"Mungkin ini adalah waktu yang tidak tepat, tapi aku harus mengatakannya. Maukah Ibu Yulis menjadi mamanya Muti seutuhnya?" tanya Indra.
Rindu yang kebetulan ada di rumah Yulis sampai menutup mulutnya saking terkejutnya. Sementara Yulis kelihatan shock, hingga tak bisa langsung menjawab."Tapi, semua itu aku kembalikan lagi pada Bu Yulis. Namun, aku berharap dan sangat berharap agar Bu Yulis mau menerimanya," lanjut Indra. Yulis masih bungkam."Pak Indra serius?" Rindu yang sudah bisa menguasai dirinya mulai bertanya."Tentu saja aku serius. Saat ini juga aku siap jika harus ke KUA," jawab Indra penuh keyakinan.Rindu meraih Yulis ke dalam pelukannya, sepupunya sudah menangis lirih."Kamu itu dilamar orang kok malah nangis?" tanya Rindu, dia tersenyum kemudian ikut menangis. Yulis kembali menunduk. Kejadian itu benar-benar di luar dugaan. Rindu meraih wajah sepupunya, mengangkatnya sampai sejajar dengan wajahnya."KamuRahayu benar-benar meminta maaf pada menantunya. Wanita senja itu merasa tak enak hati atas sikap putranya. Yulis menjelaskan kalau dia tidak apa-apa. Berhubung Indra juga langsung kerja, sehari setelah pernikahannya, Yulis juga sudah membuka tokonya.Ini adalah hari keempat Yulis menjadi ibu sambung bagi Muti. Sebuah status baru telah disandangnya. Namun, tak ada yang berbeda dari hari-hari sebelumnya, karena sebelum dinikahi oleh Indra, dia sudah memperlakukan Muti seperti anaknya sendiri, pun dengan Rahayu yang sudah dianggapnya sebagai ibu."Mama ...." Muti datang bersama dengan Maya dan Aufar. Gadis kecil itu berjalan tergesa menghampiri Yulis."Hai, Sayang. Wah putri mama udah cantik. Siapa yang mandiin?" tanya Yulis setelah Muti sudah berada dalam pangkuannya."Sama Mbak Maya, Ma. Tadi aku mandi busa loh. Setelah itu kita makan mie yang warnanya ijo, enak banget," jawabnya penuh semangat."Wah, pasti seru." Yuli
"Eh, Pak In ...." Yulis gelapan. Wanita itu membenarkan letak duduknya."Kamu takut satu kamar denganku?" Lagi Indra bertanya. Membuat Yulis semakin gugup."Bukan begitu, Pak In. Aku—" Yulis tak bisa melanjutkan ucapannya. Wanita berbadan ramping itu bingung harus bilang apa."Pergilah ke kamar, aku akan tidur di kamar lainnya," ucap Indra. Tanpa menunggu jawaban, lelaki yang perutnya sedikit membuncit itu beranjak meninggalkan Yulis dalam kebingungan. Ditatapnya punggung lelaki yang sudah menghalalkannya itu sampai menghilang di balik pintu. Setelah beberapa termangu Yulis pun bangkit, kemudian melangkah ke kamar dengan perasaan tak menentu. Wanita penyuka warna kalem itu tak menyangka akan mendapatkan kejutan yang luar biasa di malam pertama ketika serumah dengan suaminya. Empat hari penantian setelah ijab qobul, berakhir dengan rasa kecewa. Dalam kamar yang cukup besar itu Yulis tak bisa memejamkan matanya, wanita itu memikirkan bany
