Aku memaksa tubuh dan hati ini untuk istirahat sejenak. Percuma saja meneruskan pertengkaran dengan Mas Dani, yang ada aku akan semakin sakit hati. Cara berpikirnya, tingkah lakunya, sungguh membuat aku lelah. Belum lagi semua omongan yang keluar dari mulutnya, begitu menyakiti hatiku.
Aku tidak pernah membayangkan kalau orang yang kupercayakan hidup dan matiku di tangannya, justru dialah yang selalu menyakitiku. Hidup berumah tangga ternyata tidak seperti bayanganku. Kulihat rumah tangga kedua orang tuaku begitu bahagia, saling melengkapi, saling menyayangi. Kenapa rumah tanggaku seperti ini?Ya Allah, apa yang harus kulakukan? Apakah aku salah bila tak sanggup bertahan? Adzan ashar berkumandang. Kubuka mata perlahan, mengusap air mata yang masih tersisa. Ternyata Ari sudah bangun, tapi tidak menangis, sedang memainkan ludahnya. Senyumku mengembang melihat kelucuan anakku. Hanya Ari yang membuatku mampu bertahan, hanya Ari yang menjadi pelipur laraku.Kulihat sekitar, Mas Dani tidak ada. Mungkin sedang keluar, entah kemana. Biarlah, aku lagi malas melihat wajahnya.Kutunaikan kewajibanku, sholat ashar empat rakaat. Ari berulang kali mengeluarkan suara, memperhatikan aku. Selesai sholat, kugendong Ari. Doa-doa terbaik kupanjatkan untuknya.Ceklek. Terdengar suara kunci pintu dibuka. Mas Dani pulang, entah dari mana.“Assalamu’alaikum,” ucap Mas Dani.“Wa’alaikumussalam,” jawabku.“Kamu sudah sholat?” tanyanya.“Sudah,” jawabku.“Ya sudah, aku mau sholat dulu,” ucap Mas Dani.“Hm …,” balasku malas.*********Derrt … derrt … derrt.Hp Mas Dani berbunyi, tanda ada panggilan masuk. Kulirik, Nita memanggil. Hh … bikin hatiku dongkol melihat nama itu. Kubiarkan saja berbunyi karena Mas Dani masih sholat. Tidak lama berhenti sendiri panggilan teleponnya.Derrt … derrt … derrt.Bunyi lagi panggilan telepon dari Nita. Mau apalagi sih tuh orang, heran aku.Mas Dani selesai sholat, buru-buru menjawab telepon dari Nita.“Halo!” ucap Mas Dani.Entah apa yang diucapkan Nita, aku tidak dengar, hanya wajah Mas Dani yang terlihat kesal.“Iya, iya, iya. Nanti aku transfer. Tapi gak bisa banyak seperti biasa,” ucap Mas Dani.Aku melotot ke arah Mas Dani, dibalasnya dengan membuang muka, melihat ke arah lain. Benar-benar menyebalkan kakak beradik ini. Aku dianggap apa?“Tidak bisa! Tidak boleh transfer!” Aku berteriak sekencang-kencangnya supaya Nita mendengar.Mas Dani menoleh, terlihat kaget dengan perkataanku barusan.“Bu⎼ bukan apa-apa,” ucap Mas Dani pada Nita. Mungkin Nita bertanya apa yang aku katakan.“Mas Dani tidak boleh transfer! Dengar kamu Nita. Tidak boleh transfer!” Teriakku ke arah hp Mas Dani.“Kamu ini apa-apaan Mawar? Teriak-teriak begitu. Bikin malu saja,” sentak Mas Dani.“Aku tidak malu mempertahankan hakku dan Ari, Mas. Tidak pantas kamu berbuat seperti ini kepadaku, Mas,” ucapku emosi.“Kamu cuma gara-gara uang teriak-teriak seperti itu. Apa pantas begitu?” Mas Dani pun emosi.