Kulihat catatanku. Hah, banyak banget yang dicoret-coret. Apalagi bedakku, dicoret sampai hampir bolong kertasnya. Ampun deh, punya suami toxic banget.
Kira-kira sekitar jam sepuluh pagi, kami sudah sampai di salah satu minimarket. Letaknya di seberang pabrik, lokasinya sangat strategis, jadi ramai pengunjung. Aku mulai memasukkan satu per satu barang yang sesuai ada di dalam catatanku. Namun Mas Dani tetap mengawasi, sesekali ia mengembalikan barang yang aku ambil ke rak, atau mengurangi jumlahnya. Aku cuma bisa beristighfar dalam hati. Tapi tanpa sepengetahuan Mas Dani, ada barang yang aku ambil lagi dari rak. Seperti popok, aku tidak mau jumlah popok dikurangi terlalu banyak karena akan sangat repot sekali kalau harus bolak-balik nyuci ompol.Setelah semua barang yang dibutuhkan masuk keranjang, kami pun menuju kasir. Mas Dani ternganga mendengar total harga belanjaan yang harus dibayar. Ia pun melirik ke arahku penuh makna. Aku pura-pura tidak tahu. Masa bodoh, biar suamiku ini tahu berapa harga-harga barang kebutuhan saat ini. Jangan cuma tahu kasih uang belanja, tanpa mau tahu pusingnya mengatur uang belanja yang hanya sedikit. Itu pun belanja bulanan belum termasuk bumbu-bumbu dapur. Hm … nanti uang belanja untuk masak, kira-kira aku akan dikasih berapa, ya?**********Begitu sampai rumah, kulihat wajah Mas Dani masih saja cemberut. Wah, pasti sebentar lagi akan ada ceramah yang panjang nih. Aku harus menyiapkan mental, supaya tidak terlalu sakit hati.“Mawar,” panggil Mas Dani. Benar saja nih, ceramah akan segera dimulai.“Iya, Mas,” jawabku.“Masa belanja bulanan sampai tujuh ratus ribu!? Itu udah sesuai sama catatan yang udah aku coret-coret, gak?” tanya Mas Dani.“Iya sudah, Mas! Kan, tadi Mas juga mengawasi. Bahkan Mas juga mengurangi belanjaan yang menurut Mas gak penting. Aku saja tidak jadi beli bedak,” jawabku.“Tapi kenapa banyak banget, ya? Duh … pusing aku kalau begini. Uang kontrakan sudah lima ratus ribu, belanja bulanan tujuh ratus ribu. Itu saja sudah satu juta dua ratus. Belum untuk listrik, uang masak, uang untuk ibuku dan juga untuk adikku,” ujar Mas Dani.Oh, ternyata selama ini suamiku suka memberi untuk ibunya, bahkan adiknya juga. Aku tidak keberatan kalau untuk mertuaku. Tapi kalau untuk adiknya yang sudah bekerja, masa sih suamiku tetap memberinya uang.“Mas, adikmu Nita, kan sudah bekerja. Kenapa masih diberi uang, Mas?” tanyaku.“Nita itu adikku satu-satunya. Wajar dong, kalau aku kasih uang,” jawab Mas Dani ketus.“Tapi, kan dia sudah dewasa dan bekerja, Mas. Apalagi dia bekerja sebagai akuntan dan sudah karyawan tetap, pasti gajinya lebih besar daripada kamu. Iya, kan?!” ucapku.“Ah … sok tahu kamu! Kata siapa gaji akuntan lebih besar dari gajiku?” tanya Mas Dani.“Coba saja kamu browsing kisaran gaji seorang akuntan berapa, Mas!” tantangku. “Jangan kaget, kalau gaji Nita lebih besar daripada gaji, Mas!” ujarku mencebik.Mas Dani mengutak-atik hpnya. Sepertinya ia mencari informasi soal gaji seorang akuntan. Tak lama dahinya berkerut, matanya membelalak. Hah … rasakan kamu, Mas. Tiap bulan kamu memberi uang pada orang yang tidak tepat. Sedangkan istrimu sendiri disuruh hemat, hemat dan hemat terus.