Sampai menginjak bulan keenam pernikahan mereka. Indra sama sekali tak menyentuh Yulis. Beruntung wanita penyuka kopi itu sangat pandai menyembunyikan luka batinnya. Wanita itu selalu berusah terlihat baik-baik saja. Hingga semua keluarga menganggapnya sudah bahagia.Hubungan Yulis dan Indra semakin berjarak. Sayangnya tidak ada yang menyadari hal itu. Yulis sangat pandai memerankan perannya. Di mata keluarga dia adalah istri yang baik. Wanita itu tetap melayani Indra, menyiapkan semua keperluan Indra demi lancarnya sebuah sandiwara. Jika Yulis sudah bisa menikmati jalan hidupnya, berbeda dengan Indra. Ada yang berbeda dari sorot mata elangnya ketika menatap istrinya. Namun, egonya melarang untuk mengakuinya.**Atas pemberitahuan petugas panti, nasi kotak yang biasanya dibagikan oleh Yulis di hari Jumat, diundur ke hari Minggu. Kata mereka hari itu ada seorang yang mengadakan acara di panti, jadi dari pada mubazir pihak panti meminta Yulis
"Bapak kenapa?" tanya Rini penuh perhatian. "Pak." Suara Rini dibuat selembut mungkin, tetapi penuh gairah. Seseorang telah berdiri terpaku melihat pandangan di atas sofa ruang keluarga. Bibirnya bergetar ketika ingin menyebut nama Indra."Ya Allah, Indra!" seru Rahayu dengan sisa-sisa tenaganya. Wanita senja itu benar-benar tak menyangka melihat kejadian yang sangat menjijikkan di depan matanya.Tak hanya Indra dan Rini yang terkejut. Yulis yang sedang memarkirkan sepedanya di halaman juga bergegas ke asal suara. Wanita yang tengah memakai kulot plisket itu khawatir terjadi sesuatu pada mertuanya.Rini segera turun dari pangkuan Indra, kemudian membetulkan kancing bajunya yang berantakan. Untuk sesaat Indra tertegun, lelaki bertubuh agak tambun itu seakan dilempar dari fantasinya. Raut wajah tampan itu nampaknya terkejut menyadari keadaannya yang berantakan."Ibu!" Yulis segera merengkuh wanita baya yang tengah
Dunia Indra hancur seketika, lelaki berkulit putih itu menoleh, menyembunyikan kesedihannya. Sementara Yulis nampak shock, tubuh rampingnya hampir saja tersungkur, jika dia tak segera berpegangan pada tembok di sampingnya.**Kediaman Indra penuh dengan karangan bunga. Ungkapan bela sungkawa itu berjejer rapi dari pinggir jalan hingga halaman. Semua orang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. "Ma, Nenek mau pergi ke surga ya?" Muti berbisik pada Yulis sambil memperhatikan para pengurus jenazah yang tengah mengkafani jasad neneknya."Iya, Sayang," sahut Yulis dengan suara yang tak kalah lirih. Sekuat tenaga wanita pemilik alis bak semut berbaris itu menahan kesedihannya di depan sang putri."Jadi sekarang Nenek bisa bertemu dengan Bunda?" Bocah lima tahun itu kembali bertanya. Tatapan yang biasa berbinar itu nampak redup. Yulis tersentak mendengar pertanyaan Muti, tetapi wanita penyuka
"Selamat pagi, Bu Yulis. Eh, aku gak salah sebut nama kan? Wanita tua kegatelan yang langsung mau ketika dilamar lelaki yang baru beberapa bulan dikenalnya," sapa Rani sambil tersenyum meremehkan.Yulis hanya mendengar cicitan wanita muda di depannya tersebut, tanpa berniat untuk meladeninya. Masih segar diingatannya adegan yang dilakukan wanita itu dengan Indra."Aku harap kamu belum pikun, walaupun udah tua. Masih ingat aku kan? Wanita yang sudah merasakan belaian suamimu. Andai kamu bisa sadar diri, tentu saat ini aku yang menjadi nyonya di rumah ini," rancau Rani berapi-api."Silakan duduk, aku akan panggilkan Pak In," sahut Yulis dengan sikap tenang. Yulis terperangah ketika berbalik, rupanya sang suami sudah ada di belakangnya. "Berangkatlah," ucap Indra sambil menatap lekat manik kecoklatan milik Yulis. Untuk sepersekian detik wanita itu tak bisa mengalihkan tatapannya. Hingga, genggaman tangan Muti mempu menariknya dari tatapan elang sang
