Setelah mandi dan berganti baju, aku pun menghampiri Ilham yang ada di belakang. Nampak ia sedang memberi pakan hewan ternak peliharaan bapak ditemani Hanan. Sementara bapak baru saja naik dari kolam kecil. Entah habis memberi makan ikan atau sekedar membersihkan area kolam ikan tersebut. "Tuh bunda sudah pulang!" Hanan menunjuk ke arahku saat aku sedang berjalan ke arahnya. "Yey ... bunda sudah pulang!" Ilham berlari menghampiriku. "Bunda cari-cari ternyata ada di sini," tuturku pada Ilham. Aku mencium pipinya dengan gemas. "Ilham diajak Om Hanan nemenin Kakek," jawab Ilham. "Tapi gak main kotor-kotoran, kan?" Aku memindai bajunya dari atas sampai bawah. Bersih. "Enggak dong. Kata Om Hanan gak boleh. Nanti dimarahin bunda. Ilham kan sudah mandi," jawabnya polos. "Anak pintar!" Aku mengacak rambutnya pelan. Aku pun mendekati Hanan yang masih berdiri di tempatnya. "Tebak. Aku bawa kabar apa?" tanyaku sambil menaikturunkan alis. "Emmhh ... apa, ya?" Hanan nampak berpikir. "Aku
Setelah memikirkannya beberapa saat, akhirnya kepalaku mengangguk juga. "Apa itu artinya iya?" Mas Ryan malah kembali bertanya. Padahal jelas-jelas aku sudah mengangguk. "Iya, Pak," jawabku. Senyum di bibir Mas Ryan mendadak terbit. Matanya pun nampak berbinar. "Baiklah. Nanti kita berangkat setelah solat magrib, ya," timpalnya. Aku mengangguk lagi tanda setuju. Mas Ryan pun langsung berbalik dan keluar dari area pantry. "Cie cie." Mbak Lina tersenyum lebar menggodaku. "Apaan sih, Mbak? Jangan berpikir yang macam-macam ya. Aku menerima tawaran Pak Ryan itu karena dia tetanggaku. Soalnya kalau berangkat sendirian aku memang takut. Ngeri. Apalagi kalau pulangnya sampai malam. Hih." Aku bergidik. "Iya iya. Aku percaya. Tapi aku yakin deh, Pak Ryan itu suka sama kamu. Emang kamu gak ngerasa ya?" Mbak Lina mendekat. Bicaranya pelan seolah takut ada yang mendengar. "Masa sih? Perasaan Mbak aja kali. Aku kan tadi udah bilang, ini tuh karena kita tetanggaan." Aku mencoba menyangkal.
"Gak semua hal harus dijelaskan. Tapi cukup dirasakan." Hanan menimpali. "Kamu ini ngomong apa, sih? Belibet banget. Langsung ke pokoknya, deh. Biar aku ngerti. Maklum, otakku sedikit tumpul." "Udah, gak perlu dibahas. Intinya, aku selalu ingin berusaha melindungimu. Makanya aku minta kamu pergi bareng sama aku sama Fara. Tapi semuanya terserah sama kamu." Hanan terdengar putus asa. "Maaf, aku gak bisa. Aku gak enak. Udah terlanjur janji.""Baiklah kalau kamu maunya seperti itu. Terserah saja." Hanan mendesah pelan. Entah apa yang membuat hembusan napasnya terdengar begitu berat. "Aku masuk dulu," lanjut Hanan. Dia berdiri dengan lesu lalu berjalan seolah hilang semangat masuk ke dalam kamarnya. Ada semacam rasa bersalah yang tiba-tiba menelusup dalam hati. Melihat raut wajah sendu Hanan tadi pun membuat hatiku sedikit tergores. Entah apa yang terjadi pada seonggok daging dalam dadaku. Apa aku mulai merasakan getaran cinta pada teman baikku sendiri? Aku menggeleng kuat. Kata tida
Langkah kaki Mas Ryan terhenti saat menyadari bahwa aku tak mengikutinya berjalan. Dia menoleh. Saat pandangan mata kami bertemu, aku langsung mengalihkan pandangan ke arah tangannya yang menggenggam tanganku. Sebagai bentuk keberatan atas apa yang dilakukannya."Sorry," ucapnya sambil melepaskan tangannya.Aku buru-buru menarik tanganku sedikit menjauh darinya. "Aku benar-benar minta maaf. Aku hanya ... terbawa suasana," lanjutnya dengan raut wajah nampak tak enak. "Gak masalah," jawabku agar tak keterusan. "Ayo, masuk!" Mas Ryan menggeser tubuhnya sedikit ke belakang, dengan maksud memberiku jalan lebih dulu. Aku pun masuk ke dalam gedung mewah tersebut diikuti Mas Ryan. Di dalam gedung, sudah riuh para karyawan yang sedang berbincang satu sama lain sambil menikmati jamuan yang disediakan. Aku mengedarkan pandangan. Mencari-cari keberadaan Mbak Lina. Satu-satunya orang yang paling akrab denganku. Tapi nihil, sosoknya belum terlihat sama sekali. "Mau makan apa, Ra? Biar aku baw
