Share

Bab 3

Judul: Suami yang berpura-pura mencintaiku

 

Part: 3

 

POV Zacky.

 

Sejak kurang lebih sepuluh tahun yang lalu aku memelihara subur perasaanku. Perasaan yang tumbuh untuk wanita yang sangat akrab denganku di sekolah.

 

Dia adalah gambaran wanita sempurna di mataku. Pintar, ramah, baik, dan tidak sombong. Sundari Saraswati namanya.

 

Setelah lulus SMA, aku dan Sundari berpisah. Ia melanjutkan kuliah di luar negeri, sedangkan aku masih di Indonesia.

 

Selama dia menyelesaikan study-nya aku tak pernah sekali pun tertarik pada wanita lain. Aku menunggu kepulangan Sundari dan mempersiapkan segalanya untuk melamar dan hidup bahagia berdua dengannya.

 

Namun, tak kusangka, Sundari pulang dan membawa calon suaminya ke hadapanku.

 

“Hay, Zacky! Saya akan segera menikah dengan lelaki hebat ini. Kamu harus selalu ada menemani saya dalam mempersiapkan pesta nanti.” 

 

Kalimatnya itu masih terngiang-ngiang di kepalaku.

 

Sundari sama sekali tak menyadari akan cinta yang besar di hatiku ini. Dia hanya menganggapku sebagai sahabatnya saja. Tak lebih dan tak kurang dari itu.

 

Enam bulan setelah Sundari sah menjadi istri Pak Joni, aku pun dikenalkan Mama dengan salah satu pelanggan kuenya. 

 

Wanita cantik berparas paripurna itu tersenyum malu saat pertama kutatap matanya. Ariyana Rahwati.

 

Jujur, tak ada getaran apa-apa di hatiku saat berhadapan dengan wanita secantik Ariyana, karena seluruh ruang terdalam ini sudah dipenuhi dengan kesempuranaan Sundari.

 

“Selamat siang, Zacky!” sapa seseorang mengejutkan lamunan panjangku tentang masa silam.

 

Aku terkesima melihat sosok yang kupikirkan hadir di depan mata. Senyumku mengambang begitu saja.

 

“Sundari,” lirihku dengan nada-nada cinta yang menggema di benakku.

 

Ya, aku memang terlalu lebay setiap kali membayangkan Sundari. Dosa ini terlalu indah untuk segera aku hindari.

 

“Maaf, mengganggumu. Saya cuma ingin mengantarkan berkas penting dari Mas Joni. Beliau sedang sibuk sekali, jadi saya yang ke sini.”

 

“Saya bahkan lebih senang saat kau yang mengantarkannya, Sundari.”

 

“Baiklah, Zacky. Saya permisi dulu. Titip salam ya buat Ariyana. Ingat, kau tak boleh terlalu sibuk dengan dunia bisnismu saja! Ada Ariyana yang saat ini lebih membutuhkanmu di sisinya.”

 

Begitulah Sundari, setiap kali bertemu, dia selalu mengingatkan aku tentang Ariyana. Bahkan dia menepis semua pengakuanku yang selama puluhan tahun sudah mencintainya dengan tulus.

 

“Tunggu dulu, Sundari!” Aku refleks menahan tangannya.

 

“Jaga batasanmu, Zacky! Kita memang bersahabat, tapi bukan berarti bebas bersentuhan. Saya rasa kau jauh lebih paham agama, bukan?”

 

“Maaf, Sundari! Saya tidak sengaja. Saya cuma ingin bertanya, kenapa kau tak membalas email-email dari saya lagi?”

 

“Saya menghargaimu selama ini sebagai sahabat yang baik. Dan saya menjaga perasaan Ariyana, karena memang seharusnya begitu. Jika, suami saya tahu kau mengirim email dengan kalimat yang sangat tidak masuk akal itu, maka bayangkan apa yang akan terjadi dalam rumah tangga kami? Dan bayangkan pula, jika Ariyana tahu!”

 

Aku bergeming sesaat, Intonasi suara Sundari meninggi. Akan tetapi, lembut gayanya bicara tetap tak bisa berubah. Aku terlena dengan hal-hal kecil yang ada di diri Sundari.

 

“Saya siap dengan semua kemungkinan yang ada, jika suamimu, atau Ariyana yang tahu lebih dulu.”

 

“Kau egois, Zacky! Bisa-bisanya kau hanya memikirkan tentang dirimu sendiri. Pernahkah kau merasakan bagaimana sakitnya Ariyana, jika dia tahu suami yang dibanggakannya selama ini begitu tega di belakangnya? Dan satu hal lagi, Zacky! Kau harus ingat ini baik-baik! Saya mencintai, Mas Joni. Sampai kapan pun tidak akan pernah menukarnya dengan cinta yang lain. Apa lagi cinta dari lelaki yang telah beristri!”

