Share

Bab 5

Judul: Suami yang berpura-pura mencintaiku

Part: 5

Sore harinya, Bang Zacky pulang dari kantor. Ia tersenyum manis seraya memamerkan dua bungkus makanan yang sempat ia janjikan sebelum berangkat kerja tadi.

Sosok itu yang selama tiga tahun ini selalu menentramkan jiwaku.  Namun, kini justru mengukir luka terdalam di tempat yang sama.

“Abang pulang, Dik. Lihatlah, Abang lelaki yang memegang janji, bukan?” ujarnya.

Aku mengangguk kaku. Di sebelahku Mama mertua juga terlihat begitu tegang.

“Duduklah, Zacky! Mama ingin bicara serius denganmu!” titah Mama membuka suara.

“Tumben, Ma. Hem, aku tahu … Mama pasti mau membicarakan tentang syukuran atas kehamilan Ariyana, kan?” 

Aku menelan ludah getir. Bang Zacky yang nyaris sempurna telah memporak-porandakan seluruh pertahananku. Mentalku sedang tidak aman sekarang.

“Ya, Nak. Mama tentunya akan merayakan anugerah terindah yang dititipkan untuk menantu kesayangan Mama ini, tetapi ada hal lain juga yang tak kalah penting."

“Tentang apa, Ma? Aku jadi tegang gini. Ah, Mama ….”

“Dengar, Zacky! Mungkin masalah ini bersifat sangat pribadi. Mama tidak bermaksud ikut campur, tapi karena kau adalah Putra Mama, jadi Mama merasa wajib mengingatkanmu,” papar Mama pula.

Aku hanya diam seraya menahan sesak di dada. Ketika membahas hal tersebut, hatiku selalu berdenyut nyeri.

“Katakan, Ma! Aku siap mendengarkan apa pun nasihat baik dari Mama.”

Aku menunduk menyembunyikan air mataku yang akhirnya lolos begitu saja.

“Coba kau lihat istrimu, Zacky! Lihat baik-baik wajahnya! Apa ada yang hilang dari sana? Tidakkah kau menyadari ceria senyumnya sudah pudar? Matanya menyimpan banyak kesedihan. Apa kau tak lagi peka akan suasana hatinya?”

“Apa maksudnya ini, Ma? Aku dan Ariyana baik-baik saja. Benar begitu kan, Dik?” Bang Zacky menoleh ke arahku seraya menatap lekat mataku yang basah.

Aku semakin tergugu di hadapannya. Tak sanggup aku menyembunyikan luka ini lebih lama lagi.

“Dik, ada apa?” tanya suamiku yang tak kusangka meraihku dengan cepat ke pelukannya. Aku terbuai setiap kali perlakuan lembut nan manis ia berikan.  

Andai tak ada cinta lain yang Bang Zacky dambakan, mungkin kebahagiaan kami sudah terasa sempurna sekarang.

“Bicaralah, Nak! Katakan semuanya pada suamimu! Kau berhak mengutarakan hal yang membuat hatimu sesak. Jangan dipendam sendirian! Karena mentalmu akan mempengaruhi perkembangan janin yang ada di kandunganmu,” perintah Ibu dengan tuturnya yang penuh kasih sayang.

“Apa yang terjadi? Kenapa aku tak mengetahui apa-apa? Dik, selama ini kita sudah sepakat untuk saling tebuka dan tak menyembunyikan apa-apa, bukan? Lalu, kenapa Abang tak menyadari telah terjadi sesuatu denganmu, dan malah Mama  yang lebih tahu?”

Aku menarik napas panjang, kemudian aku mengeluarkan kembali secara perlahan. Isak tangisan aku coba reda sesaat. Aku harus kuat memberikan penjelasan kalau sebenarnya aku sudah tahu segalanya.

“A—aku … aku kecewa padamu, Bang. Benar yang Abang katakan kalau kita selama ini sudah membuat kesepakatan agar tak menyembunyikan apa pun. Kita akan berbagi semua hal baik suka mau pun duka. Abang memperlakukanku dengan sempurna. Membuatku menjadi wanita yang merasa beruntung selama tiga tahun pernikahan kita. Abang tak pernah menuntut apa-apa. Abang tenangkan aku dengan kalimat yang dijanjikan surga. Hingga, satu kebohongan besar yang aku ketahui membuat seluruh duniaku menjadi suram tak berwarna. Kebahagiaan yang aku pikir sempurna lenyap seketika. Abang, katakan kenapa kau menumbalkan aku demi bisa memulihkan dirimu sendiri?” Panjang kalimatku diiringi dengan linangan air mata.

