POV Ibu mertuaAku tidak pernah menyangka kalau rumah tangga anakku, Dani akan berakhir dengan perceraian. Menantuku, Mawar saat ini telah mengurus proses perceraiannya.Permasalahan rumah tangganya sungguh membuatku sedih. Ternyata sifat bapaknya Dani benar-benar ditiru oleh Dani. Dulu aku begitu menderita dengan perilaku bapaknya Dani, tapi aku bertahan demi anak-anakku. Namun mengapa sekarang menantuku malah merasakan hal yang sama.Kalau bisa memilih, aku lebih memilih mereka tidak bercerai. Tapi aku tidak dapat memaksakan Mawar, karena aku tahu bagaimana rasa sakit yang dirasakannya.Selama ini uang bulanan dari Dani, aku kumpulkan. Aku pikir suatu saat nanti pasti menantu atau cucuku akan membutuhkannya. Aku masih bisa hidup dari uang pensiun almarhum suamiku. Hanya saja aku tidak menyangka mereka akan membutuhkannya secepat ini.Uang sebesar dua puluh dua juta rupiah kuberikan pada Mawar untuk modal usaha. Sebuah usaha baby shop yang bertempat di teras rumah orang tuanya. Alham
Dasar Nita! Sudah dewasa tapi sikapnya masih seperti anak kecil. Susah sekali dinasehati. Akhirnya malu sendiri. Aku memang sudah mentransfer Ibu mertua, uang sebesar sepuluh juta. Itu merupakan sebagian dari keuntungan yang kudapatkan selama ini. Memang jumlah segitu sebenarnya aku paksakan untuk memberi pada Ibu mertua, karena aku bertekad akan mengembalikan uang modal darinya secepatnya. Hal ini sebelumnya sudah aku sampaikan kepadanya.“Nita, mohon maaf kalau kamu merasa keberatan Ibu memberi aku modal usaha. Tapi perlu kamu tahu, kalau aku akan mengembalikan semua uang Ibu. Tapi tentu saja tidak bisa sekaligus, karena usahaku ini baru berjalan. Beberapa hari lalu aku sudah mentransfer uang pada Ibu sebesar sepuluh juta. Sisanya dua belas juta lagi, insya Allah secepatnya akan aku transfer begitu ada uangnya. Aku tidak pernah memanfaatkan Ibu! Uang itu Ibu berikan secara sukarela, aku tidak meminta, apalagi memaksa!” Aku menatap Nita tajam, menjelaskan perihal uang dari Ibu mertua
Hari terus berganti, aku makin sibuk dengan usaha baby shop. Alhamdulillah sekarang sudah bekerja sama dengan pak Priyo. Secara rutin aku mengirimkan paket-paket untuk souvenir, bahkan terkadang hingga kewalahan. Saat ini aku sudah menambah jumlah pekerja yang membantuku di baby shop. Ada dua orang tetangga yang kuajak untuk bekerja, jadi sekarang ada tiga orang termasuk Nisa. Persidangan perceraianku pun sudah mulai berjalan. Saat ini sudah sidang ketiga. Tapi karena mas Dani terus mempersulit proses cerai, menggunakan alasan masih mencintaiku dan Ari, memohon maaf, hingga minta diberi kesempatan kedua, maka sidang masih akan berlanjut lagi pada sidang berikutnya. Aku makin muak melihat tingkah laku mas Dani di persidangan, yang berakting seolah-olah menjadi orang yang paling terluka dengan perceraian ini.Lihat saja nanti, semua bukti dan saksi akan kuhadirkan di persidangan untuk meyakinkan hakim agar mengabulkan permohonan ceraiku.Ting!Bunyi notifikasi dari aplikasi pertemanan.
