POV DaniAah … Mawar sekarang benar-benar sudah tidak menghargaiku. Dia bilang sudah mengajukan cerai … huh dasar istri pembangkang. Mentang-mentang sekarang sudah berjualan, dia merasa sudah hebat … huh. Tapi ibuku bilang jualannya laku, penghasilannya lumayan. Kenapa tidak dari dulu dia jualan, kan jadi tidak minta uang terus padaku. Kalau sekarang dia sudah bisa menghasilkan uang, berarti kami tidak boleh bercerai. Enak saja dia, giliran punya uang ingin pisah dari aku. Lihat saja, aku tidak akan menceraikanmu, Mawar!Ini juga masalah apalagi? Kenapa Mira mengirim pesan seperti itu ke Mawar? Apa-apaan si Mira, seolah-olah aku ada hubungan dengan dia. Padahal aku baru sekali numpang nonton tv di kontrakannya sampai ketiduran. Kenapa juga aku sampai ketiduran di sana … huh.Aku benar-benar tidak ada perasaan pada Mira. Selama ini karena dia baik saja padaku, seringkali memasak untukku, kan lumayan aku jadi irit. Tidak ada dipikiranku untuk mencintainya. Berarti dia kegeeran atas ked
Hari ini aku mulai mengerjakan paket pesanan bu Puspa. Total ada dua ratus paket. Alhamdulillah banyak sekali untuk ukuran baby shop kecil seperti milikku ini. Aku berusaha membungkusnya dengan cantik, sesuai pesanan bu Puspa. Hari ini baby shop libur dulu, supaya aku bisa fokus mengerjakannya dan selesai tepat waktu.Hari sudah sore, Ari sudah dimandikan oleh ibu tadi. Aku masih saja berkutat dengan semua paket-paket ini. Tiba-tiba kudengar suara salam dari arah pintu depan. Seperti suara mas Dani, masa sih dia ke sini? Mungkin aku salah kira. Seorang Mas Dani mana mau menurunkan gengsinya dengan datang ke sini.Ibu berjalan ke arah pintu seraya menjawab salam. Aku tidak terlalu mendengar percakapan dengan tamu yang datang karena fokus membungkus.Tidak lama Ibu kembali dan memberitahu kalau yang datang adalah mas Dani. Kaget juga aku mendengarnya.“Apa? Mas Dani datang ke sini, Bu? Tidak salah? Mau apa dia ke sini, Bu?” Aku memberondong Ibu dengan pertanyaan.“Ibu tidak tahu dia ma
Pagi ini badanku terasa tidak enak karena semalam kurang tidur. Tapi hatiku terasa lebih tenang, setelah semalam shalat istikharah, memohon petunjuk dari Allah SWT.Bismillah … hari ini aku mulai dengan semangat baru, masa depan baru. Aku akan tetap melanjutkan proses perceraian dengan mas Dani. Hatiku merasa sikap mas Dani kemarin seperti dibuat-buat, tidak tulus meminta maaf. Mungkin ini petunjuk dari Allah.Aku ambil hp di atas nakas. Ada beberapa pesan yang masuk dari customer dan banyak pesan dari mas Dani. Aku hanya membaca pesan dari mas Dani tanpa membalasnya, karena semua isinya hanya kalimat bujukan yang memintaku untuk kembali bersamanya. Aku heran, dari sekian banyak pesannya, tidak ada satupun yang menanyakan Ari. Aku semakin yakin untuk tetap bercerai darinya. Tok … tok … tok.Terdengar suara pintu kamarku diketuk.“Mawar,” Suara Ibu memanggil.“Sudah bangun, Nak?”“Iya, Bu. Sudah,” jawabku.Segera kubuka pintu kamar sambil menggendong Ari.“Ari sudah dimandikan?” tanya
Panggilan telepon dari nomor yang tidak kukenal. Bukan mas Zaki, tadi nomornya sudah kusimpan. Nomor siapa ini? Tanpa curiga kugeser tombol hijau.“Assalamu’alaikum,” ucapku.“Wa’alaikumussalam sayang. Alhamdulillah, akhirnya kamu jawab juga telepon dariku Mawar sayang,”Astaghfirullah, ternyata mas Dani yang menelepon menggunakan nomor baru. Uh … rasanya malah aneh dia memanggilku sayang. Dulu tidak pernah memanggilku dengan sebutan itu.“Huh … ada perlu apa, Mas?” jawabku malas.“Kok kamu bertanya begitu? Sudah jelas aku kangen sama kamu, sayang,” Nada bicara mas Dani terdengar begitu menyebalkan di telingaku.“Sudah tidak ada yang perlu kita bicarakan, Mas. Sampai bertemu nanti di persidangan,” ucapku ketus.“Lho, tunggu dulu dong Mawar. Masa kamu tega sekali sama aku. Semua pesanku hanya dibaca saja. Semua teleponku kamu tolak. Aku ini sampai bela-belain keluar uang buat beli nomor baru, supaya kamu mau jawab teleponku. Tolong kamu ingat masa-masa indah saat kita bersama, ya sayan
