“Rini menangis bahagia, Mbak,” lirih Rini.Nuri dan Andri saling pandang sesaat mendengar ucapan Rini.“Rini bahagia bisa melahirkan putri untuk Pak Andri, Rini bahagia bisa menepati janji pada Pak Andri untuk menjaga Bilqis sampai hadir ke dunia ini, meskipun Rini belum bisa melihatnya. Dan … Rini … bahagia melihat … Mbak Nuri dan Pak Andri … bisa … berdampingan seperti … ini,” lanjut Rini terbata-bata.Andri dan Nuri kembali saling berpadangan, buru-buru Nuri menggeser tubuhnya sedikit menjauh dari Andri ketika menyadari posisi berdiri mereka sangat dekat."Rini selalu merasa bersalah atas perpisahan Mbak Nuri dan Pak Andri. Boleh kah Rini meminta satu hal pada mbak Nuri?""Apa itu, Rin?" Suara Nuri terdengar lembut."Jika Rini tak sanggup lagi bertahan, Rini minta ... Mbak Nuri bisa menjadi ibu bagi Bilqis." Rini berusaha berbicara meskipun terbata-bata."RINI!" sentak Nuri. "Kamu jangan bicara begitu.""Mbak Nuri, aku tidak tau apa aku bisa menebus kesalahanku. Aku sangat menyayan
“Ayo pulang, Mas. Langit udah mulai mendung sepertinya hari ini akan turun hujan,” ajak Nuri pada Andri yang masih tertunduk menatap pusara yang masih merah dengan taburan bunga-bunga segar di atasnya.Ya, Rini akhirnya menyerah dan pergi meninggalkan bayinya yang masih merah dan sama sekali belum dilihatnya. Dokter menyatakan Rini meninggal karena kasus keracunan kehamilan atau preeklamsia yang menyebabkan tekanan darahnya sangat tinggi serta menyebabkan kerusakan pada sistem organ tubuhnya yang lain.Andri tak pernah menyangka jika Rini akan pergi meninggalkannya setelah melahirkan putrinya, wanita muda itu sudah menahan sakitnya selama mengandung anaknya, ada rasa sesal terselip di hati Andri ketika mengingat bagaimana dia memperlakukan Rini selama ini. Pria itu terlihat mengusap air matanya, kemudian kembali menatap pusara Rini. “Maafkan aku, istriku,” gumamnya lirih.Nuri, Andin, Rizal dan Adit masih berada di area pemakaman menunggu Andri yang masih tidak beranjak dari depan pus
Nuri berjalan gontai memasuki rumahnya dengan diikuti Adit, sementara Nanda terlihat bernyanyi kecil dalam gendongan Bi Ina.“Ri, aku nggak nyangka kamu sesedih ini dengan kepergian Rini,” ucap Adit lembut.“Dia sudah seperti adikku sendiri, Dit,” jawab Nuri sambil menarik nafas panjang.“Setelah apa yang dilakukannya padamu?” tanya Adit.“Apa maksudmu?”“Kamu masih bisa seperti ini setelah dia merebut kebahagiaanmu dengan Andri?”Nuri hanya menatap kosong pada Adit. “Kamu nggak ngerti, Dit,” gumamnya.“Aku salut padamu, Ri. Hatimu begitu luas bisa masih menerimanya sebagai sahabatmu sebagai saudaramu, meskipun aku tau hatimu sendiri terluka karena itu.” Adit menatap tajam mata Nuri.“Jangan memandangku seperti itu, sebaiknya kamu pulang, Dit. Nggak baik kamu berlama-lama di sini, Aldy lagi sedang tidak di rumah. Aku takut akan jadi fitnah jika kamu berlama-lama di sini.”“Boleh aku bertanya sesuatu padamu?”“Apa itu, Dit?”“Apa kamu berpikir akan kembali pada Andri setelah kepergian
“Ri, bang Rizal nitip ini buat Aldy,” kata Andin sambil menyerahkan sebuah bungkusan di dalam plastik pada Nuri. “Ini apa, Ndin?” “Nggak tau, kamu tanya sendiri aja sama kakakmu,” jawab Andin datar. Nuri menyipitkan matanya memperhatikan ekspresi bicara Andin. Ada yang tak biasa dengan wanita itu. “Kamu lagi sakit, Ndin?” “Iya, lagi sakit hati!” “Sakit hati? Sama siapa? Sama kak Rizal? Kalian lagi ada masalah?” “Uhh, banyak banget pertanyaanmu Ri.” “Lagian kamu bikin penasaran, sih. Ada masalah apa, Ndin?” Andin menghela nafasnya. “Aku ragu mau cerita ke kamu, Ri. Aku nggak tau kamu itu di pihak mana.” “Kamu udah kayak orang mau perang aja, Ndin.” “Iya, aku lagi perang sama kakakmu.” “Ada apa sih, Ndin?” “Sudahlah, Ri. Aku masih malas membahasnya, aku takut nggak mood kerja.” “Huhhh, kamu ini suka banget ya bikin orang penasaran. Kalau gitu ntar pulang kerja aku mampir ke kafe kak Rizal deh.” Andin hanya mengangkat bahunya. “Ini boleh dibuka nggak, ya?” tanya Nuri sambi
