Mira menangis meringkuk di tepi ranjang, saat ini bukan hanya fisiknya yang terluka karena kekerasan yang dilakukan oleh kliennya. Kali ini hatinya juga berdarah, sosok yang sangat dicintainya tega menggoreskan luka.Bagas adalah cinta pertama Mira. Lelaki yang selalu ada untuk dirinya, Bagas adalah sosok yang sempurna di mata Mira. Mira selalu menyaksikan bagaimana cara Bagas mencintai Yulis, perhatian dan kasih sayangnya pada sang ibu angkat membuatnya semakin mengidolakan sang Ayah angkat.Bagas juga sangat menyayanginya layaknya seorang anak kandung, tak ada lagi jarak dalam mencurahkan perhatiannya. Kasih sayang yang tulus yang diterimanya dari Bagas, ternyata juga menimbulkan getaran aneh didalam hatinya.Hari demi hari cinta itu semakin tumbuh subur karena Bagas selalu memprioritaskan dirinya dari pada istrinya sendiri. Kebersamaan yang terjadi setiap hari, juga ketika dia melihat betapa romantisnya Bagas dengan istrinya, membuatnya semakin mengagumi lelaki parlente tersebut.M
"Tunggu kedatanganku Yulis!" Wanita itu mencium bibir suaminya sekilas sebelum meninggalkannya untuk sebuah misi yang sangat besar.Dengan kecepatan tinggi Mira mengendarai mobil Honda jazz miliknya, tujuannya hanya setu, kediaman Yulis. Tempatnya tumbuh menjadi gadis yang cantik dan penuh dengan kasih sayang. Namun Mira melupakan semua itu, tekadnya sudah bulat, dia ingin memusnahkan perempuan yang dianggap menjadi penghalang cinta Bagas padanya.Dalam waktu kurang lebih satu jam, dia sudah sampai di depan toko Yulis. Mira turun dari mobil, kemudian dengan santai dia melangkah menuju rumah di mana dia dibesarkan. Perlahan Mira memasukkan anak kunci cadangan yang dulu dibawanya. Hampir saja dia berteriak kegirangan karena kuncinya masih sama. "Dasar perempuan bo doh, tapi tak apa karena kebodohannya sudah mempermuda tujuanku." Mira terkekeh bahagia sambil membuka pintu. "Rupanya Tuhan juga mendukung rencanaku," lanjutnya.Setelah pintu terbuka, wanita itu bergegas masuk ke rumah kem
**"Ibu Yulis ...." Muti sudah terjaga, dan saat ini gadis kecil itu sedang tersenyum ketika mendapati seorang yang dinantikannya berada di sisinya, memegang lembut tangannya, seolah ingin memberikan keamanan dan perlindungan pada dirinya."Ibu Yulis ...." Lagi dia bersuara, membuat wanita dewasa itu terbangun."Hai ...," sapanya pada gadis kecil itu dengan suara khas orang bangun tidur."Hai, Bu Yulis. Terima kasih sudah mau menemaniku." Sungguh gadis kecil yang pandai, tahu caranya berterima kasih walaupun hanya sekedar lewat senyuman."Sama-sama, Sayang. Muti mau minum?" tanya Yulis. Gadis kecil berponi itu mengangguk. Tangannya yang mungil menerima gelas yang diberikan oleh Yulis."Terima kasih, Bu Yulis," ucapnya. "Bu Yulis, boleh gak Muti memanggil Mama?" imbuh Muti, dan itu membuat Yulis tertegun, hingga dia tak menahan napasnya untuk sesaat."Mm-mama?" Bukannya menjawab ucapan terima kasih dari Muti, dia malah mengulangi kalimat gadis kecil itu."Iya, boleh kan, Bu Yulis? Muti
Afif keluar ditemani oleh beberapa orang yang tadi ikut masuk, lelaki itu nampak serius saat sedang berbicara di telepon. Namun, ada