Perawat memanggil nama Ari untuk segera memasuki ruangan dokter.“Permisi, dok,” ucapku.“Iya, Bu. Silahkan masuk,” ucap dokter tersebut.“Lho ….”Kami sama-sama terkejut.“Mas Zaki!”“Mbak Mawar!”Kami bersamaan saling menyebut nama, lalu kami pun tertawa kecil.“Oh nama anak Mbak Mawar, Ari. Sakit apa, Mbak?” tanya Mas Zaki.“Ari demam, Mas … eh … dok,” ucapku salah tingkah.“Tidak apa-apa, Mbak. Panggil saja mas! Sudah terbiasa … hehe,” ucap Mas Zaki sambil tertawa kecil.“Duh … jadi ga enak, Mas … dok,” ucapku grogi.“Daripada panggil mas dok, malah aneh kedengarannya,” Senyum Mas Zaki mengembang lebar.“Hm … iya, Mas,” ucapku tersenyum.“Ari dibaringkan dulu, Mbak! Saya akan memeriksanya, ya,” ujar Mas Zaki.“Iya, Mas.”“Panasnya sudah berapa hari, Mbak?” tanya Mas Zaki.“Baru pagi ini, Mas,” jawabku.“Menyusunya gimana? Lancar atau tidak mau menyusu?” “Tadi pagi masih lancar menyusunya, Mas.”“Ada muntah? Diare?”“Tidak ada.”“Ini perutnya kembung. Nanti saya beri obat dulu, ya
Pagi ini aku akan membeli ponsel baru. Alhamdulillah keuntungan dari pesanan bu Puspa bisa untuk membeli ponsel baru. Tidak perlu yang mahal, yang penting bisa untuk operasional baby shop. Setelah selesai sarapan, aku pamit pada ibu untuk pergi ke toko ponsel sebentar. Ari tidak kubawa karena masih pemulihan, takutnya nanti malah demam lagi.Tidak membutuhkan waktu lama untuk memilih ponsel dan juga membeli nomor perdana di toko ponsel. Aku bergegas pulang, takut Ari ingin menyusu. Tapi entah pikiranku yang selalu memikirkan Ari atau memang aku tidak fokus, sehingga ketika menyeberang jalan hampir saja aku tertabrak oleh sebuah mobil. Untung saja mobil itu sempat mengerem mendadak, sehingga tidak sempat menabrakku.Dadaku berdegup kencang, sungguh takut rasanya melihat posisi mobil yang begitu dekat denganku. Aku beristighfar berulang kali dan juga mengucap hamdalah. Lututku terasa lemas, aku berjongkok berusaha untuk menenangkan diri.“Mbak tidak apa-apa?” Sebuah suara yang kukenal
“Maaf, ya Mas Zaki. Itu CALON MANTAN MENANTU saya suka aneh-aneh tingkahnya!” ucap Bapak keras dengan menekankan kata calon mantan menantu.“Oh iya, Pak. Tidak apa-apa,” Mas Zaki membungkukkan badannya sedikit ke arah Bapak.Sungguh aku malu dengan perilaku Mas Dani. Mungkin saat ini wajahku memerah menahan malu di hadapan Mas Zaki.“Kalau begitu, saya tinggal dulu ke dalam, ya Mas. Silahkan lanjutkan memindahkan paketnya bersama Mawar!” izin Bapak.“Iya, Pak. Silakan!” sahut Mas Zaki.“Maafkan ayahnya Ari, ya Mas. Saya jadi malu,” ucapku.“Tidak apa-apa, Mbak,” ucap Mas Zaki tersenyum. “Mari kita lanjutkan memasukkan paketnya!”“Iya, Mas,” ucapku.Kami pun segera melanjutkan memasukkan semua paket ke dalam mobil hingga selesai.“Alhamdulillah selesai juga, Mas. Semoga acaranya lancar, ya! Salam untuk bu Puspa dan sampaikan rasa terima kasih saya!” ucapku sambil menangkupkan tangan di dada.“Aamiin. Terima kasih doanya, Mbak. Oh iya, ini buat Ari,” Mas Zaki memberikan salah satu paket
Sayup-sayup kudengar suara ponsel berbunyi. Ponsel siapa? Suara deringnya bukan punyaku ataupun ibu dan bapak. Kucari-cari sumber suara, dari arah ruang tamu. Ternyata ponsel mas Dani ketinggalan, tertutup bantal sofa.Kulihat siapa nama yang memanggil di ponsel mas Dani. Mirasantika? Siapa Mirasantika?Dering berhenti. Tidak lama sebuah pesan masuk dari Mirasantika. Jariku tidak tahan ingin membuka pesan tersebut. Penasaran siapa Mirasantika? Kok namanya kayak minuman terlarang … hi hi hi.[Mas, ayang. Kok teleponku gak dijawab?][Hari ini kita jadi, kan main ke alun-alun?][Lihat nih! Aku pakai jilbab pemberian dari ayang. Cantik, kan?]Sebuah pesan foto menampilkan mbak Mira menggunakan jilbab berwarna pink.Hah! Jadi Mirasantika itu mbak Mira! Dia pun memanggil mas Dani dengan sebutan ayang. Rupanya mereka benar-benar ada hubungan? Kuremas baju di dadaku. Ada yang sakit di dalam sana, walaupun kami akan bercerai tapi tidak seharusnya mas Dani berlaku seperti ini. Bahkan mas Dani m
