Baru saja beberapa langkah aku keluar dari kontrakan. Tiba-tiba kudengar suara Ari menangis. Aku kembali masuk ke dalam kontrakan. Mas Dani sudah menggendong Ari, tapi tetap saja Ari menangis. Mungkin dia haus ingin minum asi.
“Cup … cup … sayang, ini ibu datang. Haus ya?” Kuraih Ari dari gendongan Mas Dani.“Mawar … aku belum makan,” ucap Mas Dani. “Kamu gak jadi beli makanan?”“Bagaimana aku bisa beli makanan, mas? Kan, Mas lihat, baru saja aku keluar tapi Ari menangis, haus mau nyusu. Nanti aku belikan kalau Ari sudah selesai,” jawabku.“Iya, cepat, ya!” titah Mas Dani.“Hm …,” gumamku.Sekitar 20 menit berlalu, akhirnya Ari sudah selesai menyusu. Wajah Mas Dani sudah ditekuk begitu rupa. Hh … salah sendiri, kalau lapar ya beli sendiri saja. Kayak gak lihat istrinya repot sama anak.Kuletakkan Ari di kasur dengan hati-hati, takut terbangun lagi. Ku buru-buru keluar untuk membeli makanan. Sudah lewat dzuhur, matahari terasa begitu terik. Untung saja ada warung makan yang letaknya tidak jauh dari kontrakan. Aku membeli nasi bungkus dengan lauk ayam goreng untuk Mas Dani dan juga beberapa lauk lainnya untuk makan malam nanti.Begitu aku selesai membayar, tiba-tiba ada yang mencolek bahuku.“Mbak, tetangga kontrakan yang baru pindah kemarin ya?” tanya seorang wanita muda. Kutaksir usianya sebaya denganku.“Oh iya, Mbak,” jawabku.“Perkenalkan aku Via,” ucap wanita itu seraya mengulurkan tangan.“Mawar,” Kusebutkan nama sambil menyambut uluran tangannya.“Aku tinggal di kontrakan persis depan Mbak Mawar,” ujar Via.“Oh … salam kenal ya Mbak Via,” ucapku.“Jangan panggil mbak dong! Kayaknya aku lebih muda dari kamu, Mbak,” Via memainkan rambutnya sambil memperhatikan wajahku.“Oh, maaf. Aku panggil Via saja, boleh?” tanyaku.“Boleh,” jawab Via. “Oh iya, Mbak Mawar kalau bertengkar sama suami jangan keras-keras! Malu kedengaran tetangga, lagipula ganggu banget lho … berisik!”Deg. Astaghfirullah … ucapan Via benar-benar tidak disaring. Malu aku, ditegur begini di depan orang banyak. Apalagi warung makan dalam keadaan ramai. Aku hanya bisa menunduk dan segera pamit pulang.“Oh iya, Via. Kalau gitu, aku duluan ya,” ucapku.Buru-buru aku keluar dari warung makan. Mungkin saat ini wajahku memerah karena malu diperhatikan orang banyak, apalagi terdengar ada yang bisik-bisik. Perjalanan kembali ke kontrakan terasa jauh, pikiranku melayang mengingat teguran Via tadi. Semoga tetanggaku yang lain tidak ada lagi yang menegurku seperti yang Via lakukan. Begitu sampai depan pintu kontrakan, seorang wanita muda menggendong bayi menyapaku ramah.“Assalamu’alaikum, Mbak,” sapanya.“Wa’alaikumussalam,” balasku ramah.“Perkenalkan, Mbak. Saya Mira. Saya tinggal di sini,” Tunjuk Mira ke arah pintu kontrakan persis di sebelah kiri kontrakanku.“Saya Mawar, Mbak,” balasku. Alhamdulillah kita tetangga dekat, ya Mbak Mira.“Iya, Mbak. Sama-sama punya bayi, ya?” tanyanya.“Iya, Mbak. Anak saya baru umur 3 bulan. Anak Mbak umur berapa?” tanyaku“Anak saya sudah 5 bulan, Mbak,” jawabnya.