"Dek! Beresin dulu bekas makannya! Baru kamu tidur!" ucap Mas Dani, suamiku.
Aku baru saja membuka mata. Rupanya aku ketiduran saat menyusui anakku. Posisiku di kasur lantai, menghadap suami yang rupanya sudah selesai makan. Saat ini kami di ruang tengah, duduk beralaskan tikar. Kulihat makanan sudah dibereskan, mungkin oleh suamiku."Aku, kan lagi nyusui Ari, Mas. Maaf, aku ketiduran," kataku."Makanya jangan tidur!" Ekspresi suamiku terlihat menahan marah."Aku ketiduran, Mas. Bukannya sengaja tidur," balasku. "Lagipula, kalau Mas gak mau beresin … ya gak usah diberesin. Biarin saja!""Kamu kalau dibilangin, ngejawab terus!" sentak suamiku."Ya ampun, Mas. Kamu, kan lihat kalau aku lagi nyusuin Ari. Kenapa sih, cuma urusan beresin bekas makan aja, Mas marah?" tanyaku."Alaah … alasan. Kamu memang malas!" ucap suamiku.Deg. Sakit sekali hatiku mendengar ucapannya. Biarlah aku tak menanggapi lagi ucapannya. Daripada ribut terus, malu kalau sampai terdengar oleh orang tuaku, karena saat ini kami tinggal di rumah orang tuaku.Aku beranjak untuk makan. Baru saja aku mau menyuap nasi ke mulut, tiba-tiba Ari menangis. Buru-buru kuhampiri dan kugendong."Cup, cup. Anak ibu kenapa?" tanyaku lembut. "Bobo lagi, ya. Ibu mau makan dulu," Kugendong Ari. Ia pun kembali tenang dan tertidur."Mas, tolong gendong Ari dulu, ya. Aku mau makan," pintaku."Taruh aja di kasur!" sahut suamiku cuek. Tangannya sibuk mainan hp."Kalau ditaruh, takut bangun lagi, Mas," ucapku."Ya sudah, kamu makan sambil berdiri saja. Makan sambil gendong, kan bisa!" seru suamiku.Astaghfirullah. Terbuat dari apa sih, hati suamiku itu? Tidak peka, tidak mau membantu aku sama sekali. Sedih sekali rasanya. Kenapa aku mendapat jodoh, orang yang seperti ini? Tidak pernah kubayangkan, akan menjalani rumah tangga yang begitu menyusahkan hati. Tak terasa air mataku mengalir begitu saja. Kupaksakan menyuap nasi dan mengunyah dalam tangis tanpa suara. Perih hatiku merasakan perlakuan suami seperti ini.Setelah selesai makan, pelan-pelan kuletakkan Ari di kasur. Aku harus cepat mencuci piring sebelum Ari terbangun. Kulirik Mas Dani, dia masih sibuk dengan hpnya. Hari ini, hari Minggu, Mas Dani libur bekerja. Kalau hari libur begini, seharian Mas Dani bersantai tanpa mau membantu pekerjaan rumah apapun. Terkadang aku malu sama orang tuaku. Kami tinggal menumpang disini, tapi suamiku tidak pernah membantu bapak mengurus sapi-sapi, atau membantu ibu menjemur padi. Alasannya capek, tidak terbiasa mengerjakan pekerjaan seperti itu, bahkan Mas Dani sering pura-pura tidur kalau melihat ibu sibuk angkat padi yang sudah kering.Mas Dani bekerja di sebuah pabrik pengolahan makanan instan. Letaknya di ujung desa, tempat kami tinggal saat ini. Sedangkan, asal Mas Dani dari desa yang berjarak cukup jauh dari sini. Makanya kami memutuskan untuk tinggal di desa