POV DaniSiang ini perutku lapar sekali. Jam istirahat sekitar lima menit lagi. Aku merapikan area kerjaku, bersiap untuk makan siang. Perutku sudah berbunyi minta diisi.Begitu bel tanda istirahat berbunyi, aku bergegas menuju kantin pabrik. Sepanjang perjalanan menuju kantin, aku merasa banyak yang memperhatikanku. Apa ada yang salah di wajahku? Kuusap wajah kasar, takut ada kotoran yang menempel. Tidak ada apa-apa. Semakin dekat dengan kantin, aku mempercepat langkahku. Tapi begitu banyak pasang mata yang menatap ke arahku. Sebenarnya mereka melihat apa sih? Aku jadi salah tingkah. Kurapikan seragam kerjaku, tidak ada yang salah juga dengan seragamku. Ah, sudahlah! Aku tidak peduli. Aku segera mencari tempat duduk yang kosong untuk makan. Makan siang hari ini soto, harumnya sudah menusuk hidungku. Tapi sulit sekali mencari tempat duduk, kantin ini begitu ramai.“Jatuh bareng selingkuhan, rasanya enak atau enaaak?”“Hahahaha!”Tiba-tiba menggelegar suara tawa memenuhi ruangan kant
POV Dani (2)Aku buru-buru bangun dan keluar dari ruangan Pak Agus. Begitu aku keluar, beberapa orang justru tengah berdiri, seperti sengaja menungguku.Tanpa aba-aba mereka semua senyum-senyum menahan tawa saat melihat keningku yang benjol.“Huh … minggir, minggir!” Aku berusaha melewati mereka yang berdiri berjejer.“Eits … gak semudah itu, Dan!” Ridwan berbicara, mencegah langkahku.Aku menatap Ridwan dengan ekspresi bingung.“Yaelah, gak usah sok bingung gitu deh!” Ridwan mencebik.“Kenapa, sih lo, Wan?” sinisku.“Lo bayar dulu semua hutang-hutang lo ke kita! Baru lo bisa pergi!” ketus Ridwan.“Apa-apaan lo, Wan? Perjanjiannya, kan nanti gue bayar pas gajian!” “Itu, kan kalau lo masih kerja! Sekarang, kan lo dipecat! Kalau gak sekarang bayarnya, mau kapan lagi? Nanti jangan-jangan lo kabur,” Ridwan mencebik.“Walau sekarang gue dipecat, tapi gue masih gajian lah! Gajian tinggal tiga hari lagi, masa lo gak bisa sabar, sih!” ketusku.“Justru itu, gue jadi gak percaya! Nanti pas gaj
POV Dani (3)“Mohon maaf, Pak. Kami tetap akan meminta hak kami, karena kami takut Dani tidak akan menepati janjinya. Lagipula kami hanya tahu tempat tinggal Dani sekarang di kontrakan dekat dengan Ahsan. Sedangkan menurut informasi yang Ahsan terima, kalau kontrakan Dani baru saja …” ucap Ridwan.“Kontrakan gue kenapa, Wan?” Aku memotong ucapan Ridwan.“Biar Ahsan aja yang jelasin!” Ridwan melihat ke arah Ahsan.Ahsan menghela napasnya pelan, lalu melihat ke arahku dan Pak Agus.“Begini, Pak. Tadi tetangga kontrakan saya memberitahu kalau barang-barang di kontrakan Dani dikeluarkan semua oleh pemilik kontrakan. Begitu juga dengan barang-barang di kontrakan selingkuhannya Dani, semua dikeluarkan. Bahkan sempat terjadi keributan antara perempuan itu dengan pemilik kontrakan. Ini ada videonya, Pak, kalau Bapak mau lihat,” Ahsan merogoh sakunya, mengambil ponsel.“Tidak perlu. Saya tidak mau melihat hal memalukan seperti itu,” tegas Pak Agus.Ahsan pun langsung memasukkan ponselnya kemba
Hari ini benar-benar melelahkan. Banyak sekali pesanan yang masuk. Aku anggap semua ini adalah hikmah di balik cobaan yang aku alami.Aku belum bicara dengan ibu dan bapak mengenai video viral mas Dani. Tapi tadi sempat bertemu ibu, sepertinya banyak yang ingin ibu tanyakan tapi tidak enak karena melihat aku sibuk bekerja.Pasti nanti saat makan malam akan banyak pertanyaan dari mereka. Aku hanya berharap hal ini tidak menambah kesedihan mereka.Kugendong Ari keluar kamar, menuju meja makan. Tampaknya ibu dan bapak sudah menunggu kami. Makanan pun sudah terhidang di meja.“Wah, makan apa nih, Bu? Mawar sudah lapar sekali,” tanyaku.“Sayur lodeh dan ikan goreng. Ayo cepat duduk dan makan!” jawab Ibu.“Hari ini bapak lihat kamu sibuk sekali, War. Banyak pesanan?” tanya Bapak.“Iya, Pak. Alhamdulillah, banyak sekali pesanan yang masuk. Itu belum dikerjakan semua. Besok akan dilanjutkan lagi,” jawabku.“Alhamdulillah! Bapak senang melihat usaha kamu lancar. Semoga berkah untuk kehidupan k