sedikit kelegaan di raut wajahnya."Bude tak ada di dalam, Bu," ucap Afif dengan napas tersengal."Tak ada di dalam? Terus di mana Budemu itu, Fif?! Ya Allah ... Yulis!" Rindu kembali berteriak sambil menangis."Semalam Bu Yulis pergi dengan seseorang, Bu," ujar seseorang yang baru datang ke tempat itu. Semua mata pun tertuju padanya, kemudian meluncurlah cerita dari orang yang tadi malam menjadi petugas ronda tersebut. Setelah itu kembali mengalir cerita dari beberapa orang yang mencurigai jika mobil yang terparkir di pinggir jalan tadi milik Bagas.**Yulis mengurai pelukannya setelah mendengar ponselnya berdering. "Bunda angkat telepon dulu ya, Nak," ucapnya pada Muti. Gadis kecil itu mengangguk."Innalilahi, baiklah, Fif," ucapnya setelah mendengar keponakannya bercerita di ujung telepon. Setelah mengucapkan salam Yulis pun memutuskan panggilan. Yul
Harapan besar dari ibunya membuat Indra bimbang. Namun, dia tak kuasa untuk mengatakan jika dia tidak bisa menerima Yulis dengan mudah. Saat ini di hatinya sudah terukir nama seseorang.Dokter sudah selesai memeriksa Muti, lelaki berkacamata itu sedikit keheranan melihat kondisi pasiennya yang berbalik seratus delapan puluh derajat. Namum, dokter itu percaya jika cinta adalah penawar segala luka dan duka. Gadis bermata bulat itu kegirangan setelah dinyatakan sembuh dan sudah boleh pulang.Sejak keluar dari kamar tempatnya dirawat, Muti tak mau berpisah dengan Yulis, gadis berlesung pipi itu tak mau turun dari gendongan Yulis, walaupun ayahnya berkali-kali membujuknya.Hari sudah beranjak siang ketika Yulis sampai di rumahnya. Masih ada beberapa orang yang berada di bangunan yang sudah diberi garis berwarna kuning itu. Ada juga beberapa polisi yang bertugas menangani kasus tersebut.Yulis turun dari mobil bersama dengan Muti. Gadis empat tahun itu terus saja bergelayut di dalam gendong
"Bude." Afif mendekati Yulis, keningnya berkerut ketika melihat gadis yang bergelayut di gendongan wanita yang sudah dianggapnya ibu itu.Sementara Indra yang beru sampai di antara mereka, mengambil bangku yang ada teras, kemudian mempersilahkan Yulis untuk duduk. Indra sadar jika Yulis sudah kepayahan karena sedari tadi menggendong putrinya. "Duduk di sini dulu, biar tanganmu gak begitu capek," pintanya pada wanita bermata bulat tersebut. Yulis tertegun. Sementara Rahayu mengusap sudut matanya ketika melihat pemandangan itu."Terima kasih, Pak In—""Papa, Bunda. Papa." Kembali Muti memotong ucapan Yulis setelah itu dia kembali menyembunyikan wajahnya di leher Yulis. Takut pada Indra."Oke, Sayang. Maaf ya, mama masih suka lupa," sahutnya. Afif yang menyaksikan hal tersebut pun bertanya-tanya. Namun, dia sadar jika sekarang bukan saat yang tepat untuk meminta penjelasan.Lelaki muda itu kembali mendekati Yulis. "Aku sudah lapor polisi, Bude. Beberapa saksi mengatakan kalau sebelum kej
