Semua beranjak dari tempat masing-masing, setelah itu melangkah bersama menuju pintu, semua terkejut melihat siapa yang ada di balik pintu."Ayang Mbeb?!" Seru Rindu yang sedikit terkejut melihat kehadiran suaminya."Di rumah sepi, Hafiz belum pulang. Mangkanya aku nyusul ke sini. Hehehe." Herman beralasan. Lelaki sepantaran Bagas itu tersenyum nyengir."Hallah, bilang aja kangen," ledek Yulis. Mereka semua tertawa melihat Herman manyun."Kami pulang ya, Lis. Jangan lupa kunci pintu, udah malem ini. Lekas tidur," titah Rindu."Siap, Bosku," sahut Yulis dengan sikap hormat."Pulang dulu, ya. Jangan lupa kunci pintu dan jendela." Kembali Rindu mengingatkan, keluarga itu melangkah bersama meninggalkan kediaman Yulis.Sepeninggalan Rindu dan keluarganya, Yulis memeriksa pintu dan jendela, memastikan kalau semua sudah terkunci. Setelah dirasa beres dia melanjutkan langkahnya menuju kamar. Wanita penyuka kopi duduk di tepi ranjang dan kembali merasakan kesepiannya.Dalam kesunyiannya, tiba-
Mira menangis meringkuk di tepi ranjang, saat ini bukan hanya fisiknya yang terluka karena kekerasan yang dilakukan oleh kliennya. Kali ini hatinya juga berdarah, sosok yang sangat dicintainya tega menggoreskan luka.Bagas adalah cinta pertama Mira. Lelaki yang selalu ada untuk dirinya, Bagas adalah sosok yang sempurna di mata Mira. Mira selalu menyaksikan bagaimana cara Bagas mencintai Yulis, perhatian dan kasih sayangnya pada sang ibu angkat membuatnya semakin mengidolakan sang Ayah angkat.Bagas juga sangat menyayanginya layaknya seorang anak kandung, tak ada lagi jarak dalam mencurahkan perhatiannya. Kasih sayang yang tulus yang diterimanya dari Bagas, ternyata juga menimbulkan getaran aneh didalam hatinya.Hari demi hari cinta itu semakin tumbuh subur karena Bagas selalu memprioritaskan dirinya dari pada istrinya sendiri. Kebersamaan yang terjadi setiap hari, juga ketika dia melihat betapa romantisnya Bagas dengan istrinya, membuatnya semakin mengagumi lelaki parlente tersebut.M
"Tunggu kedatanganku Yulis!" Wanita itu mencium bibir suaminya sekilas sebelum meninggalkannya untuk sebuah misi yang sangat besar.Dengan kecepatan tinggi Mira mengendarai mobil Honda jazz miliknya, tujuannya hanya setu, kediaman Yulis. Tempatnya tumbuh menjadi gadis yang cantik dan penuh dengan kasih sayang. Namun Mira melupakan semua itu, tekadnya sudah bulat, dia ingin memusnahkan perempuan yang dianggap menjadi penghalang cinta Bagas padanya.Dalam waktu kurang lebih satu jam, dia sudah sampai di depan toko Yulis. Mira turun dari mobil, kemudian dengan santai dia melangkah menuju rumah di mana dia dibesarkan. Perlahan Mira memasukkan anak kunci cadangan yang dulu dibawanya. Hampir saja dia berteriak kegirangan karena kuncinya masih sama. "Dasar perempuan bo doh, tapi tak apa karena kebodohannya sudah mempermuda tujuanku." Mira terkekeh bahagia sambil membuka pintu. "Rupanya Tuhan juga mendukung rencanaku," lanjutnya.Setelah pintu terbuka, wanita itu bergegas masuk ke rumah kem
**"Ibu Yulis ...." Muti sudah terjaga, dan saat ini gadis kecil itu sedang tersenyum ketika mendapati seorang yang dinantikannya berada di sisinya, memegang lembut tangannya, seolah ingin memberikan keamanan dan perlindungan pada dirinya."Ibu Yulis ...." Lagi dia bersuara, membuat wanita dewasa itu terbangun."Hai ...," sapanya pada gadis kecil itu dengan suara khas orang bangun tidur."Hai, Bu Yulis. Terima kasih sudah mau menemaniku." Sungguh gadis kecil yang pandai, tahu caranya berterima kasih walaupun hanya sekedar lewat senyuman."Sama-sama, Sayang. Muti mau minum?" tanya Yulis. Gadis kecil berponi itu mengangguk. Tangannya yang mungil menerima gelas yang diberikan oleh Yulis."Terima kasih, Bu Yulis," ucapnya. "Bu Yulis, boleh gak Muti memanggil Mama?" imbuh Muti, dan itu membuat Yulis tertegun, hingga dia tak menahan napasnya untuk sesaat."Mm-mama?" Bukannya menjawab ucapan terima kasih dari Muti, dia malah mengulangi kalimat gadis kecil itu."Iya, boleh kan, Bu Yulis? Muti
