"Afif!" jerit Rindu. "Ya Allah anakku! Mana yang sakit, Nak? Mana? Bilang sama ibu!" teriaknya panik. Afif pasrah ketika ibunya memeriksa setiap lukanya, lelaki itu hanya meringis menahan nyeri, ketika tak sengaja Rindu memegang lukanya yang sudah di perban."Ya Allah, Yank." Maya langsung bersimpuh di sebelah suaminya, jari-jari tangannya mengelus pipi Afif, ibu muda semakin terisak melihat kondisi suaminya."Ini gak bisa dibiarkan, Lis. Bagas harus dikasih pelajaran!" geram Rindu. Sesaat suasana menjadi hening, mereka semua diam sibuk dengan pikiran masing-masing."Setelah ini, biar Nak Yulis tinggal di rumah kami. Aku khawatir, laki-laki itu kembali berbuat nekat." Rahayu memberanikan diri mengutarakan isi pikirannya."Untuk tempat tinggal sementara, Yulis bisa tinggal dengan kami, Bu. Anda gak usah khawatir," sahut Rindu. Jawaban ibunya Afif itu membuat Muti murung. Gadis kecil itu menunduk, menyembunyikan kekecewaannya. Kemudian melangkah mendekati Yulis."Mama ikut Muti ya? Di s
Setelah pulang dari lapas, Bagas langsung mencari pengacara yang bisa membantunya melepaskan sang istri. Dia menemui seorang pengacara yang dikenalnya ketika menjalani hukuman."Bagaimana pun caranya, tolong anda bantu saya untuk membebaskan istri saya, Pak," ucap Bagas pada seorang pengacara yang diminta untuk menangani kasus istri mudanya."Baiklah, Pak Bagas. Nanti akan saya usahakan," sahut pria berjas itu."Tolong ya, Pak. Berapa pun biayanya asal Mira bisa bebas." Bagas sungguh berharap pada pria yang katanya sering memenangkan kasus tersebut."Setelah menelisik kasus ini, sepertinya agak berat untuk bisa bebas, Pak. Saksi ada, bukti juga ada. Kalau pun bisa, mungkin hanya meringankan hukuman saja," kata si pengacara."Ya diusahakan lah, Pak. Apa gunanya anda sebagai pengacara kalau gak bisa memenangkan kasus!" Bagas sudah hilang kendali, ketika beberapa pengacara yang didatanginya tidak bisa menjanjikan kebebasan untuk Mira."Kan bisa buat bukti palsu atau apalah agar klien bis
Rindu sangat senang menyambut kedatangan Yulis dan Muti. Begitu juga dengan Aufar, bocah berambut ikal itu sangat senang bertemu dengan Muti.Obrolan santai menjadi jadwal selanjutnya setelah mereka selesai makan malam. Sedangkan Si kecil sibuk bermain bersama hingga mereka terlelap saking capeknya.Kini tinggal para orang dewasa yang sedang mengobrol hangat, sungguh keluarga yang sempurna. Indra sedang berbincang dengan Herman. Sedangkan Yulis dan Rindu asyik ngerumpi sambil selonjoran di karpet."Sampai kapan kamu akan seperti ini? Mintalah kejelasan padanya, Yul. Mau tunggu apa lagi?" "Apaan sih, Rin. Kami itu sama sekali gak ada apa-apa. Main minta kejelasan saja. Aku memang sangat menyayangi Muti, tapi tidak dengan bapaknya," sahut wanita yang usianya sudag tak mudah lagi itu.Yulis sadar, jika tidak baik bila dia terlalu dekat dengan keluarga Indra tanpa ikatan yang jelas. Jika saja bukan karena Muti. Mungkin dia akan menjauh.