"Pergilah, dan jangan sampai kita bertemu lagi. Karena jika sampai itu terjadi ... aku sendiri yang akan menghabisimu!" Dengan napas terengah Indra memperingati wanita yang dulu menjadi sekretarisnya tersebut."Jangan mengancamku, Pak. Karena aku tahu bagaimana cara menghancurkanmu. Aku tahu Bapak sudah hancur karena kepergian istri dan ibu Bapak. Tentunya Bapak gak mau semakin hancur dengan kehilangan putri dan istri baru Bapak kan?"Indra menatap geram pada wanita muda yang dulu pernah dipercayainya. "Apa yang kamu inginkan?" tanya Indra tanpa basa-basi."Bapak memang jenius. Bisa tahu ada maksud lain dibalikkedatanganku ke sini. Berhubung Bapak bertanya, maka aku akan menjawabnya. Nikahi aku, Pak, agar Bapak tak kesepian lagi. Hanya itu," balas wanita muda itu penuh percaya diri."Itu takkan terjadi. Buang jauh-jauh mimpimu itu. Berapa yang kamu minta?" tanya Indra lagi."Ah, Bapak. Aku tak minta uang, aku hanya ing
Yulis menatap nanar pada beberapa foto kebersamaan Indra dan Rani yang terpampang di layar ponselnya. Yulis meraup udara sebanyak yang dia mampu untuk mengurangi sesak yang tanpa permisi telah memenuhi ruang di dadanya. Tak ada kaca-kaca di netra bulatnya, wanita berbintang Capricorn itu sudah mempersiapkan hatinya semenjak malam penolakan Indra atas hubungan mereka. "Mungkin sekarang saatnya aku harus melapaskan? Tapi, apa aku sanggup berpisah dengan Muti?" batinnya bergejolak.[Bagaimana Bu Yulis? Masih mau bertahan dengan pernikahanmu? Sungguh tak tahu malu, bagaimana bisa kamu menikah dengan lelaki yang jelas-jelas tidak mencintamu. Dasar wanita murahan!]Yulis hanya membaca pesan itu sekilas, kemudian langsung memblokir nomor tersebut, lalu menghapus semua chat yang dikirim nomor tanpa nama itu. Kembali wanita penyuka kopi itu menghela napas sebelum menyimpan ponselnya di tas, walaupun Yulis berusaha untuk mengabaikan pesan tadi, tetap
"Ke Jati Wangi kayak kemarin itu, terus ke Pelang, terus ke kampung air. Udah itu aja, Pa. Kenapa sih Papa nanya-nanya. Biasanya juga gak gitu." Mutiara mulai sewot, tetapi sebenarnya gadis kecil itu sangat bahagia karena baru kali ini papanya mengajaknya bicara cukup lama.Yulis mengulum senyum mendengar nada protes dari Mutiara."Papa kan ingin tahu, Kak. Karena setelah ini, papa akan berusaha menemani Kakak dan Mama kemanapun kalian mau," sahut Indra. Sontak hal itu membuat manik bening Mutiara berbinar."Jadi Papa gak kerja dong. Nanti dapat uangnya dari mana?" Yulis sampai tak percaya Mutiara akan berkata seperti itu. Dia benar-benar tahu apa yang dirasakan putrinya sambungnya tersebut."Kan Mama punya toko," canda Indra sambil tertawa."Jangan lah, Pa. Itu kan punya Mama.""Terus?""Ya Papa tetap kerja, kalau hari libur kita jalan-jalan. Gitu, Pa.""Pi
