Share

SUAMIKU TERNYATA BUKAN BERANDAL BIASA
SUAMIKU TERNYATA BUKAN BERANDAL BIASA
Author: TrianaR

1. Disangka berbuat mesum

Part 1

"Dicambuk 100 kali saja biar jera atau diarak saja keliling kampung, telanjangi mereka!" teriak salah satu warga memprovokasi.

"Benar, lucuti mereka sekarang aja! Lalu arak keliling desa! Biar tau rasaa! Biar gak ada lagi yang nekat berbuat mesum dan zina seperti ini! Sungguh menjijikan!" sambut teriakan riuh para warga yang lain.

"Hukum mereka!! Arak mereka keliling desa!!"

Mereka semua saling sahut menyahut karena sudah terprovokasi.

Aku hanya bisa tertunduk lesu sambil menangis sesenggukkan. Bagaimana mungkin, aku yang terjatuh terperosok ke sungai kecil, lalu ditolong lelaki itu justru dituduh berbuat mesum alias berzina?

Namun penjelasan kami tak diterima oleh mereka. Bahkan berakhir dengan main hakim sendiri. Lelaki yang membantuku itu dihajar hingga wajahnya babak belur, bahkan motornya pun dirusak warga.

Di bawah kaki-kaki hujan yang menitik, menjadi saksi tangisanku saat ini. Baju yang basah kuyup pun tak dihiraukan oleh mereka. Seolah mereka benar-benar tak punya hati. Membiarkan kami kedinginan sambil dijadikan bulan-bulanan.

"Benar! Seret saja mereka! Lalu usir mereka tak boleh berada di sini lagi! Sungguh buat malu!"

Aku menggeleng cepat, dan berusaha memberontak, tapi semua warga tak ada lagi yang percaya padaku.

Entah siapa yang sudah mengarang cerita dan memprovokasi hingga terbit begitu dahsyat fitnah ini?

Lelaki yang tadi jatuh tersungkur dihajar warga, akhirnya bangkit. "Tunggu! Tolong dengarkan aku. Aku bersumpah aku tidak melakukan hal tercela padanya."

"Huuuuhh!" Mereka bersorak, bahkan ada yang melempari batu padanya hingga mengenai dahinya dan berdarah lagi.

Melihatnya begitu miris, tapi aku pun sama nasibnya. Rasa nyeri di kaki tak kuhiraukan lagi.

"Mana ada maling ngaku! Cepet sekarang eksekusi saja! Nungguin Pak Kades lama!"

Salah seorang ibu-ibu menarik tanganku dan memaksa untuk melepaskan semua baju yang kukenakan. Ia bahkan hendak menarik jilbabku dengan paksa. Aku menangis makin tergugu.

"Tidaak, aku gak mau! Aku mohon ampuni aku, Bu!" teriakku dengan suara parau.

"Tolong hentikan, ada apa ini?" Sebuah suara mengagetkan kami. Rupanya yang datang adalah Kepala desa dan juga dua orang hansip. Mereka berjalan tergopoh-gopoh menghampiri kami.

"Aku berani bersumpah, Pak. Aku gak melakukan hal yang mereka tuduhkan. Tadi aku--"

"Jangan dengarkan itu, Pak Kades! Mereka ini tertangkap basah sedang mesum! Kami melihatnya sendiri! Kami gak bisa diam saja melihat norma adat dan agama dilanggar begitu saja! Mereka gak punya adab. Emang harus dihukum! Dicambuk 100 kali atau diarak keliling kampung dalam keadaan telanjang! Lalu di usir, biar mereka malu seumur hidup!"

"Ya, itu benar Pak Kades!" sahut yang lain lagi.

Pak Kades mengangkat tangannya agar warga yang terpancing emosi sedikit lebih tenang.

"Tenang dulu, bapak-bapak, ibu-ibu, tenang! Kita tidak boleh main hakim sendiri begini. Kita harus dengarkan penjelasan mereka juga!"

"Aaah, kelamaan!"

Hampir saja terjadi bentrok lagi, untungnya Pak Hansip sigap mengamankan para warga.

"Tenang, tenang, kita selesaikan masalah ini dengan kepala dingin!" tukas Pak Kades.