"Bu." Indra mendekati ibunya. Wanita bermata teduh itu menatap putranya. "Nikahi Yulis, ini adalah permintaan terakhir ibu," ucap Rahayu yang hampir mirip dengan sebuah bisikan. Indra lemas, bagaimana bisa ibunya berpikir sejauh itu. Wanita yang rambutnya sudah memutih itu benar-benar tahu kelemahan putranya. Indar takkan bisa menolak keinginannya. Melihat putranya kebingungan, Rahayu tersenyum penuh kelegaan. Begitu juga dengan Yulis dia benar-benar terkejut mendengar ucapan wanita senja tersebut.Mendengar ucapan neneknya, Muti langsung mengangkat kepalanya yang sedari tadi bersandar di bahu Yulis. "Iya, Mama. Tinggal di rumah Muti aja." Gadis kecil itu kegirangan. Berbanding terbalik dengan perasaan Yulis, yang tak mungkin menerima tawaran Muti, tetapi dia juga khawatir dengan kondisi gadis itu jika dia menolak keinginannya."Bu Yulis, ikutlah dengan kami. Setidaknya sampai rumahnya selesai diperbaiki, juga demi Muti," pinta Rahayu memohon. Wanita senja itu tak ingin melihat cucun
"Ini gara-gara perempuan mandul itu, kurang aj ar! Aku harus melenyapkannya!" Teriaknya di sela-sela napasnya yang memburu.Turun dari mobil yang membawanya, Mira kembali berontak, bahkan dia sempat menendang petugas yang mengawalnya."Mana Mas Bagas! Mas Bagas! Lepaskan aku dari sini!" Mira berteriak seperti kesetan*n.Kesabaran petugas mulai menipis, dengan kasar akhirnya Mira dibawa masuk ke dalam.Sementara dikediamannya, Bagas mondar-mandir tak tentu arah, lelaki itu menyesali kecerobohan Mira. Berkali-kali dia menendang apa saja yang ada di dekatnya."Kamu gegabah Mira! Hah!" Dia pun kembali berteriak. Bagas berusaha menghubungi beberapa orang yang dikenalnya ketika berada di dalam rotan dulu. Berharap ada yang bisa membantu dan memberikan solusi."Dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, jika karena perbuatan itu timbul bahaya bagi nyawa orang lain, dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun." Keterangan y
"Ke Jati Wangi kayak kemarin itu, terus ke Pelang, terus ke kampung air. Udah itu aja, Pa. Kenapa sih Papa nanya-nanya. Biasanya juga gak gitu." Mutiara mulai sewot, tetapi sebenarnya gadis kecil itu sangat bahagia karena baru kali ini papanya mengajaknya bicara cukup lama.Yulis mengulum senyum mendengar nada protes dari Mutiara."Papa kan ingin tahu, Kak. Karena setelah ini, papa akan berusaha menemani Kakak dan Mama kemanapun kalian mau," sahut Indra. Sontak hal itu membuat manik bening Mutiara berbinar."Jadi Papa gak kerja dong. Nanti dapat uangnya dari mana?" Yulis sampai tak percaya Mutiara akan berkata seperti itu. Dia benar-benar tahu apa yang dirasakan putrinya sambungnya tersebut."Kan Mama punya toko," canda Indra sambil tertawa."Jangan lah, Pa. Itu kan punya Mama.""Terus?""Ya Papa tetap kerja, kalau hari libur kita jalan-jalan. Gitu, Pa.""Pi
"Baiklah, Sayang. Yuk, mandi dan ganti baju dulu," ajak Ridwan. Lelaki itu merasa tak enak hati dengan ucapan putrinya. Dia khawatir Indra salah paham, tapi juga sadar jika sekarang bukan saat yang tepat untuk menjelaskan pada mantan iparnya tersebut.Citra menatap Yulis, biasanya wanita berjilbab itu yang melakukannya. Namun, melihat Yulis diam saja, bocah berambut lurus itu juga tak berani meminta. Citra benar-benar kesal pada pakdenya, yang menurutnya sudah merusak suasana. "Aku juga udahan, Ma," ucap Mutiara."Ayo, mandi dan ganti bajunya sama papa," sahut Indra. Seketika pandangan kedua wanita berbeda generasi itu tertuju pada lelaki yang sudah berdiri dari duduknya.Sesaat kemudian Mutiara tertawa. "Gak mau, sama Mama aja. Malu lah kalau ganti baju sama Papa.""Nah itu si Citra gak malu sama papanya""Beda, Pa. Kan Citra udah gak punya mama. Palingan Om Wan cuma nungguin di luar. Biasanya kan