ini, menumpang di rumah orang tuaku karena gaji Mas Dani sebagai buruh pabrik masih kecil. Begitu yang Mas Dani bilang, aku sendiri tidak tahu berapa jumlahnya. Apalagi statusnya saat ini masih kontrak.Saat ku sedang mencuci piring di dapur, ibu pulang dari pengepul, selesai menjual padi."Mawar … kamu sudah makan?" tanya Ibu."Sudah, Bu," jawabku. "Aku siapkan makan untuk Ibu dulu, ya.""Sudah … sudah. Tidak usah. Biar Ibu ambil sendiri saja. Kamu lanjutkan cuci piringnya!" ujar Ibu."Baik, Bu! Bapak, kok belum pulang, Bu?" tanyaku."Bapak masih di desa sebelah. Tadi telepon Ibu, katanya masih menunggu pembeli yang akan membeli sapi-sapi bapak," jawab Ibu. "Suamimu sudah makan?""Sudah, Bu," jawabku.Aku telah selesai mencuci piring. Aku ikut duduk, menemani Ibu makan di meja makan."Bu, maaf. Tadi Ibu harus membawa sendiri padi-padi ke pengepul," ucapku tak enak hati. "Seharusnya Mas Dani bisa membantu Ibu membawakan.""Sstt … tidak apa-apa, Nak. Ibu sudah biasa," ucap Ibu. "Mungkin suamimu masih capek. Tidak apa-apa," Ibu mengusap lembut tanganku."Iya, Bu," ucapku. "Bu, aku mau melihat Ari dulu, ya. Takut bangun.""Iya, Nak. Itu sekalian kantong plastiknya dibawa! Tadi ibu beli vitamin buat kamu, supaya asinya lancar," ujar Ibu."Terima kasih banyak, ya, Bu," ucapku.Aku langsung menuju ruang tengah, tempat Ari kutidurkan di kasur lantai."Bagus kamu, ya. Jadi begitu kelakuan kamu di belakangku?!" sentak Mas Dani.Aku terperanjat kaget, mendengar perkataan Mas Dani."Kenapa, Mas? Apalagi kesalahanku?" tanyaku."Kamu barusan menjelek-jelekkan aku di depan ibumu, kan!" ketus Mas Dani."Kamu bilang, aku gak bantuin ibu membawakan padi. Aku gak pernah bantu-bantu orang tua kamu," ucap Mas Dani. "Kamu itu kalau ngomong dipikir, dong! Aku ini bekerja 6 hari dalam seminggu! Aku libur cuma 1 hari, di hari Minggu. Masa aku masih harus kerja lagi di rumah!? Aku juga butuh istirahat. Lagipula pekerjaan yang seperti itu, kan udah biasa orang tua kamu lakukan. Jadi gak perlulah bantuan aku. Apalagi aku gak biasa kerja begitu. Gak level aku gendong-gendong padi! Paham, kamu!?" ucap Mas Dani panjang lebar.Dadaku naik turun, mendengar ucapan Mas Dani. Tanganku mengepal, menahan emosi yang seolah ingin segera tumpah dari mulutku."Apa kamu bilang, Mas? Gak level?" tanyaku emosi."Iya!" sentak Mas Dani."Gak level, katamu! Apa Mas sadar, kalau selama kita tinggal di sini orang tuaku yang banyak membantu keuangan keluarga kita?! Pekerjaan orang tuaku yang gak level bagimu, justru banyak memberi kita makan! Disaat uang dua ratus ribu yang kamu berikan seminggu sekali bahkan sering lebih dari seminggu, sudah habis. Orang tuaku yang menambal kekurangannya!" ucapku penuh emosi."Alaah … dua ratus ribu seminggu cukup kalau cuma dipakai kita berdua saja. Gak cukup karena orang tua kamu ikut makan!" sanggah Mas Dani."Ya