"Ini gara-gara perempuan mandul itu, kurang aj ar! Aku harus melenyapkannya!" Teriaknya di sela-sela napasnya yang memburu.Turun dari mobil yang membawanya, Mira kembali berontak, bahkan dia sempat menendang petugas yang mengawalnya."Mana Mas Bagas! Mas Bagas! Lepaskan aku dari sini!" Mira berteriak seperti kesetan*n.Kesabaran petugas mulai menipis, dengan kasar akhirnya Mira dibawa masuk ke dalam.Sementara dikediamannya, Bagas mondar-mandir tak tentu arah, lelaki itu menyesali kecerobohan Mira. Berkali-kali dia menendang apa saja yang ada di dekatnya."Kamu gegabah Mira! Hah!" Dia pun kembali berteriak. Bagas berusaha menghubungi beberapa orang yang dikenalnya ketika berada di dalam rotan dulu. Berharap ada yang bisa membantu dan memberikan solusi."Dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, jika karena perbuatan itu timbul bahaya bagi nyawa orang lain, dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun." Keterangan y
Bagas berdiri tepat di depan Afif, lelaki muda itu tak gentar. Dia juga berdiri tegap menyambut Bagas. "Masih berani kamu kesini?" Dengan tegas Afif berkata pada Bagas."Hei bocah! Mana Budemu?! Kalau sampai dia tak mencabut tuntutannya, maka akan kupastikan hidupnya akan menderita," geramnya mengancam."Tanpa menuntut, si Mira itu juga pasti akan masuk penjara. Bukti sudah ada di tangan polisi, jadi kalian sudah tidak bisa berbuat apa-apa." Afif hendak beranjak. Namun, dia urungkan karena masih ada yang harus dikatakan olehnya."Kalau tujuanmu ke sini untuk mengancam Bude, lebih kamu urungkan itu, karena itu akan membuat hidupmu sendiri yang menderita. Ingat itu lelaki yang tak tahu diuntung!""Dasar bocah!" Afif tersungkur karena tak siap menerima serangan dari Bagas yang tiba-tiba.Afif berbalik, tangannya yang kekar menghantam tepat di wajah Bagas."Ini untuk rasa sakit yang kau berikan pada Budeku," ucapnya ketika kedua kalinya dia melempar pukulan."Dan ini untuk harta yang suda
"Afif!" jerit Rindu. "Ya Allah anakku! Mana yang sakit, Nak? Mana? Bilang sama ibu!" teriaknya panik. Afif pasrah ketika ibunya memeriksa setiap lukanya, lelaki itu hanya meringis menahan nyeri, ketika tak sengaja Rindu memegang lukanya yang sudah di perban."Ya Allah, Yank." Maya langsung bersimpuh di sebelah suaminya, jari-jari tangannya mengelus pipi Afif, ibu muda semakin terisak melihat kondisi suaminya."Ini gak bisa dibiarkan, Lis. Bagas harus dikasih pelajaran!" geram Rindu. Sesaat suasana menjadi hening, mereka semua diam sibuk dengan pikiran masing-masing."Setelah ini, biar Nak Yulis tinggal di rumah kami. Aku khawatir, laki-laki itu kembali berbuat nekat." Rahayu memberanikan diri mengutarakan isi pikirannya."Untuk tempat tinggal sementara, Yulis bisa tinggal dengan kami, Bu. Anda gak usah khawatir," sahut Rindu. Jawaban ibunya Afif itu membuat Muti murung. Gadis kecil itu menunduk, menyembunyikan kekecewaannya. Kemudian melangkah mendekati Yulis."Mama ikut Muti ya? Di s
Setelah pulang dari lapas, Bagas langsung mencari pengacara yang bisa membantunya melepaskan sang istri. Dia menemui seorang pengacara yang dikenalnya ketika menjalani hukuman."Bagaimana pun caranya, tolong anda bantu saya untuk membebaskan istri saya, Pak," ucap Bagas pada seorang pengacara yang diminta untuk menangani kasus istri mudanya."Baiklah, Pak Bagas. Nanti akan saya usahakan," sahut pria berjas itu."Tolong ya, Pak. Berapa pun biayanya asal Mira bisa bebas." Bagas sungguh berharap pada pria yang katanya sering memenangkan kasus tersebut."Setelah menelisik kasus ini, sepertinya agak berat untuk bisa bebas, Pak. Saksi ada, bukti juga ada. Kalau pun bisa, mungkin hanya meringankan hukuman saja," kata si pengacara."Ya diusahakan lah, Pak. Apa gunanya anda sebagai pengacara kalau gak bisa memenangkan kasus!" Bagas sudah hilang kendali, ketika beberapa pengacara yang didatanginya tidak bisa menjanjikan kebebasan untuk Mira."Kan bisa buat bukti palsu atau apalah agar klien bis
Rindu sangat senang menyambut kedatangan Yulis dan Muti. Begitu juga dengan Aufar, bocah berambut ikal itu sangat senang bertemu dengan Muti.Obrolan santai menjadi jadwal selanjutnya setelah mereka selesai makan malam. Sedangkan Si kecil sibuk bermain bersama hingga mereka terlelap saking capeknya.Kini tinggal para orang dewasa yang sedang mengobrol hangat, sungguh keluarga yang sempurna. Indra sedang berbincang dengan Herman. Sedangkan Yulis dan Rindu asyik ngerumpi sambil selonjoran di karpet."Sampai kapan kamu akan seperti ini? Mintalah kejelasan padanya, Yul. Mau tunggu apa lagi?" "Apaan sih, Rin. Kami itu sama sekali gak ada apa-apa. Main minta kejelasan saja. Aku memang sangat menyayangi Muti, tapi tidak dengan bapaknya," sahut wanita yang usianya sudag tak mudah lagi itu.Yulis sadar, jika tidak baik bila dia terlalu dekat dengan keluarga Indra tanpa ikatan yang jelas. Jika saja bukan karena Muti. Mungkin dia akan menjauh.
