damay."Kenapa? Kau mulai berani membantahku? Yang ibu katakan itu memang fakta.""Aku tidak membantahmu, ibu. Aku hanya capek. Aku capek. Semua kekesalan ibu limpahkan padaku. Aku tahu, aku penuh dengan dosa, tapi semua manusia di dunia ini juga tidak ada yang sempurna, Bu, pasti pernah melakukan kesalahan. Lalu, tentang nasib seseorang, tidak ada yang tahu, Bu, roda kehidupan itu berputar, kadang di atas, kadang pula di bawah. Kita tidak tahu, ke depannya nanti akan seperti apa. Dan masalah Mas Saga tidak pulang, mungkin saja dia masih ada urusan di luar. Tapi aku yakin, dia akan kembali.""Heleh, sok bijak sekali kamu, Mbak! Beraninya cuma sama ibu!" celetuk Mega yang tiba-tiba ikut nimbrung.Dua wanita itu tampak mengintimidasi Damay dengan tatapannya yang tajam."Kalau garis takdirmu menjadi upik abu, jangan bermimpi menjadi ratu. Meskipun ganti suami hidupmu akan gitu-gitu aja, Mbak!" ucap Mega lagi sambil tersenyum m