Taksi online yang kutumpangi telah sampai di depan rumah. Aku segera turun sambil menggendong Ari. Kulihat di halaman tidak ada mobil mas Zaki. Hmm, tadi katanya lagi ada di rumah.Aku bergegas masuk ke dalam rumah. Kuucapkan salam, tapi keadaan rumah sepi. Tidak ada yang menjawab salam. Kulihat baby shop juga sepi, hanya ada dua orang pekerja. Nisa tidak terlihat keberadaannya.“Ibu! Bapak! Assalamu’alaikum!”Tidak ada yang menjawab. Ke mana perginya ibu dan bapak?Kuputuskan untuk bertanya pada pekerja di baby shop. Tapi saat aku baru saja membalikkan badan, tiba-tiba ponselku berdering. Ada panggilan masuk dari ibu.“Assalamu’alaikum, Bu. Ibu sama bapak di mana ? Kok rumah sepi sekali? Tadi katanya mas Zaki ada di rumah, kok sekarang gak ada, sih Bu?” Aku langsung memberondong ibu dengan pertanyaan.“Wa’alaikumussalam. Justru itu, Mawar. Tadi tiba-tiba mas Zaki mengeluh sakit kepala hebat. Ibu sampai tidak tega melihatnya. Sekarang kami ada di rumah sakit, mas Zaki masuk ICU karena
"Dek! Beresin dulu bekas makannya! Baru kamu tidur!" ucap Mas Dani, suamiku.Aku baru saja membuka mata. Rupanya aku ketiduran saat menyusui anakku. Posisiku di kasur lantai, menghadap suami yang rupanya sudah selesai makan. Saat ini kami di ruang tengah, duduk beralaskan tikar. Kulihat makanan sudah dibereskan, mungkin oleh suamiku."Aku, kan lagi nyusui Ari, Mas. Maaf, aku ketiduran," kataku."Makanya jangan tidur!" Ekspresi suamiku terlihat menahan marah."Aku ketiduran, Mas. Bukannya sengaja tidur," balasku. "Lagipula, kalau Mas gak mau beresin … ya gak usah diberesin. Biarin saja!""Kamu kalau dibilangin, ngejawab terus!" sentak suamiku."Ya ampun, Mas. Kamu, kan lihat kalau aku lagi nyusuin Ari. Kenapa sih, cuma urusan beresin bekas makan aja, Mas marah?" tanyaku."Alaah … alasan. Kamu memang malas!" ucap suamiku.Deg. Sakit sekali hatiku mendengar ucapannya. Biarlah aku tak menanggapi lagi ucapannya. Dari
Bapak, Ibu, aku dan Mas Dani sudah duduk bersama di ruang tengah. Ari sudah kutidurkan di kamar."Bapak dan Ibu tadi mendengar semua perkataan kalian saat bertengkar," Bapak memulai pembicaraan.Aku hanya bisa menundukkan kepala sembari sekali-kali melihat ke arah Bapak. Mas Dani terlihat memainkan jemarinya, sepertinya ia gugup."Bapak sudah bicara dengan Ibu. Bapak memutuskan kalian sudah waktunya hidup mandiri!" ucap Bapak.Aku dan Mas Dani bersamaan memandang Bapak. Aku merasa senang dengan keputusan Bapak, supaya kami tidak menyusahkan kedua orang tuaku terus. Aku juga ingin melihat, sejauh mana kemampuan Mas Dani yang sombong dengan gajinya itu.Tapi, kulihat Mas Dani sepertinya kurang suka dengan keputusan Bapak. Wajahnya terlihat kaget, matanya membulat."Tapi, Pak. Kami mau tinggal dimana?" tanya Mas Dani."Itu urusan kamu, sebagai kepala rumah tangga!" ucap Bapak tegas.