“Ketemu, Mas?” tanyaku. “I─ iya. Besar juga, ya,” gumam Mas Dani.“Lebih besar dari gaji kamu, Mas?” tanyaku menyelidik.“Iya,” jawab Mas Dani spontan.“Memangnya gaji Mas berapa?” tanyaku memancing kejujurannya.“Empat juta lima ratus,” jawab Mas Dani.Akhirnya suamiku jujur juga. Ya ampun, dengan gaji yang bisa dibilang kecil itu, Mas Dani banyak bergaya, sok levelnya tinggi. Sekarang baru pusing dia, bingung ngatur gajinya.“Memangnya Mas biasa kasih ibu dan Nita berapa?” tanyaku.“Kenapa kamu tanya begitu? Kamu keberatan?” Mas Dani malah balik bertanya dengan ketus.“Bukan begitu, Mas. Kalau untuk ibu, aku tidak keberatan. Kan, ibu orang tuaku juga. Tapi kalau untuk Nita, aku jelas keberatan, Mas,” jelasku. “Mas, kan sudah tahu sendiri kalau gaji dia lebih besar. Masa masih harus dikasih uang terus. Lalu kapan kita bisa nabung untuk beli rumah? Gak mungkin, kan selamanya kita tinggal di kontrakan?!” ucapku.Mas Dani mengusap wajahnya kasar. Mungkin dia berpikir semua ucapanku benar. Semoga saja pikirannya bisa terbuka.“Sekarang gimana, Mas? Aku dikasih jatah berapa seminggu, untuk belanja masakan?” tanyaku.“Karena sekarang kita harus bayar kontrakan dan belanja bulanan sendiri. Jatah kamu, aku kurangi jadi seratus ribu seminggu, ya!” ujar Mas Dani.“Aku tidak mau, Mas!” jawabku. “Enak saja, Nita yang sudah bekerja dan punya penghasilan lebih besar saja masih kamu beri uang. Masa aku, istri kamu, harus hidup berhemat. Harus mengurangi ini itu,” ucapku lantang.“Aku tidak enak, kan biasa memberi. Masa sekarang harus berhenti memberi,” ujar Mas Dani.“Kamu harus berhenti memberinya uang! Atau beri aku jumlah yang sama dengan yang kamu berikan ke ibu dan Nita!” ancamku.“Apa? Masa aku harus memberi kamu dua juta?!” tegas Mas Dani.“Oh, ternyata kamu memberi ibu satu juta dan Nita satu juta. Begitu, Mas?” selidikku.“I─ iya,” jawab Mas Dani gugup.“Astaghfirullah, Mas. Kamu memberi hampir setengah gajimu?!” tanyaku lantang. “Kamu bilang kita hidup harus hemat. Tapi kamu begitu mudahnya memberi uang segitu besar ke adikmu yang sudah bekerja. Ingat Mas, gaji Nita lebih besar dari kamu! Kamu jangan beri istri dan anak kamu kehidupan yang susah, ya! Sementara kamu berlagak sok kaya di mata orang lain,” ucapku sinis.“Ah … kamu ini sekarang banyak membantah, ya! Biar bagaimanapun Nita adikku. Mengerti, kamu?!” teriak Mas Dani.Ya Allah, hari kedua di tempat tinggal baru, kami malah bertengkar. Malu aku sama tetangga, apa kata mereka? Semoga saja mereka tidak mendengar pertengkaran kami. Tapi kurasa mereka mendengar, karena kontrakan disini petakan yang berdempet-dempet, ramai penghuninya.Ah, sudahlah. Lebih baik aku mengalah, tidak akan membalas omongan Mas Dani. Biar dia berpikir dulu, apakah semua tindakannya sudah benar atau belum. Ya Allah, bukalah hati dan pikiran suamiku. Aamiin.Aku tidak menjawab lagi omongan Mas Dani. Aku beranjak ke kamar mandi untuk berwudhu, karena ini sudah masuk waktu dzuhur. Selesai sholat, aku langsung masak mie instan yang tadi tidak boleh dibeli di minimarket. Diam-diam aku memasukkan ke keranjang, karena kupikir pulang belanja pasti tidak sempat masak, aku pun belum belanja masakan. Aku menyantap mie instan tanpa menawarkan pada Mas Dani.