“Uring-uringan? Jangan-jangan Andin hamil, Kak!”Rizal tersentak mendengar kalimat Nuri. “Hamil?”“Iya kak, wanita hamil itu memang sensitif. Salah paham sedikit aja bisa jadi masalah besar. Kalau memang Andin sedang hamil, Kak Rizal harusnya lebih peka dan berusaha mengikuti mood nya Andin.”“Aku nggak kepikiran ke sana, Dek. Cuma memang agak kesal juga Andin beberapa hari ini jadi bad mood gitu. Ya udah, aku tinggal sebentar ya, mau nelpon Andin.”“Aku makin kagum sama kamu loh, Ri,” ucap Adit sambil memberi tatapan lembut pada Nuri setelah Rizal menjauh dari mereka.“Isss, emang aku kenapa?” protes Nuri heran.“Kamu kelihatan dewasa banget, jauh lebih matang daripada Nuri yang kukenal dulu.”“Itu aku belasan tahun lalu, Dit. Jelas saja berbeda, semua orang pasti berubah.”Adit masih terus menatap lembut tepat di mata Nuri.“Kamu kenapa sih, Dit. Nggak lagi demam kan?”. Nuri mulai terlihat salah tingkah.Adit tersenyum, “Aku sedang mencari alasan sebesar apa yang dulu membuatku kehi
Drrrtttt… Drrrtttt…Nuri meraih ponselnya di atas nakas dan memicingkan matanya mencari tau siapa yang menelponnya subuh-subuh begini. Andri!“Assalamualaikum. Ada apa, Mas? Kok subuh-subuh gini sudah menelpon?”“Walaikumsalam. Kamu libur kan hari ini, Dik?”“Iya, Mas. Ini kan hari Sabtu.”“Kamu nggak kemana-mana kan?”“Nggak, Mas. Ada apa?”“Mas hari ini mau nengokin Bilqis. Apa kamu mau menemaniku?”Nuri terdiam sesaat.“Aku nggak sendirian kok, Dik. Tadi Aldy bilang mau ikut melihat adiknya.”Andri memahami kekhawatiran Nuri.“Jam berapa ke sana, Mas? Aku liat kondisi dulu ya.”“Sekitar jam 10 pagi ini, Dik. Aku juga sudah konfirmasi pada perawatnya.”“Ya udah, nanti ketemu di sana aja ya, Mas. Insya Allah aku ajak Nanda juga biar Nanda juga ketemu sama adiknya.”“Iya, Dik. Terima kasih ya, maaf aku menelponnya subuh-subuh buta begini. Aku hanya khawatir kamu punya jadwal lain.”Nuri meletakkan kembali ponselnya di atas nakas ketika panggilan Andri berakhir. Baru beberapa detik pon
“Kita boleh masuk, Mas?” tanya Nuri.“Boleh, Dik. Tapi nggak lama. Alhamdulillah menurut perawat, perkembangan Bilqis sangat bagus dan kita boleh melihatnya dari dekat,” jawab Andri tersenyum.“Adik bayinya mana, Pa?” tanya Nanda.“Adik bayinya ada di dalam sayang. Yuk kita masuk,” ajak Andri.Perawat mempersilahkan mereka berempat masuk ke ruangan perawatan bayi di mana Bilqis terlihat sedang tertidur lelap di dalam inkubator. Andri menggendong tubuh Nanda ketika gadis kecil itu melompat-lompat berusaha melihat lebih dekat ke dalam inkubator.Nuri merasa takjub melihat bayi mungil yang kelihatan sangat ringkih itu. Kasihan sekali kamu, Nak. Kamu sudah harus kehilangan ibumu diumurmu yang baru beberapa hari, batin Nuri. Setetes air bening mengalir dari sudut matanya. Andri meliriknya dan kemudian menggelengkan kepala kepadanya.Nuri tau apa maksud Andri. Laki-laki itu melarangnya menangis karena di sana ada Aldy dan Nanda yang kelihatan sangat bahagia bertemu dengan bayi Bilqis. Nuri
“Adit! Bu Safa!” pekik Nuri.“Nuri!” Adit pun terkejut melihat keberadaan Nuri disana bersama kedua anak-anaknya, dan Andri! Tiba-tiba Adit teringat isi pesan Nuri tadi pagi ketika berbalas pesan dengannya di applikasi whatsapp. “Halo, Cantik,” sapa Bu Safa pada Nanda yang berada dalam gendongan Andri.“Halo, Oma Safa,” jawab Nanda.“Oma Safa kangen, lama nggak ketemu Nanda dan Aldy. Nanda dan Aldy dari mana?” tanya Bu Safa.“Nanda habis negokin adik bayi, Oma. Nanda sekarang punya adik bayi, namanya Bilqis. Adik bayinya lucu dan cantik,” celoteh Nanda.“Oiya? Mentang-mentang Nanda punya adik bayi oma Safa dilupakan ya,” goda Bu Safa pada Nanda.“Insya Allah nanti sore saya ke rumah, Bu. Udah janji tadi sama Adit. Nanti Nuri ajak anak – anak juga. Ibu mau kontrol rutin?” tanya Nuri lembut, mataya melirik sekilas pada Adit yang terus memandanginya dari tadi.“Iya, Nak. Ibu mau kontrol. Adit kok nggak bilang kalau Nuri mau ke rumah nanti sore?” protes Bu Safa pada Adit yang hanya diba