Mendengar penuturan Yulis, perlahan Indra menelan ludahnya. Lelaki itu takut jika sesuatu terjadi padanya karena sudah menyakiti hati istrinya tersebut."Apa kamu mau turun?" Tanyanya kemudian. Indra sendiri bingung mengapa dia menawarkan hal itu kepada Yulis."Maksudku, apa kamu mau menemuinya. Bicara apa gitu atau menanyakan apa gitu?""Sebaiknya gak usah Pak In. Karena aku dan dia sudah menjadi orang asing," sahut Yulis mantap."Baiklah kalau begitu kita lanjutkan perjalanan." Indra pun membunyikan klakson agar lelaki yang kata Yulis mantan suaminya itu menyingkir.Setelah beberapa saat kendaraan melaju, Indra kembali bertanya pada Yulis. "Bener nggak mau turun di toko aja, biar aku yang nyusul anak-anak ke kampung air."Yulis tak lagi menjawab, wanita penyuka warna kalem itu malah membuang pandangannya keluar jendela dia benar-benar gerah dengan sikap Indra yang tak seperti biasanya. Yulis merasa
Perlahan Indra membaringkan tubuh Yulis, seolah wanita itu adalah barang berharga yang harus dengan hati-hati memperlakukannya. Yulis segera beringsut setelah terlepas dari rengkuhan Indra. Wanita penyuka kopi tanpa gula itu terlihat kesal."Maaf, tadi kamu ketiduran di ayunan. Aku khawatir kamu masuk angin, jadi berinisiatif untuk memindahkanmu ke kamar," ucap Indra tanpa ekspresi. Yulis masih termangu, antara malu, senang, kesal dan tak mengerti dengan perubahan sikap Indra yang tiba-tiba."Tadi Muti telepon pakai nomor Ridwan. Ia ikut Omnya itu ke kampung air. Kamu istirahat saja. Biar aku yang menjemputnya," imbuh Indra, setelah itu dia langsung beranjak.Lagi-lagi Yulis dibuat terbengong, ia semakin tak mengerti, kedua alisnya bertaut memikirkan sebenarnya apa yang terjadi dengan suaminya tersebut."Aku ikut!" Setelah beberapa saat tercengang, Yulis segera menyusul Indra yang hampir meraih ganggang pintu.
"Kami dari rumah tahanan, ingin memberi kabar pada ibu bahwa tahanan yang bernama Mira telah meninggal dunia. Selain Ibu, apa ada nomor keluarganya bisa dihubungi?""Innalilahi wa innailaihi rojiun," ucap Yulis spontan. Sesaat kemudian dia tertegun. Seraut wajah yang dulu sangat disayanginya langsung hadir dalam kilasan ingatannya. Spontan nulis menutup mulutnya yang ternganga. Bagaimanapun juga Mira pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya."Mohon maaf, Pak. Saya sudah tidak lagi berhubungan dengan saudari Mira, tapi, saya tahu di mana alamat orangtuanya. Nanti saya kirim alamatnya aja ya, Pak. Mohon maaf, hanya itu yang bisa saya bantu.""Terima kasih Bu. Kami kesulitan mencari keluarganya. Rumah yang dulu ditempati sekarang sudah atas nama orang lain."Panggilan pun terputus, Yulis tak langsung menyimpan benda pintarnya terbaru. Setelah mengirim alamat orang tua Mira, wanita bermata bulat itu menghubungi Afif.