“Pantas … aku pantas berbuat seperti. Ini hak aku dan Ari, Mas,” jeritku. Aku sudah tidak peduli apa kata tetangga mendengar pertengkaran kami. “Kalau kamu masih mengirim uang ke Nita, aku akan pulang ke rumah orang tuaku. Lebih baik aku hidup bersama orang tuaku yang penuh kasih sayang. Tidak pernah memarahiku seperti kamu, Mas.”“Silahkan kamu pulang! Aku tidak peduli. Istri macam apa yang tidak bisa berbagi sama saudara?! Tidak mengerti kesusahan saudara!” Bentakan Mas Dani membuat Ari menangis keras.Emosi telah menguasaiku sepenuhnya. Dadaku bergemuruh, siap menumpahkan seluruh amarah yang telah kusimpan selama ini.“Kesusahan saudara katamu, Mas? Kesusahan yang mana? Mana ada orang susah yang punya kartu kredit?” Balasku lantang. “Kamu itu hanya memikirkan saudaramu, berbagi untuk saudaramu. Sedangkan istri dan anakmu tidak kamu pikirkan. Aku yang setiap hari berbakti kepadamu, selalu kamu marahi. Suami macam apa kamu?”Plak.Sekali lagi tangan kekar Mas Dani mendarat di pipiku. Cukup sudah! Aku tidak akan bertahan lagi dengan semua perlakuannya. Aku akan pulang ke rumah orang tuaku sekarang juga.“Cukup! Ini terakhir kali tangan jahatmu menyakitiku. Jangan pernah kamu sentuh aku lagi. Aku akan pulang sekarang. Kamu telah melanggar janjimu di depan penghulu dan kepada Tuhan. Aku berhak mengajukan keberatan di mata hukum dan agama,” ucapku.“Apa maksud kamu?” tanya Mas Dani.Aku sudah tidak mau menanggapi lagi pertanyaannya. Kuraih hp untuk menghubungi bapak. “Assalamu’alaikum, Pak,” ucapku sambil terisak.“Wa’alaikumussalam, Mawar. Lho, ada apa? Kamu menangis, Nak?” tanya bapak.“Tolong jemput aku, Pak. Aku mau pulang ke rumah Bapak,” ucapku serak karena tangis.“Baik, Nak. Berikan alamat kamu atau bagikan lokasi, ya!” ucap bapak tanpa banyak bertanya lagi.“Baik, Pak,” kataku.“Mawar … kamu serius mau pulang?” tanya Mas Dani.Aku tetap diam. Aku berusaha menenangkan Ari yang masih saja menangis. Sambil menggendong Ari, kumasukkan semua keperluan Ari dan baju-bajuku ke dalam koper. Sambil menunggu bapak, kususui Ari hingga tertidur.Kulihat hp, ternyata ada beberapa pesan wa. Dari bapak, yang mengatakan posisinya sudah dekat, agar aku bersiap-siap. Ada pesan juga dari Nita. Mau apa lagi dia?[Mbak, kenapa larang mas Dani transfer uang ke aku?][Ingat, ya Mbak. Aku ini adik mas Dani satu-satunya. Aku berhak mendapatkan uang dari mas Dani.][Mbak itu baru masuk ke keluarga kami. Jadi jangan sok kuasain uang mas Dani!][Cepat bilang mas Dani suruh transfer sekarang juga!][Dasar kamu kakak ipar pelit, Mbak!]Astaghfirullah. Kata-kata Nita sungguh menyayat hatiku yang sudah terluka ini. Geram sekali aku membaca pesannya.[Silahkan kamu makan semua uang Mas Dani! Aku sudah tidak peduli,] balasku.Aku segera bersiap karena sebentar lagi bapak datang. Aku letakkan koper di depan pintu.“Mawar. Kamu benar-benar keterlaluan, ya! Kamu itu istriku, harus ikut aturan suami!” Mas Dani berbicara. “Masa, baru bertengkar begini saja, kamu langsung pulang ke rumah orang tua,”Aku menoleh ke arahnya, kutatap matanya dengan penuh kemarahan. Tidak ada kata yang kuucapkan. Aku tidak mau membuang energiku lagi untuk orang toxic seperti dia.