“Lho, kok kamu makan mie sendiri saja? Buat aku mana?” tanya Mas Dani.“Kan, tadi Mas bilang gak boleh beli mie instan. Ini aku beli buatku sendiri. Nih, aku ganti uangnya tiga ribu,” jawabku sambil memberi uang kepada Mas Dani.“Aku juga lapar, Mawar. Terus aku makan apa?” keluh Mas Dani.“Ya, Mas tunggu aku masak. Itu pun setelah aku diberi uang belanja, baru aku masak,” ucapku santai.“Hh … ini uang belanja kamu,” Mas Dani menyodorkan uang dua ratus ribu.Aku hanya melihat sebentar dan melanjutkan makan kembali. Rupanya Mas Dani sudah berpikir dan tidak jadi mengurangi jatah uang belanjaku. Tapi tetap tidak rela kalau Mas Dani masih memberi uang ke adiknya.Selesai makan, kuambil uang dari Mas Dani yang tergeletak di atas karpet.“Sekarang aku belikan kamu makanan matang dulu, ya. Karena gak mungkin kamu nungguin aku masak dulu, nanti kamu keburu kelaparan. Untuk makan malam juga, aku akan beli lauk matang. Sekarang sudah siang, sepertinya tukang sayur juga tidak ada yang lewat lagi,” ucapku.“Iya,” kata Mas Dani.“Satu lagi. Aku mau mulai menabung untuk membeli rumah. Berapa pun jumlahnya, yang penting kita menabung. Ini berarti, Mas harus berhenti memberi Nita uang! Kumohon kamu mau membuka pikiran dan hatimu. Pikirkan Ari yang membutuhkan rumah layak untuk dia tinggal!” ujarku. Lalu berdiri dan menuju pintu untuk keluar mencari lauk matang.“Tapi, War …,” Kudengar Mas Dani bicara, namun tidak kuhiraukan. Kutinggalkan ia untuk berpikir.Baru saja beberapa langkah aku keluar dari kontrakan. Tiba-tiba kudengar suara Ari menangis. Aku kembali masuk ke dalam kontrakan. Mas Dani sudah menggendong Ari, tapi tetap saja Ari menangis. Mungkin dia haus ingin minum asi.“Cup … cup … sayang, ini ibu datang. Haus ya?” Kuraih Ari dari gendongan Mas Dani.“Mawar … aku belum makan,” ucap Mas Dani. “Kamu gak jadi beli makanan?”“Bagaimana aku bisa beli makanan, mas? Kan, Mas lihat, baru saja aku keluar tapi Ari menangis, haus mau nyusu. Nanti aku belikan kalau Ari sudah selesai,” jawabku.“Iya, cepat, ya!” titah Mas Dani.“Hm …,” gumamku.Sekitar 20 menit berlalu, akhirnya Ari sudah selesai menyusu. Wajah Mas Dani sudah ditekuk begitu rupa. Hh … salah sendiri, kalau lapar ya beli sendiri saja. Kayak gak lihat istrinya repot sama anak.Kuletakkan Ari di kasur dengan hati-hati, takut terbangun lagi. Ku buru-buru keluar untuk membeli makanan. Sudah lewat dzuhur, matahari terasa begitu terik. Untung saja ada warung makan yang letaknya ti
Aku memaksa tubuh dan hati ini untuk istirahat sejenak. Percuma saja meneruskan pertengkaran dengan Mas Dani, yang ada aku akan semakin sakit hati. Cara berpikirnya, tingkah lakunya, sungguh membuat aku lelah. Belum lagi semua omongan yang keluar dari mulutnya, begitu menyakiti hatiku.Aku tidak pernah membayangkan kalau orang yang kupercayakan hidup dan matiku di tangannya, justru dialah yang selalu menyakitiku. Hidup berumah tangga ternyata tidak seperti bayanganku. Kulihat rumah tangga kedua orang tuaku begitu bahagia, saling melengkapi, saling menyayangi. Kenapa rumah tanggaku seperti ini?Ya Allah, apa yang harus kulakukan? Apakah aku salah bila tak sanggup bertahan? Adzan ashar berkumandang. Kubuka mata perlahan, mengusap air mata yang masih tersisa. Ternyata Ari sudah bangun, tapi tidak menangis, sedang memainkan ludahnya. Senyumku mengembang melihat kelucuan anakku. Hanya Ari yang membuatku mampu bertahan, hanya Ari yang menjadi pelipur laraku.Kulihat sekitar, Mas Dani tidak