“Ehem …,” Terdengar suara deheman Mas Dani dari dalam kontrakan.“Oh iya, Mbak. Maaf, ya. Saya masuk dulu, sudah ditunggu suami mau makan siang,” ucapku seraya mengangkat sedikit kantong plastik nasi bungkus.“Iya, tidak apa-apa, Mbak,” balas Mira tersenyum.Aku segera masuk ke kontrakan. Mas Dani sudah bersungut kesal melihat kedatanganku.“Lama banget sih kamu. Malah ngobrol di depan pintu. Jangan dibiasakan ngegosip!” ketus Mas Dani.“Maaf Mas. Warung makannya ramai, antri. Tadi juga aku bukan ngegosip, tetangga sebelah menyapaku, masa aku cuekin?!” ucapku.“Ya sudah, mana makananku? Sudah lapar dari tadi,” ucap Mas Dani.“Ini, Mas,” Kuserahkan makanan yang tadi kubeli.Sementara Mas Dani makan, aku membereskan barang-barang yang belum selesai kurapihkan kemarin. Hh … kontrakan ini terasa begitu sempit dan pengap. Tapi aku harus bisa beradaptasi dan berusaha betah di sini. Alhamdulillah selesai juga, semua barang sudah tersusun rapi. Badanku rasanya pegal sekali. Masih ada waktu 1 jam sebelum sholat ashar, aku akan tidur siang sebentar.Lho … ternyata Mas Dani sudah tidur lebih dulu. Hh … istri dari tadi sibuk, capek beres-beres barang, eh … malah dia yang tidur. Ting.Bunyi hp Mas Dani, ada wa yang masuk. Kuintip siapa nama pengirimnya. Nita. Hm … mau apa dia? Kira-kira Mas Dani masih mengirimkan dia uang atau tidak, ya?Ting.Ada wa masuk lagi ke hp Mas Dani. Penasaran ku buka hpnya. Ternyata wa dari Nita lagi.[Mas, kok belum kirim uang?][Kan, kemarin Mas gajian? Biasanya langsung kirim ke aku]Dasar adik gak tahu sopan santun. Wa kakaknya, bukan ucapkan salam, malah langsung nodong minta uang. Aku heran, sudah dewasa dan bekerja, kok masih saja minta uang sama kakaknya. Rasanya ingin kubalas wa darinya, tapi aku malas ribut sama Mas Dani karena pasti dia akan membela adiknya.Ting.[Mas, kok dibaca doang? Kirim uangnya sekarang, ya!][Tagihan kartu kreditku jatuh tempo hari ini. Jangan sampai telat. Kalau telat, aku bisa kena denda]Hah … tagihan kartu kredit? Gak salah nih orang? Siapa yang punya tagihan, siapa yang suruh bayar!? Duuuuh … rasanya ingin kumaki Nita. Keterlaluan sekali, uang yang seharusnya untuk anak dan istri kakaknya, malah dia todong untuk bayar tagihan kartu kredit. Kuremas hp Mas Dani keras, menahan emosi yang sudah memuncak.“War … kenapa pegang-pegang hpku?” tanya Mas Dani yang baru saja bangun tidur.Kutatap mata Mas Dani tajam. Kuserahkan hp miliknya sedikit kasar.“Kamu kenapa?” tanya Mas Dani.“Itu ada wa dari Nita,” Kujawab Mas Dani sambil mencebik.“Kamu baca-baca wa aku? Gak sopan kamu!” ketus Mas Dani.“Aku jadi tahu Mas, ternyata selama ini aku berhemat justru untuk membahagiakan adik kamu yang hobi foya-foya dengan kartu kredit,” ketusku emosi.“Apa maksud kamu?” tanya Mas Dani.“Baca itu wa dari Nita!” ucapku.Mas Dani membaca wa dari adiknya. Raut wajahnya seketika berubah. Mas Dani salah tingkah.