“Kalau kamu mau pulang, jangan bawa Ari. Biar Ari nanti ibuku yang urus!” Mas Dani berusaha meraih Ari dari gendonganku.Segera kutepis tangannya kasar. “Enak saja kamu bicara, Mas. Ari ini masih menyusu. Butuh aku, ibunya. Bukan butuh neneknya,” ketusku.“Ah … gampang. Dikasih susu formula juga bisa,” Mas Dani masih berusaha merebut Ari dariku.“Berhenti! Menjauh dariku dan Ari! Atau aku tidak akan segan berteriak minta tolong pada warga sekitar!” ancamku.“Ari itu anakku. Aku ayahnya yang paling berhak. Aku mampu membesarkannya karena aku punya uang. Kalau kamu kan pengangguran, mana ada uang untuk membiayai Ari,” Mas Dani mencebik melihatku.Tok … tok … tok.Suara pintu diketuk. Itu pasti bapak sudah datang. Alhamdulillah, aku bisa segera pergi dari sini bersama Ari.“Jangan berani kamu pergi membawa Ari!” ancam Mas Dani.“Tolong … tolong … tolong …,” Aku berteriak sekeras mungkin. Kubuktikan kalau aku tidak main-main akan berteriak minta tolong.Bug … bug … bug.Suara pintu digedor dari luar.“Dani, cepat buka pintunya! Atau saya dobrak!” Suara Bapak berteriak.Bug … bug … bug.Lagi pintu digedor oleh Bapak.“Apa-apaan kamu, berteriak-teriak. Benar-benar bikin susah aku,” Mas Dani mengangkat tangannya tinggi, ingin menamparku.“Bapak … toloooong!” Aku berteriak lebih keras lagi.BRAK!Pintu didobrak dari luar.“Bapak … toloooong!” Aku berteriak lebih keras lagi.BRAK!Pintu didobrak dari luar.“Dani! Kamu apakan Mawar?” teriak Bapak.Ternyata warga sekitar sudah ramai berkumpul di depan pintu kontrakan. Mereka ramai berbisik-bisik.“Saya tidak ngapa-ngapain Mawar, Pak! Dia saja yang berteriak-teriak kayak orang g*la,” ucap Mas Dani sambil menunjuk-nunjuk wajahku.“Apa kamu bilang? Mawar kayak orang g*la? Kamu yang gak benar jadi suami! Tidak mungkin Mawar berteriak kalau tidak kamu apa-apakan!” Suara Bapak keras dan penuh kemarahan.“Saya sudah tidak percaya sama kamu lagi! Saya akan bawa pulang Mawar dan Ari sekarang juga!” ucap Bapak lagi. “Jangan berani kamu halangi, atau saya akan laporkan kamu ke polisi!”“Tapi, Pak. Ari itu anak saya. Saya berhak mengasuh dia. Apalagi saya ini punya gaji, sedangkan Mawar hanya pengangguran!” ucap Mas Dani keras.“Huuuu …!” Warga ramai menyoraki, mendengar perkataan Mas Dani itu.“Berapa gajimu, hah? Saya mampu memberi Mawar 2 kali bahkan 3 kali lipat
Benar-benar istri pembangkang si Mawar! Tidak pernah mau mendengar ucapanku. Sekarang gajiku mau dia atur-atur, dasar perempuan pengangguran gitu tuh, lihat duit langsung ijo matanya. Huh … geramnya aku.Lebih baik sekarang ku telepon ibu, akan kuadukan semua kelakuan menantu kesayangannya itu. Aku yakin, setelah ini ibu pasti akan membelaku dan memarahi Mawar habis-habisan.“Assalamu’alaikum, Bu,” ucapku.“Wa’alaikumussalam, Dani,” jawab Ibu. “Gimana kabar kamu, Mawar dan Ari? Betah di kontrakan baru?”“Haduh … bukannya betah, Bu. Mawar malah pulang ke rumah orang tuanya. Meninggalkan aku sendirian,” jawabku emosi.“Lho, ada apa? Kenapa Mawar pulang ke rumah orang tuanya? Kalian bertengkar?” cecar Ibu.“Iya bertengkar, Bu. Tapi kali ini Mawar yang keterlaluan, Bu. Masa dia mau atur-atur gajiku. Terus gak mau hidup hemat. Pokoknya Mawar itu boros banget, Bu!” ucapku menggebu.“Boros bagaimana, Dani? Ibu lihat Mawar tidak seperti itu? Lagipula, memangnya selama ini yang atur uang gajim
