Share

Bab 2

Judul: Suami yang berpura-pura mencintaiku

 

Part: 2

 

“Selamat, Pak Zacky … istri anda hamil. Usia kandungannya memasuki lima minggu,” ujar Dokter Lena yang memeriksaku.

 

Aku sungguh terkejut mendengar pernyataannya, bagaimana mungkin saat suasana hatiku sesakit ini, kemudian kabar yang aku nantikan sejak lama malah turut hadir. Harusnya aku bahagia, bukan? Namun, kenapa sekarang terasa hambar?

 

Apa karena aku telah tahu kenyataan suamiku tak mencintai aku? 

 

“Alhamdulillah, Ariyana. Saya sangat senang mendengar kabar bahagia ini,” sahut Sundari yang sedari tadi memijat lembut kepalaku. 

 

Dia begitu baik, apa aku pantas menjauhinya sebab luka hatiku ini?

 

 “Terima kasih, Dok.” Bang Zacky tersenyum kaku. Entah, aku pun tak merasakan ada kegembiraan di wajahnya. Ya, aku sadar, karena dia tak menginginkan aku.

 

“Zacky, tolong jaga baik-baik istrimu yang cantik ini! Jangan biarkan dia banyak pikiran dan terlalu lelah mengurus pekerjaan rumah. Kehamilannya masih muda, dan itu sangat perlu dijaga. Saya permisi pulang dulu,” papar Sundari.

 

“Pasti, Sundari. Saya akan terus mengingat nasihatmu ini. Mari saya antar ke depan,” kata suamiku dengan binar mata yang tak bisa aku jelaskan.  “Dik, Abang ke depan dulu ya.”

 

Aku mengangguk seraya memaksakan sebuah senyuman. 

 

Saat mereka lenyap dari pandanganku, jiwa ini kembali terguncang. Aku rasanya tak sanggup menyembunyikan luka yang diciptakan suamiku secara diam-diam.

Oh, sungguh kejam.

 

Setelah beberapa menit kemudian, Bang Zacky masuk lagi ke dalam kamar. 

 

Tangannya yang kekar mengusap pucuk kepalaku dengan pelan. Air mata lolos begitu saja di wajahku. Sungguh, aku tak bisa membenci lelaki semanis dia, tetapi torehan sembilu yang dilakukannya juga bukan perkara kecil.

 

“Dik, kenapa menangis? Apa kepalamu masih terasa nyeri?” tanyanya seraya mengusap sudut mataku.

 

‘Hatiku yang sakit, Bang. Sakit sekali,’ jawabku dalam hati.

 

Bang Zacky terus mengelus kepalaku hingga rasa kecewaku berubah jadi rasa ngantuk. Entah di menit keberapa aku tertidur.

 

Saat aku tersadar, silau cahaya surya menerobos masuk lewat jendela yang sudah terbuka. Aku perlahan bangkit, dan seperti wanita hamil pada umumnya, perutku mulai merasa mual.

 

“Dik, Abang sudah menyiapkan sarapan. Turun dan makan dengan baik. Hari ini ada rapat penting tentang perkembangan bisnis baru Abang. Adik tidak masalah kalau Abang tinggal?” Suara khas bariton itu muncul di ambang pintu kamar. Aku hanya menanggapinya dengan anggukan kepala saja.

 

_

_

Waktu berjalan, aku menatap jam dinding, ternyata ini sudah lewat jadwalnya Bang Zacky pulang. Kalau pun lembur, biasanya dia akan memberitahuku dengan mengirim pesan atau menelepon. Namun sekarang tak  ada. 

 

Semenjak aku mengetahui kebenaran tentang perasaan suamiku, pikiran ini pun turut berprasangka buruk sepanjang waktu. 

Aku mondar-mandir di depan halaman, hingga suara adzan berkumandang. Tiba-tiba seseorang menegurku.

 

“Ariyana, kenapa magrib masih berdiri di luar. Kata orang pamali wanita hamil di luar jam segini.” Suara itu tentunya tak asing bagiku. 

 

Ya, dia adalah wanita lemah lembut sahabat suamiku, Sundari. Sahabat sekaligus wanita yang ia cintai. Sakit sekali jika mengingat kenyataan itu.

 

“Aku baru saja mau masuk,” sahutku kaku.

 

Di belakang Sundari ada Bang Zacky yang ikut menyusul langkahnya.

 

Entah bagaimana bisa mereka datang bersamaan. Hatiku semakin merasa panas dan cemburu.

 

“Dik, ayo masuk! Ingat, sekarang kamu berbadan dua! Banyak pantangan yang tidak boleh dilanggar,” ujar Bang Zacky seraya merangkul pundakku.

 

_

_

Di dalam kamar, aku dan Bang Zacky shallat bersama. Sedangkan Sundari sendirian di kamar tamu. Setelah selesai barulah kami duduk di ruang tengah. 

 

Biasanya aku akan sangat senang setiap kali Sundari datang berkunjung. Namun, sekarang tentu berbeda rasanya. 

 

“Ariyana … jika, diperhatikan kamu tampak lebih pendiam semenjak mengandung. Yah, saya kehilangan Ariyana yang ceria dan super bawel,” seru Sundari seraya mengajak bercanda.