"Bosan? Kamu bosan sama aku, Mas?" tanyaku. Dadaku makin bergemuruh, amarah semakin memuncak mendengar perkataan laki-laki yang bergelar suamiku.Usia pernikahan kami baru 2 tahun. Dikarunia seorang bayi laki-laki tampan menggemaskan, yang kami beri nama Ari Prayoga. Saat ini usianya, 3 bulan. Di usia pernikahan yang masih seumur jagung ini, Mas Dani mengatakan bosan. Apa ia bosan denganku? Bosan dengan pernikahan ini?"Iya, bisa saja nanti aku bosan sama kamu, kalau sok ngatur-ngatur aku terus," Lantang sekali Mas Dani mengucapkan kalimat itu. Tidak pedulikah ia akan perasaanku? Oh Tuhan, nyeri sekali hati ini."Kalau memang kamu sudah bosan sama aku. Kembalikan aku kepada orang tuaku, Mas!" Aku terisak, tidak kuat menahan pilu."Aah … bosan bukan berarti aku mau cerai, ya. Ingat itu!" sentak Mas Dani. "Ari masih kecil, siapa yang mau kasih makan kalau bukan aku? Kamu, kan gak ada gaji!""Orang tuaku masih sanggu
“Ya sudah, terserah Mas saja. Aku serahin aja semua urusan kontrakan ini ke Mas!” Kubaringkan tubuh menghadap Ari.“Kamu ….” Masih kudengar suara Mas Dani menahan geram. Kupaksa memejamkan mata ini, walau terasa panas, menahan air mata yang nyaris meluncur bebas.**********Pagi ini Mas Dani berangkat kerja lebih awal, tanpa sarapan lebih dahulu. Ia bilang akan mampir ke kontrakan temannya dulu, mau menanyakan ada kontrakan kosong atau tidak.Ting.Kudengar bunyi notifikasi wa, tapi bukan dari hpku. Lho, ternyata hp Mas Dani ketinggalan. Sekilas kulihat pengirimannya Ahmad, kupikir mungkin teman yang akan ditemuinya pagi ini.[Emangnya mertua lo, ngusirnya buru-buru pindah, gitu?] Terbelalak mataku membaca pesan itu.Ya Allah, apalagi ini? Kenapa teman Mas Dani bisa bertanya seperti itu? Apa Mas Dani sudah memfitnah kedua orang tuaku? Astaghfirullah, berdenyut hatiku setelah membaca pes
Hari ini kami akan pindah ke kontrakan. Pagi-pagi sekali aku sudah bangun untuk mempersiapkan kepindahan kami. Setelah memasak untuk sarapan, aku membangunkan Mas Dani.“Mas, ayo bangun. Kita sarapan dulu!” Kutepuk pelan bahu suamiku.“Hm … sebentar lagi. Mumpung aku libur, santai dulu,” ucap Mas Dani.“Mas lupa, ya? Hari ini, kan kita mau pindahan. Katanya harus bangun pagi-pagi!?” ucapku.“Itu kamu yang harus bangun pagi-pagi. Kalau aku bebas!” Ketus Mas Dani.Astaghfirullah, kuhela napas perlahan. Lebih baik kumandikan Ari saja, sambil menunggu Mas Dani bangun. Aku pun beranjak ke belakang sambil menggendong Ari yang menggeliat menggemaskan. Untung ada kamu, Nak. Jadi ibu selalu ada hiburan.**********Terdengar suara mobil yang berhenti di depan rumah. Kulihat ternyata sebuah truk ukuran kecil sudah parkir di teras. Oh mungkin ini truk yang sudah dipesan Mas Dani untuk membantu kami
Kulihat catatanku. Hah, banyak banget yang dicoret-coret. Apalagi bedakku, dicoret sampai hampir bolong kertasnya. Ampun deh, punya suami toxic banget.Kira-kira sekitar jam sepuluh pagi, kami sudah sampai di salah satu minimarket. Letaknya di seberang pabrik, lokasinya sangat strategis, jadi ramai pengunjung. Aku mulai memasukkan satu per satu barang yang sesuai ada di dalam catatanku. Namun Mas Dani tetap mengawasi, sesekali ia mengembalikan barang yang aku ambil ke rak, atau mengurangi jumlahnya. Aku cuma bisa beristighfar dalam hati. Tapi tanpa sepengetahuan Mas Dani, ada barang yang aku ambil lagi dari rak. Seperti popok, aku tidak mau jumlah popok dikurangi terlalu banyak karena akan sangat repot sekali kalau harus bolak-balik nyuci ompol.Setelah semua barang yang dibutuhkan masuk keranjang, kami pun menuju kasir. Mas Dani ternganga mendengar total harga belanjaan yang harus dibayar. Ia pun melirik ke arahku penuh makna. Aku pura-pura tidak tahu. M
Baru saja beberapa langkah aku keluar dari kontrakan. Tiba-tiba kudengar suara Ari menangis. Aku kembali masuk ke dalam kontrakan. Mas Dani sudah menggendong Ari, tapi tetap saja Ari menangis. Mungkin dia haus ingin minum asi.“Cup … cup … sayang, ini ibu datang. Haus ya?” Kuraih Ari dari gendongan Mas Dani.“Mawar … aku belum makan,” ucap Mas Dani. “Kamu gak jadi beli makanan?”“Bagaimana aku bisa beli makanan, mas? Kan, Mas lihat, baru saja aku keluar tapi Ari menangis, haus mau nyusu. Nanti aku belikan kalau Ari sudah selesai,” jawabku.“Iya, cepat, ya!” titah Mas Dani.“Hm …,” gumamku.Sekitar 20 menit berlalu, akhirnya Ari sudah selesai menyusu. Wajah Mas Dani sudah ditekuk begitu rupa. Hh … salah sendiri, kalau lapar ya beli sendiri saja. Kayak gak lihat istrinya repot sama anak.Kuletakkan Ari di kasur dengan hati-hati, takut terbangun lagi. Ku buru-buru keluar untuk membeli makanan. Sudah lewat dzuhur, matahari terasa begitu terik. Untung saja ada warung makan yang letaknya ti