"Pak, Anda adalah seorang kepala dusun ini, sudah pasti ucapan Anda lebih bijak dari pada yang lain. Saya mohon jangan mempermalukan seorang wanita sampai begini. Apakah tak ada cara lain selain diarak keliling desa tanpa busana? Padahal kami tak melakukan secuil pun hal yang mereka tuduhkan?!" Tiba-tiba lelaki yang menolongku itu menyela.

Meski aku agak takut dengan penampilannya yang seperti berandalan, memakai tindik di sebelah telinganya, rambut sedikit gondrong tapi sepertinya ....

"Ada cara lain untuk masalah ini," jawab Pak Kades lugas.

"Apa itu, Pak?" tanya warga.

"Nikahkan mereka. Itu sudah hukuman yang paling pas dan tidak memberatkan bagi mereka. Ini juga menyelamatkan nama baik kampung ini."

Para warga akhirnya setuju dengan usulan Pak Kades.

"Bawa keduanya ke kantor balai desa. Yang lain tolong bawakan baju ganti untuk mas ini dan juga Mbak Damay!" sergah Pak Kades.

"Yang lain apa udah ada yang lapor ke rumah Pak Taryo, kalau anaknya ada masalah di sini?"

"Belum, Pak."

"Pak, tolong bilang ke Pak Taryo dan istrinya suruh datang ke Balai Desa."

Salah seorang hansip yang ditunjuk hanya mengangguk dan melangkah pergi buru-buru.

Sementara itu, aku dan lelaki yang tak kukenal namanya itu digiring ke Balai Desa. Sepanjang jalan aku menunduk sambil menahan rasa dingin yang makin menusuk kulit juga rasa nyeri di kaki akibat luka terkilir tadi.

Sampai di Balai Desa, baik aku dan lelaki itu dikawal saat disuruh ganti baju yang kering.

Tak berapa lama, terdapat beberapa pamong desa selain Pak Kades yang hendak menyidang kami.

"Namanya siapa, Mas?" tanya salah seorang pamong pada lelaki muda bak preman itu.

"Saga."

"Coba liat kartu identitasnya."

Lelaki itu mengeluarkan kartu identidas dari dalam dompetnya.

"Sagara Banyubiru?"

Lelaki bernama Saga itu mengangguk.

"Kamu dan Damay pacaran?"

"Tidak."

"Terus kalian punya hubungan apa?"

"Kami tidak punya hubungan apapun."

"Lalu kenapa berdua-duaan di sana? Bahkan ada yang melihat kalau kamu sedang mesum?" tanya Pak Pamong desa lagi sambil memperagakan ujung jari tangannya beradu.

"Tidak ada yang seperti itu, aku hanya menolongnya saja. Mereka pasti salah lihat!" jawabnya.

"Mas Saga, tenang dulu. Jadi Mas Saga tidak punya hubungan apapun dengan Mbak Damay?"

Lelaki itu menggeleng.

"Terus apa kamu kenal dengan Mbak Damay?"

"Aku hanya melihatnya beberapa kali di toko kue. Itu saja, gak ada yang lain."

Aku menoleh ke arah lelaki itu, apakah dia pernah datang membeli kue?

"Ada apa ini? Ada apa ini?" Suara cempreng milik ibu terdengar. Ibu melangkah tergesa ke arah kami disusul bapak dengan langkah terseok. Wajah keduanya tampak tegang.

Pak Kades menjelaskan apa yang terjadi.

"Jadi bener begitu, Damay? Dasar gadis kurang ajar! Gak tau diuntung kamu! Bukannya pulang kerja langsung ke rumah, kamu malah berbuat mesum sama berandalan ini?" Ibu marah sambil menunjuk wajahku dan juga Saga.

"Eheem, sudah, Bu, sudah. Jadi masalah ini sudah ketemu solusinya. Biar mereka dinikahkan saja, biar gak timbul fitnah dan keributan lagi," timpal Pak Kades lagi.

Mata ibu membulat. "Dinikahkan?"

"Ya, ini udah kesepakatan bersama, dari pada mereka harus diarak keliling kampung, bukankah akan lebih memalukan?"

Ibu langsung beralih memandang Saga. "Memangnya kamu punya mahar berapa mau nikahin anak saya?" tanya ibu dengan tatapan tajam.

"Seratus ribu."

.

.

.

.

.

.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status