Aku keluar kamar, menuju baby shop. Ingin segera menyelesaikan pesanan Aisyah. Tapi begitu sampai di ruang tamu, aku berdiri terpaku. Rupanya Bapak sedang berbincang-bincang dengan tamu. Mataku tidak berkedip melihat seorang laki-laki tengah berdiri, bergerak ke kanan dan ke kiri, sedang menimang Ari yang tertidur pulas dalam dekapannya.Mas Zaki. Aku gumamkan namanya. Iya, laki-laki itu Mas Zaki. Begitu damai melihat adegan yang tersaji di hadapanku ini. Hal yang tidak pernah terjadi antara Ari dengan ayahnya.Tapi kenapa Mas Zaki ke sini lagi? Apakah ada yang ketinggalan?“Mbak Mawar sudah bangun?”Aku menoleh ke arah suara. Ooh, ternyata ada Bu Puspa juga di sini. Ya ampun, aku malu terlihat berantakan seperti ini. Mataku pasti bengkak karena tadi menangis terus.“Oh, i⎼ iya Bu Puspa,” jawabku canggung.“Maaf, saya tidak tahu kalau Bu Puspa dan Mas Zaki datang.”“Tidak apa-apa, Mbak Mawar. Saya yang minta maaf karena mendadak datang seperti ini. Tidak mengabari Mbak Mawar lebih d
POV ZakiMawar. Nama yang indah, seindah rupa dan kepribadiannya. Entah mengapa setelah mama memesan paket produk bayi di baby shop milik Mawar, aku justru beberapa kali bertemu dengannya secara tidak sengaja.Bermula ketika Ari, anaknya sakit. Wajahnya terlihat begitu khawatir dengan keadaan Ari. Aura keibuannya begitu memancar. Aku teringat almarhumah istriku. Ketika almarhum anakku sakit, istriku juga sangat khawatir. Padahal aku, suaminya seorang dokter, tapi tetap saja dia khawatir. Mungkin memang kasih sayang seorang ibu seperti itu, begitu mendalam terhadap anaknya.Tuhan begitu cepat mengambil istri dan anakku. Pada saat aku begitu bahagia dengan kehadiran anakku yang saat itu baru saja berusia dua bulan, badannya gemuk menggemaskan. Azka, bayi mungilku yang lucu. Kulitnya putih bersih seperti istriku, Aina. Aku bahkan tidak melihat proses pemakaman mereka, karena aku masih dalam kondisi tidak sadarkan diri di ICU. Kami mengalami kecelakaan mobil yang merenggut nyawa Azka dan
[Tetap semangat! Ada Ari yang membutuhkanmu.] Aku termenung membaca pesan dari Mas Zaki. Tumben dia tidak menyebutku dengan sebutan ‘Mbak’. Hmm ….[Iya, Mas. Terima kasih,] balasku.Pesanku langsung dibaca olehnya dan kini terlihat dia sedang mengetik.[Kalau butuh bantuan. Bilang, ya!][Iya, Mas.]Hmm, kenapa mas Zaki bicara begitu, ya? Apakah karena kejadian tadi pagi dan juga dia menyadari kalau aku habis menangis? Mungkin dia kasihan padaku.Ah sudahlah, lebih baik aku segera sholat magrib karena baru saja adzan berkumandang.**********Selepas isya aku sudah masuk kamar untuk segera istirahat. Kupandangi wajah Ari yang sudah terlelap tidur lebih dulu. Tebersit rasa sedih yang mendalam, Ari disaat usianya yang masih sangat kecil harus merasakan perpisahan orang tuanya. Kubelai lembut kepalanya. Kubisikkan doa terbaik untuknya.Kuambil ponsel di saku. Ada pesan dari ibu mertua yang mengatakan bahwa besok akan datang bersama Nita. Hmm, tumben sekali dia mau datang ke sini. Biasanya
Aku ambil ponsel lalu segera memotret mereka yang masih berpelukan.“Hei! Ngapain kamu potret kami? Kurang ajar sekali kamu, Mawar!” hardik Mas Dani.“Yang kurang ajar itu kamu, Mas! Peluk-pelukkan sama istri orang, bahkan di depan istrimu sendiri!” ucapku lantang.“Apa kamu bilang?” Mas Dani maju ke arahku dan mengangkat tangannya tinggi ingin memukulku.“Berhenti!” Sebuah tangan menahan tangan Mas Dani hingga tidak jadi mengenaiku.“Hei! Jangan ikut campur kamu!” Mas Dani menepis tangan orang yang menahan tangannya.Aku masih terpaku karena tidak menyangka Mas Dani akan memukulku di depan orang banyak. Tubuhku bergetar, antara rasa takut kena pukul dan juga amarah yang memuncak. Mataku masih menatap tajam ke arah Mas Dani, hingga tidak menyadari siapa orang yang menahan tangan Mas Dani.Nisa menepuk bahuku pelan dan memanggil namaku, hingga aku tersadar dengan apa yang terjadi.“Anda jangan main tangan sama perempuan! Apalagi ini di muka umum, banyak saksi yang akan memberatkan anda