Tepat pukul delapan pagi aku sampai di depan salon milik bu Puspa. Tampak sepi, sepertinya memang belum buka. Hmm, pantas saja, ternyata jam buka mulai dari pukul 10 pagi hingga delapan malam. Begitu yang tertulis di papan berwarna putih yang tergantung di pintu masuk.[Assalamu’alaikum, Bu. Saya sudah sampai di depan salon,] Kukirim pesan pada bu Puspa.Tiba-tiba pintu salon terbuka.“Mbak Mawar, ya?” tanya seorang gadis berparas ayu.“Oh. Iya, Mbak,” jawabku.“Silahkan masuk, Mbak! Ibu sudah menunggu,” Gadis itu membuka pintu lebar-lebar, mempersilahkanku untuk masuk.“Iya, Mbak. Terima kasih,” Aku masuk mengikuti gadis itu.Gadis itu menunjuk sebuah ruangan dari kaca, terlihat di dalamnya ada bu Puspa. Aku mengucapkan terima kasih dan segera menuju ruangan tersebut.Langkah ini belum sampai ke sana, namun bu Puspa sudah menyadari kehadiranku. Beliau melambaikan tangannya, memberi tanda supaya aku segera masuk. Aku tersenyum dan mengangguk tanda mengerti.“Assalamu’alaikum, Bu,” Kuu
Taksi online yang kutumpangi telah sampai di depan rumah. Aku segera turun sambil menggendong Ari. Kulihat di halaman tidak ada mobil mas Zaki. Hmm, tadi katanya lagi ada di rumah.Aku bergegas masuk ke dalam rumah. Kuucapkan salam, tapi keadaan rumah sepi. Tidak ada yang menjawab salam. Kulihat baby shop juga sepi, hanya ada dua orang pekerja. Nisa tidak terlihat keberadaannya.“Ibu! Bapak! Assalamu’alaikum!”Tidak ada yang menjawab. Ke mana perginya ibu dan bapak?Kuputuskan untuk bertanya pada pekerja di baby shop. Tapi saat aku baru saja membalikkan badan, tiba-tiba ponselku berdering. Ada panggilan masuk dari ibu.“Assalamu’alaikum, Bu. Ibu sama bapak di mana ? Kok rumah sepi sekali? Tadi katanya mas Zaki ada di rumah, kok sekarang gak ada, sih Bu?” Aku langsung memberondong ibu dengan pertanyaan.“Wa’alaikumussalam. Justru itu, Mawar. Tadi tiba-tiba mas Zaki mengeluh sakit kepala hebat. Ibu sampai tidak tega melihatnya. Sekarang kami ada di rumah sakit, mas Zaki masuk ICU karena
Waktu ini telah lama kunantikan. Dua minggu yang lalu, hakim pengadilan agama telah mengetuk palu putusan cerai antara aku dan Mas Dani.Hari ini adalah hari pembacaan ikrar talak di muka sidang. Dengan suara bergetar dan mengeluarkan air mata, Mas Dani mengucapkan ikrar talak.Sah, aku kini resmi menyandang status seorang janda. Ada rasa lega, namun tidak kupungkiri sedih pun menghampiri. Sebuah status yang tidak pernah aku bayangkan ketika dulu memutuskan menikah.Mungkin ini memang sudah suratan takdirku. Aku harus ikhlas, harus kuat, ada Ari yang membutuhkanku.Semua proses hari ini berjalan lancar. Aku ditemani Bapak berjalan menuju tempat parkir motor.“Mawar! Mawar!” Terdengar suara Mas Dani memanggilku.Kuhentikan langkah dan menoleh ke belakang. Mas Dani nampak berlari kecil menghampiriku.Begitu dia tiba di hadapanku, tiba-tiba saja bersimpuh dan memeluk kedua kakiku. Aku refleks menghentakkan kaki hingga terlepas dan mundur tiga langkah ke belakang.“Maafkan aku, Mawar. Aku