Aku memang terlalu cengeng. Bahkan, aku bisa menangis seharian saat membaca cerita perselingkuhan suami, dan sekarang aku yang mengalami sendiri.

Mata suamiku itu juga turut berkaca-kaca. Aku berharap dia mengakui semuanya tanpa harus aku menyebutkan dengan detail kesalahannya.

“Dik, jika ada khilaf Abang yang membuatmu terluka, maka kita bicarakan baik-baik berdua saja. Tidak perlu melibatkan, Mama!”

“Mama di sini tidak bermaksud ikut campur, Zacky. Namun, masalahnya Ariyana tak akan mampu menghadapi seorang diri. Mama juga ikut kecewa. Tadinya Mama yang mendesak agar istrimu mau berbagi cerita,” sambung Mama dengan intonasi suara yang masih lembut.

“Baiklah kalau begitu. Katakan apa yang kalian bahas? Kebohongan apa yang aku lakukan?” 

“Abang renungi sendiri! Apa kebohongan yang Abang tutupi selama ini? Aku yakin, Abang pastinya lebih tahu.”

“Tidak ada. Abang tak pernah membohongimu sekali pun, Dik.”

Mama mertua menggenggam tanganku erat. Aku rasanya tak nyaman berdebat di hadapan beliau, walau Mama sudah mengetahui jua.

“Kita bicara di kamar, Bang!” ajakku seraya bangkit dan memberi isyarat pada Mama agar membiarkan kami menyelesaikan sendiri.

Aku tak mau membuat hubungan antara ibu dan anak renggang nantinya. Biarlah aku saja yang menanggung segala sakit ini. Orang lain tak perlu dilibatkan. Apa lagi orang sebaik Mama.

***

Di dalam kamar.

“Dik, sebelumnya dirimu tak pernah bersikap demikian. Kenapa harus mengungkit pada Mama? Bukankah manusia memang tempatnya salah dan lupa? Kenapa Adik tak menegur Abang secara langsung? Sekarang katakan, kebohongan apa yang Adik maksud?” tanya suamiku seraya meraih kedua tanganku dengan lembut.

Aku kembali menahan sesak di dadaku karena dengan terpaksa harus membahas masalah yang membuat hilang kewarasanku.

“Sundari … Abang mencintainya, bukan?”

Kalimat sakti dariku itu berhasil membuat wajah Bang Zacky panik.

“A—ah, siapa bilang, Dik? Dirimu pasti salah paham,” sanggahnya yang ternyata masih berusaha berkilah.

“Abang sendiri yang mengatakannya. Aku sudah membaca email-email yang Abang kirimkan dengan penuh cinta itu untuk Sundari, Bang. Maaf, jika pada akhirnya aku menerobos privasimu. Aku awalnya tak sengaja dan sungguh aku tak menyangka. Andai bisa memilih, maka aku tidak ingin tahu tentang ini, Bang. Hatiku hancur! Perasaanku tersiksa. Kebahagiaanku musnah sudah. Kenapa Abang tega mengikat aku dalam ikrar suci pernikahan? Kenapa, Bang? Apa salahku? Aku hanya seorang wanita lemah yang terbuai akan manisnya cinta palsumu selama ini. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Bahkan aku tak mampu membenci Sundari, karena semua permasalahan ada padamu, Bang!”

Suamiku meneteskan air mata mengimbangi aku yang sudah berantakan. 

Menangis rasanya hanya percuma, sebab semuanya sudah terlanjur terjadi. Tak bisa dielak, dan tak bisa dibantah. Lukaku kini sangat parah. 

“Jadi, Adik sudah membaca semuanya?” Kalimat pertanyaan itu terdengar sumbang di telingaku. 

Rasa sesak  kembali menyeruak memenuhi rongga pernapasan. Aku lelah, aku ingin menyerah, tetapi cintaku pada Bang Zacky berteriak seolah tak mau kalah.

“Aku tahu semuanya, Bang. Apa kiranya kurang jelas pengakuanku?”

Bang Zacky memejamkan matanya seraya mengacak kasar rambutnya sendiri. Aku ingin mendengar, penjelasan apa yang akan ia lontarkan, atau justru pengakuan bisa dengan gentle dia katakan. Aku mempersiapkan diri untuk semua itu. Aku akan mencoba menerima dengan sabar. 

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status