ampun, Mas. Kita ini numpang di sini. Masa iya, aku masak cuma buat kita berdua saja," ucapku geram. "Kan, sudah kubilang. Kalau uang dari kamu kurang, orang tuaku selalu menambal kekurangannya. Sering kali ibuku yang belanja sayuran untuk kita semua makan.""Numpang … numpang terus yang kamu katakan. Ya wajarlah kalau kita numpang, kan kamu anaknya. Masa orang tua kamu tega, membiarkan kamu gak punya tempat tinggal," ucap Mas Dani. "Kita numpang, bukan berarti uangku bisa mereka pakai juga.""Mas … masa kamu gak paham ucapanku. Orang tuaku tidak pernah pakai uang kamu! Penghasilan orang tuaku jauh di atas kamu! Gak usah kamu banggakan gajimu!" ucapku emosi.Plak. Mas Dani menampar pipiku."Kurang ajar sekali mulutmu!" teriak Mas Dani."Mas, keterlaluan!" balasku.Ari menangis keras. Mungkin kaget mendengar pertengkaran kami. Buru-buru kuraih Ari, menenangkannya dalam dekapanku."Makanya, kamu kalau bicara yang sopan sama suami. Bisa durhaka, kamu!" ucap Mas Dani lagi."Ada apa ini? Suara kalian sampai terdengar keluar rumah," Tiba-tiba terdengar suara Bapak."Eh, Ba– Bapak. Itu Mawar, Pak. Kalau bicara sama saya, suka gak sopan," kilah Mas Dani. "Tidak seperti itu, Pak," ucapku. "Mas Dani yang sudah salah paham dan bertindak keterlaluan.""Apa kamu bilang? Kamu mau mengadu macam-macam sama Bapak?" Mas Dani bertanya dengan nada tinggi."Sudah, sudah. Kalian ribut sekali. Bapak tadi mendengar semuanya," ucap Bapak. "Mawar, kamu tenangkan Ari dulu. Setelah itu, Bapak mau bicara sama kalian berdua!""Baik, Pak!" ucapku.Mas Dani hanya mengangguk ragu.**********Bapak, Ibu, aku dan Mas Dani sudah duduk bersama di ruang tengah. Ari sudah kutidurkan di kamar."Bapak dan Ibu tadi mendengar semua perkataan kalian saat bertengkar," Bapak memulai pembicaraan.Aku hanya bisa menundukkan kepala sembari sekali-kali melihat ke arah Bapak. Mas Dani terlihat memainkan jemarinya, sepertinya ia gugup."Bapak sudah bicara dengan Ibu. Bapak memutuskan …."Bapak, Ibu, aku dan Mas Dani sudah duduk bersama di ruang tengah. Ari sudah kutidurkan di kamar."Bapak dan Ibu tadi mendengar semua perkataan kalian saat bertengkar," Bapak memulai pembicaraan.Aku hanya bisa menundukkan kepala sembari sekali-kali melihat ke arah Bapak. Mas Dani terlihat memainkan jemarinya, sepertinya ia gugup."Bapak sudah bicara dengan Ibu. Bapak memutuskan kalian sudah waktunya hidup mandiri!" ucap Bapak.Aku dan Mas Dani bersamaan memandang Bapak. Aku merasa senang dengan keputusan Bapak, supaya kami tidak menyusahkan kedua orang tuaku terus. Aku juga ingin melihat, sejauh mana kemampuan Mas Dani yang sombong dengan gajinya itu.Tapi, kulihat Mas Dani sepertinya kurang suka dengan keputusan Bapak. Wajahnya terlihat kaget, matanya membulat."Tapi, Pak. Kami mau tinggal dimana?" tanya Mas Dani."Itu urusan kamu, sebagai kepala rumah tangga!" ucap Bapak tegas.