“Bapak … toloooong!” Aku berteriak lebih keras lagi.BRAK!Pintu didobrak dari luar.“Dani! Kamu apakan Mawar?” teriak Bapak.Ternyata warga sekitar sudah ramai berkumpul di depan pintu kontrakan. Mereka ramai berbisik-bisik.“Saya tidak ngapa-ngapain Mawar, Pak! Dia saja yang berteriak-teriak kayak orang g*la,” ucap Mas Dani sambil menunjuk-nunjuk wajahku.“Apa kamu bilang? Mawar kayak orang g*la? Kamu yang gak benar jadi suami! Tidak mungkin Mawar berteriak kalau tidak kamu apa-apakan!” Suara Bapak keras dan penuh kemarahan.“Saya sudah tidak percaya sama kamu lagi! Saya akan bawa pulang Mawar dan Ari sekarang juga!” ucap Bapak lagi. “Jangan berani kamu halangi, atau saya akan laporkan kamu ke polisi!”“Tapi, Pak. Ari itu anak saya. Saya berhak mengasuh dia. Apalagi saya ini punya gaji, sedangkan Mawar hanya pengangguran!” ucap Mas Dani keras.“Huuuu …!” Warga ramai menyoraki, mendengar perkataan Mas Dani itu.“Berapa gajimu, hah? Saya mampu memberi Mawar 2 kali bahkan 3 kali lipat
Benar-benar istri pembangkang si Mawar! Tidak pernah mau mendengar ucapanku. Sekarang gajiku mau dia atur-atur, dasar perempuan pengangguran gitu tuh, lihat duit langsung ijo matanya. Huh … geramnya aku.Lebih baik sekarang ku telepon ibu, akan kuadukan semua kelakuan menantu kesayangannya itu. Aku yakin, setelah ini ibu pasti akan membelaku dan memarahi Mawar habis-habisan.“Assalamu’alaikum, Bu,” ucapku.“Wa’alaikumussalam, Dani,” jawab Ibu. “Gimana kabar kamu, Mawar dan Ari? Betah di kontrakan baru?”“Haduh … bukannya betah, Bu. Mawar malah pulang ke rumah orang tuanya. Meninggalkan aku sendirian,” jawabku emosi.“Lho, ada apa? Kenapa Mawar pulang ke rumah orang tuanya? Kalian bertengkar?” cecar Ibu.“Iya bertengkar, Bu. Tapi kali ini Mawar yang keterlaluan, Bu. Masa dia mau atur-atur gajiku. Terus gak mau hidup hemat. Pokoknya Mawar itu boros banget, Bu!” ucapku menggebu.“Boros bagaimana, Dani? Ibu lihat Mawar tidak seperti itu? Lagipula, memangnya selama ini yang atur uang gajim
“Tapi, Bu. Aku sudah tidak bisa bertahan dengan mas Dani,” ucapku pelan.“Apa? Kamu akan bercerai?” tanya Ibu kaget.“I– iya, Bu,”“Apakah tidak bisa kamu beri Dani kesempatan lagi, Nak?” Nada suara Ibu terdengar sedih.“Entah, Bu. Hatiku telah lama memendam sakit. Begitu banyak perilaku dan perkataan mas Dani yang sangat menyakitiku,” Aku terisak.“Mawar, ibu mohon berilah Dani kesempatan! Demi ibu,” ucap Ibu.“Hm … mas Dani pun tidak meminta kesempatan padaku, Bu,” ucapku.“Apakah kamu ingin Dani meminta maaf padamu, Nak?” tanya Ibu. “Nanti biar ibu sampaikan padanya.”“Mas Dani sudah dewasa, Bu. Seharusnya dia menyadari kesalahannya. Tidak perlu disuruh meminta maaf padaku. Seharusnya dia yang meminta maaf sendiri,” jawabku. “Aku pun tidak yakin mas Dani mau meminta maaf padaku.”Terdengar suara Ibu terisak.“Mawar, bolehkah ibu besok menemuimu, Nak?” tanya Ibu.“Tentu saja boleh, Bu,” jawabku. “Ibu tetaplah ibuku,sampai kapan pun.”“Terima kasih Mawar. Sampai jumpa besok. Assalamu