"Baiklah, Sayang. Yuk, mandi dan ganti baju dulu," ajak Ridwan. Lelaki itu merasa tak enak hati dengan ucapan putrinya. Dia khawatir Indra salah paham, tapi juga sadar jika sekarang bukan saat yang tepat untuk menjelaskan pada mantan iparnya tersebut.Citra menatap Yulis, biasanya wanita berjilbab itu yang melakukannya. Namun, melihat Yulis diam saja, bocah berambut lurus itu juga tak berani meminta. Citra benar-benar kesal pada pakdenya, yang menurutnya sudah merusak suasana. "Aku juga udahan, Ma," ucap Mutiara."Ayo, mandi dan ganti bajunya sama papa," sahut Indra. Seketika pandangan kedua wanita berbeda generasi itu tertuju pada lelaki yang sudah berdiri dari duduknya.Sesaat kemudian Mutiara tertawa. "Gak mau, sama Mama aja. Malu lah kalau ganti baju sama Papa.""Nah itu si Citra gak malu sama papanya""Beda, Pa. Kan Citra udah gak punya mama. Palingan Om Wan cuma nungguin di luar. Biasanya kan
Mendengar penuturan Yulis, perlahan Indra menelan ludahnya. Lelaki itu takut jika sesuatu terjadi padanya karena sudah menyakiti hati istrinya tersebut."Apa kamu mau turun?" Tanyanya kemudian. Indra sendiri bingung mengapa dia menawarkan hal itu kepada Yulis."Maksudku, apa kamu mau menemuinya. Bicara apa gitu atau menanyakan apa gitu?""Sebaiknya gak usah Pak In. Karena aku dan dia sudah menjadi orang asing," sahut Yulis mantap."Baiklah kalau begitu kita lanjutkan perjalanan." Indra pun membunyikan klakson agar lelaki yang kata Yulis mantan suaminya itu menyingkir.Setelah beberapa saat kendaraan melaju, Indra kembali bertanya pada Yulis. "Bener nggak mau turun di toko aja, biar aku yang nyusul anak-anak ke kampung air."Yulis tak lagi menjawab, wanita penyuka warna kalem itu malah membuang pandangannya keluar jendela dia benar-benar gerah dengan sikap Indra yang tak seperti biasanya. Yulis merasa
Perlahan Indra membaringkan tubuh Yulis, seolah wanita itu adalah barang berharga yang harus dengan hati-hati memperlakukannya. Yulis segera beringsut setelah terlepas dari rengkuhan Indra. Wanita penyuka kopi tanpa gula itu terlihat kesal."Maaf, tadi kamu ketiduran di ayunan. Aku khawatir kamu masuk angin, jadi berinisiatif untuk memindahkanmu ke kamar," ucap Indra tanpa ekspresi. Yulis masih termangu, antara malu, senang, kesal dan tak mengerti dengan perubahan sikap Indra yang tiba-tiba."Tadi Muti telepon pakai nomor Ridwan. Ia ikut Omnya itu ke kampung air. Kamu istirahat saja. Biar aku yang menjemputnya," imbuh Indra, setelah itu dia langsung beranjak.Lagi-lagi Yulis dibuat terbengong, ia semakin tak mengerti, kedua alisnya bertaut memikirkan sebenarnya apa yang terjadi dengan suaminya tersebut."Aku ikut!" Setelah beberapa saat tercengang, Yulis segera menyusul Indra yang hampir meraih ganggang pintu.
"Kami dari rumah tahanan, ingin memberi kabar pada ibu bahwa tahanan yang bernama Mira telah meninggal dunia. Selain Ibu, apa ada nomor keluarganya bisa dihubungi?""Innalilahi wa innailaihi rojiun," ucap Yulis spontan. Sesaat kemudian dia tertegun. Seraut wajah yang dulu sangat disayanginya langsung hadir dalam kilasan ingatannya. Spontan nulis menutup mulutnya yang ternganga. Bagaimanapun juga Mira pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya."Mohon maaf, Pak. Saya sudah tidak lagi berhubungan dengan saudari Mira, tapi, saya tahu di mana alamat orangtuanya. Nanti saya kirim alamatnya aja ya, Pak. Mohon maaf, hanya itu yang bisa saya bantu.""Terima kasih Bu. Kami kesulitan mencari keluarganya. Rumah yang dulu ditempati sekarang sudah atas nama orang lain."Panggilan pun terputus, Yulis tak langsung menyimpan benda pintarnya terbaru. Setelah mengirim alamat orang tua Mira, wanita bermata bulat itu menghubungi Afif.