"Bosan? Kamu bosan sama aku, Mas?" tanyaku. Dadaku makin bergemuruh, amarah semakin memuncak mendengar perkataan laki-laki yang bergelar suamiku.Usia pernikahan kami baru 2 tahun. Dikarunia seorang bayi laki-laki tampan menggemaskan, yang kami beri nama Ari Prayoga. Saat ini usianya, 3 bulan. Di usia pernikahan yang masih seumur jagung ini, Mas Dani mengatakan bosan. Apa ia bosan denganku? Bosan dengan pernikahan ini?"Iya, bisa saja nanti aku bosan sama kamu, kalau sok ngatur-ngatur aku terus," Lantang sekali Mas Dani mengucapkan kalimat itu. Tidak pedulikah ia akan perasaanku? Oh Tuhan, nyeri sekali hati ini."Kalau memang kamu sudah bosan sama aku. Kembalikan aku kepada orang tuaku, Mas!" Aku terisak, tidak kuat menahan pilu."Aah … bosan bukan berarti aku mau cerai, ya. Ingat itu!" sentak Mas Dani. "Ari masih kecil, siapa yang mau kasih makan kalau bukan aku? Kamu, kan gak ada gaji!""Orang tuaku masih sanggu
“Ya sudah, terserah Mas saja. Aku serahin aja semua urusan kontrakan ini ke Mas!” Kubaringkan tubuh menghadap Ari.“Kamu ….” Masih kudengar suara Mas Dani menahan geram. Kupaksa memejamkan mata ini, walau terasa panas, menahan air mata yang nyaris meluncur bebas.**********Pagi ini Mas Dani berangkat kerja lebih awal, tanpa sarapan lebih dahulu. Ia bilang akan mampir ke kontrakan temannya dulu, mau menanyakan ada kontrakan kosong atau tidak.Ting.Kudengar bunyi notifikasi wa, tapi bukan dari hpku. Lho, ternyata hp Mas Dani ketinggalan. Sekilas kulihat pengirimannya Ahmad, kupikir mungkin teman yang akan ditemuinya pagi ini.[Emangnya mertua lo, ngusirnya buru-buru pindah, gitu?] Terbelalak mataku membaca pesan itu.Ya Allah, apalagi ini? Kenapa teman Mas Dani bisa bertanya seperti itu? Apa Mas Dani sudah memfitnah kedua orang tuaku? Astaghfirullah, berdenyut hatiku setelah membaca pes
Hari ini kami akan pindah ke kontrakan. Pagi-pagi sekali aku sudah bangun untuk mempersiapkan kepindahan kami. Setelah memasak untuk sarapan, aku membangunkan Mas Dani.“Mas, ayo bangun. Kita sarapan dulu!” Kutepuk pelan bahu suamiku.“Hm … sebentar lagi. Mumpung aku libur, santai dulu,” ucap Mas Dani.“Mas lupa, ya? Hari ini, kan kita mau pindahan. Katanya harus bangun pagi-pagi!?” ucapku.“Itu kamu yang harus bangun pagi-pagi. Kalau aku bebas!” Ketus Mas Dani.Astaghfirullah, kuhela napas perlahan. Lebih baik kumandikan Ari saja, sambil menunggu Mas Dani bangun. Aku pun beranjak ke belakang sambil menggendong Ari yang menggeliat menggemaskan. Untung ada kamu, Nak. Jadi ibu selalu ada hiburan.**********Terdengar suara mobil yang berhenti di depan rumah. Kulihat ternyata sebuah truk ukuran kecil sudah parkir di teras. Oh mungkin ini truk yang sudah dipesan Mas Dani untuk membantu kami
Kulihat catatanku. Hah, banyak banget yang dicoret-coret. Apalagi bedakku, dicoret sampai hampir bolong kertasnya. Ampun deh, punya suami toxic banget.Kira-kira sekitar jam sepuluh pagi, kami sudah sampai di salah satu minimarket. Letaknya di seberang pabrik, lokasinya sangat strategis, jadi ramai pengunjung. Aku mulai memasukkan satu per satu barang yang sesuai ada di dalam catatanku. Namun Mas Dani tetap mengawasi, sesekali ia mengembalikan barang yang aku ambil ke rak, atau mengurangi jumlahnya. Aku cuma bisa beristighfar dalam hati. Tapi tanpa sepengetahuan Mas Dani, ada barang yang aku ambil lagi dari rak. Seperti popok, aku tidak mau jumlah popok dikurangi terlalu banyak karena akan sangat repot sekali kalau harus bolak-balik nyuci ompol.Setelah semua barang yang dibutuhkan masuk keranjang, kami pun menuju kasir. Mas Dani ternganga mendengar total harga belanjaan yang harus dibayar. Ia pun melirik ke arahku penuh makna. Aku pura-pura tidak tahu. M