“Mas Dani masih mau kirim uang untuk orang yang hidupnya bahagia diatas penderitaan istri dan anak Mas?” tanyaku emosi. “Sedangkan gaji dia lebih besar dari kamu, Mas,”“Aku bingung, War. Tidak enak juga. Kan, aku biasa kasih Nita setiap bulan. Masa sekarang aku harus berhenti,” ucap Mas Dani.“Kamu kemarin bilang bingung ngatur gaji. Kamu baru tahu kebutuhan hidup kita banyak. Masa kamu masih mau kirim uang? Padahal gaji kamu lebih kecil dari Nita. Keterlaluan kamu, Mas,” Emosiku sudah tak tertahan. Air mataku tumpah, sudah tak tahan dengan pemikiran Mas Dani.Mas Dani hanya diam memandangku. Awas saja kalau dia masih kirim uang ke adiknya, lebih baik aku pulang ke rumah orang tuaku. Aku tidak mau harus selalu mengalah, hidup hemat, bahkan masih kena marah terus.Kurebahkan tubuh lelah ini disamping Ari. Kupejamkan mata, memaksa tubuh dan hati ini beristirahat.Aku memaksa tubuh dan hati ini untuk istirahat sejenak. Percuma saja meneruskan pertengkaran dengan Mas Dani, yang ada aku akan semakin sakit hati. Cara berpikirnya, tingkah lakunya, sungguh membuat aku lelah. Belum lagi semua omongan yang keluar dari mulutnya, begitu menyakiti hatiku.Aku tidak pernah membayangkan kalau orang yang kupercayakan hidup dan matiku di tangannya, justru dialah yang selalu menyakitiku. Hidup berumah tangga ternyata tidak seperti bayanganku. Kulihat rumah tangga kedua orang tuaku begitu bahagia, saling melengkapi, saling menyayangi. Kenapa rumah tanggaku seperti ini?Ya Allah, apa yang harus kulakukan? Apakah aku salah bila tak sanggup bertahan? Adzan ashar berkumandang. Kubuka mata perlahan, mengusap air mata yang masih tersisa. Ternyata Ari sudah bangun, tapi tidak menangis, sedang memainkan ludahnya. Senyumku mengembang melihat kelucuan anakku. Hanya Ari yang membuatku mampu bertahan, hanya Ari yang menjadi pelipur laraku.Kulihat sekitar, Mas Dani tidak
“Bapak … toloooong!” Aku berteriak lebih keras lagi.BRAK!Pintu didobrak dari luar.“Dani! Kamu apakan Mawar?” teriak Bapak.Ternyata warga sekitar sudah ramai berkumpul di depan pintu kontrakan. Mereka ramai berbisik-bisik.“Saya tidak ngapa-ngapain Mawar, Pak! Dia saja yang berteriak-teriak kayak orang g*la,” ucap Mas Dani sambil menunjuk-nunjuk wajahku.“Apa kamu bilang? Mawar kayak orang g*la? Kamu yang gak benar jadi suami! Tidak mungkin Mawar berteriak kalau tidak kamu apa-apakan!” Suara Bapak keras dan penuh kemarahan.“Saya sudah tidak percaya sama kamu lagi! Saya akan bawa pulang Mawar dan Ari sekarang juga!” ucap Bapak lagi. “Jangan berani kamu halangi, atau saya akan laporkan kamu ke polisi!”“Tapi, Pak. Ari itu anak saya. Saya berhak mengasuh dia. Apalagi saya ini punya gaji, sedangkan Mawar hanya pengangguran!” ucap Mas Dani keras.“Huuuu …!” Warga ramai menyoraki, mendengar perkataan Mas Dani itu.“Berapa gajimu, hah? Saya mampu memberi Mawar 2 kali bahkan 3 kali lipat