Perawat memanggil nama Ari untuk segera memasuki ruangan dokter.“Permisi, dok,” ucapku.“Iya, Bu. Silahkan masuk,” ucap dokter tersebut.“Lho ….”Kami sama-sama terkejut.“Mas Zaki!”“Mbak Mawar!”Kami bersamaan saling menyebut nama, lalu kami pun tertawa kecil.“Oh nama anak Mbak Mawar, Ari. Sakit apa, Mbak?” tanya Mas Zaki.“Ari demam, Mas … eh … dok,” ucapku salah tingkah.“Tidak apa-apa, Mbak. Panggil saja mas! Sudah terbiasa … hehe,” ucap Mas Zaki sambil tertawa kecil.“Duh … jadi ga enak, Mas … dok,” ucapku grogi.“Daripada panggil mas dok, malah aneh kedengarannya,” Senyum Mas Zaki mengembang lebar.“Hm … iya, Mas,” ucapku tersenyum.“Ari dibaringkan dulu, Mbak! Saya akan memeriksanya, ya,” ujar Mas Zaki.“Iya, Mas.”“Panasnya sudah berapa hari, Mbak?” tanya Mas Zaki.“Baru pagi ini, Mas,” jawabku.“Menyusunya gimana? Lancar atau tidak mau menyusu?” “Tadi pagi masih lancar menyusunya, Mas.”“Ada muntah? Diare?”“Tidak ada.”“Ini perutnya kembung. Nanti saya beri obat dulu, ya
Pagi ini aku akan membeli ponsel baru. Alhamdulillah keuntungan dari pesanan bu Puspa bisa untuk membeli ponsel baru. Tidak perlu yang mahal, yang penting bisa untuk operasional baby shop. Setelah selesai sarapan, aku pamit pada ibu untuk pergi ke toko ponsel sebentar. Ari tidak kubawa karena masih pemulihan, takutnya nanti malah demam lagi.Tidak membutuhkan waktu lama untuk memilih ponsel dan juga membeli nomor perdana di toko ponsel. Aku bergegas pulang, takut Ari ingin menyusu. Tapi entah pikiranku yang selalu memikirkan Ari atau memang aku tidak fokus, sehingga ketika menyeberang jalan hampir saja aku tertabrak oleh sebuah mobil. Untung saja mobil itu sempat mengerem mendadak, sehingga tidak sempat menabrakku.Dadaku berdegup kencang, sungguh takut rasanya melihat posisi mobil yang begitu dekat denganku. Aku beristighfar berulang kali dan juga mengucap hamdalah. Lututku terasa lemas, aku berjongkok berusaha untuk menenangkan diri.“Mbak tidak apa-apa?” Sebuah suara yang kukenal
“Maaf, ya Mas Zaki. Itu CALON MANTAN MENANTU saya suka aneh-aneh tingkahnya!” ucap Bapak keras dengan menekankan kata calon mantan menantu.“Oh iya, Pak. Tidak apa-apa,” Mas Zaki membungkukkan badannya sedikit ke arah Bapak.Sungguh aku malu dengan perilaku Mas Dani. Mungkin saat ini wajahku memerah menahan malu di hadapan Mas Zaki.“Kalau begitu, saya tinggal dulu ke dalam, ya Mas. Silahkan lanjutkan memindahkan paketnya bersama Mawar!” izin Bapak.“Iya, Pak. Silakan!” sahut Mas Zaki.“Maafkan ayahnya Ari, ya Mas. Saya jadi malu,” ucapku.“Tidak apa-apa, Mbak,” ucap Mas Zaki tersenyum. “Mari kita lanjutkan memasukkan paketnya!”“Iya, Mas,” ucapku.Kami pun segera melanjutkan memasukkan semua paket ke dalam mobil hingga selesai.“Alhamdulillah selesai juga, Mas. Semoga acaranya lancar, ya! Salam untuk bu Puspa dan sampaikan rasa terima kasih saya!” ucapku sambil menangkupkan tangan di dada.“Aamiin. Terima kasih doanya, Mbak. Oh iya, ini buat Ari,” Mas Zaki memberikan salah satu paket
Sayup-sayup kudengar suara ponsel berbunyi. Ponsel siapa? Suara deringnya bukan punyaku ataupun ibu dan bapak. Kucari-cari sumber suara, dari arah ruang tamu. Ternyata ponsel mas Dani ketinggalan, tertutup bantal sofa.Kulihat siapa nama yang memanggil di ponsel mas Dani. Mirasantika? Siapa Mirasantika?Dering berhenti. Tidak lama sebuah pesan masuk dari Mirasantika. Jariku tidak tahan ingin membuka pesan tersebut. Penasaran siapa Mirasantika? Kok namanya kayak minuman terlarang … hi hi hi.[Mas, ayang. Kok teleponku gak dijawab?][Hari ini kita jadi, kan main ke alun-alun?][Lihat nih! Aku pakai jilbab pemberian dari ayang. Cantik, kan?]Sebuah pesan foto menampilkan mbak Mira menggunakan jilbab berwarna pink.Hah! Jadi Mirasantika itu mbak Mira! Dia pun memanggil mas Dani dengan sebutan ayang. Rupanya mereka benar-benar ada hubungan? Kuremas baju di dadaku. Ada yang sakit di dalam sana, walaupun kami akan bercerai tapi tidak seharusnya mas Dani berlaku seperti ini. Bahkan mas Dani m