Kami semua hendak masuk ke dalam mobil. Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita yang memanggil namaku. Siapa yang memanggilku?Aku menoleh ke arah suara. Lho, Mbak Mira? Mau apa dia memanggilku?Mbak Mira menggendong Dio, tergesa berjalan ke arahku. Apakah dia akan memanas-manasiku lagi seperti dulu?Aku bersiap menghadapi kedatangan Mbak Mira. Setelah apa yang terjadi pada dirinya dan juga Mas Dani, bukan tidak mungkin kalau dia akan melampiaskan kemarahannya padaku.Mbak Mira semakin dekat, napasnya memburu. Matanya lekat memandangku.“Mbak Mawar … maafkan aku! Huhuhuhu ….” Mbak Mira bersimpuh di hadapanku. Dia menangis tersedu, air matanya mengalir deras.Aku tidak percaya dengan apa yang terjadi saat ini. Aku hanya diam, terkejut dengan apa yang dilakukan Mbak Mira.“Mbak, tolong aku!” Mbak Mira menengadahkan wajahnya.“Mbak Mawar, tolong beritahu dimana Mas Dani! Aku mohon, Mbak! Huhuhuu ….”Tangisannya semakin kencang dan menarik perhatian orang yang lalu lalang.“Mbak. tolong
Bu Puspa selesai dengan teleponnya. Kami pun bersiap untuk pergi belanja. Salon sudah mulai ramai dengan pelanggannya, yang semuanya adalah kaum perempuan, karena memang ini salon khusus muslimah.Aku membukakan pintu untuk Bu Puspa keluar. Begitu aku melangkah keluar, ternyata ….“Assalamu’alaikum,” Mas Zaki mengucap salam dan tersenyum padaku.“Oh … wa’alaikumussalam,” jawabku sedikit kaget.“Kamu tidak praktek?” Bu Puspa bertanya pada Mas Zaki.“Tadi aku minta gantikan sama temanku, Ma,” jawab Mas Zaki mengulum senyum.“Ooh. Ada apa ke sini? Ada hal penting yang ingin kamu bicarakan sama mama?”“Eng … hmm … gak ada, Ma. Cuma mau titip ini untuk Ari,” Mas Zaki memberikan sebuah tas kertas padaku.“Oh … apa ini, Mas?” tanyaku.“Mainan untuk Ari,” jawab Mas Zaki.“Tidak perlu repot-repot, Mas.”“Tidak repot, kok. Semoga Ari suka, ya.”“Terima kasih,” ucapku.“Ehem!” Bu Puspa berdehem.“Eh … eng, Mama apa sih? Pakai berdehem segala,” Mas Zaki seperti anak kecil yang merajuk.“Duuh, ana
Tepat pukul delapan pagi aku sampai di depan salon milik bu Puspa. Tampak sepi, sepertinya memang belum buka. Hmm, pantas saja, ternyata jam buka mulai dari pukul 10 pagi hingga delapan malam. Begitu yang tertulis di papan berwarna putih yang tergantung di pintu masuk.[Assalamu’alaikum, Bu. Saya sudah sampai di depan salon,] Kukirim pesan pada bu Puspa.Tiba-tiba pintu salon terbuka.“Mbak Mawar, ya?” tanya seorang gadis berparas ayu.“Oh. Iya, Mbak,” jawabku.“Silahkan masuk, Mbak! Ibu sudah menunggu,” Gadis itu membuka pintu lebar-lebar, mempersilahkanku untuk masuk.“Iya, Mbak. Terima kasih,” Aku masuk mengikuti gadis itu.Gadis itu menunjuk sebuah ruangan dari kaca, terlihat di dalamnya ada bu Puspa. Aku mengucapkan terima kasih dan segera menuju ruangan tersebut.Langkah ini belum sampai ke sana, namun bu Puspa sudah menyadari kehadiranku. Beliau melambaikan tangannya, memberi tanda supaya aku segera masuk. Aku tersenyum dan mengangguk tanda mengerti.“Assalamu’alaikum, Bu,” Kuu
