Afif keluar ditemani oleh beberapa orang yang tadi ikut masuk, lelaki itu nampak serius saat sedang berbicara di telepon. Namun, ada sedikit kelegaan di raut wajahnya."Bude tak ada di dalam, Bu," ucap Afif dengan napas tersengal."Tak ada di dalam? Terus di mana Budemu itu, Fif?! Ya Allah ... Yulis!" Rindu kembali berteriak sambil menangis."Semalam Bu Yulis pergi dengan seseorang, Bu," ujar seseorang yang baru datang ke tempat itu. Semua mata pun tertuju padanya, kemudian meluncurlah cerita dari orang yang tadi malam menjadi petugas ronda tersebut. Setelah itu kembali mengalir cerita dari beberapa orang yang mencurigai jika mobil yang terparkir di pinggir jalan tadi milik Bagas.**Yulis mengurai pelukannya setelah mendengar ponselnya berdering. "Bunda angkat telepon dulu ya, Nak," ucapnya pada Muti. Gadis kecil itu mengangguk."Innalilahi, baiklah, Fif," ucapnya setelah mendengar keponakannya bercerita di ujung telepon. Setelah mengucapkan salam Yulis pun memutuskan panggilan. Yul
Harapan besar dari ibunya membuat Indra bimbang. Namun, dia tak kuasa untuk mengatakan jika dia tidak bisa menerima Yulis dengan mudah. Saat ini di hatinya sudah terukir nama seseorang.Dokter sudah selesai memeriksa Muti, lelaki berkacamata itu sedikit keheranan melihat kondisi pasiennya yang berbalik seratus delapan puluh derajat. Namum, dokter itu percaya jika cinta adalah penawar segala luka dan duka. Gadis bermata bulat itu kegirangan setelah dinyatakan sembuh dan sudah boleh pulang.Sejak keluar dari kamar tempatnya dirawat, Muti tak mau berpisah dengan Yulis, gadis berlesung pipi itu tak mau turun dari gendongan Yulis, walaupun ayahnya berkali-kali membujuknya.Hari sudah beranjak siang ketika Yulis sampai di rumahnya. Masih ada beberapa orang yang berada di bangunan yang sudah diberi garis berwarna kuning itu. Ada juga beberapa polisi yang bertugas menangani kasus tersebut.Yulis turun dari mobil bersama dengan Muti. Gadis empat tahun itu terus saja bergelayut di dalam gendong
"Bude." Afif mendekati Yulis, keningnya berkerut ketika melihat gadis yang bergelayut di gendongan wanita yang sudah dianggapnya ibu itu.Sementara Indra yang beru sampai di antara mereka, mengambil bangku yang ada teras, kemudian mempersilahkan Yulis untuk duduk. Indra sadar jika Yulis sudah kepayahan karena sedari tadi menggendong putrinya. "Duduk di sini dulu, biar tanganmu gak begitu capek," pintanya pada wanita bermata bulat tersebut. Yulis tertegun. Sementara Rahayu mengusap sudut matanya ketika melihat pemandangan itu."Terima kasih, Pak In—""Papa, Bunda. Papa." Kembali Muti memotong ucapan Yulis setelah itu dia kembali menyembunyikan wajahnya di leher Yulis. Takut pada Indra."Oke, Sayang. Maaf ya, mama masih suka lupa," sahutnya. Afif yang menyaksikan hal tersebut pun bertanya-tanya. Namun, dia sadar jika sekarang bukan saat yang tepat untuk meminta penjelasan.Lelaki muda itu kembali mendekati Yulis. "Aku sudah lapor polisi, Bude. Beberapa saksi mengatakan kalau sebelum kej
"Bu." Indra mendekati ibunya. Wanita bermata teduh itu menatap putranya. "Nikahi Yulis, ini adalah permintaan terakhir ibu," ucap Rahayu yang hampir mirip dengan sebuah bisikan. Indra lemas, bagaimana bisa ibunya berpikir sejauh itu. Wanita yang rambutnya sudah memutih itu benar-benar tahu kelemahan putranya. Indar takkan bisa menolak keinginannya. Melihat putranya kebingungan, Rahayu tersenyum penuh kelegaan. Begitu juga dengan Yulis dia benar-benar terkejut mendengar ucapan wanita senja tersebut.Mendengar ucapan neneknya, Muti langsung mengangkat kepalanya yang sedari tadi bersandar di bahu Yulis. "Iya, Mama. Tinggal di rumah Muti aja." Gadis kecil itu kegirangan. Berbanding terbalik dengan perasaan Yulis, yang tak mungkin menerima tawaran Muti, tetapi dia juga khawatir dengan kondisi gadis itu jika dia menolak keinginannya."Bu Yulis, ikutlah dengan kami. Setidaknya sampai rumahnya selesai diperbaiki, juga demi Muti," pinta Rahayu memohon. Wanita senja itu tak ingin melihat cucun
