"Papa kenapa, Ma?" tanya Muti. Tatapannya jauh mengikuti laju mobil lelaki yang telah mengukir jiwanya tersebut.
"Em, mungkin papa melupakan sesuatu, Sayang.""Padahal kita sudah membatalkan acara dengan Citra demi Papa, tapi Kenapa Papa pergi begitu saja." Muti sangat kecewa dengan sikap papanya"Mama telpon pa-pa dulu ya." Setelah berucap Yulis pun menghubungi suaminya tersebut."Ada apa?" tanya Indra setelah mengangkat panggilan."Mas, kenapa balik? Muti udah menunggu dari tadi.""Pergi saja dengan lelaki itu, kalian terlihat serasi dan bahagia," sahut Indra. Namun, dia hanya berani mengatakan semua itu dalam hati."Ada rapat mendadak," sahutnya dengan suara datar. "Nanti kalian pulang sendiri. Aku mungkin sampai larut," imbuhnya, setelah itu Indra memutuskan panggilannya. Yulis menghela napasnya lagi, rasanya lebih muda menghadapi emak-emak yang suka menawar dagangannya dari pada mengahadapi sikap suaminya itu.Hingar bingar ruangan kedap suara itu sama sekali tak mengusiknya. Pikirannya benar-benar sedang kacau. Indra beranggapan bahwa takdir benar-benar mempermainkannya. Dulu dia sama sekali tidak tertarik dengan Yulis, dia menikahi wanita itu hanya demi Mutiara, tapi wanita itu memperlakukannya sebagai suami, patuh dan melayaninya. Walaupun tidak dengan urusan ranjang. Kini setelah Indra mulai menyukainya, Yulis malah bersikap tidak peduli, itulah yang membuatnya frustasi."Aku temenin minum ya, Pak," ujar seorang wanita muda dengan suara manja. Pemandu karaoke itu sedari tadi memang memperhatikan Indra, yang lebih asyik dengan dunianya sendiri.Indra menepis tangan wanita muda tersebut, setelah itu mengisyaratkan agar dia menjauh. Indra benar-benar tak ingin diganggu. Wanita muda bernama Ratu itu mendengkus kesal karena ditolak, tapi dia tak bisa berbuat apa-apa."Ayo Pak In, kita senang-senang. Bukannya tujuan kita kesini untuk itu?" Temannya yang sudah semp
"Aku ingin membicarakan sesuatu," ucap Indra menghentikan gerakan Yulis yang tengah menyendok nasi goreng di wajan untuk diletakkan di piring."Sarapan dulu, Pak In," sahut Yulis tanpa menoleh. Ia meneruskan kegiatannya menyiapkan sarapan untuk sang suami. Yulis berusaha bersikap biasa saja, walaupun sangat kecewa dengan sikap Indra semalam. Indra berhak melakukannya, tetapi caranya yang membuat Yulis kurang suka.Indra menghela napas untuk mengurangi kegugupan di hatinya, sambil terus memperhatikan punggung ramping istrinya yang belum pernah sekalipun dipeluk olehnya.Tak butuh waktu lama, sepiring nasi goreng sudah tersaji di depan Indra beserta segelas air putih."Sedekat–" "Makan dulu, Pak In," sela Yulis. Lagi-lagi wanita itu mengatakannya tanpa melihat suaminya. Setelah itu suasana kembali hening, hanya denting sendok dan piring yang terdengar memenuhi ruangan. "Alhamdulillah," ucap Yulis den
"Kami dari rumah tahanan, ingin memberi kabar pada ibu bahwa tahanan yang bernama Mira telah meninggal dunia. Selain Ibu, apa ada nomor keluarganya bisa dihubungi?""Innalilahi wa innailaihi rojiun," ucap Yulis spontan. Sesaat kemudian dia tertegun. Seraut wajah yang dulu sangat disayanginya langsung hadir dalam kilasan ingatannya. Spontan nulis menutup mulutnya yang ternganga. Bagaimanapun juga Mira pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya."Mohon maaf, Pak. Saya sudah tidak lagi berhubungan dengan saudari Mira, tapi, saya tahu di mana alamat orangtuanya. Nanti saya kirim alamatnya aja ya, Pak. Mohon maaf, hanya itu yang bisa saya bantu.""Terima kasih Bu. Kami kesulitan mencari keluarganya. Rumah yang dulu ditempati sekarang sudah atas nama orang lain."Panggilan pun terputus, Yulis tak langsung menyimpan benda pintarnya terbaru. Setelah mengirim alamat orang tua Mira, wanita bermata bulat itu menghubungi Afif.
Perlahan Indra membaringkan tubuh Yulis, seolah wanita itu adalah barang berharga yang harus dengan hati-hati memperlakukannya. Yulis segera beringsut setelah terlepas dari rengkuhan Indra. Wanita penyuka kopi tanpa gula itu terlihat kesal."Maaf, tadi kamu ketiduran di ayunan. Aku khawatir kamu masuk angin, jadi berinisiatif untuk memindahkanmu ke kamar," ucap Indra tanpa ekspresi. Yulis masih termangu, antara malu, senang, kesal dan tak mengerti dengan perubahan sikap Indra yang tiba-tiba."Tadi Muti telepon pakai nomor Ridwan. Ia ikut Omnya itu ke kampung air. Kamu istirahat saja. Biar aku yang menjemputnya," imbuh Indra, setelah itu dia langsung beranjak.Lagi-lagi Yulis dibuat terbengong, ia semakin tak mengerti, kedua alisnya bertaut memikirkan sebenarnya apa yang terjadi dengan suaminya tersebut."Aku ikut!" Setelah beberapa saat tercengang, Yulis segera menyusul Indra yang hampir meraih ganggang pintu.