Hari ini benar-benar melelahkan. Banyak sekali pesanan yang masuk. Aku anggap semua ini adalah hikmah di balik cobaan yang aku alami.Aku belum bicara dengan ibu dan bapak mengenai video viral mas Dani. Tapi tadi sempat bertemu ibu, sepertinya banyak yang ingin ibu tanyakan tapi tidak enak karena melihat aku sibuk bekerja.Pasti nanti saat makan malam akan banyak pertanyaan dari mereka. Aku hanya berharap hal ini tidak menambah kesedihan mereka.Kugendong Ari keluar kamar, menuju meja makan. Tampaknya ibu dan bapak sudah menunggu kami. Makanan pun sudah terhidang di meja.“Wah, makan apa nih, Bu? Mawar sudah lapar sekali,” tanyaku.“Sayur lodeh dan ikan goreng. Ayo cepat duduk dan makan!” jawab Ibu.“Hari ini bapak lihat kamu sibuk sekali, War. Banyak pesanan?” tanya Bapak.“Iya, Pak. Alhamdulillah, banyak sekali pesanan yang masuk. Itu belum dikerjakan semua. Besok akan dilanjutkan lagi,” jawabku.“Alhamdulillah! Bapak senang melihat usaha kamu lancar. Semoga berkah untuk kehidupan k
POV Dani (3)“Mohon maaf, Pak. Kami tetap akan meminta hak kami, karena kami takut Dani tidak akan menepati janjinya. Lagipula kami hanya tahu tempat tinggal Dani sekarang di kontrakan dekat dengan Ahsan. Sedangkan menurut informasi yang Ahsan terima, kalau kontrakan Dani baru saja …” ucap Ridwan.“Kontrakan gue kenapa, Wan?” Aku memotong ucapan Ridwan.“Biar Ahsan aja yang jelasin!” Ridwan melihat ke arah Ahsan.Ahsan menghela napasnya pelan, lalu melihat ke arahku dan Pak Agus.“Begini, Pak. Tadi tetangga kontrakan saya memberitahu kalau barang-barang di kontrakan Dani dikeluarkan semua oleh pemilik kontrakan. Begitu juga dengan barang-barang di kontrakan selingkuhannya Dani, semua dikeluarkan. Bahkan sempat terjadi keributan antara perempuan itu dengan pemilik kontrakan. Ini ada videonya, Pak, kalau Bapak mau lihat,” Ahsan merogoh sakunya, mengambil ponsel.“Tidak perlu. Saya tidak mau melihat hal memalukan seperti itu,” tegas Pak Agus.Ahsan pun langsung memasukkan ponselnya kemba
POV Dani (2)Aku buru-buru bangun dan keluar dari ruangan Pak Agus. Begitu aku keluar, beberapa orang justru tengah berdiri, seperti sengaja menungguku.Tanpa aba-aba mereka semua senyum-senyum menahan tawa saat melihat keningku yang benjol.“Huh … minggir, minggir!” Aku berusaha melewati mereka yang berdiri berjejer.“Eits … gak semudah itu, Dan!” Ridwan berbicara, mencegah langkahku.Aku menatap Ridwan dengan ekspresi bingung.“Yaelah, gak usah sok bingung gitu deh!” Ridwan mencebik.“Kenapa, sih lo, Wan?” sinisku.“Lo bayar dulu semua hutang-hutang lo ke kita! Baru lo bisa pergi!” ketus Ridwan.“Apa-apaan lo, Wan? Perjanjiannya, kan nanti gue bayar pas gajian!” “Itu, kan kalau lo masih kerja! Sekarang, kan lo dipecat! Kalau gak sekarang bayarnya, mau kapan lagi? Nanti jangan-jangan lo kabur,” Ridwan mencebik.“Walau sekarang gue dipecat, tapi gue masih gajian lah! Gajian tinggal tiga hari lagi, masa lo gak bisa sabar, sih!” ketusku.“Justru itu, gue jadi gak percaya! Nanti pas gaj
POV DaniSiang ini perutku lapar sekali. Jam istirahat sekitar lima menit lagi. Aku merapikan area kerjaku, bersiap untuk makan siang. Perutku sudah berbunyi minta diisi.Begitu bel tanda istirahat berbunyi, aku bergegas menuju kantin pabrik. Sepanjang perjalanan menuju kantin, aku merasa banyak yang memperhatikanku. Apa ada yang salah di wajahku? Kuusap wajah kasar, takut ada kotoran yang menempel. Tidak ada apa-apa. Semakin dekat dengan kantin, aku mempercepat langkahku. Tapi begitu banyak pasang mata yang menatap ke arahku. Sebenarnya mereka melihat apa sih? Aku jadi salah tingkah. Kurapikan seragam kerjaku, tidak ada yang salah juga dengan seragamku. Ah, sudahlah! Aku tidak peduli. Aku segera mencari tempat duduk yang kosong untuk makan. Makan siang hari ini soto, harumnya sudah menusuk hidungku. Tapi sulit sekali mencari tempat duduk, kantin ini begitu ramai.“Jatuh bareng selingkuhan, rasanya enak atau enaaak?”“Hahahaha!”Tiba-tiba menggelegar suara tawa memenuhi ruangan kant