“Mas … mas … itu tolong ambilkan handukku, ya!” Suara perempuan. Suara siapa itu? Mas Dani sedang bersama siapa? Suaranya seperti pernah aku dengar.“Oh … i─ iya, Mir,” sahut mas Dani kepada si perempuan.Mir? Apa itu suara mbak Mira, tetangga sebelah kontrakan? Sepertinya benar, itu suara dia. Sedang apa mbak Mira bersama mas Dani? Apa yang mereka berdua lakukan? Aah … pikiranku berkecamuk, menerka-nerka apa yang terjadi di sana.Kenapa aku harus peduli?! Bukankah aku sudah ingin bercerai dari mas Dani. Mungkin saja ini pertanda dari Allah, supaya aku mantap mengajukan perceraian.Aku putuskan sambungan telepon secara sepihak tanpa mengucapkan salam. Aku tidak mau mengotori telingaku, mendengarkan pembicaraan mereka.Sekitar sepuluh menit aku melayani customer yang datang, hpku kembali berbunyi. Kulihat panggilan dari mas Dani. Aku biarkan saja, karena customerku lebih penting. Akhirnya hp ku atur ke mode hening.**********Waktu sudah hampir magrib. Aku lupa mengecek hp, barangkali
[Halo, Mbak Mawar. Sudah lihat foto yang kukirim?][Bagaimana pendapat, Mbak? Cocok, kan?!] Mbak Mira mengirim pesan diakhiri emoticon senyum.Apa harus kujawab pesannya? Aku tidak menyangka, wanita yang kulihat dari penampilannya seperti wanita baik-baik, malah berbuat hal yang seperti ini.[Maaf, ya. Ini siapa?] Aku berpura-pura tidak tahu kalau yang mengirim pesan adalah mbak Mira.[Oh … iya aku lupa memberitahu, Mbak. Aku Mira, tetangga sebelah kontrakan mas Dani,][Kalau sekarang sih, statusku calon istrinya mas Dani,] mbak Mira menambahkan emoticon hati di pesannya.Aku harus bisa mengontrol diri menghadapi wanita macam mbak Mira ini. Aku tidak mau merendahkan diri dengan marah-marah padanya. Biarlah saat ini dia merasa menang dengan perbuatannya.[Oh begitu,] jawabku singkat.[Kamu gak marah, kan Mbak? Lagipula selama Mbak gak ada, aku lho yang mengurus mas Dani. Dio sudah akrab banget sama mas Dani, sudah seperti ayah dan anak kandung,] [Kami biasa menghabiskan waktu bersama,
POV MiraDuh … suara berisik apa sih itu? Dio dan aku lagi tidur siang, suara ribut-ribut membuatku terbangun. Kayaknya ramai sekali, coba kuintip dulu. Waduh, kok banyak warga berkerumun di depan kontrakan mbak Mawar? Ada apa memangnya? Dari tadi aku tidur, sampai tidak mengetahui ada kejadian apa di sebelah.Oh, ternyata mbak Mawar dan suaminya bertengkar lagi. Tapi kali ini lebih hebat dari yang kemarin. Aku bertanya pada salah satu tetangga yang sudah lebih dulu ikut berkerumun. Katanya bapaknya mbak Mawar datang untuk menjemputnya. Benar saja, tidak lama mereka keluar dan nampaknya mbak Mawar akan pulang ke rumah orang tuanya. Itu dia membawa koper besar, pasti akan tinggal lama bersama orang tuanya atau bahkan akan bercerai dengan suaminya?! Hm … bakal ada calon duda keren nih. Kutatap suami mbak Mawar yang marah-marah melepas kepergian istrinya. Duh … orang keren gini kok ditinggal! Yaah … lumayan, siapa tahu bisa aku dekati. Ku tersenyum membayangkan apa yang akan kulakukan te