“Tapi, Bu. Aku sudah tidak bisa bertahan dengan mas Dani,” ucapku pelan.“Apa? Kamu akan bercerai?” tanya Ibu kaget.“I– iya, Bu,”“Apakah tidak bisa kamu beri Dani kesempatan lagi, Nak?” Nada suara Ibu terdengar sedih.“Entah, Bu. Hatiku telah lama memendam sakit. Begitu banyak perilaku dan perkataan mas Dani yang sangat menyakitiku,” Aku terisak.“Mawar, ibu mohon berilah Dani kesempatan! Demi ibu,” ucap Ibu.“Hm … mas Dani pun tidak meminta kesempatan padaku, Bu,” ucapku.“Apakah kamu ingin Dani meminta maaf padamu, Nak?” tanya Ibu. “Nanti biar ibu sampaikan padanya.”“Mas Dani sudah dewasa, Bu. Seharusnya dia menyadari kesalahannya. Tidak perlu disuruh meminta maaf padaku. Seharusnya dia yang meminta maaf sendiri,” jawabku. “Aku pun tidak yakin mas Dani mau meminta maaf padaku.”Terdengar suara Ibu terisak.“Mawar, bolehkah ibu besok menemuimu, Nak?” tanya Ibu.“Tentu saja boleh, Bu,” jawabku. “Ibu tetaplah ibuku,sampai kapan pun.”“Terima kasih Mawar. Sampai jumpa besok. Assalamu
“Mas … mas … itu tolong ambilkan handukku, ya!” Suara perempuan. Suara siapa itu? Mas Dani sedang bersama siapa? Suaranya seperti pernah aku dengar.“Oh … i─ iya, Mir,” sahut mas Dani kepada si perempuan.Mir? Apa itu suara mbak Mira, tetangga sebelah kontrakan? Sepertinya benar, itu suara dia. Sedang apa mbak Mira bersama mas Dani? Apa yang mereka berdua lakukan? Aah … pikiranku berkecamuk, menerka-nerka apa yang terjadi di sana.Kenapa aku harus peduli?! Bukankah aku sudah ingin bercerai dari mas Dani. Mungkin saja ini pertanda dari Allah, supaya aku mantap mengajukan perceraian.Aku putuskan sambungan telepon secara sepihak tanpa mengucapkan salam. Aku tidak mau mengotori telingaku, mendengarkan pembicaraan mereka.Sekitar sepuluh menit aku melayani customer yang datang, hpku kembali berbunyi. Kulihat panggilan dari mas Dani. Aku biarkan saja, karena customerku lebih penting. Akhirnya hp ku atur ke mode hening.**********Waktu sudah hampir magrib. Aku lupa mengecek hp, barangkali
[Halo, Mbak Mawar. Sudah lihat foto yang kukirim?][Bagaimana pendapat, Mbak? Cocok, kan?!] Mbak Mira mengirim pesan diakhiri emoticon senyum.Apa harus kujawab pesannya? Aku tidak menyangka, wanita yang kulihat dari penampilannya seperti wanita baik-baik, malah berbuat hal yang seperti ini.[Maaf, ya. Ini siapa?] Aku berpura-pura tidak tahu kalau yang mengirim pesan adalah mbak Mira.[Oh … iya aku lupa memberitahu, Mbak. Aku Mira, tetangga sebelah kontrakan mas Dani,][Kalau sekarang sih, statusku calon istrinya mas Dani,] mbak Mira menambahkan emoticon hati di pesannya.Aku harus bisa mengontrol diri menghadapi wanita macam mbak Mira ini. Aku tidak mau merendahkan diri dengan marah-marah padanya. Biarlah saat ini dia merasa menang dengan perbuatannya.[Oh begitu,] jawabku singkat.[Kamu gak marah, kan Mbak? Lagipula selama Mbak gak ada, aku lho yang mengurus mas Dani. Dio sudah akrab banget sama mas Dani, sudah seperti ayah dan anak kandung,] [Kami biasa menghabiskan waktu bersama,