"Ini gara-gara perempuan mandul itu, kurang aj ar! Aku harus melenyapkannya!" Teriaknya di sela-sela napasnya yang memburu.Turun dari mobil yang membawanya, Mira kembali berontak, bahkan dia sempat menendang petugas yang mengawalnya."Mana Mas Bagas! Mas Bagas! Lepaskan aku dari sini!" Mira berteriak seperti kesetan*n.Kesabaran petugas mulai menipis, dengan kasar akhirnya Mira dibawa masuk ke dalam.Sementara dikediamannya, Bagas mondar-mandir tak tentu arah, lelaki itu menyesali kecerobohan Mira. Berkali-kali dia menendang apa saja yang ada di dekatnya."Kamu gegabah Mira! Hah!" Dia pun kembali berteriak. Bagas berusaha menghubungi beberapa orang yang dikenalnya ketika berada di dalam rotan dulu. Berharap ada yang bisa membantu dan memberikan solusi."Dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, jika karena perbuatan itu timbul bahaya bagi nyawa orang lain, dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun." Keterangan y
Bagas berdiri tepat di depan Afif, lelaki muda itu tak gentar. Dia juga berdiri tegap menyambut Bagas. "Masih berani kamu kesini?" Dengan tegas Afif berkata pada Bagas."Hei bocah! Mana Budemu?! Kalau sampai dia tak mencabut tuntutannya, maka akan kupastikan hidupnya akan menderita," geramnya mengancam."Tanpa menuntut, si Mira itu juga pasti akan masuk penjara. Bukti sudah ada di tangan polisi, jadi kalian sudah tidak bisa berbuat apa-apa." Afif hendak beranjak. Namun, dia urungkan karena masih ada yang harus dikatakan olehnya."Kalau tujuanmu ke sini untuk mengancam Bude, lebih kamu urungkan itu, karena itu akan membuat hidupmu sendiri yang menderita. Ingat itu lelaki yang tak tahu diuntung!""Dasar bocah!" Afif tersungkur karena tak siap menerima serangan dari Bagas yang tiba-tiba.Afif berbalik, tangannya yang kekar menghantam tepat di wajah Bagas."Ini untuk rasa sakit yang kau berikan pada Budeku," ucapnya ketika kedua kalinya dia melempar pukulan."Dan ini untuk harta yang suda
"Afif!" jerit Rindu. "Ya Allah anakku! Mana yang sakit, Nak? Mana? Bilang sama ibu!" teriaknya panik. Afif pasrah ketika ibunya memeriksa setiap lukanya, lelaki itu hanya meringis menahan nyeri, ketika tak sengaja Rindu memegang lukanya yang sudah di perban."Ya Allah, Yank." Maya langsung bersimpuh di sebelah suaminya, jari-jari tangannya mengelus pipi Afif, ibu muda semakin terisak melihat kondisi suaminya."Ini gak bisa dibiarkan, Lis. Bagas harus dikasih pelajaran!" geram Rindu. Sesaat suasana menjadi hening, mereka semua diam sibuk dengan pikiran masing-masing."Setelah ini, biar Nak Yulis tinggal di rumah kami. Aku khawatir, laki-laki itu kembali berbuat nekat." Rahayu memberanikan diri mengutarakan isi pikirannya."Untuk tempat tinggal sementara, Yulis bisa tinggal dengan kami, Bu. Anda gak usah khawatir," sahut Rindu. Jawaban ibunya Afif itu membuat Muti murung. Gadis kecil itu menunduk, menyembunyikan kekecewaannya. Kemudian melangkah mendekati Yulis."Mama ikut Muti ya? Di s
Setelah pulang dari lapas, Bagas langsung mencari pengacara yang bisa membantunya melepaskan sang istri. Dia menemui seorang pengacara yang dikenalnya ketika menjalani hukuman."Bagaimana pun caranya, tolong anda bantu saya untuk membebaskan istri saya, Pak," ucap Bagas pada seorang pengacara yang diminta untuk menangani kasus istri mudanya."Baiklah, Pak Bagas. Nanti akan saya usahakan," sahut pria berjas itu."Tolong ya, Pak. Berapa pun biayanya asal Mira bisa bebas." Bagas sungguh berharap pada pria yang katanya sering memenangkan kasus tersebut."Setelah menelisik kasus ini, sepertinya agak berat untuk bisa bebas, Pak. Saksi ada, bukti juga ada. Kalau pun bisa, mungkin hanya meringankan hukuman saja," kata si pengacara."Ya diusahakan lah, Pak. Apa gunanya anda sebagai pengacara kalau gak bisa memenangkan kasus!" Bagas sudah hilang kendali, ketika beberapa pengacara yang didatanginya tidak bisa menjanjikan kebebasan untuk Mira."Kan bisa buat bukti palsu atau apalah agar klien bis