Benar-benar istri pembangkang si Mawar! Tidak pernah mau mendengar ucapanku. Sekarang gajiku mau dia atur-atur, dasar perempuan pengangguran gitu tuh, lihat duit langsung ijo matanya. Huh … geramnya aku.Lebih baik sekarang ku telepon ibu, akan kuadukan semua kelakuan menantu kesayangannya itu. Aku yakin, setelah ini ibu pasti akan membelaku dan memarahi Mawar habis-habisan.“Assalamu’alaikum, Bu,” ucapku.“Wa’alaikumussalam, Dani,” jawab Ibu. “Gimana kabar kamu, Mawar dan Ari? Betah di kontrakan baru?”“Haduh … bukannya betah, Bu. Mawar malah pulang ke rumah orang tuanya. Meninggalkan aku sendirian,” jawabku emosi.“Lho, ada apa? Kenapa Mawar pulang ke rumah orang tuanya? Kalian bertengkar?” cecar Ibu.“Iya bertengkar, Bu. Tapi kali ini Mawar yang keterlaluan, Bu. Masa dia mau atur-atur gajiku. Terus gak mau hidup hemat. Pokoknya Mawar itu boros banget, Bu!” ucapku menggebu.“Boros bagaimana, Dani? Ibu lihat Mawar tidak seperti itu? Lagipula, memangnya selama ini yang atur uang gajim
“Tapi, Bu. Aku sudah tidak bisa bertahan dengan mas Dani,” ucapku pelan.“Apa? Kamu akan bercerai?” tanya Ibu kaget.“I– iya, Bu,”“Apakah tidak bisa kamu beri Dani kesempatan lagi, Nak?” Nada suara Ibu terdengar sedih.“Entah, Bu. Hatiku telah lama memendam sakit. Begitu banyak perilaku dan perkataan mas Dani yang sangat menyakitiku,” Aku terisak.“Mawar, ibu mohon berilah Dani kesempatan! Demi ibu,” ucap Ibu.“Hm … mas Dani pun tidak meminta kesempatan padaku, Bu,” ucapku.“Apakah kamu ingin Dani meminta maaf padamu, Nak?” tanya Ibu. “Nanti biar ibu sampaikan padanya.”“Mas Dani sudah dewasa, Bu. Seharusnya dia menyadari kesalahannya. Tidak perlu disuruh meminta maaf padaku. Seharusnya dia yang meminta maaf sendiri,” jawabku. “Aku pun tidak yakin mas Dani mau meminta maaf padaku.”Terdengar suara Ibu terisak.“Mawar, bolehkah ibu besok menemuimu, Nak?” tanya Ibu.“Tentu saja boleh, Bu,” jawabku. “Ibu tetaplah ibuku,sampai kapan pun.”“Terima kasih Mawar. Sampai jumpa besok. Assalamu
“Mas … mas … itu tolong ambilkan handukku, ya!” Suara perempuan. Suara siapa itu? Mas Dani sedang bersama siapa? Suaranya seperti pernah aku dengar.“Oh … i─ iya, Mir,” sahut mas Dani kepada si perempuan.Mir? Apa itu suara mbak Mira, tetangga sebelah kontrakan? Sepertinya benar, itu suara dia. Sedang apa mbak Mira bersama mas Dani? Apa yang mereka berdua lakukan? Aah … pikiranku berkecamuk, menerka-nerka apa yang terjadi di sana.Kenapa aku harus peduli?! Bukankah aku sudah ingin bercerai dari mas Dani. Mungkin saja ini pertanda dari Allah, supaya aku mantap mengajukan perceraian.Aku putuskan sambungan telepon secara sepihak tanpa mengucapkan salam. Aku tidak mau mengotori telingaku, mendengarkan pembicaraan mereka.Sekitar sepuluh menit aku melayani customer yang datang, hpku kembali berbunyi. Kulihat panggilan dari mas Dani. Aku biarkan saja, karena customerku lebih penting. Akhirnya hp ku atur ke mode hening.**********Waktu sudah hampir magrib. Aku lupa mengecek hp, barangkali
