POV ZakiMawar. Nama yang indah, seindah rupa dan kepribadiannya. Entah mengapa setelah mama memesan paket produk bayi di baby shop milik Mawar, aku justru beberapa kali bertemu dengannya secara tidak sengaja.Bermula ketika Ari, anaknya sakit. Wajahnya terlihat begitu khawatir dengan keadaan Ari. Aura keibuannya begitu memancar. Aku teringat almarhumah istriku. Ketika almarhum anakku sakit, istriku juga sangat khawatir. Padahal aku, suaminya seorang dokter, tapi tetap saja dia khawatir. Mungkin memang kasih sayang seorang ibu seperti itu, begitu mendalam terhadap anaknya.Tuhan begitu cepat mengambil istri dan anakku. Pada saat aku begitu bahagia dengan kehadiran anakku yang saat itu baru saja berusia dua bulan, badannya gemuk menggemaskan. Azka, bayi mungilku yang lucu. Kulitnya putih bersih seperti istriku, Aina. Aku bahkan tidak melihat proses pemakaman mereka, karena aku masih dalam kondisi tidak sadarkan diri di ICU. Kami mengalami kecelakaan mobil yang merenggut nyawa Azka dan
[Tetap semangat! Ada Ari yang membutuhkanmu.] Aku termenung membaca pesan dari Mas Zaki. Tumben dia tidak menyebutku dengan sebutan ‘Mbak’. Hmm ….[Iya, Mas. Terima kasih,] balasku.Pesanku langsung dibaca olehnya dan kini terlihat dia sedang mengetik.[Kalau butuh bantuan. Bilang, ya!][Iya, Mas.]Hmm, kenapa mas Zaki bicara begitu, ya? Apakah karena kejadian tadi pagi dan juga dia menyadari kalau aku habis menangis? Mungkin dia kasihan padaku.Ah sudahlah, lebih baik aku segera sholat magrib karena baru saja adzan berkumandang.**********Selepas isya aku sudah masuk kamar untuk segera istirahat. Kupandangi wajah Ari yang sudah terlelap tidur lebih dulu. Tebersit rasa sedih yang mendalam, Ari disaat usianya yang masih sangat kecil harus merasakan perpisahan orang tuanya. Kubelai lembut kepalanya. Kubisikkan doa terbaik untuknya.Kuambil ponsel di saku. Ada pesan dari ibu mertua yang mengatakan bahwa besok akan datang bersama Nita. Hmm, tumben sekali dia mau datang ke sini. Biasanya
Aku ambil ponsel lalu segera memotret mereka yang masih berpelukan.“Hei! Ngapain kamu potret kami? Kurang ajar sekali kamu, Mawar!” hardik Mas Dani.“Yang kurang ajar itu kamu, Mas! Peluk-pelukkan sama istri orang, bahkan di depan istrimu sendiri!” ucapku lantang.“Apa kamu bilang?” Mas Dani maju ke arahku dan mengangkat tangannya tinggi ingin memukulku.“Berhenti!” Sebuah tangan menahan tangan Mas Dani hingga tidak jadi mengenaiku.“Hei! Jangan ikut campur kamu!” Mas Dani menepis tangan orang yang menahan tangannya.Aku masih terpaku karena tidak menyangka Mas Dani akan memukulku di depan orang banyak. Tubuhku bergetar, antara rasa takut kena pukul dan juga amarah yang memuncak. Mataku masih menatap tajam ke arah Mas Dani, hingga tidak menyadari siapa orang yang menahan tangan Mas Dani.Nisa menepuk bahuku pelan dan memanggil namaku, hingga aku tersadar dengan apa yang terjadi.“Anda jangan main tangan sama perempuan! Apalagi ini di muka umum, banyak saksi yang akan memberatkan anda
POV Ibu mertuaAku tidak pernah menyangka kalau rumah tangga anakku, Dani akan berakhir dengan perceraian. Menantuku, Mawar saat ini telah mengurus proses perceraiannya.Permasalahan rumah tangganya sungguh membuatku sedih. Ternyata sifat bapaknya Dani benar-benar ditiru oleh Dani. Dulu aku begitu menderita dengan perilaku bapaknya Dani, tapi aku bertahan demi anak-anakku. Namun mengapa sekarang menantuku malah merasakan hal yang sama.Kalau bisa memilih, aku lebih memilih mereka tidak bercerai. Tapi aku tidak dapat memaksakan Mawar, karena aku tahu bagaimana rasa sakit yang dirasakannya.Selama ini uang bulanan dari Dani, aku kumpulkan. Aku pikir suatu saat nanti pasti menantu atau cucuku akan membutuhkannya. Aku masih bisa hidup dari uang pensiun almarhum suamiku. Hanya saja aku tidak menyangka mereka akan membutuhkannya secepat ini.Uang sebesar dua puluh dua juta rupiah kuberikan pada Mawar untuk modal usaha. Sebuah usaha baby shop yang bertempat di teras rumah orang tuanya. Alham