Mendengar penuturan Yulis, perlahan Indra menelan ludahnya. Lelaki itu takut jika sesuatu terjadi padanya karena sudah menyakiti hati istrinya tersebut."Apa kamu mau turun?" Tanyanya kemudian. Indra sendiri bingung mengapa dia menawarkan hal itu kepada Yulis."Maksudku, apa kamu mau menemuinya. Bicara apa gitu atau menanyakan apa gitu?""Sebaiknya gak usah Pak In. Karena aku dan dia sudah menjadi orang asing," sahut Yulis mantap."Baiklah kalau begitu kita lanjutkan perjalanan." Indra pun membunyikan klakson agar lelaki yang kata Yulis mantan suaminya itu menyingkir.Setelah beberapa saat kendaraan melaju, Indra kembali bertanya pada Yulis. "Bener nggak mau turun di toko aja, biar aku yang nyusul anak-anak ke kampung air."Yulis tak lagi menjawab, wanita penyuka warna kalem itu malah membuang pandangannya keluar jendela dia benar-benar gerah dengan sikap Indra yang tak seperti biasanya. Yulis merasa
"Baiklah, Sayang. Yuk, mandi dan ganti baju dulu," ajak Ridwan. Lelaki itu merasa tak enak hati dengan ucapan putrinya. Dia khawatir Indra salah paham, tapi juga sadar jika sekarang bukan saat yang tepat untuk menjelaskan pada mantan iparnya tersebut.Citra menatap Yulis, biasanya wanita berjilbab itu yang melakukannya. Namun, melihat Yulis diam saja, bocah berambut lurus itu juga tak berani meminta. Citra benar-benar kesal pada pakdenya, yang menurutnya sudah merusak suasana. "Aku juga udahan, Ma," ucap Mutiara."Ayo, mandi dan ganti bajunya sama papa," sahut Indra. Seketika pandangan kedua wanita berbeda generasi itu tertuju pada lelaki yang sudah berdiri dari duduknya.Sesaat kemudian Mutiara tertawa. "Gak mau, sama Mama aja. Malu lah kalau ganti baju sama Papa.""Nah itu si Citra gak malu sama papanya""Beda, Pa. Kan Citra udah gak punya mama. Palingan Om Wan cuma nungguin di luar. Biasanya kan
"Ke Jati Wangi kayak kemarin itu, terus ke Pelang, terus ke kampung air. Udah itu aja, Pa. Kenapa sih Papa nanya-nanya. Biasanya juga gak gitu." Mutiara mulai sewot, tetapi sebenarnya gadis kecil itu sangat bahagia karena baru kali ini papanya mengajaknya bicara cukup lama.Yulis mengulum senyum mendengar nada protes dari Mutiara."Papa kan ingin tahu, Kak. Karena setelah ini, papa akan berusaha menemani Kakak dan Mama kemanapun kalian mau," sahut Indra. Sontak hal itu membuat manik bening Mutiara berbinar."Jadi Papa gak kerja dong. Nanti dapat uangnya dari mana?" Yulis sampai tak percaya Mutiara akan berkata seperti itu. Dia benar-benar tahu apa yang dirasakan putrinya sambungnya tersebut."Kan Mama punya toko," canda Indra sambil tertawa."Jangan lah, Pa. Itu kan punya Mama.""Terus?""Ya Papa tetap kerja, kalau hari libur kita jalan-jalan. Gitu, Pa.""Pi
"Gugurkan saja kandunganmu!"Yulis menghentikan langkah ketika melintas di depan kamar putrinya. Dahi wanita tiga puluh tujuh tahun itu berkerut. Heran. "Menggugurkan kandungan? Siapa yang hamil?" batinnya penuh tanya. Wanita pemilik alis bak semut berbaris itu pun mendekat untuk memperjelas pendengarannya."Gila kamu, Mas! Pokoknya aku gak akan menggugurkan kandungan ini. Aku gak mau tahu ya. Secepatnya kamu harus menceraikan wanita tua itu lalu mengusirnya dari rumah ini!" Suara Mira–putrinya, membuat Yulis membeku. Antara percaya dan tidak, bahkan untuk sepersekian detik wanita pemilik bibir tipis itu lupa untuk bernapas."Sabarlah, Sayang. Sebentar lagi, nanti setelah semua harta beralih atas namaku. Aku pasti akan menceraikan dan mengusirnya dari sini," balas seorang lelaki yang diyakini Yulis adalah suara Bagas—suaminya. Tubuh perempuan bermata bulat itu lemas, tulang-tulangnya serasa dicabut paksa oleh keterkejutan. "Tapi, kapan, Mas! Kapan? Sampai perutku membesar?! Atau kamu