[Halo, Mbak Mawar. Sudah lihat foto yang kukirim?][Bagaimana pendapat, Mbak? Cocok, kan?!] Mbak Mira mengirim pesan diakhiri emoticon senyum.Apa harus kujawab pesannya? Aku tidak menyangka, wanita yang kulihat dari penampilannya seperti wanita baik-baik, malah berbuat hal yang seperti ini.[Maaf, ya. Ini siapa?] Aku berpura-pura tidak tahu kalau yang mengirim pesan adalah mbak Mira.[Oh … iya aku lupa memberitahu, Mbak. Aku Mira, tetangga sebelah kontrakan mas Dani,][Kalau sekarang sih, statusku calon istrinya mas Dani,] mbak Mira menambahkan emoticon hati di pesannya.Aku harus bisa mengontrol diri menghadapi wanita macam mbak Mira ini. Aku tidak mau merendahkan diri dengan marah-marah padanya. Biarlah saat ini dia merasa menang dengan perbuatannya.[Oh begitu,] jawabku singkat.[Kamu gak marah, kan Mbak? Lagipula selama Mbak gak ada, aku lho yang mengurus mas Dani. Dio sudah akrab banget sama mas Dani, sudah seperti ayah dan anak kandung,] [Kami biasa menghabiskan waktu bersama,
POV MiraDuh … suara berisik apa sih itu? Dio dan aku lagi tidur siang, suara ribut-ribut membuatku terbangun. Kayaknya ramai sekali, coba kuintip dulu. Waduh, kok banyak warga berkerumun di depan kontrakan mbak Mawar? Ada apa memangnya? Dari tadi aku tidur, sampai tidak mengetahui ada kejadian apa di sebelah.Oh, ternyata mbak Mawar dan suaminya bertengkar lagi. Tapi kali ini lebih hebat dari yang kemarin. Aku bertanya pada salah satu tetangga yang sudah lebih dulu ikut berkerumun. Katanya bapaknya mbak Mawar datang untuk menjemputnya. Benar saja, tidak lama mereka keluar dan nampaknya mbak Mawar akan pulang ke rumah orang tuanya. Itu dia membawa koper besar, pasti akan tinggal lama bersama orang tuanya atau bahkan akan bercerai dengan suaminya?! Hm … bakal ada calon duda keren nih. Kutatap suami mbak Mawar yang marah-marah melepas kepergian istrinya. Duh … orang keren gini kok ditinggal! Yaah … lumayan, siapa tahu bisa aku dekati. Ku tersenyum membayangkan apa yang akan kulakukan te
POV DaniAah … Mawar sekarang benar-benar sudah tidak menghargaiku. Dia bilang sudah mengajukan cerai … huh dasar istri pembangkang. Mentang-mentang sekarang sudah berjualan, dia merasa sudah hebat … huh. Tapi ibuku bilang jualannya laku, penghasilannya lumayan. Kenapa tidak dari dulu dia jualan, kan jadi tidak minta uang terus padaku. Kalau sekarang dia sudah bisa menghasilkan uang, berarti kami tidak boleh bercerai. Enak saja dia, giliran punya uang ingin pisah dari aku. Lihat saja, aku tidak akan menceraikanmu, Mawar!Ini juga masalah apalagi? Kenapa Mira mengirim pesan seperti itu ke Mawar? Apa-apaan si Mira, seolah-olah aku ada hubungan dengan dia. Padahal aku baru sekali numpang nonton tv di kontrakannya sampai ketiduran. Kenapa juga aku sampai ketiduran di sana … huh.Aku benar-benar tidak ada perasaan pada Mira. Selama ini karena dia baik saja padaku, seringkali memasak untukku, kan lumayan aku jadi irit. Tidak ada dipikiranku untuk mencintainya. Berarti dia kegeeran atas ked