Dasar Nita! Sudah dewasa tapi sikapnya masih seperti anak kecil. Susah sekali dinasehati. Akhirnya malu sendiri. Aku memang sudah mentransfer Ibu mertua, uang sebesar sepuluh juta. Itu merupakan sebagian dari keuntungan yang kudapatkan selama ini. Memang jumlah segitu sebenarnya aku paksakan untuk memberi pada Ibu mertua, karena aku bertekad akan mengembalikan uang modal darinya secepatnya. Hal ini sebelumnya sudah aku sampaikan kepadanya.“Nita, mohon maaf kalau kamu merasa keberatan Ibu memberi aku modal usaha. Tapi perlu kamu tahu, kalau aku akan mengembalikan semua uang Ibu. Tapi tentu saja tidak bisa sekaligus, karena usahaku ini baru berjalan. Beberapa hari lalu aku sudah mentransfer uang pada Ibu sebesar sepuluh juta. Sisanya dua belas juta lagi, insya Allah secepatnya akan aku transfer begitu ada uangnya. Aku tidak pernah memanfaatkan Ibu! Uang itu Ibu berikan secara sukarela, aku tidak meminta, apalagi memaksa!” Aku menatap Nita tajam, menjelaskan perihal uang dari Ibu mertua
Hari terus berganti, aku makin sibuk dengan usaha baby shop. Alhamdulillah sekarang sudah bekerja sama dengan pak Priyo. Secara rutin aku mengirimkan paket-paket untuk souvenir, bahkan terkadang hingga kewalahan. Saat ini aku sudah menambah jumlah pekerja yang membantuku di baby shop. Ada dua orang tetangga yang kuajak untuk bekerja, jadi sekarang ada tiga orang termasuk Nisa. Persidangan perceraianku pun sudah mulai berjalan. Saat ini sudah sidang ketiga. Tapi karena mas Dani terus mempersulit proses cerai, menggunakan alasan masih mencintaiku dan Ari, memohon maaf, hingga minta diberi kesempatan kedua, maka sidang masih akan berlanjut lagi pada sidang berikutnya. Aku makin muak melihat tingkah laku mas Dani di persidangan, yang berakting seolah-olah menjadi orang yang paling terluka dengan perceraian ini.Lihat saja nanti, semua bukti dan saksi akan kuhadirkan di persidangan untuk meyakinkan hakim agar mengabulkan permohonan ceraiku.Ting!Bunyi notifikasi dari aplikasi pertemanan.
POV DaniSiang ini perutku lapar sekali. Jam istirahat sekitar lima menit lagi. Aku merapikan area kerjaku, bersiap untuk makan siang. Perutku sudah berbunyi minta diisi.Begitu bel tanda istirahat berbunyi, aku bergegas menuju kantin pabrik. Sepanjang perjalanan menuju kantin, aku merasa banyak yang memperhatikanku. Apa ada yang salah di wajahku? Kuusap wajah kasar, takut ada kotoran yang menempel. Tidak ada apa-apa. Semakin dekat dengan kantin, aku mempercepat langkahku. Tapi begitu banyak pasang mata yang menatap ke arahku. Sebenarnya mereka melihat apa sih? Aku jadi salah tingkah. Kurapikan seragam kerjaku, tidak ada yang salah juga dengan seragamku. Ah, sudahlah! Aku tidak peduli. Aku segera mencari tempat duduk yang kosong untuk makan. Makan siang hari ini soto, harumnya sudah menusuk hidungku. Tapi sulit sekali mencari tempat duduk, kantin ini begitu ramai.“Jatuh bareng selingkuhan, rasanya enak atau enaaak?”“Hahahaha!”Tiba-tiba menggelegar suara tawa memenuhi ruangan kant
POV Dani (2)Aku buru-buru bangun dan keluar dari ruangan Pak Agus. Begitu aku keluar, beberapa orang justru tengah berdiri, seperti sengaja menungguku.Tanpa aba-aba mereka semua senyum-senyum menahan tawa saat melihat keningku yang benjol.“Huh … minggir, minggir!” Aku berusaha melewati mereka yang berdiri berjejer.“Eits … gak semudah itu, Dan!” Ridwan berbicara, mencegah langkahku.Aku menatap Ridwan dengan ekspresi bingung.“Yaelah, gak usah sok bingung gitu deh!” Ridwan mencebik.“Kenapa, sih lo, Wan?” sinisku.“Lo bayar dulu semua hutang-hutang lo ke kita! Baru lo bisa pergi!” ketus Ridwan.“Apa-apaan lo, Wan? Perjanjiannya, kan nanti gue bayar pas gajian!” “Itu, kan kalau lo masih kerja! Sekarang, kan lo dipecat! Kalau gak sekarang bayarnya, mau kapan lagi? Nanti jangan-jangan lo kabur,” Ridwan mencebik.“Walau sekarang gue dipecat, tapi gue masih gajian lah! Gajian tinggal tiga hari lagi, masa lo gak bisa sabar, sih!” ketusku.“Justru itu, gue jadi gak percaya! Nanti pas gaj