"Aku ingin membicarakan sesuatu," ucap Indra menghentikan gerakan Yulis yang tengah menyendok nasi goreng di wajan untuk diletakkan di piring."Sarapan dulu, Pak In," sahut Yulis tanpa menoleh. Ia meneruskan kegiatannya menyiapkan sarapan untuk sang suami. Yulis berusaha bersikap biasa saja, walaupun sangat kecewa dengan sikap Indra semalam. Indra berhak melakukannya, tetapi caranya yang membuat Yulis kurang suka.Indra menghela napas untuk mengurangi kegugupan di hatinya, sambil terus memperhatikan punggung ramping istrinya yang belum pernah sekalipun dipeluk olehnya.Tak butuh waktu lama, sepiring nasi goreng sudah tersaji di depan Indra beserta segelas air putih."Sedekat–" "Makan dulu, Pak In," sela Yulis. Lagi-lagi wanita itu mengatakannya tanpa melihat suaminya. Setelah itu suasana kembali hening, hanya denting sendok dan piring yang terdengar memenuhi ruangan. "Alhamdulillah," ucap Yulis den
Hingar bingar ruangan kedap suara itu sama sekali tak mengusiknya. Pikirannya benar-benar sedang kacau. Indra beranggapan bahwa takdir benar-benar mempermainkannya. Dulu dia sama sekali tidak tertarik dengan Yulis, dia menikahi wanita itu hanya demi Mutiara, tapi wanita itu memperlakukannya sebagai suami, patuh dan melayaninya. Walaupun tidak dengan urusan ranjang. Kini setelah Indra mulai menyukainya, Yulis malah bersikap tidak peduli, itulah yang membuatnya frustasi."Aku temenin minum ya, Pak," ujar seorang wanita muda dengan suara manja. Pemandu karaoke itu sedari tadi memang memperhatikan Indra, yang lebih asyik dengan dunianya sendiri.Indra menepis tangan wanita muda tersebut, setelah itu mengisyaratkan agar dia menjauh. Indra benar-benar tak ingin diganggu. Wanita muda bernama Ratu itu mendengkus kesal karena ditolak, tapi dia tak bisa berbuat apa-apa."Ayo Pak In, kita senang-senang. Bukannya tujuan kita kesini untuk itu?" Temannya yang sudah semp
"Papa kenapa, Ma?" tanya Muti. Tatapannya jauh mengikuti laju mobil lelaki yang telah mengukir jiwanya tersebut."Em, mungkin papa melupakan sesuatu, Sayang.""Padahal kita sudah membatalkan acara dengan Citra demi Papa, tapi Kenapa Papa pergi begitu saja." Muti sangat kecewa dengan sikap papanya "Mama telpon pa-pa dulu ya." Setelah berucap Yulis pun menghubungi suaminya tersebut. "Ada apa?" tanya Indra setelah mengangkat panggilan."Mas, kenapa balik? Muti udah menunggu dari tadi.""Pergi saja dengan lelaki itu, kalian terlihat serasi dan bahagia," sahut Indra. Namun, dia hanya berani mengatakan semua itu dalam hati."Ada rapat mendadak," sahutnya dengan suara datar. "Nanti kalian pulang sendiri. Aku mungkin sampai larut," imbuhnya, setelah itu Indra memutuskan panggilannya. Yulis menghela napasnya lagi, rasanya lebih muda menghadapi emak-emak yang suka menawar dagangannya dari pada mengahadapi sikap suaminya itu.
Toko Yulis terlihat ramai, lalu lalang pembeli dan karyawan menjadi pemandangan yang menyenangkan bagi wanita bertubuh ramping itu. Yulis melambaikan tangan pada Afif dan Maya yang berada di dalam toko setelah gocar yang dipesannya kembali melaju. Setelah itu Yulis melanjutkan langkahnya menuju rumah untuk berganti pakaian. Muti dan Citra mengikutinya tanpa protes. Kedua gadis kecil itu berjalan riang di belakangnya.Wanita pemilik nama lengkap Yulistiana itu memelankan langkahnya yang hampir sampai di teras saat mendengar ponselnya berdering. Yulis mengamati sekilas layar ponselnya yang berkedip, kemudian segera menggeser ke atas ikon ganggang telepon yang bergetar."Assalamualaikum, Pak Wan," sapa Yulis setelah panggilan tersambung."Waalaikumussalam, Dek Yul. Apa acaranya sudah selesai?" tanya papanya Citra tersebut."Sudah, Pak Wan. Maaf ya, ini Citra tak ajak ke rumah Merakurak," sahut Yulis."