Baru saja beberapa langkah aku keluar dari kontrakan. Tiba-tiba kudengar suara Ari menangis. Aku kembali masuk ke dalam kontrakan. Mas Dani sudah menggendong Ari, tapi tetap saja Ari menangis. Mungkin dia haus ingin minum asi.“Cup … cup … sayang, ini ibu datang. Haus ya?” Kuraih Ari dari gendongan Mas Dani.“Mawar … aku belum makan,” ucap Mas Dani. “Kamu gak jadi beli makanan?”“Bagaimana aku bisa beli makanan, mas? Kan, Mas lihat, baru saja aku keluar tapi Ari menangis, haus mau nyusu. Nanti aku belikan kalau Ari sudah selesai,” jawabku.“Iya, cepat, ya!” titah Mas Dani.“Hm …,” gumamku.Sekitar 20 menit berlalu, akhirnya Ari sudah selesai menyusu. Wajah Mas Dani sudah ditekuk begitu rupa. Hh … salah sendiri, kalau lapar ya beli sendiri saja. Kayak gak lihat istrinya repot sama anak.Kuletakkan Ari di kasur dengan hati-hati, takut terbangun lagi. Ku buru-buru keluar untuk membeli makanan. Sudah lewat dzuhur, matahari terasa begitu terik. Untung saja ada warung makan yang letaknya ti
Aku memaksa tubuh dan hati ini untuk istirahat sejenak. Percuma saja meneruskan pertengkaran dengan Mas Dani, yang ada aku akan semakin sakit hati. Cara berpikirnya, tingkah lakunya, sungguh membuat aku lelah. Belum lagi semua omongan yang keluar dari mulutnya, begitu menyakiti hatiku.Aku tidak pernah membayangkan kalau orang yang kupercayakan hidup dan matiku di tangannya, justru dialah yang selalu menyakitiku. Hidup berumah tangga ternyata tidak seperti bayanganku. Kulihat rumah tangga kedua orang tuaku begitu bahagia, saling melengkapi, saling menyayangi. Kenapa rumah tanggaku seperti ini?Ya Allah, apa yang harus kulakukan? Apakah aku salah bila tak sanggup bertahan? Adzan ashar berkumandang. Kubuka mata perlahan, mengusap air mata yang masih tersisa. Ternyata Ari sudah bangun, tapi tidak menangis, sedang memainkan ludahnya. Senyumku mengembang melihat kelucuan anakku. Hanya Ari yang membuatku mampu bertahan, hanya Ari yang menjadi pelipur laraku.Kulihat sekitar, Mas Dani tidak
“Bapak … toloooong!” Aku berteriak lebih keras lagi.BRAK!Pintu didobrak dari luar.“Dani! Kamu apakan Mawar?” teriak Bapak.Ternyata warga sekitar sudah ramai berkumpul di depan pintu kontrakan. Mereka ramai berbisik-bisik.“Saya tidak ngapa-ngapain Mawar, Pak! Dia saja yang berteriak-teriak kayak orang g*la,” ucap Mas Dani sambil menunjuk-nunjuk wajahku.“Apa kamu bilang? Mawar kayak orang g*la? Kamu yang gak benar jadi suami! Tidak mungkin Mawar berteriak kalau tidak kamu apa-apakan!” Suara Bapak keras dan penuh kemarahan.“Saya sudah tidak percaya sama kamu lagi! Saya akan bawa pulang Mawar dan Ari sekarang juga!” ucap Bapak lagi. “Jangan berani kamu halangi, atau saya akan laporkan kamu ke polisi!”“Tapi, Pak. Ari itu anak saya. Saya berhak mengasuh dia. Apalagi saya ini punya gaji, sedangkan Mawar hanya pengangguran!” ucap Mas Dani keras.“Huuuu …!” Warga ramai menyoraki, mendengar perkataan Mas Dani itu.“Berapa gajimu, hah? Saya mampu memberi Mawar 2 kali bahkan 3 kali lipat