"Nisya masuk rumah sakit. Gak apa-apa ya, kita ke rumah sakit dulu?" timpalnya. Aku terdiam. Bingung. Jika aku ikut, itu artinya akan bertemu dengan Anita dan Mas Hilman. "Aku pulang duluan aja kalau gitu. Bisa naik grab, kok," timpalku."Gak bisa. Aku gak tenang kalau biarin kamu pulang sendirian malam-malam gini. Rumah sakitnya gak terlalu jauh dari sini. Aku juga sebentar kok. Habis lihat keadaan Nisya, aku langsung antar kamu pulang. Gimana?" Mas Ryan harus sedikit meninggikan suaranya karena suara riuh dari dalam masih terdengar. Tak ingin malah kelamaan, aku pun mengiyakan. Mengikutinya ke parkiran, lalu naik ke atas mobil. "Nisya sakit apa?" tanyaku saat Mas Ryan sudah mengendarai mobilnya. "Kata Anita panas tinggi," jawab Mas Ryan. Wajahnya begitu tegang menggambarkan bahwa ia sangat khawatir dengan keadaan putrinya itu. Aku tak lagi bertanya. Membiarkan Mas Ryan fokus menyetir dan aku pun fokus menata hati sebelum bertemu mantan suamiku dan istrinya. Sampai di parkiran
Aku yang berdiri tepat di hadapannya merasa heran sampai-sampai kedua alisku saling bertautan. Kenapa dia seolah begitu kesal."Aku udah kasih tau Fara kalau aku mampir ke rumah sakit dulu. Anaknya Mas Ryan masuk rumah sakit. Makanya pulang cukup larut. Lagian kamu malam-malam bukannya tidur malah nangkring di luar. Gak dingin apa?" "Kamu ngasih tau Fara, tapi gak ngasih kabar sama aku. Padahal, dari tadi aku nungguin kamu. Bela-belain minum kopi biar gak ketiduran padahal kamu tau sendiri aku gak suka kopi."Di dekatnya memang ada sebuah cangkir. Mungkin itu memang gelas bekasnya minum kopi. "Loh, mana aku tau kamu bakal nungguin aku sampai pulang. Aku pikir kamu udah tidur," timpalku. Tak terima rasanya disalahkan seperti ini. "Kamu pikir aku bisa tidur nyenyak di saat aku sangat mengkhawatirkan keadaanmu?" Hanan malah balik bertanya."Kenapa harus khawatir? Aku bukan anak kecil. Aku tau apa yang benar saja salah. Lagian kamu kenapa sih, aneh gini?" "Kamu tanya kenapa? Itu karen
Rasanya, mataku baru terpejam beberapa saat. Tapi adzan subuh sudah berkumandang. Dengan kedua mata yang masih lengket, aku memaksakan diri untuk bangun lalu mengambil air wudhu. Apapun keadaannya, sebagai seorang muslim, aku wajib melaksanakan solat. Dengan khusuk aku berdiri, mendirikan solat dua rakaat dan ditutup dengan doa. Rasa kantuk yang tak tertahankan, membuatku kembali menghambur ke atas ranjang tanpa melepas mukena yang masih melekat. Aku melanjutkan tidurku yang tadi sempat terganggu. Beruntung ini hari libur. Jadi aku bisa bangun lebih siang. Suara riuh dari arah depan membuatku membuka mata. Jam dinding ternyata sudah menunjuk ke angka delapan pagi. Aku pun bangun. Meregangkan otot-otot yang terasa kaku, lalu melepaskan mukena yang masih dikenakan. "Kenapa sudah bangun? Hari ini kan libur. Semalam kamu kurang tidur," tutur ibu saat melihatku yang hendak ke kamar mandi. "Gak apa-apa, Bu. Sudah cukup kok tidurnya," jawabku. "Ilham di mana?" "Di depan. Tadi habis ik
Melihat kedekatan Fara dengan Hanan, entah kenapa dadaku terasa sesak. Mata memanas dengan cairan bening yang berdesakan ingin ditumpahkan. Aku menggigit bibir kuat-kuat, menahan agar buliran itu tak sampai menetes. Bukankah ini yang aku inginkan? Fara mendapatkan laki-laki sebaik Hanan. Tapi kenapa justru hatiku kesakitan?Langkah kakiku terhenti saat tangan mungil Ilham yang dari tadi dituntun, tiba-tiba tak ikut bergerak. Aku menoleh. "Kenapa, Sayang?" tanyaku sambil menahan suara agar tak bergetar. "Kenapa kita balik lagi? Kata Bunda kita mau ke pantai?" "Kita ke hotel aja, ya. Di sini anginnya kencang," jawabku. "Yah ... padahal kan Ilham mau lihat laut. Mau main pasir." Ilham menunduk pilu. "Besok pagi kan kita bisa main pasir, main air. Kalau sekarang sudah sore." Aku mencoba memberi pengertian. "Iya, deh," jawab Ilham diakhiri embusan napas berat. Baru saja kami akan melanjutkan langkah, tiba-tiba sebuah suara terdengar. "Ya ampun, Ra. Baru aja aku mau nyusulin kamu. T