POV MiraDuh … suara berisik apa sih itu? Dio dan aku lagi tidur siang, suara ribut-ribut membuatku terbangun. Kayaknya ramai sekali, coba kuintip dulu. Waduh, kok banyak warga berkerumun di depan kontrakan mbak Mawar? Ada apa memangnya? Dari tadi aku tidur, sampai tidak mengetahui ada kejadian apa di sebelah.Oh, ternyata mbak Mawar dan suaminya bertengkar lagi. Tapi kali ini lebih hebat dari yang kemarin. Aku bertanya pada salah satu tetangga yang sudah lebih dulu ikut berkerumun. Katanya bapaknya mbak Mawar datang untuk menjemputnya. Benar saja, tidak lama mereka keluar dan nampaknya mbak Mawar akan pulang ke rumah orang tuanya. Itu dia membawa koper besar, pasti akan tinggal lama bersama orang tuanya atau bahkan akan bercerai dengan suaminya?! Hm … bakal ada calon duda keren nih. Kutatap suami mbak Mawar yang marah-marah melepas kepergian istrinya. Duh … orang keren gini kok ditinggal! Yaah … lumayan, siapa tahu bisa aku dekati. Ku tersenyum membayangkan apa yang akan kulakukan te
POV DaniAah … Mawar sekarang benar-benar sudah tidak menghargaiku. Dia bilang sudah mengajukan cerai … huh dasar istri pembangkang. Mentang-mentang sekarang sudah berjualan, dia merasa sudah hebat … huh. Tapi ibuku bilang jualannya laku, penghasilannya lumayan. Kenapa tidak dari dulu dia jualan, kan jadi tidak minta uang terus padaku. Kalau sekarang dia sudah bisa menghasilkan uang, berarti kami tidak boleh bercerai. Enak saja dia, giliran punya uang ingin pisah dari aku. Lihat saja, aku tidak akan menceraikanmu, Mawar!Ini juga masalah apalagi? Kenapa Mira mengirim pesan seperti itu ke Mawar? Apa-apaan si Mira, seolah-olah aku ada hubungan dengan dia. Padahal aku baru sekali numpang nonton tv di kontrakannya sampai ketiduran. Kenapa juga aku sampai ketiduran di sana … huh.Aku benar-benar tidak ada perasaan pada Mira. Selama ini karena dia baik saja padaku, seringkali memasak untukku, kan lumayan aku jadi irit. Tidak ada dipikiranku untuk mencintainya. Berarti dia kegeeran atas ked
Hari ini aku mulai mengerjakan paket pesanan bu Puspa. Total ada dua ratus paket. Alhamdulillah banyak sekali untuk ukuran baby shop kecil seperti milikku ini. Aku berusaha membungkusnya dengan cantik, sesuai pesanan bu Puspa. Hari ini baby shop libur dulu, supaya aku bisa fokus mengerjakannya dan selesai tepat waktu.Hari sudah sore, Ari sudah dimandikan oleh ibu tadi. Aku masih saja berkutat dengan semua paket-paket ini. Tiba-tiba kudengar suara salam dari arah pintu depan. Seperti suara mas Dani, masa sih dia ke sini? Mungkin aku salah kira. Seorang Mas Dani mana mau menurunkan gengsinya dengan datang ke sini.Ibu berjalan ke arah pintu seraya menjawab salam. Aku tidak terlalu mendengar percakapan dengan tamu yang datang karena fokus membungkus.Tidak lama Ibu kembali dan memberitahu kalau yang datang adalah mas Dani. Kaget juga aku mendengarnya.“Apa? Mas Dani datang ke sini, Bu? Tidak salah? Mau apa dia ke sini, Bu?” Aku memberondong Ibu dengan pertanyaan.“Ibu tidak tahu dia ma