Afif keluar ditemani oleh beberapa orang yang tadi ikut masuk, lelaki itu nampak serius saat sedang berbicara di telepon. Namun, ada sedikit kelegaan di raut wajahnya."Bude tak ada di dalam, Bu," ucap Afif dengan napas tersengal."Tak ada di dalam? Terus di mana Budemu itu, Fif?! Ya Allah ... Yulis!" Rindu kembali berteriak sambil menangis."Semalam Bu Yulis pergi dengan seseorang, Bu," ujar seseorang yang baru datang ke tempat itu. Semua mata pun tertuju padanya, kemudian meluncurlah cerita dari orang yang tadi malam menjadi petugas ronda tersebut. Setelah itu kembali mengalir cerita dari beberapa orang yang mencurigai jika mobil yang terparkir di pinggir jalan tadi milik Bagas.**Yulis mengurai pelukannya setelah mendengar ponselnya berdering. "Bunda angkat telepon dulu ya, Nak," ucapnya pada Muti. Gadis kecil itu mengangguk."Innalilahi, baiklah, Fif," ucapnya setelah mendengar keponakannya bercerita di ujung telepon. Setelah mengucapkan salam Yulis pun memutuskan panggilan. Yul
Harapan besar dari ibunya membuat Indra bimbang. Namun, dia tak kuasa untuk mengatakan jika dia tidak bisa menerima Yulis dengan mudah. Saat ini di hatinya sudah terukir nama seseorang.Dokter sudah selesai memeriksa Muti, lelaki berkacamata itu sedikit keheranan melihat kondisi pasiennya yang berbalik seratus delapan puluh derajat. Namum, dokter itu percaya jika cinta adalah penawar segala luka dan duka. Gadis bermata bulat itu kegirangan setelah dinyatakan sembuh dan sudah boleh pulang.Sejak keluar dari kamar tempatnya dirawat, Muti tak mau berpisah dengan Yulis, gadis berlesung pipi itu tak mau turun dari gendongan Yulis, walaupun ayahnya berkali-kali membujuknya.Hari sudah beranjak siang ketika Yulis sampai di rumahnya. Masih ada beberapa orang yang berada di bangunan yang sudah diberi garis berwarna kuning itu. Ada juga beberapa polisi yang bertugas menangani kasus tersebut.Yulis turun dari mobil bersama dengan Muti. Gadis empat tahun itu terus saja bergelayut di dalam gendong
"Bude." Afif mendekati Yulis, keningnya berkerut ketika melihat gadis yang bergelayut di gendongan wanita yang sudah dianggapnya ibu itu.Sementara Indra yang beru sampai di antara mereka, mengambil bangku yang ada teras, kemudian mempersilahkan Yulis untuk duduk. Indra sadar jika Yulis sudah kepayahan karena sedari tadi menggendong putrinya. "Duduk di sini dulu, biar tanganmu gak begitu capek," pintanya pada wanita bermata bulat tersebut. Yulis tertegun. Sementara Rahayu mengusap sudut matanya ketika melihat pemandangan itu."Terima kasih, Pak In—""Papa, Bunda. Papa." Kembali Muti memotong ucapan Yulis setelah itu dia kembali menyembunyikan wajahnya di leher Yulis. Takut pada Indra."Oke, Sayang. Maaf ya, mama masih suka lupa," sahutnya. Afif yang menyaksikan hal tersebut pun bertanya-tanya. Namun, dia sadar jika sekarang bukan saat yang tepat untuk meminta penjelasan.Lelaki muda itu kembali mendekati Yulis. "Aku sudah lapor polisi, Bude. Beberapa saksi mengatakan kalau sebelum kej
"Bu." Indra mendekati ibunya. Wanita bermata teduh itu menatap putranya. "Nikahi Yulis, ini adalah permintaan terakhir ibu," ucap Rahayu yang hampir mirip dengan sebuah bisikan. Indra lemas, bagaimana bisa ibunya berpikir sejauh itu. Wanita yang rambutnya sudah memutih itu benar-benar tahu kelemahan putranya. Indar takkan bisa menolak keinginannya. Melihat putranya kebingungan, Rahayu tersenyum penuh kelegaan. Begitu juga dengan Yulis dia benar-benar terkejut mendengar ucapan wanita senja tersebut.Mendengar ucapan neneknya, Muti langsung mengangkat kepalanya yang sedari tadi bersandar di bahu Yulis. "Iya, Mama. Tinggal di rumah Muti aja." Gadis kecil itu kegirangan. Berbanding terbalik dengan perasaan Yulis, yang tak mungkin menerima tawaran Muti, tetapi dia juga khawatir dengan kondisi gadis itu jika dia menolak keinginannya."Bu Yulis, ikutlah dengan kami. Setidaknya sampai rumahnya selesai diperbaiki, juga demi Muti," pinta Rahayu memohon. Wanita senja itu tak ingin melihat cucun