"Mungkin ini adalah waktu yang tidak tepat, tapi aku harus mengatakannya. Maukah Ibu Yulis menjadi mamanya Muti seutuhnya?" tanya Indra.Rindu yang kebetulan ada di rumah Yulis sampai menutup mulutnya saking terkejutnya. Sementara Yulis kelihatan shock, hingga tak bisa langsung menjawab."Tapi, semua itu aku kembalikan lagi pada Bu Yulis. Namun, aku berharap dan sangat berharap agar Bu Yulis mau menerimanya," lanjut Indra. Yulis masih bungkam."Pak Indra serius?" Rindu yang sudah bisa menguasai dirinya mulai bertanya."Tentu saja aku serius. Saat ini juga aku siap jika harus ke KUA," jawab Indra penuh keyakinan.Rindu meraih Yulis ke dalam pelukannya, sepupunya sudah menangis lirih. "Kamu itu dilamar orang kok malah nangis?" tanya Rindu, dia tersenyum kemudian ikut menangis. Yulis kembali menunduk. Kejadian itu benar-benar di luar dugaan. Rindu meraih wajah sepupunya, mengangkatnya sampai sejajar dengan wajahnya."Kamu
Rahayu benar-benar meminta maaf pada menantunya. Wanita senja itu merasa tak enak hati atas sikap putranya. Yulis menjelaskan kalau dia tidak apa-apa. Berhubung Indra juga langsung kerja, sehari setelah pernikahannya, Yulis juga sudah membuka tokonya.Ini adalah hari keempat Yulis menjadi ibu sambung bagi Muti. Sebuah status baru telah disandangnya. Namun, tak ada yang berbeda dari hari-hari sebelumnya, karena sebelum dinikahi oleh Indra, dia sudah memperlakukan Muti seperti anaknya sendiri, pun dengan Rahayu yang sudah dianggapnya sebagai ibu."Mama ...." Muti datang bersama dengan Maya dan Aufar. Gadis kecil itu berjalan tergesa menghampiri Yulis."Hai, Sayang. Wah putri mama udah cantik. Siapa yang mandiin?" tanya Yulis setelah Muti sudah berada dalam pangkuannya."Sama Mbak Maya, Ma. Tadi aku mandi busa loh. Setelah itu kita makan mie yang warnanya ijo, enak banget," jawabnya penuh semangat."Wah, pasti seru." Yuli
"Eh, Pak In ...." Yulis gelapan. Wanita itu membenarkan letak duduknya."Kamu takut satu kamar denganku?" Lagi Indra bertanya. Membuat Yulis semakin gugup."Bukan begitu, Pak In. Aku—" Yulis tak bisa melanjutkan ucapannya. Wanita berbadan ramping itu bingung harus bilang apa."Pergilah ke kamar, aku akan tidur di kamar lainnya," ucap Indra. Tanpa menunggu jawaban, lelaki yang perutnya sedikit membuncit itu beranjak meninggalkan Yulis dalam kebingungan. Ditatapnya punggung lelaki yang sudah menghalalkannya itu sampai menghilang di balik pintu. Setelah beberapa termangu Yulis pun bangkit, kemudian melangkah ke kamar dengan perasaan tak menentu. Wanita penyuka warna kalem itu tak menyangka akan mendapatkan kejutan yang luar biasa di malam pertama ketika serumah dengan suaminya. Empat hari penantian setelah ijab qobul, berakhir dengan rasa kecewa. Dalam kamar yang cukup besar itu Yulis tak bisa memejamkan matanya, wanita itu memikirkan bany
Sampai menginjak bulan keenam pernikahan mereka. Indra sama sekali tak menyentuh Yulis. Beruntung wanita penyuka kopi itu sangat pandai menyembunyikan luka batinnya. Wanita itu selalu berusah terlihat baik-baik saja. Hingga semua keluarga menganggapnya sudah bahagia.Hubungan Yulis dan Indra semakin berjarak. Sayangnya tidak ada yang menyadari hal itu. Yulis sangat pandai memerankan perannya. Di mata keluarga dia adalah istri yang baik. Wanita itu tetap melayani Indra, menyiapkan semua keperluan Indra demi lancarnya sebuah sandiwara. Jika Yulis sudah bisa menikmati jalan hidupnya, berbeda dengan Indra. Ada yang berbeda dari sorot mata elangnya ketika menatap istrinya. Namun, egonya melarang untuk mengakuinya.**Atas pemberitahuan petugas panti, nasi kotak yang biasanya dibagikan oleh Yulis di hari Jumat, diundur ke hari Minggu. Kata mereka hari itu ada seorang yang mengadakan acara di panti, jadi dari pada mubazir pihak panti meminta Yulis
"Bapak kenapa?" tanya Rini penuh perhatian. "Pak." Suara Rini dibuat selembut mungkin, tetapi penuh gairah. Seseorang telah berdiri terpaku melihat pandangan di atas sofa ruang keluarga. Bibirnya bergetar ketika ingin menyebut nama Indra."Ya Allah, Indra!" seru Rahayu dengan sisa-sisa tenaganya. Wanita senja itu benar-benar tak menyangka melihat kejadian yang sangat menjijikkan di depan matanya.Tak hanya Indra dan Rini yang terkejut. Yulis yang sedang memarkirkan sepedanya di halaman juga bergegas ke asal suara. Wanita yang tengah memakai kulot plisket itu khawatir terjadi sesuatu pada mertuanya.Rini segera turun dari pangkuan Indra, kemudian membetulkan kancing bajunya yang berantakan. Untuk sesaat Indra tertegun, lelaki bertubuh agak tambun itu seakan dilempar dari fantasinya. Raut wajah tampan itu nampaknya terkejut menyadari keadaannya yang berantakan."Ibu!" Yulis segera merengkuh wanita baya yang tengah