"Mungkin ini adalah waktu yang tidak tepat, tapi aku harus mengatakannya. Maukah Ibu Yulis menjadi mamanya Muti seutuhnya?" tanya Indra.Rindu yang kebetulan ada di rumah Yulis sampai menutup mulutnya saking terkejutnya. Sementara Yulis kelihatan shock, hingga tak bisa langsung menjawab."Tapi, semua itu aku kembalikan lagi pada Bu Yulis. Namun, aku berharap dan sangat berharap agar Bu Yulis mau menerimanya," lanjut Indra. Yulis masih bungkam."Pak Indra serius?" Rindu yang sudah bisa menguasai dirinya mulai bertanya."Tentu saja aku serius. Saat ini juga aku siap jika harus ke KUA," jawab Indra penuh keyakinan.Rindu meraih Yulis ke dalam pelukannya, sepupunya sudah menangis lirih. "Kamu itu dilamar orang kok malah nangis?" tanya Rindu, dia tersenyum kemudian ikut menangis. Yulis kembali menunduk. Kejadian itu benar-benar di luar dugaan. Rindu meraih wajah sepupunya, mengangkatnya sampai sejajar dengan wajahnya."Kamu
Rahayu benar-benar meminta maaf pada menantunya. Wanita senja itu merasa tak enak hati atas sikap putranya. Yulis menjelaskan kalau dia tidak apa-apa. Berhubung Indra juga langsung kerja, sehari setelah pernikahannya, Yulis juga sudah membuka tokonya.Ini adalah hari keempat Yulis menjadi ibu sambung bagi Muti. Sebuah status baru telah disandangnya. Namun, tak ada yang berbeda dari hari-hari sebelumnya, karena sebelum dinikahi oleh Indra, dia sudah memperlakukan Muti seperti anaknya sendiri, pun dengan Rahayu yang sudah dianggapnya sebagai ibu."Mama ...." Muti datang bersama dengan Maya dan Aufar. Gadis kecil itu berjalan tergesa menghampiri Yulis."Hai, Sayang. Wah putri mama udah cantik. Siapa yang mandiin?" tanya Yulis setelah Muti sudah berada dalam pangkuannya."Sama Mbak Maya, Ma. Tadi aku mandi busa loh. Setelah itu kita makan mie yang warnanya ijo, enak banget," jawabnya penuh semangat."Wah, pasti seru." Yuli
"Eh, Pak In ...." Yulis gelapan. Wanita itu membenarkan letak duduknya."Kamu takut satu kamar denganku?" Lagi Indra bertanya. Membuat Yulis semakin gugup."Bukan begitu, Pak In. Aku—" Yulis tak bisa melanjutkan ucapannya. Wanita berbadan ramping itu bingung harus bilang apa."Pergilah ke kamar, aku akan tidur di kamar lainnya," ucap Indra. Tanpa menunggu jawaban, lelaki yang perutnya sedikit membuncit itu beranjak meninggalkan Yulis dalam kebingungan. Ditatapnya punggung lelaki yang sudah menghalalkannya itu sampai menghilang di balik pintu. Setelah beberapa termangu Yulis pun bangkit, kemudian melangkah ke kamar dengan perasaan tak menentu. Wanita penyuka warna kalem itu tak menyangka akan mendapatkan kejutan yang luar biasa di malam pertama ketika serumah dengan suaminya. Empat hari penantian setelah ijab qobul, berakhir dengan rasa kecewa. Dalam kamar yang cukup besar itu Yulis tak bisa memejamkan matanya, wanita itu memikirkan bany