"Aku ingin membicarakan sesuatu," ucap Indra menghentikan gerakan Yulis yang tengah menyendok nasi goreng di wajan untuk diletakkan di piring."Sarapan dulu, Pak In," sahut Yulis tanpa menoleh. Ia meneruskan kegiatannya menyiapkan sarapan untuk sang suami. Yulis berusaha bersikap biasa saja, walaupun sangat kecewa dengan sikap Indra semalam. Indra berhak melakukannya, tetapi caranya yang membuat Yulis kurang suka.Indra menghela napas untuk mengurangi kegugupan di hatinya, sambil terus memperhatikan punggung ramping istrinya yang belum pernah sekalipun dipeluk olehnya.Tak butuh waktu lama, sepiring nasi goreng sudah tersaji di depan Indra beserta segelas air putih."Sedekat–" "Makan dulu, Pak In," sela Yulis. Lagi-lagi wanita itu mengatakannya tanpa melihat suaminya. Setelah itu suasana kembali hening, hanya denting sendok dan piring yang terdengar memenuhi ruangan. "Alhamdulillah," ucap Yulis den
Hingar bingar ruangan kedap suara itu sama sekali tak mengusiknya. Pikirannya benar-benar sedang kacau. Indra beranggapan bahwa takdir benar-benar mempermainkannya. Dulu dia sama sekali tidak tertarik dengan Yulis, dia menikahi wanita itu hanya demi Mutiara, tapi wanita itu memperlakukannya sebagai suami, patuh dan melayaninya. Walaupun tidak dengan urusan ranjang. Kini setelah Indra mulai menyukainya, Yulis malah bersikap tidak peduli, itulah yang membuatnya frustasi."Aku temenin minum ya, Pak," ujar seorang wanita muda dengan suara manja. Pemandu karaoke itu sedari tadi memang memperhatikan Indra, yang lebih asyik dengan dunianya sendiri.Indra menepis tangan wanita muda tersebut, setelah itu mengisyaratkan agar dia menjauh. Indra benar-benar tak ingin diganggu. Wanita muda bernama Ratu itu mendengkus kesal karena ditolak, tapi dia tak bisa berbuat apa-apa."Ayo Pak In, kita senang-senang. Bukannya tujuan kita kesini untuk itu?" Temannya yang sudah semp
"Papa kenapa, Ma?" tanya Muti. Tatapannya jauh mengikuti laju mobil lelaki yang telah mengukir jiwanya tersebut."Em, mungkin papa melupakan sesuatu, Sayang.""Padahal kita sudah membatalkan acara dengan Citra demi Papa, tapi Kenapa Papa pergi begitu saja." Muti sangat kecewa dengan sikap papanya "Mama telpon pa-pa dulu ya." Setelah berucap Yulis pun menghubungi suaminya tersebut. "Ada apa?" tanya Indra setelah mengangkat panggilan."Mas, kenapa balik? Muti udah menunggu dari tadi.""Pergi saja dengan lelaki itu, kalian terlihat serasi dan bahagia," sahut Indra. Namun, dia hanya berani mengatakan semua itu dalam hati."Ada rapat mendadak," sahutnya dengan suara datar. "Nanti kalian pulang sendiri. Aku mungkin sampai larut," imbuhnya, setelah itu Indra memutuskan panggilannya. Yulis menghela napasnya lagi, rasanya lebih muda menghadapi emak-emak yang suka menawar dagangannya dari pada mengahadapi sikap suaminya itu.
Toko Yulis terlihat ramai, lalu lalang pembeli dan karyawan menjadi pemandangan yang menyenangkan bagi wanita bertubuh ramping itu. Yulis melambaikan tangan pada Afif dan Maya yang berada di dalam toko setelah gocar yang dipesannya kembali melaju. Setelah itu Yulis melanjutkan langkahnya menuju rumah untuk berganti pakaian. Muti dan Citra mengikutinya tanpa protes. Kedua gadis kecil itu berjalan riang di belakangnya.Wanita pemilik nama lengkap Yulistiana itu memelankan langkahnya yang hampir sampai di teras saat mendengar ponselnya berdering. Yulis mengamati sekilas layar ponselnya yang berkedip, kemudian segera menggeser ke atas ikon ganggang telepon yang bergetar."Assalamualaikum, Pak Wan," sapa Yulis setelah panggilan tersambung."Waalaikumussalam, Dek Yul. Apa acaranya sudah selesai?" tanya papanya Citra tersebut."Sudah, Pak Wan. Maaf ya, ini Citra tak ajak ke rumah Merakurak," sahut Yulis."