 

Aku tertampar-tampar dengan kalimat pedas Sundari. Sakit sekali rasanya mendengar ia mengatakan cinta untuk suaminya dan meyakinkan tak mungkin menyambut cintaku ini.

 

Detik berikutnya Sundari meninggalkan ruanganku tanpa permisi. Sepertinya dia marah, dan aku tak akan tenang setelah ini.

 

 

***

Tepat pukul lima sore aku pulang. Perubahan sikap Ariyana semenjak mengandung membuatku semakin merasa jenuh. Dia lebih banyak diam, dan tak terlalu menyambutku seperti biasa.

 

“Dik, Abang malam ini ingin mengunjungi Mama. Hem, Abang juga sudah mendapatkan asisten rumah tangga untuk membantumu di rumah. Habis magrib dia akan datang ke sini,” ujarku seraya menyerahkan tas kerja ke tangan Ariyana.

 

“Baiklah, Bang. Sampaikan salamku pada Mama!”

 

“Pasti, Dik. Sebenarnya Abang ingin sekali mengajakmu, tapi rasanya tak baik membawa Adik keluar malam-malam dengan perjalanan cukup jauh. Jadi, besok-besok siang saja kita pergi bersama, ya!”

 

“Iya, Bang.”

 

Entah apa yang merasuki Ariyana hingga kalimat yang keluar dari mulutnya sedikit sekali.

 

 

Ah, aku semakin kesal.

 

 

***

Setelah shalat magrib, Mbok Darmi datang. Aku bisa tenang meninggalkan Ariyana di rumah, karena sekarang dia sudah ada yang menemani.

 

Kepulanganku ke rumah Mama semata-mata hanyalah ingin menyendiri. Suasana hatiku sangat kacau, karena kejadian siang tadi di kantor.

 

Bayangan Sundari menari-nari di kepala. Bahkan sampai aku melajukan mobil pun ia tetap ikut bersamaku di benak ini. 

 

Aku sadar aku telah berdosa karena memikirkan wanita lain. Wanita yang jelas-jelas sudah memiliki kehidupannya sendiri. 

 

Sementara aku juga telah mempunyai seorang istri yang jelita. 

 

Ariyana adalah wanita tanpa celah dalam fisiknya, pun dalam pengabdiannya selama tiga tahun ini. Maka, karena itu pula aku juga tak pernah menyakiti hatinya secara langsung. Aku menjaganya, aku memenuhi segala keinginannya. Aku upayakan apa saja untuk membuatnya bahagia. Namun, semakin ke sini, aku sendiri yang semakin tersiksa.

 

Sekitar jam delapan malam aku sampai di rumah Mama.

 

“Kamu sendirian? Ariyana nggak ikut?” tanya Mama seraya memastikan dengan celingukan melihat ke arah luar.

 

“Enggak, Ma. Ariyana hamil muda, jadi saya sengaja tak mengajaknya bepergian jauh.”

 

“Hamil? Kenapa berita sebesar ini kamu baru kasih tahu sekarang? Harusnya digelar syukuran untuk merayakan apa yang selama ini kalian impikan,” papar Mama antusias.

 

“Justru itu saya ke sini memberitahu, Mama. Saya mau istirahat dulu, Ma. Besok Mama ikut saja ke rumah ketemu Ariyana!”

 

“Tunggu, Zacky! Kenapa kau meninggalkan Ariyana sendirian dalam kondisi dia hamil begini? Kau bisa menelepon Mama, dan Mama akan ke sana tanpa harus merepotkanmu.”

 

“Ma, saya lelah. Izinkan saya beristirahat dulu, ya! Besok kita bicara lagi.” Aku berlalu begitu saja dari hadapan Mama.

 

Aku tahu, beliau sangat menyayangi Ariyana, karena memang istriku itu juga layak disayangi. Hanya saja aku yang belum mampu menumbuhkan perasaan itu untuknya.

 

‘Ah, Sundari … takdir benar-benar menguji kita. Aku yakin, sebenarnya  kau juga merasakan getaran yang sama walau sedikit saja.’

 

 

***

Saat aku berbaring di atas ranjang, bayangan Sundari kembali menyerang kewarasanku. Dengan rasa bersalah atas kejadian tadi siang, aku pun mencoba mengirim pesan di aplikasi hijau. 

 

[Saya minta maaf untuk yang terjadi tadi siang.]

 

Pesanku dibaca dengan cepat, dan tak lama aku menerima sebuah balasan. Awalnya aku bersorak riang, tapi setelah membaca balasannya membuatku terdiam.

 

[Apa yang terjadi, Pak Zacky? Maaf,  Sundari sudah tidur, jadi saya yang memegang handphonenya.]

 

Gawat, aku harus menyiapkan jawaban yang tak menimbulkan kecurigaan bagi Pak Joni. Jika, tidak, maka Sundari akan semakin marah padaku.

 

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status