 

Entah … aku tetap saja kaku di hadapan mereka. Nyaliku mengecil duduk bersama dua orang yang menyembunyikan sesuatu dariku.

 

Ah, tidak! Bukan dua orang. Hanya suamiku saja. Sundari tak bersalah.

 

“Benar banget, Sun. Sekarang istri saya sangat jarang mau mengeluarkan suaranya. Saya saja kemarin didiamkannya semalaman,” sahut Bang Zacky.

 

“Ariyana … Are you oke?” Lembut suara Sundari semakin menyesakkan rongga dadaku. 

 

Apa itu alasan suamiku mencintainya?

 

Tentu saja. Siapa yang tak jatuh cinta dengan wanita sebaik dan seramah Sundari? Akan tetapi, apa salahku? Ini tidak adil, karena nyatanya aku hanya bahan percobaan untuk Bang Zacky mengalihkan perasaannya dari Sundari.

 

“Dik!” panggilnya pula memecahkan lamunanku.

 

“Eh, iya, Bang. Tadi kalian bilang apa?” 

 

“Kamu kenapa sih, Dik? Tidak bisanya seperti ini. Kalau karena mengandung, lalu merubah dirimu menjadi sosok menyebalkan, maka Abang akan memohon pada bayi ini agar dia di sana jangan nakal, dan jangan membuat Mamanya kesal.”

 

Sempurna bukan sikapnya? Selama tiga tahun ini aku hidup dengan lelaki yang aku kira sangat dalam mencintaiku, sebagaimana aku mencintainya.

 

“Sosweetnya … saya iri sekali melihat keharmonisan kalian,” seru Sundari tersenyum sumringah seperti biasa.

 

Aku menangkap basah suamiku menoleh dan menatap ke wajah Sundari. Tatapan itu benar-benar tak biasa. Sungguh aku terluka dengan kenyataan yang aku ketahui sekarang.

 

Andai bisa memilih, aku lebih suka tak tahu semuanya, dan biarlah berjalan seperti sebelumnya.

 

“Oya, Mas Joni sudah di depan. Saya pamit pulang dulu, ya. Ariyana … jaga kesehatanmu dan juga jangan stres! Kabari saya, jika kau perlu sesuatu. Jadi, kalau suamimu ini sibuk, saya bisa mengambil alih tugasnya dalam menerima perintahmu. Maklum, orang hamil biasanya ngidam ini dan itu,” paparnya yang terlihat tulus.

 

Aku tak merasa aura jahat sedikit pun dari Sundari. Dia memang wanita yang baik. Hal itu pula yang harus aku akui kalau siapa saja wajar mencintainya.

 

“Terima kasih, Sundari. Titip salam pada, Pak Joni! Maaf tidak ikut mengantar ke depan. Biar Bang Zacky saja,” ujarku sengaja memancing respon suamiku.

 

Namun, dia hanya tampak biasa-biasa saja sekarang. Tidak terlihat antusias. Ya, aku lupa kalau selama ini pun aku tak menyadari kebenaran yang sesungguhnya.

 

“Tidak usah! Saya sendiri saja. Zacky … kau tak boleh sering-sering meninggalkan Ariyana malam hari. Apa pun pekerjan kantor, pulanglah!'

 

“Siap, bos Sundari yang terhormat.”

 

Candaan itu sudah biasa mereka lakukan, tapi tentu saja menjadi tak biasa lagi, jika sudah berurusan dengan hati yang dipenuhi rasa cemburu.

 

_

_

Seperginya Sundari kami memesan makan malam online. Setelah itu barulah beristirahat ke dalam kamar. 

 

“Bang, apa Abang senang dengan kehamilanku ini?” Aku sengaja berbasa-basi mencari topik obrolan untuk mengorek lebih informasi yang disembunyikan suamiku.

 

“Kenapa Adik bertanya demikian? Jelas Abang senang, dong! Kita sudah tiga tahun menantinya, bukan?”

 

“Tapi, selama tiga tahun ini Abang tak pernah mempermasalahkan tentang keturunan. Bahkan Abang sangat santai. Tidak seperti suami pada umumnya yang mengajak ikhtiar ke sana-sini,” paparku.

 

“Lho … buktinya sekarang Adik hamil tanpa kita harus berseuzdon dengan ketentuan Allah. Jodoh, maut, rezeki sudah diatur, Dik. Kita manusia tak bisa mengelak kehendakNya. Anak adalah rezeki, kapan pun Allah percaya menitipkannya Abang akan menerima. Jika, belum, maka Abang juga tidak mempermasalahkannya.”

 

Manis bukan? Suamiku memang memiliki kata-kata yang mampu menentramkan hati selama ini. Namun, sekarang seolah semua yang dikatakannya hanyalah sabotase belaka untuk menutupi perasaan yang disembunyikannya. Bahwa kenyataan hatinya bukan untukku.

 

Bersambung

 

 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
kau terlalu menye2 njing. sibuk sendiri pikiranmu dan bisa2 mengakibatkan stres. klu ada masalah dibicarakan njing bukannya didiamkan. pintar dikit dan sadar diri.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status